Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi, dan Menghapus Perdagangan Senjata Illegal. Studi Kasus : Indonesia, Filipina dan Thailand ( 2001-2007)

(1)

Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi,

dan Menghapus Perdagangan Senjata Illegal.

Studi Kasus : Indonesia, Filipina dan Thailand ( 2001-2007)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

SKRIPSI

NAMA : EVELYN HERAWATY SITORUS

NIM : 060200310

JURUSAN : HUKUM INTERNASIONAL

   

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

T. A 2008/2009


(2)

Implementasi Program Aksi PBB dalam Mencegah, Memerangi,

dan Menghapus Perdagangan Senjata Illegal.

Studi Kasus : Indonesia, Filipina dan Thailand ( 2001-2007)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

EVELYN HERAWATY SITORUS

060200310

Departemen Hukum Internasional

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

Sutiarnoto, SH, M.Hum NIP 1311616321

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,


(3)

ABSTRAK

Persoalan yang terkait dengan Senjata Ringan Berkaliber Kecil (Small Arms and Light Weapons – SALW) bersifat sensitif dan kompleks.

SALW tidak hanya memainkan peranan penting dalam konflik internal yang terjadi di seluruh dunia, tetapi juga dapat menghambat proses pembangunan yang tengah berjalan di negara-negara berkembang dan bahkan negara maju. Persoalan ini tidak hanya berada dalam dimensi isu keamanan Internasional,

tetapi juga regional, nasional, dan bahkan lokal. Meskipun demikian, isu proliferasi SALW ini belum sepenuhya mendapaytkan perhatian nasional

dan regional yang memadai. Sehingga data-data dan penelitian yang ada tidak cukup memberikan pemahaman yang tepat sehubungan dengan isu ini.

Tulisan ini dibuat menggunakan metode penelitian deskriptif dimana penulisan ini merupakan pencarian fakta yang ada dengan interpertasi yang tepat, guna mencoba untuk mengisi kekosongan secara empiris dan teoris yang hadir dalam literatur mengenai SALW dengan mengidentifikasi aspek-aspek berbeda yang terkait dengan proliferasi dan transfer Small Arms adn Light Weapon (SALW) di Asia Tenggara, Khususnya Indonesia, Filipinadan Thailand. Penelitian ini menggunakan sejumlah data dan laporan yang memaparkan sejumlah konflk bersenjata, kerusuhan, tindak kejahatan yang terjadi tidak hanya di Asia Tenggara tetapi juga negara lainnya di dunia sejak Perang Dingin berakhir. Hal ini menunjukan analisis yang lebih rinci dari ketiga negara acuan, dimana aspek penting dari penelitian ini ialah adanya pemahaman terhadap sumber-sumber eksternal dan internal yang berhasil diperoleh, aktivitas pedagang dan broker,


(4)

bagaimana suplai dan transfer, serta akumulasi dan penyalahgunaan Small Arms and Light Weapons (SALW) dapat mengakibatkan meluasnya konflik dan tindak kekerasan di Indonesia, Filipina dan Thailand.

Dengan adanya Program Aksi untuk Mencegah, Memerangi dan Menghapus Perdangangan Senjata Ringan Berkaliber Kecil dan Seluruh Aspeknya, yang merupakan hasil dari adanya Konfrensi PBB tahun 2001 tentang Small Arms and Light Weapons (SALW), tercapailah sebuah kesepakatan akan sebuah program mengenai penanganan Small Arms and Light Weapons (SALW) illegal yang diimplementasikan pada level global.

Selain mencantumkan tentang asal mula pembentukan UN PoA (United Nations Program of Actions to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspect), pembentukan kapasitas nasional secara umum, dan peranan organisasi masyarakat dalam pelaksanaan program ini, tulisan ini terutama memasukkan pamahaman mengenai implementasi UN PoA ( United Nations Program of Actions to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspect) di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Pembahasan tersebut didasarkan pada laporan nasional implementasi UN PoA, yang dibuat oleh masing-masing negara pada tahun 2005.


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, penulis panjatkan segala puji dan syukur ke hadiratNya, karena atas izin dan kehendakNyalah akhirnya penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini dengan judul : “Implementasi Program Aksi PBB untuk Mencegah, Memerangi dan Menghapus Perdangangan Senjata Ilegal. Studi Kasus : Indonesia, Filipina, dan Thailand (2001-2007)”.

Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

Secara khusus ku ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk Papa & Mama ku tercinta Edward Hakim Sitorus, SE dan Helena SL Tobing, SH

yang selalu setia menemani, memberikan waktu, perhatian dan kasih sayang, “I’m so proud of you”, dukungan materil sehingga dapat menyelesaikan

perkulihan ini dengan lancar. Jesus always Bless you.

Dalam kesempatan ini ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan skripsi ini maupun selama menempuh perkuliahan, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama masa perkuliahan penulis.


(6)

2. Bapak Sutiarnoto, SH, M.Hum, Selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak bimbingan dan arahan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

3 Bapak Arif, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan skirpsi ini.

4 Ibu Ananda Fadila, Technical Officer khususnya dibidang Programs Unit Bureau for External Relations and Coordination The ASEAN Secretariat, Jakarta

5 Pihak-pihak di Perpustakaan CSIS Jakarta , Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meminjamkan beberapa buah buku guna penulisan skripsi ini.

6 Ibu Dr. Utary Maharahy B, SH, M.Hum selaku Dosen Wali penulis

7 Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya Dosen pengajar Hukum Internasional yang telah memeberikan bimbingan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan melalui Ilmu Pengetahuan yang diajarkan.

8 Para Dosen, Staf dan pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan

9 Kakak ku yang tersayang Helda Edwina Sitorus, S.Ip “ The Best Sister I Ever Had “ sumber segala inspirasiku, pendorong setia, yang telah


(7)

“ You are So Amazing Sister” Always missing you, my lovely sist. Jesus Bless You.

10. Rikky Dalton Yopernando Sihombing, SE “ Thank God i finally faound you and love will keep us together”. Trima kasih buat cinta dan perhatian yang tercurah, kasih sayang, bimbingan, arahan dalam penulisan skripsi ini. Thank you for everything you’ ve done to me. Jesus always bless you. 11.Teman- teman angkatan 2006 khususnya teman-teman dekat penulis

selama kuliah, dan untuk teman-teman ILSA (International Law Student Organization) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Semoga pertemanan dan persahabatan kita untuk selamanya. GBU all.

12.Seluruh keluarga besar penulis baik dari Ayahanda penulis (Sitorus Family) dan Ibunda penulis (Tobing Taylor Family)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dalam pengumpulan data, teknik pengolahan data, maupun penyajiannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya perbaikan-perbaikan berupa kritik dan saran yang dapat bersifat membangun dari pembaca.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi semua pihak yang membutuhkannya.


(8)

Medan , Oktober 2009 Penulis


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Negative and Positive Indicator of

Analysing Non-State Actors... 30 Tabel 2. A Matrix of The Effects and Indicators of Small Ars

Availabitily and Use... 52 Tabel 3. Keterangan Sumber-sumber Eksternal dan Internal- GAM... 84 Tabel 4. Keterangan Sumber-sumber Ekternal dan Internal –

Moro National Liberation Front -... 99 Tabel 5. Keterangan Sumber-sumber Ekternal dan Internal –

Moro Islamic Liberation Front -... 107 Tabel 6. Implementasi UN PoA di Indonesia, Filipina dan Thailand... 180


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Metode Penelitian ... 13

F. Tinjauan Kepustakaan... 16

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II : KARAKTERISTIK UMUM DAN RUANG LINGKUP PERKEMBANGAN SENJATA ILLEGAL... 22

A. Defenisi dan Klasifikasi Senjata Ringan Berkaliber Kecil... 22

B. Pendekatan Historis Dalam Perdagangan Senjata Illegal 25 C. Aktor-aktor dalam Perdagangan Senjata Illegal ... 32

1. SALW dan Aktor Non Negara (Insurgenti/Armed/ Rebel/Groups) ... 32


(11)

D. Proses Perkembangan Perdatangan Senjata Ilegal... 45

1. Prolifersi Senjata Ilegal... 45

2. Transfer Senjata Ilegal ... 47

E. PoA (Program of Action Sebagai Upaya PBB dalam Menangani Isu Perdatangan Senjata Ilegal ... 61

BAB III : PERDAGANGAN SENJATA ILEGAL SEBAGAI ANCAMAN KEAMANAN REGIONAL POTENSIAL DI ASIA TENGGARA... 65

A. Proliferasi SALW dan Keamanan Asia Tenggara ... 69

B. Transfer SALW Ilegal di Asia Tenggara ... 75

C. Peranan Senjata Ilegal dalam Intra-state Konflik (Insurgent Groups) di Asia Tenggara ... 77

III.3.1. Indonesia ... 77

III.3.1.1. Gerakan Aceh Merdeka... 79

III.3.1.2. Konflik Maluku ... 89

III.3.2. Filipina ... 95

III.3.2.1. More National Liberation Front (MNFL) ... 95

III.3.2.2. Moro Islamic Liberation Front (MILF)... 103

III.3.3. Thailand ... 111

III.3.3.1. Thailand sebagai Buffer Zone ... 112 III.3.3.2. Thailand sebagai Grey Market Area 112


(12)

BAB IV : IMPLEMENTASI PROGRAM AKSI PBB UNTUK MENCEGAH, MEMERANGI, DAN MENGHAPUS PERDAGANGAN SENJATA ILLEGAL DI ASIA

TENGGARA... 120

4.1 PoA (Program of Action) sebagai Upaya PBB dalam Menangani Isu Perdagangan Senjata Ilegal ... 120

4.1.1. Pembentukan UN PoA... 120

41.2. Program Aksi untuk Mecegah, Memerangi, dan Memberantas Perdagangan Senjata Ringan Berkaliber Kecil Ilegal dan Seluruh Aspek-aspeknya ... 125

A. Preambul (Bagian Pertama) ... 128

B. Bagian Kedua... 128

C. Bagian Ketiga ... 130

D. Bagian Keempat... 131

41.3. Pembentukan Kapasitas untuk Melaksanakan UN PoA ... 134

4.1.4. Kelemahan Struktural dalam UU PoA ... 136

4.2. Perkembangan PoA di Asia Tenggara... 140

IV.2.1. ASEAN sebagai Penghubung (Point of Contact)... 141


(13)

IV.2.2. Upaya-upaya Organisasi Masyarakat Sipil (NGOs) dalam Mengkampanyekan

Anti-SALW Ilegal ... 144

4.3. Implementasi UN PoA di Indonesia ... 147

4.4. Implementasi UN PoA di Filipina ... 152

4.5. Implementasi UN PoA di Thailand ... 167

4.6 Kontrol Ekspor / Impor SALW ... 176

4.7 Transfer dan Transit SALW ... 177

4.8 Produksi SALW ... 178

4.9 Perdagangan Senjata Lewat Orang Ketiga (Broker)... 179

4.10 Embargo Senjata ... 179

4.11Penyimpanan Catatan Penggunaan SALW oleh Kesatuan Pemerintah ... 179

4.12Matriks Implementasi UN PoA di Indonesia, Filipina, dan Thailand ... 180

BAB V : PENUTUP... 183

5.1 Kesimpulan... . 183

5.2 Saran... 186


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Negative and Positive Indicator of Analysing Non-State Actors... 30

Tabel 2. A Matrix of The Effects and Indicators of Small Ars

Availabitily and Use... 52 Tabel 3. Keterangan Sumber-sumber Eksternal dan Internal- GAM... 85 Tabel 4. Keterangan Sumber-sumber Ekternal dan Internal –

Moro National Liberation Front -... 99 Tabel 5. Keterangan Sumber-sumber Ekternal dan Internal –

Moro Islamic Liberation Front -... 108 Tabel 6. Implementasi UN PoA di Indonesia, Filipina dan Thailand... 180


(15)

ABSTRAK

Persoalan yang terkait dengan Senjata Ringan Berkaliber Kecil (Small Arms and Light Weapons – SALW) bersifat sensitif dan kompleks.

