Peranan Senjata Ilegal dalam Intra-state Konflik

tetapi juga karena perbatasan negara-negara ini yang tergolong rentan terhadap penyelundupan dan transfer ilegal. Transfer senjata menciptakan dampak dan pengaruh bagi perang sipil di kawasan. Durasi perang sipil di Asia Tenggara menjadi lebih panjang, proliferasi SALW pun semakin meningkat dan tentu saja, penggunaan senjata-senjata ini dalam internal konflik menjadi sebuah kebiasaan dan bahkan budaya. Melacak transfer senjata ilegal kepada kelompok pemberontak merupakan salah satu cara untuk memerangi dan mencegah suplai kepada aktor-aktor non-negara, walaupun tentu saja tidak mudah untuk menemukan data yang dengan tepat menjelaskan setiap bentuk kegiatan transfer senjata ke seluruh penjuru wilayah di kawasan ini. Melacak transfer senjata ilegal kepada kelompok pemberontak juga menekankan aliran arus internal dan eksternal dari bantuan logistik yang dapat diraih kelompok-kelompok ini. Bantuan internal dan eksternal termasuk pendanaan dan juga bantuan militer. 91 Untuk lebih jelasnya mengenai aktivitas transfer ilegal SALW ke wilayah Asia Tenggara, dapat dilihat dari masing-masing studi kasus di bawah ini.

C. Peranan Senjata Ilegal dalam Intra-state Konflik

Insurgent Groups di Asia Tenggara III.3.1. Indonesia Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.506 pulau dengan garis pantai yang sangat panjang sekitar 81 km dan 8.000.000 km 2 91 Ibid. Hamish K. Wall, hal 11. Universitas Sumatera Utara daerah perairan dan memiliki sejumlah besar area yang sangat sulit untuk diawasi dan dikendalikan yang dapat dimanfaatkan dengan mudah sebagai titik masuk bagi para penyelundup. Dengan keadaan geografi seperti ini, Indonesia sangat rentan dan rawan terhadap isu penyelundupan SALW. 92 Penyelundupan senjata selama ini dilakukan oleh para teroris, broker, penjahat-penjahat trans-nasional dan kelompok-kelompok tertentu. Mereka menyelundupkan senjata ini dan bahan peledak lainnya dalam jumlah besar dari Selatan Filipina dan Malaysia melalui General Santos, Tawi-tawi, Sandakan, Tawau, Nunukan dan Palu. Investigasi terhadap kasus pemboman Christmas Island pada tahun 2000 memunculkan bahwa para pelaku kejahatan ini menggunakan rute lain, yakni dari Johor, Tanjung Pinang dan Batam. 93 Beberapa kelompok lainnya juga ikut terlibat dalam penyelundupan senjata dengan maksud menggunakan senjata ini di daerah konflik seperti Aceh dan pada perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Hal ini merupakan hasil dari dijalankannya investigasi dan interogasi dalam kerjasama dengan pihak-pihak berwenang di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Oleh karena itu, di Indonesia penyelundupan SALW menghadirkan ancaman yang besar bagi kesatuan wilayah Indonesia dengan memelihara gerakan-gerakan separatis dan mempromosikan budaya kriminal di masyarakat. Karenanya, sirkulasi SALW ilegal tidak lagi dapat dibiarkan. Sebab dapat 92 National Report by the Government of Indonesia on the Implementation of The United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons. Hal.1 Lihat http:disarmament.un.orgcabnationalreports2005Indonesia.pdf 93 Ibid. Hal 1. Universitas Sumatera Utara mengganggu kepentingan-kepentingan nasional, bahkan stabilitas internal di Indonesia. 94 Pada sub-sub bab berikut akan dibahas bagaimana peran peredaran dan perdagangan SALW ilegal di beberapa wilayah konflik di Indonesia yang dipelopori dan didalangi oleh pihak-pihak tertentu, khususnya kelompok separatis di masing-masing wilayah tersebut. III.3.1.1. Gerakan Aceh Merdeka Gerakan Aceh Merdeka pertama dibentuk oleh Hasan di Tiro tahun 1976 sebagai respon terhadap ketidakadilan yang dihadapi orang-orang Aceh terkait dengan tekanan yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Pasukan GAM sebelumnya dipimpin oleh Abdullah Syafi’i sampai kemudian beliau meninggal dunia pada Januari 2002. Gerakan ini merupakan pemberontakan kedua yang dihadapi pemerintah setelah pemberontakan kelompok yang dipimpin oleh Daud Beureueh. Perbedaan mendasar antara kedua gerakan pemberontakan ini ialah kelompok Beureueh menghendaki transformasi NKRI menjadi negara Islam, sementara di Tiro hanya mencari kemerdekaan bagi Aceh. Ideologi GAM berdasarkan upaya untuk membebaskan Aceh dari kontrol politik rejim di Jakarta dengan asumsi bahwa Aceh tidak secara sukarela masuk ke dalam wilayah NKRI pada tahun 1945 melainkan bergabung secara ilegal. 95 Hasan di Tiro yakin jika Aceh bisa menjadi negara merdeka, maka bantuan asing akan lebih besar sebagaimana pemerintahan-pemerintahan asing tidak akan terganggu lagi dengan 94 Ibid. Hal 1. 95 Kirsten E Schulze, The Free Aceh Movement GAM : Anatomy of a Separatist Organization. Policy Studiest2. lihat: www.eastwestcenterwashington.org . 2004 Universitas Sumatera Utara urusan dalam negeri Indonesia. 96 Sejak tahun 1979, kekuatan pemberontak ini nyaris dimusnahkan oleh TNI, akan tetapi berlanjutnya pelecehan Hak Asasi Manusia dan penyeringan sumber daya dari wilayah Aceh oleh pemerintah mengarah pada mencetusnya konflik bersenjata tahun 1989. Pada saat pemberontakan Aceh mengangkat isu Islam, akan tetapi terdapat juga isu sejarah, nasionalisme, dan faktor ekonomi di dalamnya. Keseluruhan faktor ini memberikan kontribusi bagi meningkatnya kesulitan untuk mengakhiri konflik ini. 97 Mei 2003, petugas pemerintah memperkirakan GAM memiliki sedikitnya 5200 anggota, dengan strategi militer yang berfokus pada target ekonomi dan politik, yang bertujuan untuk mempengaruhi pemerintahan daerah Aceh. 98 Sementara itu, perkiraan lain memunculkan angka 15.000-27.000 anggota. 99 Menurut ISS Armed Conflict Database, GAM menekankan pada tiga isu utama untuk menggalang dukungan di antara penduduk Aceh, yakni persoalan ekonomi, transmigrasi penduduk etnis Jawa, dan perasaan tidak senang tentang kehadiran unit keamanan di wilayah Aceh. 100 Walaupun GAM berhasil menaikkan kekuatan militernya, akan tetapi tetap saja tidak berimbang dengan kekuatan yang dimiliki pasukan militer pemerintah. Walaupun begitu, terus menggalang dukungan dari masyarakat sekitar dengan cara mengangkat 96 Nazarudin Sjamsuddin. Issues and Politics of Regionalism in Indonesia ; Evaluating the Acehnese Experience. Dalam buku Armed Separatism in Southeast Asia, Jook-joo, Lim dan Vani S eds. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore 1984 97 Andrew Tan, Armed Rebellion in The ASEAN State Presistence and Implication. Dalam Camberra Papers on Strategy and Defence, no.135, Strategic And Defence Studies Center. ANU, Canberra. 2000 98 http:acd.iiss.org 99 International Crisis Group, Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, ICG Asia Report No.17. 12 Juni 2001. 100 http:acd.iiss.org Universitas Sumatera Utara isu-isu sensitif yang terjadi akhir-akhir ini, akan mejadikan GAM sebagai ancaman keamanan nasional yang cukup potensial. Di bawah pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri, pertemuan damai dimulai kembali dengan para pemimpin GAM tahun 2001 setelah pertemuan damai sebelumnya tidak berhasil dijalankan tahun 2000. Akan tetapi Megawati hanya menawarkan otonomi terbatas dalam kesepakatan damai tersebut sehingga konflik kembali dimulai Oktober 2001. Perjanjian damai pernah ditandatangani Desember 2002 yang memberikan Aceh otonomi yang lebih luas, akan tetapi sekali lagi, proses damai ini terhenti April 2003 saat para pemimpin GAM menolak menerima otonomi tersebut sebagai ganti kemerdekaan. 101 Lebih lanjut, kedua pihak gagal mematuhi kesepakatan. Pasukan pemberontak tidak bersedia dilucuti senjatanya dan pasukan keamanan Indonesia gagal menarik kembali posisi pertahanannya. 