SALW tidak hanya memainkan peranan penting dalam konflik internal yang terjadi di seluruh dunia, tetapi juga dapat menghambat proses pembangunan yang tengah berjalan di negara-negara berkembang dan bahkan negara maju. Persoalan ini tidak hanya berada dalam dimensi isu keamanan Internasional,

tetapi juga regional, nasional, dan bahkan lokal. Meskipun demikian, isu proliferasi SALW ini belum sepenuhya mendapaytkan perhatian nasional

dan regional yang memadai. Sehingga data-data dan penelitian yang ada tidak cukup memberikan pemahaman yang tepat sehubungan dengan isu ini.

Tulisan ini dibuat menggunakan metode penelitian deskriptif dimana penulisan ini merupakan pencarian fakta yang ada dengan interpertasi yang tepat, guna mencoba untuk mengisi kekosongan secara empiris dan teoris yang hadir dalam literatur mengenai SALW dengan mengidentifikasi aspek-aspek berbeda yang terkait dengan proliferasi dan transfer Small Arms adn Light Weapon (SALW) di Asia Tenggara, Khususnya Indonesia, Filipinadan Thailand. Penelitian ini menggunakan sejumlah data dan laporan yang memaparkan sejumlah konflk bersenjata, kerusuhan, tindak kejahatan yang terjadi tidak hanya di Asia Tenggara tetapi juga negara lainnya di dunia sejak Perang Dingin berakhir. Hal ini menunjukan analisis yang lebih rinci dari ketiga negara acuan, dimana aspek penting dari penelitian ini ialah adanya pemahaman terhadap sumber-sumber eksternal dan internal yang berhasil diperoleh, aktivitas pedagang dan broker,


(16)

bagaimana suplai dan transfer, serta akumulasi dan penyalahgunaan Small Arms and Light Weapons (SALW) dapat mengakibatkan meluasnya konflik dan tindak kekerasan di Indonesia, Filipina dan Thailand.

Dengan adanya Program Aksi untuk Mencegah, Memerangi dan Menghapus Perdangangan Senjata Ringan Berkaliber Kecil dan Seluruh Aspeknya, yang merupakan hasil dari adanya Konfrensi PBB tahun 2001 tentang Small Arms and Light Weapons (SALW), tercapailah sebuah kesepakatan akan sebuah program mengenai penanganan Small Arms and Light Weapons (SALW) illegal yang diimplementasikan pada level global.

Selain mencantumkan tentang asal mula pembentukan UN PoA (United Nations Program of Actions to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspect), pembentukan kapasitas nasional secara umum, dan peranan organisasi masyarakat dalam pelaksanaan program ini, tulisan ini terutama memasukkan pamahaman mengenai implementasi UN PoA ( United Nations Program of Actions to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspect) di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Pembahasan tersebut didasarkan pada laporan nasional implementasi UN PoA, yang dibuat oleh masing-masing negara pada tahun 2005.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“When was the last time a nuclear weapon killed anyone?” [“at Gunpoint : The Small Arms and Light Weapon Trade” Brown Jurnal of world affairs, Spring 2002].

Seperti kalimat diatas, ketika perang dingin dunia berakhir pada masa 1990an, banyak pihak yang berharap akan terciptanya tata dunia baru yang lebih damai, aman, dan sejahtera. Ancaman berupa konflik antar negara (inter-state conflict) dan terutama resiko akibat konfrontasi nuklir diantara negara-negara kuat

berkurang sacara signifikan seiring dengan runtuhnya sistem bipolar. Seiring dengan hal tersebut, ancaman-ancaman terhadap umat manusia juga

diharapkan berkurang secara signifikan. Akan tetapi harapan-harapan akan masa-masa damai setelah berakhirnya Perang Dingin hanya terjadi dalam waktu yang cukup singkat. Dalam hal ini sebenarnya ketentuan tentang perang/konflik yang terjadi dalam wilayah suatu negara diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa atau yang disebut sebagai Convention In Miniature1. Namun, ketika inter-state conflict tidak lagi mendominasi karakteristik politik internasional, berakhirnya masa Perang Dingin justru memunculkan jenis lain dari ancaman. Konflik-konflik yang timbul justru lebih banyak terkait dengan masalah domestik (internal) suatu negara daripada konflik diantara negara yang       

1

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah, Tahun 1949, Binacipta,


(18)

satu dengan negara yang lain.2 Sebagaimana halnya konflik antar ras, suku, agama maupun antar kelompok kepentingan yang di indikasi dengan adanya berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti yang terjadi di kawasan Afrika, Asia, Timur Tengah, dan berbagai kawasan lainnya.

Sejalan dengan perubahan di atas, berakhirnya Perang dingin menunjukkan juga munculnya era baru dalam pemahaman dan paradigma tentang keamanan. Definisi keamanan pasca Perang Dingin tidak lagi hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan perbedaan ideologi antara Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) dengan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya) yang juga lebih dikenal dengan konsep keamanan tradisional, melainkan juga memunculkan isu-isu baru dalam kajian Hukum Internasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan seperti ekonomi, pembangunan, lingkungan, hak-hak asai manusia, demokratisasi, konflik etnik, keamanan manusia (human security), dan berbagai masalah nasional lainnya.

Kepedulian terhadap keamanan manusia (human security) semakin hari semakin meningkat, terutama setelah laporan UNDP, Human Development Report 1994, yang mensosialisasikan 7 dimensi yang dijadikan bahan pertimbangan untuk menciptakan keamanan ekonomi, keamanan kesehatan,

      

2

Philips Jusario Vermonte. Trackling The Problem of The Small Arms in Southeast Asia :

State and Non-State Prespective. Dalam Philips Jusario Vermonte (ed) “Small is (not) Beautiful,

The Problem of Small Arms in Southeast Asia”. Penerbit CSIS and Asia Center Japan Foundation, 2004. Hal 87.


(19)

keamanan lingkungan, keamanan individu, keamanan komunitas, dan keamanan politik.3

Salah satu masalah utama dalam perwujudan perdamaian dan keamanan baik national security maupun human security di suatu kawasan tertentu selama satu dekade terakhir merupakan perdangan senjata api organik (jenis yang dikategorikan sebagai Small Arms and Light Weapon atau Senjata Ringan Berkaliber Kecil yang berikutnya ditulis sebagai SALW) secara illegal. Menurut dikumen yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB (United Nation General Assembly Document) No. A/52/298 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Agustus 1997, small arms adalah “senjata-senjata yang khusus dibuat dengan spesifikasi militer yang di desain untuk digunakan secara perorangan dan berbeda dari senjata berat yang membutuhkan beberapa orang untuk mengoperasikan dan memeliharanya”4. Sementara itu, menurun Amnesty International, SALW ialah senjata yang dapat dibawa dan digunakan oleh satu atau dua orang, termasuk senapan gengam, assault riflle (jenis senjata), senapan mesin, peluncur granat, anti-tank atau senjata anti-pesawat udara dan mortar cahaya. Senjata ringan, amunisi, granat, ranjau darat dan peledak juga merupakan bagian dari kategori ini.

Di dalam ruang lingkup internasional, dibandingkan dengan senjata

pemusnah massal seperti chemical dan biological weapon misalnya,       

3

Bob S. Hadiwinata. Porverty and The Role of NGOs in Protecting Human Security in

Indonesia. Dalam Mely C Anthony, R. Emmers dan Amitav Acharya (eds.). “Non-traditional

Security in Asia : Dilemmas in Securitization”. Penerbit London : Ashgate, 2006 4

Philips Jusario Vermonte, Problematikan Peredaran Small Arms di Kawasan

Asia Tenggara : Thailand, Filipina dan Indonesia. Dalam Jurnal “Analisis CSIS Terorisme dan


(20)

SALW mungkin tidak terlalu banyak menarik perhatihan publik. Sementara, menurut Small Arms survey 2001, SALW dietiminasi sebagai penyebab kematian 500.000 orang di seluruh dunia setiap tahunnya. 300.000 diantaranya berkaitan dengan konflik bersenjata, sementara 200.000 lainnya berkaitan dengan kriminalitas atau insiden lain.5 90 % dari korban yang jatuh di atas merupakan masyarakat sipil, kebanyakan wanita dan anak-anak.6 Sementara itu, kapan terakhir kali senjata nuklir menghilangkan nyawa seseorang? Dunia internasional menyibukkan diri dengan isu-isu seputar senjata nuklir (Weapon Mass Destructions). Sebenarnya dalam Hukum Internasional ada konvensi yang mengatur tentang larangan penggunaan dan pembatasan senjata-senjata yang mengakibatkan luka-luka yang berlebihan atau akibat yang membabi-buta; yang selanjutnya disingkat CCW (Certain Conventional Weapon Convention tahun 1980).7 Padahal tanpa disadari, perlahan demi perlahan jumlah korban yang disebabkan oleh penggunaan SALW terus bertambah setiap harinya. Oleh sebab itu, dalam kurun waktu sekarang ini, dapat dikatakan SALW sendirilah yang merupakan senjata pemusnah massal yang sebenarnya.

Berkaitan dengan konflik, studi yang dilakukan oleh Wallensteen dan Sollenberg terhadap 101 konflik internal di seluruh dunia dalam kurun waktu       

5

Small Arms Survey 2001 : profiling the Problem. Chapter Summary. A Project of

The Graduate institute of International Studies, Geneva. Oxford Univeristy Press. http://www.smallarmsurvey.org

6

Role of National Contact Points and National Coordinating Agencies. A Paper

submittedby Ammasador Mochamad S. Hidayat (Deputy Permanent Representative of Indonesia to the United Nation, New York), at the Regional Seminar on the Implementation of The Program of Action adopted in the United Nation Confrence on the illicit Trade of Small Arms adn Light

Weapon in All its Aspects : The Asia-Pasific Perspective. Bali, Indonesia 10-11 February 2003

7

Arlina Permanasari,dkk. Pengantar Hukum Humaniter. Penerbit International Committe of The Red Cross. Jakarta. 1999


(21)

1989-1996 menemukan bahwa SALW merupakan bagian inheren yang memperparah konflik-konflik tersebut. Tidak sulit dipercaya karena SALW merupakan jenis senjata yang sangat mudah diedarkan, dimobilisasi dan digunakan. Pada tahun 1995, UNICEF melaporkan bahwa senjata jenis AK-47 dapat dengan mudah dibongkar pasang oleh anak-anak berusia 10 tahun. Laporan UNICEF juga menyebutkan bahwa paling tidak ada 300.000 lebih anak-anak dibawah usia 18 tahun yang berperang di garis depan sebagai milisia dalam berbagai konflik berdarah di seluaruh dunia.8

Menurut Emanuela-Chiara Gillard, transfer senjata illegal dapat diartikan sebagai :

” a transfer of which the exporting states could not fully exercise control over the process or the transfer of arms that occur againts the exporting states’whises’9

Sementara itu, PBB mendefenisikan perdagangan senjata illegal sebagai “[trade] which is contrary to the laws of the State and/or international law”10

Pada dasarnya, SALW diproduksi secara legal oleh perusahaan-perusahaan pembuat senjata atau melalui mekanisme pemberian lisensi. Namun, ada banyak celah dari life-cycle sebuah senjata yang diproduksi secara legal tersebut,       

8

Philips Jusario Vermonte. Trackling The Problem of The Small Arms in Southeast Asia :

State and Non-State Prespective. Dalam Philips Jusario Vermonte (ed) “Small is (not) Beautiful,

The Problem of Small Arms in Southeast Asia”. Penerbit CSIS and Asia Center Japan Foundation, 2004. Hal 96

9

Emanuela-Chiara Gillard, What’s Legal? What’s Illegal? Dalam Lumpe, L (ed), “Running Guns : The Global Black Market in Small Arms “. Zed Books, London, 2000

10

Report on Disarmament Commition of the UN


(22)

yang membuatnya berubah sifat menjadi illegal. Beberapa celah itu diantaranya adalah perdagangan senjata illegal, dan tidak memadainya stock-pile management dari senjata-senjata milik aktor-aktor negara yang memegang monopoli penggunaan kekerasan, seperti institusi militer dan kepolisian.

Industri senjata (kategori SALW) merupakan sektor yang memiliki sistem distibusi yang paling luas dari industri pertahanan internasional. Jumlah pabrik yang memproduksi senjata-senjata ini bahkan meningkat dalam dua dekade terakhir. Pada tahun 1980 tercatat kurang dari 200 produsen senjata yang kemudian meningkat menjadi lebih dari 600 produsen sampai sekarang.11

Kembali, menurut survey tahun 2001, produksi SALW illegal berlokasi di 25 negara di dunia dan sedikitnya terdapat 95 negara yang memiliki kapasitas untuk mengambil ahli lisensi produksi secara legal senjata kategori SALW ini. Produsen industri SALW secara global, dilihat dari segi nilai dan volume produksi, terbagi atas empat kategori utama, yakni China, Rusia, Amerika Serikat dan kelompok-kelompok negara di Eropa dan Asia. Di kawasan-kawasan tertentu seperti Afrika Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, produksi senjata illegal merupakan alternatif jenis industri yang cukup menguntungkan. Informasi yang tersedia mengenai sejumlah senjata illegal tersebut (berdasarkan data yang di dapat dari Brasil dan Afrika Selatan) menunjukan 3% sampai 16% senjata yang

      

11

Small Arms Survey 2001 : Profiling the Problem. Chapter 1 Small Arms, Big Business :

Products and Producers. A Project of The Graduate Institute of International Studies, Geneva.


(23)

beredar di negara tersebut merupakan senjata illegal.12 Produsen-produsen illegal ini merancang strategi yang lebih mudah bagi siapa saja untuk memperoleh senjata-senjata yang mematikan dan berteknologi tinggi dibanding sebelumnya. Kompetisi yang cukup ketat dala pasar persenjataan global ditambah dengan meningkatnya jumlah produsen senjata secara otomatis mengikis upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat intenasional untuk mengkatrol proliferasi SALW.

Sementara itu, menurut hasil survey di tahun 2007 setiap tahunnya, 530.000 sampai 580.000 senapan militer, assult rifles dan carbines di produksi di bawah lisensi atau merupakan unlicensed copies, mewakili 60% sampai 80% dari total produksi setiap tahunnya. Hanya 57% senjata yang di produksi dengan menggunakan teknologi canggih yang di produksi di bawah lisensi yang sah. Sedikitnya 60 negara cukup masuk akal jika diinterpretasikan bertanggungjawab sabagai small arms shipment ke 36 negara di seluruh dunia selama periode 2002-2004. The Small Arms Transparency Barometer mengindikasi bahwa transparasi diantara perusahaan-perusahaan eksporter terbesar SALW tetap saja lemah di banyak negara.13

Broker14 dan media perdagangan lainnnya merupakan hal yang penting bagi perdagangan senjata baik itu secara legal maupun illegal. Dalam kasus-kasus perdagangan senjata illegal di sebuah negara, para broker ini memperburuk       

12

Small Arms Survey 2001 : Profiling the Problem. Chapter Summary Small Arms. A Project of The Graduate Institute of International Studies, Geneva. Oxford University Press.

http://www.smallarmssurvey.org diakses tanggal 6 Agustus 2009 13

Small Arms Survey 2007 : Guns and The City. Chapter Introduce. A Project of The Graduate Institute of International Studies, Geneva. Oxford University Press.

http://www.smallarmssurvey.org diakses tanggal 6 Agustus 2009 14


(24)

situasi yang ada dengan memicu terjadinya konflik internal yang lebih besar. Mereka menjalin kerjasama dengan para pemberontak, penyelundup dan pelaku trans-nationalo crime lainnya. Perusahaan-perusaan penerbangan kargo juga memiliki peranan yang besar terkait dengan masalah transportasi senjata-senjata tersebut ke zona konflik.15

Para broker senjata ini juga mampu menjalankan aksinya terus-menerus yanpa adanya pengawasan karena hukum nasional yang terkait dengan urusan persenjataan yang tidak dapat melacak setiap aktivitas perdagangan yang mereka lakukan. Di banyak negara, khususnya negara sedang berkembang, kebiasaan pengawasan yang lemah dan budaya korupsi para petugas perbatasan menghambat adanya upaya-upaya untuk melakukan kontrol dan pengawasan yang lebih efektif.16 Tak mengherankan jika pelacakan akan masuknya senjata-senjata illegal menjadi jauh lebih sulit.

Walaupun senjata jenis ini tidak dapat menciptakan konflik secara langsung, namun kehadiran dan ketersediaan yang sulit dikontrol dari senjata-senjata ini dapat memicu penggunaan kekerasan dan ketidakstabilan pemerintah dan masyarakat yang melingkupi aspek politik, sosial dan persoalan etnik.

Small Arms and Light Weapon (SALW) adalah sebuah isu yang sangat kompleks dan harus di tandatangani secara serius baik ditingkat nasional,       

15

Small Arms Survey 2001 : Profiling the Problem. Chapter 3. Fueling the Flamers :

Brokers and Transport Agents in The Illicit Arms Trade. A Project of The Graduate Institute of

International Studies, Geneva. Oxford University Press. http://www.smallarmssurvey.org diakses tanggal 5 Agustus 2009

16


(25)

regional maupun internasional. Di Asia tenggara, isu ini pertama kali dibahas oleh para menteri ASEAN di Malaysia pada tahun 1997, dalam rangka kerjasama regional Asia Tenggara. Peristiwa 11 September 2001 lalu mendorong para pengambil keputusan di ASEAN untuk merekonstruksi upaya-upaya memerangi terorisme. Pembicaraan ini juga mengangkat isu proliferasi SALW. Isu ini kembali diangkat kembali pada kunjungan Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri pada akhir agustus 2001 lalu saat mengunjungi beberapa negara ASEAN,

yang kemudian diikuti dengan pernyataan internasional bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan bagian penting dari jalur distribusi SALW baik secara

legal maupun illegal yang harus diatasi secara kolektif.17

Namun tulisan ini mempunyai fokus analisis terhadap penyabaran dan perluasan perdagangan senjata illegal yang dikonsentrasikan pada tiga wilayah negara yakni Thailand, Filipina dan Indonesia. Sebab ketiga negara ini yang sedang mengalami atau menghadapi ancaman yang cukup serius dari meluasnya perdagangan senjata illegal. Thailand misalnya dikenal dalam “peran” nya sebagai jalur penghubung dengan lingkungan global dalam hal penyelundupan senjata. Kedekatan geografis Thailand dengan wilayah-wilayah rawan konflik seperti Vietnam dan Kamboja ditambah dengan lemahnya pengawasan pemerintah di wilayah-wilayah perbatasan, menjadikan Thailand sebagai kawasan ideal bagi para pedagang senjata illegal. Filipina bukan saja wilayah yang sedang ‘sibuk’ mengalami aksi para pemberontak yang dikabarkan bahkan memiliki persenjataan       

17

Bantarto Nadoro, Senjata ringan dan Berkaliber Kecil : Sebuah Persoalana Rumit dengan Penanganan yang Sulit. Dalam “Analisi CSIS, Isu-isu Non-Tradisional : Bentuk Baru


(26)

yang canggihnya dengan milik militer tetapi juga berbatasan dengan kepulauan Maluku yang menyimpan potensi konflik serius. Dapat dikatakan, masing-masing konflik ini akan saling mempengaruhi. Sementara itu di Indonesia, proses transisi dari zaman orde baru menuju reformasi yang menghasilkan demokrasi digunakan

oleh beberapa kelompok tertentu untuk kemudian melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.18

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :

1. Upaya- upaya apa saja yang dilakukan oleh negara-negara di Asia Tenggara dalam menangani isu perdagangan senjata illegal di Asia Tenggara melalui UN PoA?

2. Bagaimana perdagangan senjata illegal dapat di analisis sebagai sebuah ancaman keamanan nasional dan regional di sebuah kawasan?