102 Hal ini memaksa pemerintah untuk mengumumkan aturan militer di provinsi ini. Setelah terjadinya Tsunami yang sempat meluluh lantakkan Aceh, Presiden Yudhoyono mengajak anggota GAM untuk meletakkan senjata mereka dan ikut terlibat dalam upaya untuk membangun Aceh kembali. Desember 2004, Yudhoyono memerintahkan untuk sementara waktu menghentikan operasi-operasi yang bersifat ofensif terhadap GAM dan mengkonsentrasikan TNI pada operasi-operasi kemanusiaan. Hal ini menghasilkan kesepakatan damai antara kedua pihak, yang ditandatangani pada tanggal 101 Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia. Crucible of Terror. Lynne Rienner, London. 2003 102 Project Ploughshares Institute of Peace and Conflist Studies, Armed Conflict Report- Indonesia- Aceh, lihat: www.Ploughshares.cacontent . Januari 2004 Universitas Sumatera Utara 15 Agustus 2005 di Helsinki, yang memperbolehkan GAM ikut serta dalam politik Indonesia. Akses terhadap senjata-senjata dan peralatan yang dimiliki GAM sekarang jauh lebih baik dibandingkan senjata yang mereka peroleh pertama kali dalam konflik yang terjadi tahun 1976. senjata-senjata ini termasuk senjata tua dan sejumlah peralatan yang tersisa dari Perang Dunia II. 103 Sampai tahun 2001, kepemilikan senjata GAM diperkirakan mencapai 1000 sampai 1500 pistol dan senapan, beberapa buah granat, dan juga alat untuk meluncurkan misil. 104 Sama halnya dengan kelompok-kelompok pemberontak di Mindanao, Filipina, GAM sangat berhantung pada sumber internal untuk memperoleh SALW dan kesempatan untuk memperoleh senjata dengan kekuatan yang lebih besar. Operasi-operasi dan serangan dadakan melawan tentara Indonesia, termasuk juga pembelian senjata langsung dari anggota TNI menjadi sumber pendapatan senjata yang terutama bagi GAM. 105 Tak hanya itu, beberapa dukungan eksternal juga tetap mengalir bagi GAM. Sumber-sumber senjata eksternal yang diperoleh GAM datang dari Malaysia melalui Thailand. 106 Sejumlah pengiriman pengangkutan senjata berhasil ditangkap di Semenanjung Malaysia, yang dicurigai ditujukan 103 Nazarudin Sjamsuddin. Issues and Politics of Regionalism in Indonesia ; Evaluating the Acehnese Experience. Dalam buku Armed Sepatissm in Southeast Asia, Jook-joo, Lim dan Vani S eds. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore 1984. 104 International Crisis Group, Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, ICG Asia Report No.17. 12 Juni 2001. 105 Hamish K Wall, the Dinamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencies. http:se2,isn.chserviceengineFileContentserviceID=ESDPfileid=0A8A6552-6BB9-F5F1- 0AF2-16A794839ADBing=en , diakses pada tanggal 12 September 2009 106 Op. cit. Project Ploughshares 2004 Universitas Sumatera Utara kepada anggota GAM. 107 Pendukung GAM asal Aceh yang tinggal di Malaysia dan Singapura juga diketahui berhasil menyelundupkan sejumlah kecil senjata melalui Thailand selatan. Masalah penyelundupan ini sudah menarik perhatian sejak 1980an ketika pasukan GAM lebih mudah membekuk tentara Indonesia, walaupun kekurangan biaya dan senjata dari pihak-pihak eksternal. 108 Walaupun terdapat opini bahwa dari semua kasus konflik bersenjata oleh para kelompok pemberontak, pemberontak di Indonesia adalah yang paling sedikit mendapat bantuan SALW dari luar karena jumlah mereka yang kecil dan kurangnya sistem pengumpulan dana untuk membeli senjata, namun masih banyak terdapat laporan mengenai pengiriman senjata kepada GAM. 109 Muhamad Duad, seorang anggota GAM, tertangkap basah di Laut Andaman sebelah utara Sumatera, dengan sejumlah senjata gelap yang berasal dari Thailand. Daud menyatakan bahwa kelompoknya telah lama menjalin hubungan dengan penyelundup senjata Thailand dan biasanya datang untuk membeli senjata. Daud juga mengklaim bahwa kelompoknya telah berhasil menyepakati setidaknya 5 perjanjian dagang dengan penyelundup Thailand ini sejak tahun 2002, yang melibatkan 200 senjata mesin dan granat. 110 Kurangnya kontrol pemerintah dan juga petugas yang korup semakin 107 Peter Chalk, Light Arms Trading In Southeast Asia, lihat: www.rand.org , Janes Intelligence Review. 1 Maret 2001 108 Michael L Ross, How DO Natural Resource Influence civil War? A Medium-N Analysis. Lihat: www.polisci.ucla.edu . 2 Januari 2003 109 Robert E Bedeski ; Andrew Anderson and Santo darmosumarto, Small Arms Trade and Proliferation in East Asia : Southeast Asia nad The Russian Far East, Working Paper No. 24, Institute of International Relations, University of British Colombia. September 1998 110 Surath Jinakul, thai Writer Links Problems in South With Gun-Running, Aceh Rebels, lihat: www.thebangkokpost.com. 28 Januari 2004. Universitas Sumatera Utara mempermudah peristiwa ini berlangsung. 111 Selain itu, organisasi teroris Abu Sayyaf juga terhubung dengan suplai senjata para pasukan GAM. 112 Senjata-senjata yang dibeli melalui pasar gelap Kamboja dan penyelundupan melalui utara Malaysia juga merupakan sumber potensial bagi suplai persenjataan GAM. Sumber-sumber senjata internal tetap menjadi sumber utama persenjataan GAM. Sumber-sumber ini termasuk penyimpanan senjata negara, baik itu yang diperoleh dari pihak-pihak yang membelot dari pemerintah, pembelian kepada tentara-tentara dan petugas yang korup, pencurian dari persenjataan pemerintah, dan juga penjarahan semasa operasi pemberontakan. 113 Terdapat juga beberapa laporan dimana perusahaan perakit senjata milik pemerintah – PT Pindad – selama ini diam-diam telah mensuplai senjata kepada anggota GAM. 114 PT Pindad, seharusnya hanya menyediakan senjata bagi TNI, akan tetapi terdapat kecurigaan bahwa para pegawainya menjalankan bisnis senjata di luar dari cakupan pekerjaan. Kecurigaan ini datang sesudah pihak kepolisian Jakarta menemukan kenderaan yang tengah membawa amunisi dan senjata yang dikemas dalam kotak bertuliskan ’Pindad’ sedang dalam perjalanan menuju anggota GAM. 115 Pihak kepolisian juga berhasil menangkap anggota militer yang tengah menjual senjata dan bahan peledak kepada anggota GAM setelah terjadinya 111 Marianne Kearney, Arms Trade Thrives on Corruption, lihat: www.straitstimes.asial.com.sg . 18 Juli 2002. 112 Cecil Morella, Abu Sayyaf Funnels Arms to Indonesian Rebels, Agence France Presse. 29 Agustus 2001. 113 Katherine Kramer, Southeast Asia, Illicit Arms and Light Weapons, lihat: www.nonviolenceinternational . 17 Maret 2003 114 Kafil Yamin, Clandestine Gun Trade Thrives in Indonesia, lihat: www.asiatimes.com . 24 Maret 2000 115 Ibid. Yamin 2000 Universitas Sumatera Utara serangan mendadak terhadap rumah-rumah yang kemudian menghasilkan perolehan suplai senjata dan amunisi yang cukup besar. 116 Senjata-senjata yang dimiliki oleh GAM cukup bervariasi. Mereka memiliki sejumlah AK-47 dan M-16 juga beberapa senjata buatan lokal. 117 Senjata lokal lebih digemari karena dilihat lebih sesuai dengan amunisi yang tersedia dalam sumber-sumber lokal di Indonesia. 118 Gerakan Aceh Merdeka GAM dan penggunaan SALW oleh kelompok ini menunjukkan bagaimana sebuah gerakan pemberontakan dapat menghambat dan bahkan menghentikan pembangunan yang tengah berlangsung walau tanpa kapasitas persenjataan yang cukup besar. Posisi baik GAM dan pemerintah Indonesia teramat kaku dan menciptakan peningkatan konflik dalam negeri. GAM menggunakan SALW untuk menyebarkan konflik dengan tujuan membuat Aceh berdiri sendiri terpisah dari NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dampak penggunaan SALW ilegal di Indonesia menjadi lebih marak. Sejak konflik dimulai, sekitar 12.000 nyawa melayang sia-sia, dan 6000 penduduk sekarat sejak fase kedua konflik ini dimulai tahun 1998. 