3. Bagaimana fenomena perdagangan senjata illegal di dunia secara umum dan di Asia Tenggara secara khusus?

4. Bagaimana karekteristik hukum, politik, sosial dan keamanan di kawasan Asia Tenggara?

Berbagai reaksi ini menimbulkan pertanyaan riset sebagai berikut :

      

18

Philips Jusario Vermonte, Problematikan Peredaran Small Arms di Kawasan Asia Tenggara :

Thailand, Filipina dan Indonesia. Dalam jurnal “Analisis CSIS Terorisme dan Keamanan Manusia”


(27)

“Bagaimana UN Poa (UN Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapon in All Its Aspect) di implementasikan di Asia Tenggara dalam kurun waktu 2001-2007 (Studi Kasus : Indonesia, Filipina dan Thailand)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai oleh penelitian ini ialah sebagai berikut :

1. Memberikan gambaran mengenai upaya-upaya yang dilakukan oleh negara-negara Asia Tenggara dalam menangani isu perdagangan senjata illegal di Asia Tenggara melalui UN PoA.

2. Memberikan gambaran tentang bagaimana perdagangan senjata illegal dapat dianalisis sebagai sebuah ancaman bagi keamanan nasional dan regional di sebuah kawasan, dalam hal ini Asia Tenggara.

3. Memberikan gambaran akan fenomena perdagangan senjata SALW illegal di dunia secara umum dan di Asia Tenggara secara khusus.

4. Menggambarkan bagaimana karekteristik hukum, politik, sosial dan keamanan di kawasan Asia Tenggara.


(28)

Adapun penelitian ini dilakukan dengan harapan akan berguna sebagai :

1. Mengetahui dan memahami peranan negara dalam menjaga keamanan regional, maupun nasional

2. Untuk menambah kepustakaaan studi tentang keterlibatan PBB dalam menciptakan perdamaian dunia, khususnya dalam menangani masalah perdangangan senjata illegal yang dihadapi oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

3. Sebagai referensi bagi mahasiswa lain yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hukum regional maupun internasional di bidang keamanan.

E. Keaslian Penulisan

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh Penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara, maka Penulis ingin mengangkat suatu materi dari mata kuliah wajib, yaitu Hukum Humaniter Internasional, dimana dalam mata kuliah tersebut Penulis tertarik dengan sebuah topik yaitu Perdagangan Senjata Illegal yang belakangan hari makin marak dibicarakan.

Oleh karena itu, Penulis ingin mengangkat masalah di atas untuk dituangkan dalam sebuah judul skripsi, yaitu “Implementasi Program Aksi PBB untuk Mencegah, Memerangi, Menghapus Perdagangan Senjata Illegal. Studi Kasus : Indonesia, Filipina dan Thailand (2001-2007”.

Dalam rangka pengajuan judul skripsi ini, Penulis harus terlebih dahulu mendaftarkan judul tersebut ke bagian hukum internasional dan setelah diperiksa pada arsip yang ada pada bagian hukum internasional, judul yang diangkat oleh


(29)

Penulis dinyatakan disetujui oleh bagian hukum internasional tertanggal 26 Agustus 2009.

Atas dasar pemeriksaan tersebut, Penulis yakin bahwa judul yang diangkat beserta pembahasannya belum pernah ada penulisannya pada bagian hukum internasional pada khususnya dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada umumnya, sehingga keaslian penulisan yang Penulis tuangkan dapat dipertanggungjawabkan penulisannya.

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Sebagaimana lazimnya penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang objektif (benar dan layak dipercaya), demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalan yang telah diuraikan sebelumnya.

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode yang


(30)

mengacu pada norma-norma hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini, metode yuridis normative yang digunakan adalah norma-norma hukum lingkungan internasional, yang tertuang dalam bentuk Agreement (Persetujuan).

Pengumpulan data yang dilakukan melalui library research (penelitian kepustakaan) dengan cara mengumpulkan bahan dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian ini, seperti buku, jurnal, surat kabar, majalah, termasuk berbagai artikel dari internet.

Penulisan ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan, menggambarkan tentang penerapan standar internasional dalam rangka pengendalian emisi kendaraan bermotor.

2. Data Penelitian

Penelitian ini memusatkan pada berbagai norma hukum internasional yang menjadi dasar standard internasional diterapkan di Indonesia dan norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang upaya pengendalian pencemaran udara.

Data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang terdiri dari : a) Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan masalah penelitian, antara lain :

b) Bahan hukum sekunder, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, makalah, surat kabar, majalah, internet, dan lain-lain yang relevan dengan masalah penelitian.


(31)

c) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk membantu memahami bahan hukum primer dan sekunder, antara lain kamus-kamus hukum dan kamus-kamus bahasa.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari dosen pembimbing, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a) Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b) Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c) Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d) Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.


(32)

Data primer dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Tinjauan Kepustakaan

Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporan-laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu penulis akan memberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yang diambil dari sumber-sumber buku yang memberikan pengertian terhadap judul skripsi ini, yang penulis tinjau dari sudut etimologi (arti kata) dan pengertiaan-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun dari pendapat para sarjana, sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.

Judul skripsi di atas, dalam hal ini penulis kelompokkan ke dalam beberapa frase yang penulis anggap dapat menggambarkan penulisan skripsi ini, yaitu :

a) Senjata Api

b) Senjata Ringan berkaliber Kecil c) UN PoA


(33)

Ad. 1 Yang dimaksud dengan Senjata api adalah senjata yang melepaskan satu atau lebih proyektil yang didorong dengan kecepatan tinggi oleh gas yang dihasilkan oleh pembakaran suatu propelan.

Ad.2 Small Arms and Light Weapon (SALW) adalah senjata yang dapat digunakan oleh satu atau dua orang dan yang dapat dibawa oleh seseorang, binatang atau bahkan kenderaan yang ringan (kecil). Menurut United Nations’s Group of Goverment Expert pada tahun 1997, small arms dirancang untuk penggunaan satu orang termasuk : Revolvers, self-loading, pistols, rifles (senapan) dan carbine, sub-machine,guns, assult rifles adnd light-machine guns.

Sementara itu, light weapon dirancang untuk penggunaan satu kru (yang terdiri dari dua atau lebih orang) atau pasukan kecil termasuk : Heavy machine-guns, grenade launchers, smaall motars, mobile anti-aircraft dan anti-tank guns, mobile rocket launchers, shoulder-fired anti-aircraft missile launcher, dan motars dengan kaliber dibawah 100mm

Ad 3. UN PoA adalah The United Nations Programme of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in all its Aspects (UN PoA) dibagi atas rekomendais untuk aksi yang dapat dilakukan pada level nasional, regional, dan global. Seluruh aksi pada tiap-tiap level ini sama penting dan merupakan kesatuan yang saling bergatung satu sama lain. Demi mensukseskan tindakan-tindakan yang dilakukan pada level nasional, sangat dibutuhkan adanya lingkungan kawasan regional yang kondusif. Demikian juga halnya, untuk mendukung tindakan-tindakan yang diambil pada level


(34)

regional, dibutuhkan komitmen penuh dalam merealisasikan tindakan nyata pada level nasional.

Terdapat 22 paragraf di dalamnya yang mengidentifkasikan tindakan-tindakan dan aksi dimana masing-masing Negara selayaknya diambil sesuai dengan ketentuan progam. Jells, bahwa seberapa tindakan yang seharusnya diambil pada level negara, yang dikenal dengan penegakan national co-ordination agencies, merupakan nilai-nilai fundamental dari permualan langkah baru. Tindakan lainnya juga membutuhkan perhatian lebih dan dapat sepenuhnya diwujudkan dalam sikap yang berkelanjutan melalui keputusan-keputuan Negara dalam merancang langkah-langkah terhadap pengaturan senjata dan perlucutan senjata.

Ad 4 Implmentasi UN PoA di Indonesia, filipina dan Thailand.

A. Indonesia

Pemerintah Indonesia membentuk sebuah kelompok kerja antar departemen atas isu SALW untuk mengkoordinasi di antara berbagai institusi nasional dalam persoalan-persoalan yang terkait dengan implementasi PoA. Kelompok kerja ini bekerja sebagai penghubung atau contact point. Dalam hal ini, Direktorat Kemanan Internasional dan Departement of Disarmament Foreign Affairs ditugaskan untuk mengkoordinasi aktivitas-aktivitas dalam kelompok kerja ini.

Sekarang, kelompok kerja terdiri atas perwakilan dari Kepolisian Indonesia, Bea cukai dan Imigrasi, Departemen Luar Negeri, Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Departemen Pertahanan, PT. PINDAD (Perindustrian Angkatan


(35)

Darat) juga Departemen Keadilan dan Hak Asasi Manusia. Ke depannya, direncanakan untuk mengikutsertakan partisipasi NGO sebagai anggota kelompok kerja ini

B. Filipina

Implementasi dari Peraturan Eksekutif (Executive Order) nomor 171, yang juga dikenal dengan nama Firearms Amnesty Program mencakup persoalan seputar pemberian jaminan amnesti kepada individu-individu dalam kepemilikan atas SALW yang secara bebas. Hukum ini ditandatangani sendiri oleh Presiden Gloria Macapagal-Arroyo pada 22 Januari 2003 lalu sebagai sebuah tindakan tegas untuk mengurangi jika belum menghapus proliferasi SALW ilegal sepenuhnya. Hal ini dibuktikan dengan upaya implementasi Hukum dan Peraturan yang diisukan pada 7 Maret di tahun yang sama. Program ini diperluas melalui Executive Order nomor 390 bulan Spertember 2004 yang membuat Program Amnesti berlaku lebih lama hingga September 2005

C. Thailand

Sesuai dengan UN Program of Action (PoA) sesi 2, paragraf 5, sebagai langkah awal. National Security Council (Badan Keamanan Nasional), berada langsung di bawah otoritas Perdana Menteri, dimandatkan sebagai National Point of Contact dan bekerja sebagai koordinator atas persoalan-persoalan seputar SALW.

NSC memiliki tugas untuk berperan mengkoordinasi persoalan antar-badan atau antar-departemen yang berkaitan dengan keamanan nasional. NSC


(36)

juga mengkoordinasi sejumlah badan/agensi dengan mengadakan pertemuan antar-badan/agensi dan bertukar informasi yang dibutuhkan

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terbagi menjadi bebarapa bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub-bab yang disesuaikan dengan pembahasan yang dibutuhkan.

Bab I : Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang penelitian, indentifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II: Perdagangan senjata illegal sebagai sebuh fenomena. Bab ini menjelaskan gambaran mengenai karakteristik umum dan ruang lingkup perkembangan dalam perdagangan senjata illegal, diantaranya : defenisi, klarifikasi, pendekatan historis, aktor-aktor yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam aktivitas illegal ini, ploriferasi dan transfer senjata-senjata illegal ke berbagai wilayah, serta peran senjata-senjata api ini dalam konflik internal dan proses pembangunan.

Bab III : Perdagangan senjata illegal di Asia Tenggara. Bab ini berisi perdagangan senjata illegal di Asia Tenggara dan kompleksitas isu tersebut di Indonesia, Thailand dan Filipina serta timbulnya ancaman terhadap keamanan regional Asia Tenggara.

Bab IV : Pembentukan, Perkembangan dan Implementasi UN Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapon in All Its Aspect. Analisis yang dimunculkan meliputi


(37)

langkah-langkah pengimplementasian UN PoA di sub Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Filipina dan Thailand.

Bab V : Kesimpulan dan saran. Bab ini memaparkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terkait dengan perkembangan dan upaya penanganan perdagangan senjata illegal di Asia Tenggara.


(38)

BAB II

KARAKTERISTIK UMUM DAN RUANG LINGKUP PERKEMBANGAN SENJATA ILLEGAL

A. Defenisi dan Klasifikasi Senjata Ringan Berkaliber Kecil

‘A gun is as easy to get as a pack of cigarettes’ Evan Jean Loless, umur 34 Tahun, Sanksi penjara seumur hidup karena membunuh (USA, 1997)19

Small Arms and Light Weapon (SALW) adalah senjata yang dapat digunakan oleh satu atau dua orang dan yang dapat dibawa oleh seseorang, binatang atau bahkan kenderaan yang ringan (kecil). Menurut United Nations’s Group of Goverment Expert pada tahun 1997, small arms dirancang untuk penggunaan satu orang termasuk :20 Revolvers, self-loading, pistols, rifles (senapan) dan carbine, sub-machine,guns, assult rifles and light-machine guns.

Sementara itu, light weapon dirancang untuk penggunaan satu kru

(yang terdiri dari dua atau lebih orang) atau pasukan kecil termasuk : Heavy machine-guns, grenade launchers, small motars, mobile anti-aircraft

dan anti-tank guns, mobile rocket launchers, shoulder-fired anti-aircraft missile launcher, dan motars dengan kaliber di bawah 100 mm.

      

19

The Arms Bazaar, Chapter 4. Hal 54. Lihat

http://www.amnestyusa.org/arms_trade/pdfs/chapter4_colour.pdf diakses pada tanggal 25 Agustus 2009 20

Consequences of The Proliferation and Misuse of Small Arms and Light Weapon.

http://www.fas.org/asmp/campaigns/smallarms/sawg/2006factsheets/SAWG_Small_Arms_Fact_S heet_2006.pdf diakses tanggal 25 Agustus 2009


(39)

Amunisi termasuk : Carridges untuk small arms, shells dan missiles untuk light weapons, anti-personnel, dan anti-tank grenades, landmines, bahan peledak, dan shells untuk single-actions ancti-aircraft dan anti-tank system.

Sementara itu, menurut dokumen yang oleh Majelis Umum PBB (United Nations Assembly Document) No. A/52/298 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Agustus 1997, small arms adalah “senjata-senjata yang khusus dibuat dengan uspesifikasi militer yang didesain untuk digunakan secara perorangan dan berbeda dari senjata berat yang membutuhkan beberapa orang untuk mengoperasikan dan memeliharanya.21 Sedangkan, menurut Amnesty Internasional, SALW ialah senjata yang dapat dibawa dan digunakan oleh satu atau dua orang, termasuk senapan gengam, assult riflle (jenis senjata), senapan mesin, peluncur granat, anti-tank atau senjata anti-pesawat udara dan motar cahaya. Senjata ringan, amunisi, granat, ranjau darat dan peledak juga merupakan bagian dari kategor

       

i ini.22

Menurut Krause, small arms didefenisikan termasuk alat apapun mulai dari pisau sampai tongkat.23 Sementara itu, Krap menempatkan small arms ke dalam empat konteks berbeda yang membantu menjelaskan perbedaan karakteristik small arms dengan senjata jenis lainnya. Pertama, dilihat dari tidak dimuatnya senjata jenis ini dalam database utama seperti SIPRI.

 

21

Philips Jusario Vermonte, Problematikan Peredaran Small Arms di Kawasan Asia

Tenggara : Thailand, Filipina dan Indonesia. Dalam jurnal “Analisis CSIS Terorisme dan

Keamanan Manusia” Tahun XXXII/2003 No. 1. CSIS Indonesia 2003. Hal 61 22

Small Arms and International Humanitarian Law, Amnesty International USA.

http://www.amnestyinternationalusa.org diakses tanggal 526 Agust-09 23

Keith Krause,The Callenge od Small Arms and Light Weapon. 1998. Hal 2


(40)

Kedua, small arms merupakan jenis senjata yang dapat dibawa oleh seorang yang dapat diangkut oleh binatang dan kendaraan ringan. Terakhir, small arms dalam konflik etnis yang dapat dilihat secara empiris dengan mendata semua senjata yang digunakan dalam konflik yang merugikan kedua belah pihak besar-b

a perorangan dan dib

lainnya. Rana dalam bukunya menyebutkan beberapa karakteristik dia

n ukuran projectile

tan logistik yang dibutuhkan

bagian besar berdasarkan penampilan dan kekuatannya diantaranya : revolvers

        esaran.24

Melihat masing-masing defenisi yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa small arms and light weapon ialah senjata dengan spesifikasi militer yang dibuat khusus untuk digunakan secar

awa oleh satu atau dua orang, binatang atau kenderaan kecil.

Karakteristik SALW memiliki feature penentu yang membedakannya dengan senjata

ntaranya :25

1. Ukuran berat dan perpindahanya 2. Hasil ledakan da

3. Bentuk operasi

4. Pemeliharaan dan perala 5. Kaliber dan rate of fire

Lebih lanjut Rana memecah karakteristik SALW ini ke dalam beberapa

 

24

Aaron Karp, The Small Trade Revolution : The Major Impact of Small Arms. Dalam buku Weapon Proliferation in the 1990s, Brad Robert (eds). The MIT Press, London, 1995. Hal 64

25

Swadesh Rans, Small Arms and Intra-State Conflict. United Nations Institute for Disarmament Research, Research Paper No. 34, Geneva, Maret 1995. Hal 2


(41)

dan loading pistols; sub-machine guns, assault rifle dan rifle; machine guns; granades; fuel air explosive; mines; anti-tank weapon; anti-aircraft weapon.26

Seperti yang terlihat di atas, keistimewaan karakteristik SALW terletak pada kemudahan operasi dan kemampuan untuk dibawa kemanapun oleh satu atau dua orang tentara. Performa dan kekuatan dari senjata ini sangat membahayakan dan mematikan, namun belum cukup besar jika dibandingkan dengan dampak yang diakibatkan oleh snejata yang lebih besar seperti tank atau aircraft yang sering digunakan dalam perang sipil (civil wars).

B. Pendekatan Historis Dalam Perdagangan Senjata Illegal

Sebuah konsekuensi yang tidak terelakkan dari Perang Dunia I ialah berlebihnya kapasitas industri di segala bidang yang berhubungan dengan produksi orang di Eropa dan Amerika Utara, termasuk produksi small arms and light weapon (SALW). Pada saat sektor-sektor industri militer lainnya tengah berjuang, para produser SALW menghadapi beberapa beban tambahan dalam menyesuaikan produksi senjata yang ditujukan bagi pasar warga sipil. Senjata-senjata dibeli saat fase-fase awal dari kelebihan produksi ini yang kemudian dalam jumlah besar keluar dari jalur pasar legal. Surplus senjata yang berasal dari Perang Duni II juga tampaknya mengarah pada penyebaran yang bersifat illegal. Sumber-sumber tambahan dari senjata yang telah dibeli, sebagai sebuah bentuk pengelakan hukum yang tadinya relatif mudah bahkan negara-negara dengan persyaratan registrasi seolah-olah merupakan perintah,       

26


(42)

sebelum reformasi hukum pada tahun 1970an menjadikan pengelakan lebih sulit. Sejak saat itu, kebangkitan pasar informal (seperti pasar gelap, kebocoran sistem pengadaan senjata militer, penyelundupan dan transaksi pribadi berskala kecil) kemudian muncul sebagai persoalan dimana-mana.27

Diperkirakan terdapat 693 juta SALW dalam sirkulasinya di dunia. Senjata-senjata ini diproduksi di lebih dari 90 negara dan lebih dari 1200 perusahaan secara international terlibat di beberapa aspek perdagangan SALW. Pasar SALW illegal di seluruh dunia diperkirakan bernilai $ 4 Milyar dan pasar illegal diperkirakan nilainya mencapai $ 1 Milyar. Beberapa negara exporter terbesar SALW di seluruh dunia, diantaranya Russia, Amerika Serikat, Italia, Jerman, Belgia dan China. Sedangkan negara-negar importer terbesar diantaranya temasuk Amerika Serikat, Arab Saudi, Siprus, Jepang, Korea Selatan, Jerman dan Kanada.28

Persoalan SALW belum mendapatkan perhatian akademis seperti halnya persoalan yang terkait dengan proliferasi nuklir. Hal ini mungkin dikarenakan melihat penyebaran dan karakteristik umum dari senjata ini, SALW jauh melebihi senjata jenis lain yang berjenis nuklir, kimia, atau senjata biologis. Small Arms Survey, sebuah organisasi yang meneliti dan melaporkan seputar isu senjata ini setiap tahunnya memperkirakan 300.000 orang tewas setiap tahun oleh senjata ini,

      

27

Pearton Maurice. 1982. Diplomacy, War and Technology since 1830. Lawrence : University of Kansas Press.

http://www.smallarmssurvey.org/files/sas/publication/year_b_pdf/2007/CH2%20Stockpiles.pdf

diakses tanggal 26 Agustus 2009 28

Consequences of The Proliferation and Misuse of Small Arms and Light Weapon.

http://www.fas.org/asmp/campaigns/smallarms/sawg/2006factsheets/SAWG_Small_Arms_Fact_S heet_2006.pdf diakses tanggal 25 Agustus 2009


(43)

sekitar sepertiga datang dari konflik dan sisanya yang merupakan pembunuhan dan tindakan bunuh diri juga dilakukan oleh senjata ringan berkaliber kecil (SALW).29 Korban yang berhasil bertahan dari luka-luka yang mereka alami tetap hidup dengan kondisi yang memilikan. Dampak yang besar ini membuktikan bahwa SALW merupakan senjata pemusnah massal yang sebenarnya.

SALW sangat tepat jika disebut sebagai senjata penghancur manusia (individual destruction) karena setiap tahunnya terdapat ratusan ribu manusia meninggal dan terluka parah akibat penggunaan senjata ini baik dalam daerah konflik maupun daerah non-konflik. Dampak buruk proliferasi dan penyalahgunaan SALW tidak hanya dibatasi zona konflik saja. Pembangunan ekonomi juga sering terkena pengaruh buruk dari adanya kekerasan dan kriminalitas yang kebanyakan dilakukan dengan SALW. Kekerasan SALW juga

merampas hak masyarakat dan kelangkaan sumber layanan kesehatan, dan menghambat peluang bagi investasi dan pembangunan kembali selepas

masa konflik. SALW juga merupakan jenis senjata pilihan bagi sejumlah besar kelompok ekstrim dan separatis, yang menggunakannya untuk melakukan penyerangan mulai dari pembunuhan pegawai pemerintah sampai kepada penurunan tumpuk pemerintahan.