119 Tidak hanya kehilangan nyawa, banyak juga penduduk yang akhirnya diungsikan dan kehilangan tempat tinggal. Persoalan utama yang terletak dalam konflik Aceh ini ialah para pemberontak ini tidak cukup kuat untuk mengalahkan 116 Wanseslaus Manggut, Edy Budiyarso Chandra, Jakarta Police Uncover Ring Selling Weapons to Aceh Separatist, Tempo, Jakarta. 20 Agustus 2002 117 Marriene Kearney, Arms Trade Thrives on Corruption, lihat: www.straitstimes.asial.com.sg . 18 Juli 2002. 118 bid. Kearney 2002 119 Project Ploughshares Institute of Peace and Conflict Studies, Armed Conflict Report Indonesia Aceh, lihat : www.pouughshares.cacontent . Januari 2004 Universitas Sumatera Utara kekuatan Indonesia dari segi militer. Lebih jauh, seperti halnya dengan NPA kelompok perjuangan di Filipina, GAM sangat bergantung dengan serangan-serangan mendadak ke kubu TNI untuk mendapatkan senjata. Hal ini berarti bahwa pertikaian yang terjadi di Aceh memang cukup sering terjadi tetapi dengan intensitas yang rendah, karena para pemberontak ini pun tidak sanggup menembus pertahanan pasukan pemerintah. Di samping itu,juga terdapat bukti bahwa GAM layaknya kelompok pemberontak lainnya telah memanfaatkan diskusi damai peace talk dan perjanjian gencatan senjata untuk. Setelah menandatangani Cessation of Hostilities Framework Agreement’ di tahun 2002, penurunan jumlah korban dalam konflik kemudian terjadi. Akan tetapi, perjanjian ini kemudian dilanggar Mei 2003, setelah timbul kecurigaan dari pihak Indonesia bahwa GAM memanfaatkan perjanjian tersebut untuk membangun kembali struktur pemerintahan mereka, memperluas pengaruh mereka di luar, dan mempersenjatai diri dengan senjata- senjata baru. 120 Persoalan ini kemudian justru meningkatkan durasi konflik yang terjadi di kawasan ini, sebagaimana GAM juga berhasil untuk kembali mempersenjatai diri setelah periode panjang bertikai dengan TNI. Disebutkan bahwa GAM tidak pernah benar-benar memiliki kapasitas jumlah dan kemampuan untuk mengambil alih teritori akan tetapi terdapat dimensi eksternal yang hadir dalam bentuk suplai senjata yang relatif stabil dan 120 Edward Aspinall dan Harold Crouch, The Aceh Peace Pricess : Why it Faile, Policy Studies 1 2003. Lihat: www.eastweatcenterwashington.org . Universitas Sumatera Utara dukungan finansial dari beberapa simpatisan yang berasal dari luar. 121 Pada saat sumber-sumber internal menjadi sumber senjata dan finansial yang utama, sumber-sumber eksternal tetap menyediakan sumber yang berperan penting bagi suplai senjata dan pendapatan kelompok-kelompok pemberontak ini. Pada masa pemberontakan sebelumnya, Hasan Tiro sangat menekankan akan pentingnya bantuan eksternal dan mengabaikan usaha-usaha untuk mengumpulkan bantuan domestik. Karena seperti yang terlihat selama ini bantuan internal saja tidak cukup memadai untuk menkonversikan gerakan mereka ke dalam bentuk perang sipil. Bagaimanapun juga, konflik yang timbul dikarakteristikkan oleh kekuatan untuk memperpanjang durasi, kekuatan untuk menegosiasikan perjanjian dan membudidayakan situasi yang memburuk. 122 Sebagian besar dari hal tersebut dapat dilakukan dengan bantuan suplai senjata yang memadai. Walaupun memiliki keterbatasan biaya dan sumber-sumber penting, GAM tetap mampu melanjutkan peperangan mereka di Indonesia, yang menghasilkan peningkatan durasi konflik, termasuk juga meningkat frekuensi dan intensitas pertempuran itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kurangnya sumber baik dari segi finansial maupun akses terhadap sumber senjata ilegal, para pemberontak bersenjata ini pun beralih pada sumber-sumber ilegal yang didalangi oleh pengedar dan broker-broker senjata. Salah satu kelompok pengedar senjata api, misalnya, telah berhasil dibekuk pihak Kepolisian Indonesia di 121 Andrew Tan, Armed rebellion in The ASEAN States. Persistence and Implication, Canberra Papres on Strategy and Defence no. 135, strategy and Defence studies Center, NU, Camberra, 2000 122 Ibid. Andrew Tan. Universitas Sumatera Utara Jakarta, Februari 2000 lalu. Kelompok yang terdiri dari Andi Kholid, Sarmili, Hendrik Prayoga, Fachrizal, Hanafiah, Haris, Sersan John Maurits dan Kopral Nasir, Iskandar, Andi Sunarto, Sugandi dan Bob ini juga melibatkan beberapa oknum keamanan yang masih dalam pengejaran seperti Sertu Prabowo dari Kesatuan Brimob Bandung, Kapten TNI Eka dan Mayor TNI Supriyadi. Kelompok ini disebut-sebut polisi sebagai pemasok utama senjata GAM. Bahkan, dua tersangka, yakni Fachrizal dan Hanafiah mengaku mendapatkan uang untuk membeli senjata dari penjualan daun ganja. Harga satu senjata api berkisar Rp. 4 juta hingga Rp. 8 juta. Tujuh kilogram untuk satu jenis senjata api jenis FN. Para tersangka berhasil menjual tujuh senjata api dan 1500 amunisi M-16 kepada pihak GAM. Hendrik, salah seorang dari tersangka bahkan mengaku menjual senjata api jenis Colt seharga Rp. 4 juta dan FN seharga Rp. 6 juta kepada Kapten Eka dan Mayor Supriyadi. Tidak lama setelah tertangkapnya sindikat tersebut, Komando Daerah Militer KODIM 0606Kota Bogor menemukan sekitar 1.107 butir peluru dari berbagai jenis senjata api sebulan kemudian. Peluru yang seluruhnya bermerk PT.Pindad tersebut ditemukan di tepi Sungai Cimande di bawah jembatan di Desa Cimande, Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Senjata-senjata ini memiliki tahun pembuatan berkisar 1997 untuk peluru FN-45 dan tahun 1990 untuk Colt 38 dan FN-46. 123 123 SENJATA MEREBAK, SIAPA YANG TANGGUNG?, Sabtu, 11 Maret 2000 http:www.hamline.eduapakabarbasisdata2000010516.html , diakses tanggal 12 September 2009 Universitas Sumatera Utara Tabel 3. Keterangan Sumber-sumber Eksternal dan Internal – GAM 124 Sources of Finance and Resources Sources of Small Arms External  Libya  Diasporas – Southern Thailand and Malaysia  Indonesian Military  Malaysia – via Thailand  Expatriate Supporters – Malaysia dan Singapura  Thailand Supplier and Military Thailand  Abu Sayyaf  Cambodian Black Market – via Malaysia Utara Internal  Taxation – Aceh People and Major bussiness ex: Mobil Oil  Crime  Drug Trafficking  Trade and Cultivation of Marijuana  Battlefield Acquisition – Raids and Ambushes  Leakage of Government Stockpiles – PT Pindad  Purchases off Government Soldiers – Black Market Sales 124 Hamish K. Wall, the Dinamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencies, hal 77 http:se2.isn.chserviceengineFileContent?serviceID=ESDPfileid=0A8A6552-6BB9-F5F1- 0AF2-16A794839ADBlng=en , diakses pada tanggal 12 September 2009 Universitas Sumatera Utara  Kidnapping  Piracy  Illegal Logging – Aceh and Nothern Sumatra  Prostitution III.3.1.2. Konflik Maluku Pada bulan Januari 1999, pertikaian dimulai antara kaum Muslim dan Kristiani di Maluku, populasi yang terletak di sebelah Timur Indonesia. Selain merupakan persoalan keagamaan, konflik ini ternyata juga mengangkat isu perbedaan ekonomi dan hubungan antara pemerintah Jakarta dengan provinsi-provinsi yang letaknya jauh dari pusat. Dalam dua tahun sejak pecahnya konflik ini sudah sebanyak 8000 orang tewas. 125 Sejumlah besar SALW dengan kualitas yang bervariasi telah beredar dalam konflik di kawasan ini. Menurut beberapa laporan di lapangan, kedua belah pihak sepertinya telah dipersenjatai dengan berbagai jenis SALW seperti pistol, light mortars, granat, dan bom, bahkan juga dengan beberapa senjata produksi lokal. Sebagai contoh, Februari 2000, militer Indonesia berhasil mendapatkan 4.000 senjata dari pihak yang bertikai. Kebanyakan dari senjata ini merupakan senjata buatan sendiri yang dibuang untuk dijual dengan harga murah diperairan Tanjung Alang. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh petugas militer yang berada di bawah kebijakan siaga negara Juni 2000 mengarah pada tertangkapnya 125 David Capie, Small Arms Production and Transfers in South East Asia, Strategic and Defense Studies Centre, Australian National University, Australia, 2002. hal 41. Universitas Sumatera Utara 32 senjata jenis army standard riffle’ termasuk AK 47, SMR Bren MR3, Ruger dan juga 278 senjata buatan lokal. Petugas militer juga berhasil menangkap 4 peluncur roket, ratusan granat tangan, dan 3.070 buah amunisi. Pada Agustus 2007, pejabat gubernur Maluku Utara mengawasi langsung penghancuran 23 standard riffle termasuk 2 buah M16, 4279 senjata lokal,2278 bazooka buatan lokal, dan 1097 detonators. 126 Terdapat 4 sumber utama dimana pihak yang bertikai ini dapat memperoleh senjata. Pertama, terdapat bukti yang cukup kuat bahwa sejumlah besar senjata yang tersedia merupakan suplai langsung dari pasukan militer pemerintah Indonesia kepada kedua kubu. Seorang juru bicara dari Komando Militer Ambon juga menegaskan bahwa terdapat laporan tentang penyelundupan senjata dari gudang persenjataan militer ke wilayah ini. Secara umum TNI membantah telah memihak kepada kubu Muslim dalam konflik ini, termasuk dalam menyediakan suplai senjata beserta amunisi pada saat BRIMOB juga ikut membantah telah membantu kubu Kristen untuk perkara yang sama. Sebuah artikel ekonomi Maret tahun 2001 justru melaporkan baik militer maupun kepolisian menjual M16 dan AK47 seharga 700 dolar AS tiap satuannya. 127 Sumber kedua adalah ’kebocoran’ senjata dari persenjataan militer dan polisi yang tidak diawasi dengan baik. Petingnya kehadiran jalur ini sudah lama dikenal. Sebagai contoh, hanya dengan satu serangan di Tantui Juli 2000, sebanyak 823 senapan militer berhasil dicuri. 115 dari senjata ini akhirnya berhasil didapatkan kembali namun sisanya masih tetap beredar. Dalam konflik 126 Ibid. David Capie, hal 42. 127 Ibid. David Capie, hal 42. Universitas Sumatera Utara seperti konflik Maluku ini, dimana banyak senjata yang digunakan merupakan buatan lokal maka mendapatkan jenis senjata yang lebih canggih dan modern mampu menghasilkan perbedaan kekuatan yang cukup besar. 128 Ketiga, suplai senjata datang dari penduduk Indonesia yang bersimpati terhadap salah satu kubu. Kelompok Muslim Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jamaah diidentifikasi sebagai sumber penyediaan senjata bagi kubu Muslim di Maluku terutama sejak pecahnya konflik ini. Sekitar April-May 2000 juga terdapat laporan atas ditemukannya 9 container yang memuat senjata diturunkan di Ambon dan dibawa ke Mesjid Al-Fatah setempat. Juli 2000, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan utusan Laskar Jihad dan kekuatan lainnya sudah mencapai 10.000 orang dan menjadi alasan utama berlanjutnya konflik ini. Di saat yang sama, kelompok kekuatan Kristen, Laskar Kristus juga semakin menunjukkan keberadaannya di Maluku. 129 Senjata-senjata juga banyak diselundupkan dari belahan wilayah Indonesia lainnya. Pada bulan Juli 2000, angkatan laut menemukan 200 granat dan peluncur granat serta 7000 buah amunisi yang dimuat dalam KM Dubonsolo yang berlayar dari Surabaya melewati Bali dan Kupang. Dua bulan berikutnya petugas keamanan di Pelabuhan Buli, Maluku Utara menemukan ratusan M16, senjata dan peledak dari penumpang KM Albatim. Pihak berwenang menduga senjata-senjata tersebut datang dari Bitung, Sulawesi Utara, yang merupakan titik keberangkatan KM Albatim. 130 128 Ibid. David Capie, hal 42. 129 Ibid. David Capie, hal 42. 130 Ibid. David Capie,hal 43. Universitas Sumatera Utara Terakhir, terdapat rumor dan juga laporan mengenai senjata-senjata yang berasal dari kelompok pendukung yang berasal dari Filipina. Menurut komandan Resort Timur Angkatan Laut Indonesia, Djoko Sumarsono, senjata-senjata yang datang dari orang-orang Filipina ini dijual bebas di Maluku. Sehingga siapa pun dengan sejumlah uang dapat memperoleh senjata. Januari 2000, surat kabar Suara Merdeka melaporkan sebuah helikopter yang mendaratkan kiriman senjata dari Davao sebuah wilayah di Filipina ke Ambon dengan persetujuan secara diam-diam oleh TNI. Tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung laporan ini, karena sebelumnya telah dibantah sendiri oleh pasukan TNI. 131 Rute strategis antara Filipina dengan Maluku ialah lewat laut. Menurut Komando Militer Maluku Utara, sebagian besar senjata-senjata telah dihancurkan pada upacara di bulan Agustus tahun 2000 seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, merupakan buatan Filipina yang berhasil diambil alih dari penumpang kapal selama waktu inspeksi mendadak di pelabuhan-pelabuhan. Kapal-kapal milik Angkatan Laut Indonesia juga telah menangkap beberapa pelayaran yang membawa senjata dari Filipina selama tahun 2002. Tidak hanya bagi kubu Islam, dukungan akan suplai senjata juga datang dari Filipina bagi kubu Kristen, yakni dari sejumlah pabrik senjata ilegal yang berlokasi di Cebu, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Juga terdapat laporan tentang hubungan antara penduduk Kristen di Maluku dengan militan yang berlokasi di Timor Timur. Seorang penduduk Ambon dari kubu Kristen mengklaim bahwa kelompoknya telah membeli tiga buah M16 dengan harga 131 Ibid. David Capie, hal 43. Universitas Sumatera Utara 15 juta rupiah dari kelompok militan Timor Timur. Senjata-senjata ini sepertinya diselundupkan ke Ambon dengan kapal kecil untuk menghindari blokade Angkatan Laut Indonesia. 132 Untuk lebih memahami mengenai jalur masuk ke dalam ataupun peredaran senjata ilegal di sekitar wilayah Indonesia, dapat kita lihat lebih jelas melalui jalur yang tergambar dalam peta berikut : 132 Ibid. David Capie, hal43. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara III.3.2. Filipina III.3.2.1. Moro National Liberation Front MNFL MNLF The Moro National Liberation Front merupakan salah satu organisasi pembetontak yang cukup terkenal di Filipina yang bertujuan untuk mengubah Mindanao menjadi negara merdeka. Organisasi ini dibentuk oleh Nur Misuari, seorang professor di Universitas Filipina tahun 1968 dan memulai pemberontakan bersenjata di tahun 1972. 133 Tujuan ini dapat dicapai dengan 2 bentuk strategi, yakni : partisipasi dalam lembaga perlemen dan perjuangan bersenjata. 134 MNLF mengklaim tujuannya atas kemerdekaan bagi daerah kekuasaan kaum Muslim dengan diberlakukannya otonomi pada tahun 1987. Selain dari pada kemerdekaan, tujuan lainnya meliputi perubahan kekuatan politik dengan tujuan untuk membatasi distribusi kemiskinan. 135 MNLF didukung oleh kaum Muslim sekular berpendidikan, yang menurut Quilop merupakan sebuah jaringan organisasi kawasan yang luas region-wide network yang mencoba untuk menyatukan berbagai unsur kekuatan Muslim yang ada. 136 Pertempuran antara MNLF dan pemerintah ini mengarah kepada diajukannya aturan-aturan berbasis militer oleh Presiden Ferdinan Markos di Filipina 133 Zachary Abuza, militant Islam in Southeast Asia Crucible of Terrror, Lynne Rienne, London. 2003 134 Eliseo R Mercado, Culture Economics and Revolt In Midano: The origins of tehe MNLF and The Politics of Moro Separatism, dalam buku Armed Separatism in Southeast Asia oleh Jock-Joo, Lim dan Vani, S eds, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. 1984 dan dalam buku Shan Struggle Set to Continue oleh Jhon S Moncreif, The Irrawaddy : www.Irrawaddy.org , vol 10, No 2, Maret 2002. 135 Moshe Yegar, Between Integration and Secession : the Muslim Communities of The Southern Philippines, Southern Thailand and Western BurmaMyanmar, Lexington Books, Lanham Md. 2002 136 Raymund Jose G Quilop, The Unaesy and Costly Road to Peace in Mindanao Panorama 32000 , www.kas-asia.orgpublication.htm . 