Dalam pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia maupun Hukum Kemanusiaan Internasional (International Humanitarian Law), pihak yang berperang di banyak daerah konflik sekarang ini menjadikan masyarakat sipil sebagai target. Masyarakat sipil, terutama yang kedudukannya paling lemah,       

29


(44)

adalah kelompok yang menderita dampak terparah akibat konflik-konflik tersebut. Organisasi-organisasi kemanusiaan dan pasukan penjaga perdamaian melihat upaya untuk mencapai target mereka menyelamatkan jiwa di wilayah yang terkena ‘wabah’ SALW merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan, bahkan hampir tidak mungkin.

Pada dasarnya jumlah tebesar SALW pada black market sebelumnya diproduksi dan diperdagangkan secara legal sampai kemudian beralih kepada pasar gelap (illegal). Terdapat tujuh jalur utama dimana peralihan ini terjadi. 30

1. Metode pertama dan yang paling banyak dilakukan berhubungan dengan pengapalan produksi senjata-senjata legal secara langsung menuju dan melalui negara-negara terlarang. Anggota panel PBB yang memberikan sanksi terhadap Angola dan Liberia berhasil menemukan sejumlah pelanggaran atas embargo senjata, baik oleh para negara pemasok maupun pihak yang memperbolehkan senjata-senjata ini diangkut melalui wilayah mereka. Petugas pemerintah menerima suapan sebagai ganti ijin ekspor bagi kelompok-kelompok tertentu termasuk juga layanan-layanan lainnya. Membayar ‘uang pelicin’ sudah menjadi suatu kebiasaan di negara-negara dimana para petugas pemerintah menerima gaji yang kecil bahkan di luar upah standart.

2. Rendahnya pemasokan dalam sistem pemasokan (stockpile) dan manajemen mengakibatkan persenjataan milik pemerintah menjadi       

30

Rachel Stohl, The Tangled Web of Illicit Arms Trafficking.


(45)

3. Persenjataan milik negara dapat dijarah selama masa ketidakstabilan berlangsung. Sebagai contoh, pada tahun 1997, lebih dari setengah juta senjata dicuri dari persenjataan militer Albania. Senjata-senjata ini dengan cepat menyebar sampai melewati Balkan.

4. Senjata-senjata ini hilang begitu saja dari tangan para prajurit. Dari Amerika Serikat sampai Filipina, senjata-senjata ini secara kebetulan berpindah tempat dan tidak terhitung. Diperkirakan satu juta senjata jenis SALW hilang dan terbesar di seluruh dunia setiap tahunnya dan seringkali berakhir di pasar gelap.

5. Para petugas militer (prajurit) bisa saja menjual senjata milik mereka untuk mendapatkan uang. Di negara-negara dimana prajuritnya tidak dibayar dengan pantas, terdapat kelebihan senjata yang belum dikumpulkan dari stok militer, atau prajurit yang merasa simpati terhadap kelompok pemberontak, senjata bisa saja dijual untuk sejumlah uang. Beberapa dokumen menunjukkkan kasus dimana petugas-petugas militer Israel menjual senjata


(46)

6. Senjata-senjata ini juga sering kali dicuri dari pemilik legal sekaligus juga pemilik illegal. Pemilik-pemilik senjata ini merupakan sasaran empuk bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan senjata secepat mungkin. Perampokan senjata dalam skala kecil saja mampu memasukkan senjata senilai setengah juta US dollar ke dalam pasar gelap setiap tahunnya.

7. Hukum (peraturan) pembelian domestik memfasilitasi masuknya SALW ke dalam pasar gelap. Di negara-negara dimana tidak ada batasan tentang berapa banyak senjata yang bisa dimiliki oleh seseorang secara legal pada saat yang sama, fenomena ‘straw purchasing’ menjadi sebuah sesuatu hal yang umum terjadi. Masing individual dapat membeli sejumlah senjata pada satu waktu dan dapat menjualnya kembali secara illegal, atau membawa senjata-senjata ini melewati batas-batas internasional untuk kemudian dijual di negara-negara dimana peraturan tentang senjata lebih ketat. Teknik ini biasa terlihat di Amerika Serikat, Meksiko dan Kanada.

Inti persoalan dalam isu ini ialah perdagangan global SALW yang terus meningkat dan secara umum tidak mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tidak terdapatnya aturan standar yang dapat diterima secara universal dan mengikat secara hukum yang memampukan setiap negara untuk mencegah


(47)

perdagangan senjata illegal. Kewajiban untuk mengontrol perdagangan senjata terletak pada pemerintah yang dituntut baik dari segi niat baik maupun kemampuan untuk beraksi dalam level pemerintahan jika peraturan yang efektif harus ditetapkan. Rejim ekspor dalam level nasional sering kali menunjukan kekurangan akibat celah-celah peraturan yang mengijinkan transfer kepada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab atau kurangnya hukum terkait dengan larangan perdagangan senjata.

Perjanjian-perjanjian regional yang mencakup perdagangan senjata berlisensi, seperti European Union Code of Conduct on Arms Export hanya dapat memberikan rekomendasi kepada masing-masing pemerintah. EU Code hanya menyarankan kriteria yang tepat bagi negara yang telah menandatangani perjanjian tersebuit untuk mempertimbangkan tindakan mereka saat memberikan jaminan lisensi ekspor kepada pengusaha senjata, tetapi gagal untuk mencegah bentuk transfer yang berakhir di tangan para pelanggar HAM. Kesepakatan dan perjanjian internasional yang ada hanya meminta pemerintah beraksi untuk mengawasi transfer senjata di masa mendatang agar tidak keluar kontrol dan

mengajukan pengawasan terhadap senjata yang sudah terlanjur menyebar di pasaran. Sebuah aspek penting dan krusial dalam menangani perdagangan

senjata illegal harus mencakup pemberantasan atau paling tiak mereduksi permintaan akan senjata.

Perkembangan yang terjadi selama dasawarsa 1900an mendorong masyarakat internasional untuk meninjau kembali rezim pelucutan dan pengawasan senjata, dan ini memungkinkan muculnya isu SALW sebagai


(48)

masalah kebikajan multilateral. Adanya perubahan yang paling signifikan ialah perubahan dalam matriks konflik selama masa Perang Dingin dimana konfik internal dan komunal mulai memiliki profil yang lebih tinggi dibandingkan dengan konflik antar negara. Konflik komunal bukanlah gejala yang sama sekali baru, tetapi karena profil mereka yang semakin meningkat berarti perhatian yang lebih besar harus diberikan kepada persoalan SALW ini. Selain itu, perdagangan global yang semakin bebas dan konsekuensinya berupa menurunnya pengawasan oleh Pabean serta perkembangan cara-cara untuk menutupi perdagangan internasional illegal seperti melalui pencucian uang telah membuka peluang besar bagi lalu lintas senjata sebagai komoditas yang menguntungkan.

C. Aktor-aktor dalam Perdangan Senjata Ilegal

1. SALW dan Aktor Non Negara (Insurgent/Armed/Rebel/Groups)

Kelompok etnis (insuregent groups) terbentuk dari sejumlah actor, struktur, dan tujuan yang berbeda. Suatu kelompok yang terlibat dalam konflik internal, mungkin saja memiliki tujuan untuk mendaptkan otonomi atas sesuatu bagian wilayah di kawasan sebuah Negara, ketika kelompok yang lainnya memiliki tujuan untuk mengmbil alih pemerintahan secara keseluruhan atau membentuk pemerintah yang baru. Atau kelompok lain hanya ingin mendapatkan bagian yang lebih lebar dan alokasi sumber daya dari pemerintah. Sementara di sisi lain, kelompok pemberontak ini bahkan hanya bergerilya melawan pemerintah demi kepentingan finansial, seperti penghidupan yang lebih layak. Akan tetapi pada umumnya kelompok-kelompok ini bergerilya melawan pemerintah demi


(49)

kepentingan konflik dimana mereka berusaha untuk menjatuhkan pemerintah yang ada dan memperoleh otonomi.31

Dalam memahami keberadan insurgent groups perlu dipertanyakan beberapa informasi umum yang hampir sama di seluruh insurgent groups yang pernah ada misalnya : 1) profil politik kelompok, termasuk sejarah, ideologi, dan para sekutu mereka, 2) kemampuan militer, termasuk ukuran pasti tentang senjata, pengaruh geografis wilayah, kontrol di medan pertempuran, dan tingkat pelatihan kepada para anggota.3) tingkat dasar dukungan yang mereka miliki, termasuk batasan-batasan etnis dan kondisi geografis terhadap bantuan yang datang, 4) aktivitas ekonomi, termasuk bantuan dana asing, seperti dari Negara-negara tetangga, juga dari perdagangan obat-obatan illegal, perdagangan manusia, sampai kepada pemerasan.32 Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat memberikan beberapa indikasi sebelumnya akan kesempatan dan desakan akan adanya perjanjian dan kewajiban politik seperti yang diusulkan dalam tabel di bawah ini.

Dengan menganalisis informasi-informasi tersebut, maka faktor-faktor tersebut akan memainkan peranan penting dalam melihat strategi masing-masing kelompok dan sikap mereka terhadap adanya perjanjian politik (political engagement). Tidak hanya itu, kita juga dapat memprediksi bagaimana sikap mereka nantinya pada saat terjadi konflik aktif, apakah mereka tipe kelompok yang bersedia untuk       

31

Hamis K.Wall, the DInamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencies

http://se2.isn.ch/serviceengine/FileContent?serviceID=ESDP&fileid=0A8A6552-6BB9-F5F10AF2-16A794839ADB&Ingf=en,diakses pada tanggal 25 Agustus 2009

32

Sue Williams dan Rob Ricigliano, Understanding Armed Groups. 2005

http://www.c-r.org/our-work/accrod/engaging-groups/understanding-armed-groups.php, diakse pada tanggal 18 Agustus 2009.


(50)

bernegosiasi dengan pemerintah atau tidak, apakah nantinya kelompok ini akan menyebabkan jatuhnya banyak korban, apakah mereka jumlah mereka akan terus menerus berkembang, serta seperti apakah jenis tujuan dan prioritas mereka dalam menginterpretasikan mereka ke depannya.