2000 Universitas Sumatera Utara September 1972, dan penarikan seluruh senjata dari warga sipil. Di akhir 1972, dua kekuatan bersenjata memunculkan perang sipil skala penuh di Pulau Jolo. Tahun 1973 daratan utama Mindanao juga terkena perang. Gencatan senjata yang diikuti pertemuan damai terjadi pada Desember 1976 di Tripoli, Libya. Pemerintah Libya juga menjanjikan penurunan skala bantuan bagi MNFL dengan memangkas aliran senjata. Walaupun begitu, kesepakatan damai tidak berjalan lama karena munculnya kembali pertentangan-pertentangan di antara masing-masing pemimpin pihak terkait. 137 Para pemimpin MNLF sendiri didominasi oleh pemikiran-pemikiran dan ideologi Islam. 138 Pemerintah dan MNLF menandatangani kesepakatan damai tahun 1996 di Aula Ceremonial Istana Malacanang setelah 47 bulan negosiasi berjalan. Bagian terpenting dari kesepakatan damai ini berpusat pada tidak dipaksakannya pemberlakuan perlucutan senjata bagi para anggota MNLF. Pada waktu kesepakatan damai ini berjalan, catatan militer menunjukkan sebanyak 17.700 anggota MNLF, dibandingkan dengan jumlah sebelumnya 21.200 orang di tahun 1977. 139 Namun sayangnya, upaya perdamaian akhir-akhir ini mengalami hambatan dilihat dari ketiadaan kesepakatan atas isu-isu tertentu. November 2001, sekelompok oposisi dari kubu MNLF yang dipimpin Nur Misuari kembali 137 Eric Guitierrez dan Saturnino Borras Jr, The Moro Conflict : Landlessness and Misdirected State Policies, Policy Studies 8, www,eastwestcenterwashington.org. 2004 138 Nagasura T Madale, The Future of Moro Nationaal Liberation Front MNLF as a Seperatist Movement in Southern Phillippnes, dalam buku Armed Seperatism In Southeast Asia oleh Jock-Joo, Lim dan Vani S eds, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. 1984 139 Makiano M Merliza dan Alfedo Lubang, Disarmament, Demobilization and Reintration : The Midano Exprience, Prepared for the International Security Research and Outreach Programme International Security Bureau. 2001 Universitas Sumatera Utara angkat senjata. Hampir dua minggu pertempuran ini telah memakan 147 jiwa. 140 Tak dapat dipungkiri, banyak pihak dalam MNLF yang masih meyakini bahwa proses damai dapat berjalan antara kelompoknya dengan pemerintah. Hal ini yang kemudian mengurangi konflik antara MNLF dan pemerintah dan dalam beberapa data konflik disebutkan MNLF tidak ikut ambil bagian di dalamnya, karena mereka tidak lagi terlibat aktif dalam konflik bersenjata dan juga 25 pertempuran lainnya yang memakan korban jiwa. 141 Akan tetapi, MNLF tetap diketahui menimbulkan pertikaian-pertikaian kecil dengan AFP Armed Forces of the Philippines. Salah sati pertikaian ini terjadi di Jolo Februari 2005. Perkiraan kematian mencakup 22 prajurit dan 60 pemberontak. Diyakini bahwa konflik ini terjadi ketika Misuari melihat bahwa dirinya tidak akan menang dalam pemilihan kembali gubernur di salah satu provinsi terbesar di Filipina. 142 Banyak dari kekurangan-kekurangan bertempur yang dimiliki MNLF dikarenakan penarikan anggota mereka oleh MILF, kelompok pemberontak saingan. Hal ini merupakan reaksi dari sebagian anggota MNLF yang tidak menyetujui adanya upaya damai dengan pemerintah. Karena bagi sebagian besar anggota MNLF, hanya mendapatkan jaminan akan otonomi daerah saja tidak cukup. Sebaliknya, mereka hanya bersedia melakukan kesepakatan damai jika pemerintah Filipina bersedia memberikan kemerdekaan sepenuhnya bagi 140 Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia Crucible of Terror, Lynne Rienner, London. 2003 141 Lotta Harbom dan Peter Wallensteen, Armed Conflict and Its International Dimensions 1964-2004, Journal of Peace Research, Vol 42, No. 5. 2005, hal. 623-634 142 Anthony Spaeth, Southern Exposure, Time Magazine. 28 Februari 2005 Universitas Sumatera Utara Mindanao. Misuari akhirnya di tangkap setelah terjadinya serangan tahun 2001, akan tetapi dirinya mengklaim bahwa 99 persen anggota MNLF masih tetap menganggap dirinya sebagai pemimpin mereka. Walaupun MNLF tidak lagi sekuat MILF, akan tetapi masih banyak di antara mereka yang setia dengan Nur Misuari, yang berarti bagi pemerintah Filipina MNLF tetap masih menjadi ancaman keamanan yang potensial. 143 Sebagian besar SALW yang dimiliki MNLF berasal dari perolehan di medan perang atau dibeli dari pasukan pemerintah. 144 Pembelian ini merupakan metode penting bagi MNLF di kemudian hari, terutama setelah bantuan senjata dari pihak asing mulai berkurang. MNLF seperti halnya dengan MILF juga mendirikan jalur khusu bagi transfer senjata antara wilayah Maguindanao dan populasi Maranao di selatan-pusat Mindanao. 145 Taktik perang yang baik dan kapabilitas dalam operasi gerilya dari tahun 1977 sampai 1981 menunjukkan keberhasilan MNLF dalam melakukan serangan terhadap pasukan pemerintah. 146 Senjata yang paling mematikan yang dimiliki oleh MNLF adalah senjata penembak misil berukuran 61 dan 81 milimeter, yang juga didapat dalam medan perang. Selain itu, MNLF juga memiliki sejumlah kecil motor boats yang memuat 143 Hamish K. Wall, the Dinamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencies. http:se2,isn.chserviceengineFileContentserviceID=ESDPfileid=0A8A6552- 6BB9-F5F1-0AF2-16A794839ADBing=en , diakses pada tanggal 12 September 2009 144 Robert McDonald, The MNLF Gears for Battle-but Weapons are a Problems, Facific Defence Repoerter. Mei 1987 145 Anthony Davis, Philippines Security Threatenedbby Small Proliferation, Janes Intelligence Review. 4 Agustus 2003 146 Eliseo R Mercado, Culture Economics and Revolt In Midano: The origins of tehe MNLF and The Politics of Moro Separatism, dalam buku Armed Separatism in Southeast Asia oleh Jock-Joo, Lim dan Vani, S eds, Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. 1984 dan dalam buku Shan Struggle Set to Continue oleh Jhon S Moncreif, The Irrawaddy : www.Irrawaddy.org , vol 10, No 2, Maret 2002. Universitas Sumatera Utara M60 dan Brownings kaliber .30. 147 MNLF juga dipercaya memiliki kemampuan untuk merakit sejumlah SALW dan amunisi walaupun dalam level yang rendah. Termasuk di antaranya bom kecil buatan sendiri dan juga peluncur granat M79. 148 Gencatan senjata diikuti dengan pembicaraan damai antara kelompok mereka dengan kekuatan pemerintah juga berakibat pada biaya dan suplai senjata bagi MNLF. Data Halun Amilussia dari Lupal Revolutionary Committee menyatakan bahwa sejak terjadinya gencatan senjata tersebut, harga SALW menanjak pesat. Lebih lanjut, ketika terjadi pertempuran, pihak yang bertikai merampas senjata dari prajurit yang terbunuh atau terkadang membeli senjata dari mereka, sekarang dengan adanya pembicaraan damai, MNLF hanya akan memperoleh SALW dengan membeli dari prajurit, dan harga yang tawarkan menjadi amat sangat mahal. 149 Hal ini menekankan akan pentingnya bagi kelompok pemberontak seperti MNLF untuk mendapatkan sumber senjata dari pasukan pemerintah. Tanpa sumber SALW ini, MNLF akan sulit memperoleh persenjataan karena faktor biaya yang besar. Petimbangan ini yang kemudian akhirnya mengarah kepada situasi yang janggal dimana beberapa anggota baru yang belum terlatih tidak menunjukkan antusiasme penuh untuk meneruskan pertikaian sehingga mereka dapat memperoleh senjata bagi diri mereka sendiri. Terdapat hubungan antara harga senjata dengan intensitas pertikaian selama masa perang. Pada saat 147 Op. cit. McDonald 148 Moshe Yegar, Between Intregation and Secessions : the Muslim Communities of the Sothern Philippines, Southren Thailand and Western BurmaMyanmar, Lexington Books, Lanham Md. 2002 149 Robert McDonald, The MNLF Gears for Battle-but Weapons are a Problems, Facific Defence Repoerter. Mei 1987 Universitas Sumatera Utara sejumlah besar senjata berhasil didapat oleh MNLF pada masa perang, permintaan akan senjata di pasaran juga sedikit. Sebagai contoh, sepucuk senjata M16 dapat terjual dengan harga 10.000 P mata uang Filipina dan Colt kaliber 45 seharga 2000-3000 P selama masa perang. Harga ini akan meningkat drastis menjadi 16.000 P untuk M16 dan 8000-9000 P untuk Colt 45. selama periode gencatan senjata. Sama halnya dengan senjata, amunisi yang dibutuhkan oleh senjata-senjata ini juga meningkat harganya selama upaya damai berlangsung. 150 Bantuan militer asing di masa lalu merupakan sumber senjata utama bagi MNLF. Akan tetapi sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua dan meningkatnya transparansi dalam kegiatan transfer senjata ke luar negeri oleh suatu negara, ketersediaan sumber SALW bagi MNLF juga menurun tajam. Dua jenis senapan asing yang biasa digunakan ialah FAL 7.62 dan G1 yang merupakan buatan Belgia. 151 Namun M16 merupakan jenis SALW yang paling banyak digunakan. 152 Banyak negara di Timur Tengah yang dari dulu telah mensuplai SALW beserta dengan amunisinya bagi MNLF. Alasan yang sering kali muncul saat mereka mensuplai bantuan militer bagi MNLF, Libya misalnya, adalah karena kepentingan mereka di negara tersebut dan untuk menguatkan ikatan Islam antara negara-negara Arab ini dengan warga Filipina. Malaysia pernah tercatat memberikan bantuan dalam bentuk senjata di tahun 1986. pakistan juga dipercaya telah mensuplai senjata bagi MNLF di masa lampau. Libya berhasil mensuplai 150 Ibid. Robert McDonald 151 Ibid. Robert McDonald 152 Oxfam International, The Human Cost of Small Arms, An Oxfam International Paper fot the UN Conference on the Illicit Trade in Small Arma and Light Weapons in All Its Aspects, Juli 2002 Universitas Sumatera Utara beberapa jenis senjata selama periode 1970an. Pengiriman senjata oleh Libya tiba di Sabah melalui dua negara Arab di Teluk Persia. Senjata-senjata ini kemudian ditransfer kembali dengan kapal menuju selatan Filipina yang diyakini berisi AK 47. Pada dasarnya baik MNLF maupun MILF sanggup mengimpor suplai senjata buatan Amerika yang terlantar di Vietnam paska kemenangan Komunis tahun 1975 dan kemudian dijual di pasar senjata internasional. 153 Klaim beberapa orang Vietnam terlibat dalam transfer SALW menuju Mindanao juga kemudian menjadi pemberitaan besar, ketika pada tahun 1992 sebuah kapal pengangkut senapan milik Amerika, yang datang dari Vietnam, dilaporkan dibeli oleh petugas lokal di Mindanao. 154 Tidak diragukan lagi penggunaan SALW oleh MNLF telah menciptakan pengaruh yang besar dalam lingkaran konflik dan juga dalam menempuh upaya damai seiring terciptanya ketidakstabilan. Penggunaan senjata untuk menimbulkan kekerasan dan konflik bersenjata di kawasan berhasil memperpanjang durasi konflik internal di Filipina. MNLF telah memulai perjuangannya demi kemerdekaan sejak akhir tahun 60an dan awal 70an, namun setelah melewati lebih dari tiga dekade, isu Moro tetap saja menjadi masalah yang tidak terselesaikan hingga sekarang. 155 Bagian terpenting dalam persoalan ini terkait dengan tersedianya suplai senjata yang konstan diterima oleh 153 Moshe Yegar, Between Intregation and Secessions : the Muslim Communities of the Sothern Philippines, Southren Thailand and Western BurmaMyanmar, Lexington Books, Lanham Md. 2002 154 Makiano M Merliza dan Alfedo Lubang, Disarmament, Demobilization and Reintration : The Midano Exprience, Prepared for the International Security Research and Outreach Programme International Security Bureau. 2001 155 Andrew Tan, Armed rebellion in The ASEAN States. Persistence and Implication, Canberra Papres on Strategy and Defence no. 135, strategy and Defence studies Center, NU, Camberra.2000 Universitas Sumatera Utara MNLF. Kemampuan MNLF untuk mendapatkan akses senjata terus-menerus membuat pemerintah sulit untuk mengakhiri konflik Moro. Hanya sedikit dari anggota MNLF yang kemudian menyerahkan senjata mereka ke tangan pemerintah setelah terciptanya kesepakatan damai di tahun 1996. Sekali lagi, ini terkait dengan ketegangan yang muncul di kalangan pendukung Misuari yang juga berhubungan dengan Abu Sayyaf di selatan pulau Jolo. Di luar lamanya tenggang waktu yang dimiliki MNLF, mereka masih tetap mampu mencari sumber atau metode mensuplai senjata agar tetap mampu mengobarkan perang di Pulau Jolo. Besarnya frekuensi kontak senjata antara MNLF dan AFP angkatan bersenjata Filipina juga merupakan hasil konsitensi suplai SALW yang berhasil diperoleh oleh MNLF. Muncul juga beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa gencatan senjata dan upaya pembicaraan damai dimanfaatkan oleh MNLF untuk kembali mempersenjatai diri dan membangun kekuatan serta mendapatkan suplai senjata yang bisa digunakan sampai bertahun-tahun kemudian. Ini bisa jadi argumen yang masuk akal melihat bukti bahwa dengan meningkatnya harga SALW selama masa gencatan senjata, MNLF tidak akan mampu membeli senjata-senjata ini melalui penjual di pasar gelap. Sebaliknya, MNLF dipaksa untuk melanggar gencatan senjata ini guna mengisi kembali stok dan suplai senjata beserta amunisinya. Hal ini dapat menjelaskan besarnya frekuensi dan jangka waktu konflik bersenjata antara MNLF dengan pemerintah Filipina selama ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 4. Keterangan Sumber-sumber Eksternal dan Internal – Moro National Liberation Front 156 Sources of Finance and Resources Sources of Small Arms External  Libya  Malaysia  Syria  Iraq  Diasporas from middle east workers  Libya  Pakistan  Malaysia  Vietnam Internal  Drug Trafficking  Production of Marijuana  Production of Marijuana fields  Production of Crystal Methamphetamine  Villager Support  Battlefield Acquisition  Purchases off Government Soldiers – Black Market Sales  Indigenous Production III.3.2.2. Moro Islamic Liberation Front MILF 156 Hamish K. Wall, the Dinamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencies, hal 103 http:se2.isn.chserviceengineFileContent?serviceID=ESDPfileid=0A8A6552-6BB9-F5F1- 0AF2-16A794839ADBlng=en , diakses pada tanggal 12 September 2009 Universitas Sumatera Utara MILF didirikan pada tahun 1984 dan telah manjadi kelompok pemberontak terbesar dan terkuat di Filipina setelah melepaskan diri dari MNLF. MILF mengambil keuntungan atas gencatan senjata sekitar tahun 1990an untuk membangun kekuatan mereka, sehingga mereka dapat menjadi kelompok pemberontak yang paling dominan di Moro mengalahkan MNLF. 157 Perbedaan utama kedua kelompok ini ialah MILF bertujuan menjadikan Mindanao menjadi negara Islam sementara MNLF tetap pada idenya untuk membentuk negara sekuler di daratan selatan Filipina. 158 Hal ini menjadikan MNLF lebih terbuka untuk berkompromi daripada MILF. MILF dengan keluar dari MNLF memampukan kelompok ini untuk memisahkan diri dari pengaruh kepemimpinan Nur Misuari dan juga untuk membenarkan kepada negara-negara Arab perjuangan mereka bagi jihad, supaya bantuan-bantuan seperti senjata dan zakat, serta sumbangan dapat diteruskan kepada mereka. 159 Mantan pemimpin Badan Urusan Luar Negeri MNLF yang akhirnya bergabung dengan MILF membedakan MILF dan MNLF dengan menyatakan keinginan mereka atas sistem politik berbasis Islam dan jalan hidup yang dapat dicapai dengan menjalankan Da’wah, Tarbiyyah dan Jihad yang ejektif. 160 Salamat Hahim yang menemukan kelompok yang ingin keluar dari MNLF, yang juga dikenal dengan ’New Leadership’ mendukung adanya otonomi. 