Tabel 1. Negative and Positive Indicator of ANalysing Non – State Actors Negative Indicators

Indicators Positive Political Power

- Disregard for rule of law and elections

- Political assassinations - Intolerant of

- Are or have been in political power

- Respect riles of law, provide services

- Have political institutions, agenda, candidates

- Territory - Engage in ethnic cleansing,

destruction or

- Have or territory or control over it

- Hold territory over time

- Set up system within the territory - Allow freedom of movement Social and economic support

- Isolate themselves from wider society

- Derive substansial profit from the war economy

- Enjoy support of public constituency

- See settlement of conflict as delivering economic benefits to


(51)

Use of military force - Indicrimante, high cilivialn casualty

- No or litet egfecit - Comman dan dontorl - Tropps undisplined

- Tropps, force use dt sutanin olegal acitit

- Poesse without necessarily using force

- Observe humaitarin law, proper treatment of civilians

- Troops disciplined

Sumber : Sue Williams and Rob Ricligliano, Understanding armed groups, 2005 http://www.c-r.org/our-work/accord/engaging-groups/understanding-armed-groups.php

Sumber dana yang diterima oleh kelompok non negara ini ketika terlibat dalam konflik internal sangat penting guna memampukan mereka untuk ambil bagian dalam konflik bersenjata. Ditekankan oleh Klare bahwa : whaterver the original motivation for the estabilsihment of a particular paramilitary

organization. It must find some way of generating operating funds.33 Klare memperlihatkan bahwa ketika kelompok-kelompok ini mencoba untuk

mencari sumber dana bagi kebutuhan senjata dan komoditas militer lainnya,

      

33

Michael T. Klare, The Deadly Connection, Paramilitary Bands, Small Arms Diffusion,

and State Failure. Dalam buku When States Fail : Causes and Consequences, Robert I. I Rotberg


(52)

they morph into predatory organizations.”34 Hal ini dapat menimbulkan masalah yang lebih lanjut dalam lingkaran konflik ketika para pemimpin kelompok ini terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan untuk memperkaya diri sendiri, so will both seek to increase their illicit gain and to resist effort by outside parties to mediate or terminate the conflict”35

Kelompok etnis pemberontak dalam kondisi konflik internal memiliki dampak yang besar dalam perdagangan senjata, terutama senjata-senjata yang beredar melalui jalur illegal. Menurut Capie, terdapat tiga alasan mengapa aktor non negara menimbulkan perhatian besar dalam konteks SALW. Pertama, aktor non negara merupakan peserta aktif dan penting dalam perdagangan senjata dan amunisi. Kedua, dalam konflik internal merek merupakan faktor-faktor poltik dan militer penting. Ketiga, komunitas internasional terpukul dengan adanya isu penggunaan SALW oleh aktor-aktor non Negara, sebagian besar berkaitan dengan pelanggaran HAM.36 Berikut termasuk salah satu contoh dari sekian banyak kelompok bersenjata (armed groups/insurgent groups) yang memiliki peran besar dalam perdagangan dan perdagangan dan peredaran SALW illegal di negarannya.

Lord Resistance Army (LRA) merupakan kelompok bersenjata (insurgent armed groups) yang pola perolehan senjata oleh pasukannya mencontohkan penularan efek kelompok bersenjata, proxy wars, dan transfer senjata yang berdampak luas. Pengaruh mereka meluas di wilayah Sudan dan       

34

Ibid.Michael T. Klare. Hal 120 35

Ibid.Michael T. Klare. hal 121 36

Hamish K.Wall, the Dinamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencies

http://se2.isn.ch/serviceengine/FileContenct?serviceID=ESDP&Fileid=0A8A6552-6bb9-f5f10af2-16a794839adb&iNG=en,diakses pada tanggal 25 Agustus 2009


(53)

bagian lain di Tanduk Arfika. Berasal dari Uganda tapi kemudian berpindah ke Sudan Selatan dan DRC, LRA sendiri yang mengatur soal sumber, pemeliharaan, dan penyediaan sejumlah besar arsenal, yang dirangsang dan merangsang perlombaan senjata antara musuhnya dan juga penduduk lokal.37 Sehinga dapat dilihat bahwa LRA merupakan kelompok-kelmpok pemberontak bersenjata yang besar dan kuat, memiliki sumber-sumber persenjaaan yang lebih dari cukup serta memiliki akses terhadap senjata yang mengaitkan keberadaan SALW di beberapa negara di kawsan Afrika.

LRA sudah terkenal memiliki dan menggunakan SALW dalam skala besar, termasuk AK – 47, Type 81/RPK light machine guns, PKM light machine guns, rocket-propelled grenades (RPGs), B 10 s dan anti aircraft wepons, dan juga banyak persedian amunisi yang terkubur di sepanjang utara Uganda dan selatan Sudan. Di Sudan, kelompok ini biasanya bertempat tinggal di wilayah bagian Barat dan Utara Equatoria. Walaupun muatan-muatannya sulit untuk dibuktikan, Uganda People’s Defence Force (UPDF) mengacu pada pengukuran stok senjata dan amunisi milik LRA.38

Tindakan yang dilakukan LRA dan UPDF mengakibatkan penyebaran

senjata bagi komunitas lokal. Selama masa konflik yang melibatkan LRA – UPDF/NRA (National Resistance Army) dari 1986 sampai sekarang, kedua kelompok ini membayar informal lokal dengan senjata dan amunisi.

Sementara itu, anggota kelompok yang setia akan menyimpan kembali dan       

37

James Bevan, Small Arms and Ammunition Production in Sudan. Unpublished background paper. Geneva : Small Arms Survey. 2007

38


(54)

selanjutnya memberikan senjata tersebut kepada sejumlah anggota kelompok bersenjata. Tidak hanya itu, tentara pemerintah yang memiliki upah rendah juga seringkali menjual senjata mereka kepada kelompok-kelompok ini. Kehadiran UPDF di Sudan Selatan merupakan faktor pendorong bagi warga sipil untuk mempersenjatai diri. Senjata-senjata ini kemudian berada di tangan warga desa di sepanjang Kenya, Uganda, dan perbatasan Sudan.

Pasar gelap sebagai pendapatan utama kelompok ini datang dari Ethiopia, Somalia, dan juga Uganda. GoS-held Torit di Utara Equatoria merupakan sumber senjata utama bagi LRA. Rute Transfer melewati utara Nimule. Sementara itu, kelompok pemberontak dari utara Equqatoria dilaporka juga berhasil meningkatkan perdagangan senjata gelap dari Kenya dan Somalia menuju Uganda.39

2. SALW dan Broker Senjata Ilegal

Semasa Perang Dingin berlangsung, pemerintah-pemerintah memanfaatkan pialang senjata swasta untuk memfasilitasi perjanjian dagang senjata tertutup

(rahasia). Namun sepetinya para penjual senjaga ilegal (arms trafficksers) itu tidak hilang begitu saja setelah perang Dingin berakhir, dan jalur (jaringan)

yang mereka kembangkan tetap beroperasi sampai saat ini. Sebagai tambahan lebih dari 15 tahun terakhir ini, pasar gelap dunia sama halnya pasar legal telah meningkat secara global. Dan sebagaimana sejumlah metode transportasi

barang-barang dari satu tempat ke tempat lain telah semakin terintegrasi,

      

39

Mareike Schonukerus, Armed Groups is Sudan: The Lord’s Resistance Army. HSBA Working Paper. Geneva : Small Arms.Survey. Forthcomign. 2007


(55)

para pedagang gelap ini menjadi cukup mahir dalam memanfaatkan jaringan yang ada untuk tujuan-tujuan ilegal.

Dalam usaha untuk mengangkut produk mereka tanpa deteksi pihak berwenang, para pialang ini begantung pada courterfiet document (dokumen yang memiliki kekuatan hukum diperoleh dari hasil penyuapan) dan petugas yang korupsi. Mereka mengangkut senjata-senjata tersebut mengguankan dokumen tadi (seperti sertifikat palsu yang sudah habis masa berlakunya, daftar cargo yang belum lengkap, dan bills of lading) dan menjalankan proses pengangktuan (baisanya mengguankan kalap) ke berbagai negara seperti layaknya kapal biasa. Mereka bahkan seringkali menyamarkan pengapalan senajga-senjata tersebut sebagai bantuan kemanusiaan dan suplai barang-barang lainnya.40

Para ahli yakin, bahwa hari-hari dimana hanya prajurit veteran, mantan eksekutif perusahaan senjata, mantan intel, atau bahkan jurnalis (wartawan) perang saja yang dinamakan broker senjata telah lewat masanya. Sekarang muncul generasi muda dearler senjata yang menghabiskan seluruh hidup mereka mempelajari dan memahami bagian tersulit dari metode-metode pasar bebas dan memakai teknologi-teknologi terbaru.

Persoalan menyangkut kurangnya regulasi terhadap penjualan senjata termasuk kosnistensi pelaksanaanya terlihat sangat jelas. Para broker senjata-senjata ini diketahui telah banyak melalukan transaksi dan transfer senjata ilegal kepada para aktor yang berada di daerah konflik ataupun di daerah yang terkena embargo senjata. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjalin hubungan dagang       

40

Rachel Stohl, The Tangled Web of Illicit Arms


(56)

dengn pelanggar berat HAM. Proses transfer senjata dan amunisi yang dilakukan secara ilegal yang pada umumnya berada pada kategori senjata ringan kaliber kecil atau SALW ini tidak hanya dapat menciptakan pelanggaran besar-besaran terhadap Hak Asasi Manusia dan International Humanitarian Law, tetapi juga dapat menghambat prospek terciptanya kondisi damai yang stabil dari konflik dan pembangunan berkelanjutan. Ketidakadaan kontrol yang ketat terkait dengan peraturan-peraturan yang berlaku selama ini membuat tanggungjawab atas pengaturan dan fasilitas transfer senjata menjadi lebih sulit.