157 bid. Andrew Tan. 158 Raymund Jose G Quilop, The Uneasy and ostly Roaad To Peace in Mindanao Pnoraama 32000, www.kas-asia.orgpublication.htm. 2000 159 Danguilan Marities Vitug, The Political of Loging. Power from the Forest, Philippine enter for Investigative Journalism, Philippines. 1993 dalam hal 205. 160 Syed Serajul Islam, Etho-Communal Conlict in the philippines : the Case of Mindanao- Sulu Region, dalam buku Ethnic Conflict and Secessionism in South and Southeast Asia Cause Dynamics and Solutions, Rajat Ganguly dan Ian Macduff eds, Sage Publications, London 2003. hal 205. Universitas Sumatera Utara Salamat dengan tegas menyatakan bahwa MILF mengadopsi ideologi dan cara hidup Islam serta permintaan dari MILF tidak lain dan tidak bukan ialah kemerdekaan Negara Islam Moro dan MILF tidak akan berhenti sampai kemerdekaan tersebut berada dalam genggaman tangan. 161 Pemerintah Filipina dan MILF terlibat dalam sejumlah pertemuan damai. Juli 1997 sebuah gencatan senjata ditandatangani dan berlangsung selama hampir tiga tahun. Sebuah kesepakatan damai juga seharusnya ditandatangani sebelum Januari 1998. Akan tetapi May 1999, proses negosiasi mengalami jalan buntu setelah MILF mengajukan permintaan agar pertemuan tersebut di langsungkan di Malaysia, Indonesia, dan Libya. Sementara itu pemerintah yakin bahwa proses damai di antara keduanya harus diselesaikan di dalam negeri. 162 Tahun 2000 proses damai mengalami kemunduran. Pemerintah yang kala itu berada di tangan Joseph Estrada yakin bahwa MILF saat itu tengah memperluas area kekuasaannya ketika proses negosiasi sedang berlangsung. 163 Pada akhirnya perjanjian gencatan senjata lainnya berhasil ditandatangani di Tripoli Juli 2001, yang juga hanya mampu bertahan sampai Februari 2003 ketika pasukan pemerintah menyerang markas MILF dekat kota Pikit. Pertemuan damai sempat tertunda dalam jangka waktu yang tidak tentu sampai pertengahan 2005 ketika pemerintah dan MILF setuju untuk membentuk tim bersama yang memberantas 161 Zachary Abuza, Militant Islam in Southeast Asia Crucible of Terror, Lynne Rienner, London. 2003. hal 46. 162 Syed Serajul Islam, Etho-Communal Conlict in the philippines : the Case of Mindanao- Sulu Region, dalam buku Ethnic Conflict and Secessionism in South and Southeast Asia Causes Dynamics and Solutions, Rajat Ganguly dan Ian Macduff eds, Sage Publications, London 2003 163 Raymund Jose G Quilop, The Unaesy and Costly Road to Peace in Mindanao Panorama 32000 , lihat www.kas-asia.orgpublication.htm . Universitas Sumatera Utara pergerakan teroris di Mindanao. Hal ini membuka kesempatan untuk memulai kembali pertemuan-pertemuan damai di Kuala Lumpur Februari 2005 dimana isu mengenai wilayah yang diwarisikan oleh pendahulu Moro ini menjadi pembahasan. 164 Akan tetapi, pertemuan damai kembalin lagi tertunda dengan berlanjutnya skandal politik yang tengah dihadapi Presiden Gloria Arroyo atas tuduhan pemilihan yang tidak sah. Namun pada akhirnya pertemuan damai tersebut berhasil diselenggarakan di Kuala Lumpur akhir Januari 2006 yang ditengahi oleh Malaysia. Seperti halnya MNLF, sumber utama persenjataan bagi MILF berasal dari pendapatan mereka di medan perang dan jalur terhadap persenjataan pemerintah. Akan tetapi terdapat laporan bahwa MILF berhasil membangun sebuah pabrik senjata, di suatu tempat di pusat Mindanao. Shariff Moshin Julabbi, seorang penasehat MILF menyatakan pabrik tersebut memiliki 97 pekerja yang mampu memproduksi senjata berkaliber tinggi dan amunisi seperti replika dari peluncur granat milik Rusia RPG-2, peluncur misil 60 milimeter, peluru dan juga bom. Namun Ghadzali Jaafar juru bicara MILF menambahkan pabrik tersebut lebih sederhana dari pabrik-pabrik senjata pada konvensional umumnya. Menurut Julabbi, pemerintah tetap merupakan pemasok’ utama senjata bagi MILF, dan senjata yang paling banyak digunakan anggotanya – M16 dan M14 – dibeli langsung dari anggota militer. Hal ini merupakan pernyataan yang 164 Torres Theresa Ma, Goverment MILF agree to go after Criminals, Terrorist, www.manilatimes.net . 24 Desember 2004, diakses pada tanggal 25 Agustus 2009. Universitas Sumatera Utara dibenarkan baik oleh MILF dan juga petugas resmi pemerintah. 165 Suplai senjata internal MILF juga datang dari penyebaran senjata di pasar gelap dari Luzon di Visayas. 166 Osama bin Laden dan jaringan Al Qaeda, selain memberikan sumbangan dana, juga dituduh ikut menyediakan suplai senjata bagi MILF. Terdapat beberapa laporan yang menyatakan MILF pernah sedang menanti pengiriman senjata Februari 1999 yang dibeli dengan dana yang disumbangkan oleh Osama bin Laden. 167 Menurut beberapa sumber pengiriman via kapal ini mengangkut 3000 senjata berkekuatan besar, mulai dari jenis Kalashnikov sampai anti-tank rockets dan landmines. Sumber eksternal dikabarkan berasal dari penjual senjata Korea Utara bernama Rim Kyu Do. Menurut laporan pers yang berhasil didapatkan dari daerah kekuasaan MILF, para pemberontak ini telah membayar penuh untuk pembelian senjata mesin, bahan peledak, granat, dan peralatan tempur lainnya yang digunakan tahun 1999. Struk pembelian menunjukkan angka mendekati 2 juta dolar Amerika. Irak juga diyakini memiliki kemungkinan menjadi pemasok senjata bagi MILF berdasarkan Ketua Komite Depertemen Pertahanan Prospero Pichay. 168 Senjata-senjata yang dibeli ini biasanya diselundupkan melalui jalur Sabah di sebelah timur Malaysia http:acd.iiss.org. 165 Philippine Daily Inquirer, Philippine Muslim Rebels Admit Having Firearms Factory, www.nisat.org . 12 Januari 1999, diakses pada tanggal 23 Agustus 2009 166 Anthony Davis, philippine Security Threatened by Small Arms Philippines, www.cpcabrisbane.org : kasama, Vo.17, No.12. April, Mei, Juni 2003. 167 Hong Kong AFP, Philipine Muslim Rebels Await Afghan Arms Shipment, www.nisat.org . 21 Januari 1999, diakses pada tanggal 23 Agustus 2009 168 Agence France Press, Philippine Muslim Rebels Received Foreign Arms Funding: Military, www.nisat.org . 13 Maret 2003, diakses pada tanggal 23 Agustus 2009. Universitas Sumatera Utara Menurut IISS Armed Conflict Database, MILF memiliki sejumlah kepemilikan SALW. Di antaranya senapan yang sudah digunakan sejak 1970 sampai kepada senapan modern sejenis M14 dan M16. selain itu, MILF juga menggunakan Garand M1 cerbines dan FN FAL, senapan berkekuatan besar, sniper rifles, juga beberapa jenis personnel and anti-tank landmines. Senjata yang lebih besar yang digunakan MILF termasuk M60 general-purpose machine guns, mortars, dan peluncur granat. 