Secara umum, arms brokers dapat diartikan sebagai pihak penengah yang mengatur proses transfer senjata antara dua atau lebih pihak. Intinya, para broker ini menyatukan para pembeli, penjual, transporter, pihak keuangan dan asuransi untuk membuat sebuah perjanjian dagang.41 Lebih khusus lagi, broker menunjukkan tujuah aktivitas utama untuk memfasiliasi perjanjian dagang, termasuk42

1) Prospecting, mengidentifikasi pembeli dan penjual yang potensial

2) Menawarkan saran/petunjuk secara teknis, misalnya dalam hal sistem senjata, bentuk transportasi, dan general features dan perjanjian dagang tadi 3) Sourcing, merupakan proses identifikasi tipe dan kuantitas dari senjata

yang dibutuhkan, termasuk soal harga dan cara pembayaran 4) Proses mediasi dan negoisasi

      

41

ARMS BROKERING : TAKING STOCK &MOVING FORWARD THE UNITED NATIONS PROCESS http://www.publications.eu/pub/rapports/rg05-hs courtage.pdf diakses pada tanggal 25 Agustus 2009

42

Small Arms Survey 2001 : Profiling the Problem. Chapter Summary. A Project

of the Graduate Institue of International Studies, Geneva Oxford University Press http://www.smallsurvey.hal.100,diakses pada tanggal 25 Agustus 2009


(57)

5) Menyusun sistematika keuangan bagi terealisasinya transaksi-transaksi yang relevan

6) Menyiapkan dokumen yang dibutuhkan, termasuk serifikat pengguna terakhir dan ekspor-impor

7) Mengatur transportasi dari senjata yang telah dipesan

Aktivitas-aktivitas ini seara umum dibagi dalam 2 kategori utama. Di kategori pertama, terkenal dengan core brokering acitivy yakni mediasi

perjanjian penjualan dan pembelian senjata dimana para broker ini bisa masuk atau tidak ke dalam pemilikan langsung senjata-senjata yang mereka jual, walaupun seringkali mereka lebih memilih untuk tidak masuk dalam wilayah pemilikan senjata-senjata tersebut. Di kategori kedua disebut dengan associated activities termasuk di antaranya transportasi, keuangan, asuransi, dan pengadaan layanan teknis. Patut dicatat bahwa ketika sampai pada level kebijakan, perbedaan mencolok antara core brokering acitivies, dengan associated brokering acitivies bisa jadi tidak sesuai kepada perbedaan aktivitas-aktivitas para broker tersebut. Dalam hal ini, pengawasan pedagangan yang relevan harus dibawa ke dalam ruang lingkup yang lebih besar guna mencegah agen-agen ilegal ini memanfaatkan celah hukum yang tercipta oleh pengertian restriktif dari aktivitas

yang terkontrol. Jika melihat keseluruhan aktivitas yang dijalankan para broker ini, maka dapat disimpulkan bahwa mereka secara umum tidak terjangkau

oleh hukum yuridis nasional.

Berkebalikan dengan aktor penting lainnya dalam perdagangan senjata, seperti para importer dan eksporter, broker beroperasi di wilayah hampa hukum


(58)

yang dapat, dan telah dimanfaat untuk menampilkan transfer senjata kepada pengguna ilegal.43 Para pengguna ini sudah termasuk negara-negara di bawah sanksi embargo nasional dan internasional, aktor-aktor non negara bersenjata, negara-negara yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM dan standar hukum kemanusiaan, seperti halnya dengan penerima senjata di wilayah rawan konflik.

Sebuah argumen yang sering disuarakan dalam forum-forum diskusi

internasional menyatakan bahwa kontrol (pengawasan) terhadap aktivitas para broker ini tidak diperlukan, karena aktivitas yang dirancang (di desain) untuk mengontrol para broker ini secara implisit telah termasuk dalam peraturan ekspor senjata.

Para broker ini, ternyata sangat bergantung penuh pada perjanjian yang disebut dengan third coutnry brkering deals. Dalam perjanjian-perjanjian dagang ini, senjata yang telah ditransfer tidak dieskpor, diimpor atau ditransit melalui negara tempat para broker ini beroperasi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, senjata yang ditransfer tidak perlu memasuki wilayah kepemilikan senjata broker-broker.44

Sebagai konsekuensinya, bahkan jika negara-negara mampu melakukan kontrol secara ketat terhadap transfer SALW yang melewati wilayah atau kepemilikan personal di bawah jurisdiksi mereka, broker-broker ini pada umumnya tidak akan dititupi oleh regulasi terkait. Bahkan sebenarnya, celah ini       

43

Asumsi ini dibuat berdasarkan penelitian baik oleh IGOs (International Govermental Organization) maupun NGOs (Nn – Govermental Organization) yan diperlihatkan selama satu decade terakhir. Ibid. Small Arm Survey 2001

44

ARMS BROKERING : TAKING STOCK & MOVING FORWARD THE UNITED NATIONS PROCESS.http://www.grip-pubclications.eu/pub/rapports/rg05-hs_courtage.pdf hal 9, diakses pada tanggal 25 agustus 2009


(1)

Guitierrez, E., & Borras, S (2004). The Moro Conflict : Landlessness and Misdirected State Policies. Tersedia di

http://www.eastwestcenterwashington.org Gun Violence: The Global Crisis. Tersedia di

http://www.iansa.org/un/documents/GlobalCrisis07.pdf

Hamish, K Wall. The Dinamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencie. Tersedia di

http://se2.isn.ch/serviceengine/FileContent?serviceID=ESDP&fileid=0A8 A6552-69-F5F1-0AF2-16A794839ADB&Ing=en

Hong Kong AFP (1999). Philipine Muslim Rebels Await Afghan Arms Shipment. Tersedia di http://www.nisat.org

Human Rights Watch Repots (2003). The Warri crist: Fuelling violence, Tersedia di http://www.hrw.org/reports / 2003/nigeria 1103/7.htm

In the Line of Fire: A Gender Perspective on Small Arms Proliferation, Peace Building and Conflict Resolution. Tersedia di

http://www.reachingngerticalwill.org/sicial/genderdisarm/SMALLARMS.pdf Integrated Regional Information Network (2005). Focus on the dangers of

crossborder crime. Tersedia di www.irinnews.org

International Action Network on Small Arms. Reviewing Action on Small Arms 2006: Assesing the First Five Years of The UN Program of Action by Biting the Bullet. Tersedia di http;//www.international-


(2)

Inter-Parliementary Union – First Standing Committee Peace and International Security. ‘The Role of Parliamentarians in Strengthening the Control of Trafficking in Small Arms and Light Weapons and their Ammunition. Tersedia di http://www.ipu.org/confe/114/1Cmt-dr-rpt.doc

Jinakul, S (2004). Thai Writer Liks Problems in South With Gun-Running, Aceh Rebel. Tersedia di www.thebangkokpost.com

Kearney, M (2001). Arms Trade Thrives on Corruption. Terdapat di www.straitstimes.asial.com.sg

Khakee, A. (2005). Gun culture in Nigeria: Removing small arms and increasing safety in the Niger-Delta region, in Disarmament, non-proliferation and arms control. Geneva, Switzerland, United Nations Mandated University for Peace. Tersedia di

www.student.upeace.org/career/papers/IPs%20(smallarms).doc

Klare, Michael T (2001). Curbing the Illicit Trade in Small Arms : A Practical Routee. Tersedia di http://usinfo.state.gov/journals.

Kompas, 20 Mei 2002. Tersedia di http://www.kompascybermedia.com

Kramer, K (2003). Southeast Asia, Illicit Arms and Light Weapons. Tersedia di www.nonviolenceinternational.com

Krause, K (1998). The Challenge of Small Arms and Light Weapons. Tersedia di http://www.isn.ethz.ch

Ma, Torres T (2004). Government MILF agree to go after Criminals, Terrorist. Tersedia di http://www.manilatimes.net


(3)

Makki, S., Meek, S., & Musah, Fatau A., Crowley, M., & Lilly D. Private Military Companies and the Proliferation of Samll Ars: Regulating the Actors. Tersedia di

http://smallarmssurvey.org/files/sas/publications/year_b_pdf/2007/CH220 Stocpiles.pdf

Media Indonesia, 22 Mei 2002. Tersedia di http://www.mediaindonesia.com Muggah, R., & Batchelor, P (2002). Development Held Hostage: Assessing the

Effects of Small Arms on Human Development. Tersedia di

http://www.undp.org/cpr/documents/sa_control/development_held_hostange.pdf National Report by the Government of Indonesia on the Implementation of

The United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons. Tersedia di

http://disarmament.un.org/cab/nationalreports/2005/indonesia.pdf

National Report of the Kingdom of Thailand on the Implementation of The 2001 United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects (2005). Tersedia di

http://disarmament.un.org/cab/nationalreports/2005/Thailand%20National %20Report%20Second%20Biennial%2005-rev.pdf

New York: UN (2001). Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Samll Arms and Light Weapons in All Its Aspects. Tersedia di http://disarmament2.un.org/cab/poa.html


(4)

http://www.nonviolenceinternational.net/seasia/index

Nurul Hidayati (2006). Sindikat WNI yang ditangkap di AS Juga Jual Senjata untuk TNI. Tersedia di

http://jkt.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/10/tgl/01/ time/152654/idnews/686699/idkanal/10

Pézard, S., & Florquin, N (2007). Small Arms in Burundi Disarming the Civilian Population in Peacetime. Tersedia di

http://www.smallarmssurvey.org/files/sas/publications/spe_reports_pfd/ 2007_sr7_burundi.eng.pdf

Philippine Daily Inquirer (1999). Philippine Muslim Rebels Admit Having Firearms Factor. Tersedia di http://www.nisat.org

Project Ploughshares Intitute of Peace and Conflist Studies (2004). Armed Conflict Report- Indonesia-Aceh. Tersedia di

http://www.ploughshares.ca/content

Quilop, Raymund J.G (2002). The Unaesy and Costly Road to Peace in Mindanao Panorama 3/200. Tersedia di http://www.kas-asia.org/publication.htm Report of the Republic of the Philippines on the Implementation of the United

Nations Program of Action (UN PoA) to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons (SALW) in All Its Aspect (2005). Tersedia di

http://disarmament.un.org/cab/nationalreports/2006/philippines.pdf Report on Disarmament Commision of the UN. Tersedia di


(5)

Resolving Small Arms Proliferation. Tersedia di

http://www.saferafrica.org/DocumentsCentre/Monographs/RSAP/RSAP.pdf

Ross, Michael L (2003). How Do Natural Resources Influence Civil War? A Medium-N Analysis. Tersedia di http://www.polisci.ucla.edu

Schulze, Kirsten (2004). The Free Aceh Movement (GAM) : Anatomy of a Separatist Organization. Tersedia di

http://www.eastwestcenterwashington.org

Sejata Merebak. Siapa yang Tanggung (2003). Tersedia di

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/01/0516.html Small Arms Survey 2001: Profiling the Problem

Small Arms Survey 2005: Sourcing the Tools of War Small Arms Survey 2007: Guns and the City

Tersedia di http://www.smallarmssurvey.org

Stohl, R. The Tangled Web of Illicit Arms Trafficking. Tersedia di http://www.cdi.org/pdfs/terrorinhadows-stohl.pdf

The Jakarta Post Daily, 10 April 2003. Tersedia di http://www.thejakartapost.com Weiss, T (2003). A Demand-side Approach to Fighting Small Arms Proliferation.

Tersedia di http://www.iss.co.za/ASR/12No2/F1.html

Wezeman, Pieter D (2003). Conflict and Transfer of Small Arms. Tersedia di http://www.sipri.org

WGWR Achievements. Tersedia di http://www.wgwr.org/achiev.htm


(6)

http://www.c-r.org/our-work/accord /engaging-groups/understanding-armed-groups.php

WNI Terlibat Mafia Senjata Disesalkan (2006). Tersedia di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0610/02/sh03.html

Yamin, K (2000). Clandestine Gun Trade Thrives in Indonesia. Tersedia di http://www.asiatimes.com