169 Banyak di antara senjata-senjata yang mereka gunakan ini berasal dari Amerika, mengingat militer Filipina juga mendapatkan pasokan senjata melalui paket bantuan oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini semakin menegaskan pentingnya mendapatkan senjata dari prajurit-prajurit militer yang korup selain tentu saja perolehan di medan perang. Senjata-senjata diselundupkan lewat beberapa titik masuk di Filipina termasuk Ninoy Aquino International Airport NAIA dan pelabuhan maritim melewati Luzon, Visayas dan Mindanao. Sebagai sebuah negara kepulauan, garis pantai Filipina memang sangat rentan dengan aktivitas penyelundupan senjata, terutama karena lemahnya Angkatan Laut Filipina dan Petugas Penjaga Pantai. Kecuali untuk beberapa pengiriman yang telah berhasil ditangkap sebelumnya, pemerintah memiliki sedikit sekali informasi akan tingkat penyelundupan senjata dari sejumlah sumber, termasuk yang datang dari Afganistan, Cina, Libya, Korea Utara dan Pakistan. Dengan penemuan kompleks Buliok yang merupakan daerah kekuasaan MILF, militer pemerntah berhasil memperoleh dokumen yang menunjukkan pembayaran senjata dan peralatan 169 Armed Conflict Database, lihat http:acd.iiss.org . Universitas Sumatera Utara militer lainnya seharga 2 juta dolar AS yang difasilitasi oleh seorang warga negara Malaysia dan Korea Utara. Termasuk di antaranya untuk pembelian 10.000 M-16 dan 200 assault machine guns. 170 Tidak diragukan lagi bahwa perolehan SALW oleh MILF digunakan sebagai cara perjuangan bersenjata untuk mencapai tujuan mereka. Akan tetapi, tidak hanya sampai di situ, penggunaan SALW oleh kelompok pemberontak ini juga menyebabkan dampak besar bagi penggunaan SALW secara keseluruhan di Filipina. Tidak hanya mengakibatkan peningkatan durasi dan intensitas konflik internal, penggunaan SALW ini juga memberikan kontribusi bagi terciptanya perang sipil di Filipina. MILF sering kali mengajukan diri untuk duduk bersama pemerintah di meja perundingan, tapi sebagian besar dari tindakan ini merupakan strategi mereka untuk kembali mempersiapkan dan mempersenjatai diri selama masa gencatan senjata. MILF juga merupakan contoh bagaimana SALW menjadi sangat efektif dalam mengkampanyekan konflik internal lewat kekerasan yang kontinu. Pada saat MNLF sedang berada di meja perundingan bersama dengan pemerintah, MILF memanfaatkan waktu ini untuk kembali membangun sumber-sumber dan persenjataan yang dibutuhkan, sehingga MILF berkesempatan menjadi kelompok pemberontak yang dominan di wilayah Moro. Dokumen-dokumen yang berhasil diperoleh Februari 2003 oleh AFP memperlihatkan sejumlah perolehan senjata yang memberikan alasan bagi juru bicara AFP Kolonel Assel Soriano untuk 170 Herman Joseph S. Kraft, Small Arms Proliferation and The Philippines. Dalam buku Small Is Not Beautiful; The Problem of Small Arms in South East Asia. Philips Jusario Vermonte Ed.. Centre For Strategic and International Studies. Jakarta, 2004. hal 82. Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa MILF memanfaatkan meja perundingan sebagai cover untuk mempersiapkan perang. Dokumen ini juga menunjukkan bahwa MILF tengah merencanakan untuk menyeruakkan perang terhadap kekuatan otoritas pemerintah melalui serangan yang bersifat konstan dan serentak; mengatur operasi-operasi sabotase skala besar; melakukan serangan mendadak terhadap konvoy militer dan polisi; mengatur ulang tempat, menculik penduduk untuk dijadikan sandera serta menanam ranjau darat di sekitar pantai. 171 Bahkan jika MILF sedang tidak menjalankan aksi ini, masih dapat terlihat jelas peranan penting yang dimainkan SALW dalam meneruskan lingkaran konflik internal di Filipina dan bagaimana SALW mampu memperparah pertikaian etnik di negara tersebut. Walau bagaimanapun juga, MILF masih belum cukup kuat untuk bersaing dengan pasukan AFP, sehingga mereka melanjutkan aksi pemberontakan dalam operasi gerilya. Berdasarkan laporan Oxfam International, taktik gerilya yang telah diadopsi oleh MILF sejak pertengahan tahun 2000 sudah diterima luas oleh penduduk lokal sebagai aksi yang menelan lebih banyak korban sipil daripada sebelumnya. Hal ini justru semakin memperpanjang durasi konflik internal di negara ini. AFP memiliki akses untuk diperlengkapi dengan kendaraan tempur, pesawat tempur dan helikopter, sementara MILF tidak memiliki akses terhadap senjata jenis ini maupun jenis senjata berat lainnya. Karena itu, kelompok ini bergantung pada suplai yang berkelanjutan terhadap SALW untuk tetap mampu melanjutkan perang sipil ini. Hal ini berarti bahwa pertikaian antara MILF dan AFP penderitaan yang berkepanjangan. Intensitas pertikaian tidak pernah 171 Karl B Kaufman, MILF Tried to Add Midget Subs to its Arsenal, lihat: www.manilatimes.net . 14 Maret 2003, diakses pada tanggal 19 September 2009 Universitas Sumatera Utara mencapai level yang tinggi karena kurangnya akses MILF atas persenjataan berat. Karena itu peran yang dimainkan MILF dalam konflik internal cenderung menekankan pada satu sisi dalam sebuah konflik, terutama jika aktor non-negara tidak memiliki akses terhadap senjata berat, maka konflik internal akan menjadi lebih sulit ditangani dan berjangka panjang. Tabel 5. Keterangan Sumber-sumber Eksternal dan Internal – Moro Islamic Liberation Front 172 Sources of Finance and Resources Sources of Small Arms External  Malaysia  Pakistan  Libya  Osama Bin Laden and Al Qaeda  Jemaah Islamiya  China  Malaysia  Iraq  North Korea  Osama Bin Laden and Al Qaeda Internal  Kidnap for Ransom  Petty Crimes  Tax on Logging Companies  Manpower Services  Islamic Charities  Battlefield Acquisition  Leakage of Government Stockpiles  Indigenous Production – Firearms 172 Hamish K. Wall, the Dinamic of Small Arms Transfer in South East Asian Insurgencies, hal 103 http:se2.isn.chserviceengineFileContent?serviceID=ESDPfileid=0A8A6552-6BB9-F5F1- 0AF2-16A794839ADBlng=en , diakses pada tanggal 17 September 2009 Universitas Sumatera Utara  Network of Front Companies  Factory III.3.3. Thailand Walaupun persoalan proliferasi SALW ilegal dan tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh proliferasi serupa tidak mempengaruhi Thailand secara langsung, Thailand tetap peduli dengan persoalan di wilayah Asia Tenggara ini. Persoalan ini terkait dengan konflik antar-negara dan konflik inter-negara, juga ancaman trans-nasional lainnya terhadap keamanan manusia seperti perdagangan obat-obatan terlarang. Isu obat-obatan, perdagangan manusia, kejahatan trans-nasional, pelanggaran HAM, terorisme, dan perdagangan senjata saling terhubung karena ekonomi yang tanpa batas yang disebabkan oleh proses globalisasi yang membantu ketersediaan SALW dengan lebih mudah. 173 Pada sub-sub bab berikut akan dibahas bagaimana peran Thailand dalam persoalan terkait peredaran dan perdagangan SALW ilegal di beberapa wilayah konflik di Asia Tenggara yang dipelopori dan didalangi oleh pihak-pihak tertentu, seperti kelompok separatis, pedagang senjata ilegal, bahkan militer. III.3.3.1. Thailand sebagai Buffer Zone 173 National Report of the Kingdom of Thailand on the Implementation of the 2001 United Nations Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects, Juli 2005. Lihat http:disarmament.un.orgcabnationalreports2005Thailand20National20Report20Second 20Biennial2005-rev.pdf . Universitas Sumatera Utara Seperti yang telah dijelaskan pada bab 1, persoalan yang dihadapi Thailand terkait dengan SALW sedikit berbeda dengan apa yang dihadapi Indonesia dan Filipina. Thailand dikenal dengan perannya sebagai penghubung global penyelundupan senjata yang dapat menyebabkan instabilitas di kawasan. Kedekatan geografis Thailand dengan wilayah-wilayah bekas konflik seperti Kamboja dan Vietnam serta pengawasan yang kurang ketat menjadikan Thailand sebagai wilayah basis ideal bagi para pedagang senjata ilegal. Lebih jauh, jaringan penyelundup senjata di Thailand juga memasok senjata kepada berbagai kelompok bajak laut diperairan Selat Malaka dan berbagai sindikat kriminal lainnya. Jaringan ini memanfaatkan wilayah perairan dan perbatasan terbuak di negara-negara Asia Tenggara yang tidak dijaga baik, mulai dari perbatasan darat Thailand, hingga penurunan kapal-kapal laut di wilayah perairan Asia Tenggara. 174 Sementara itu, sisi ekonomi bawah tanah Thailand, ketersediaan dan jangkauan SALW juga mengakibatkan timbulnya kekerasan dan ketidakstabilan di selatan Thailand, dimana pertentangan antara kelompok bersenjata dengan otoritas pemerintah mengambil tempat secara sporadis selama bertahun-tahun. Sejumlah besar kekerasan di wilayah selatan Thailand, termasuk provinsi Songkhla, Pattani, Yala, dan Narathiwat, menunjukkan pencurian senjata milik polisi dan militer oleh para perampok dengan tujuan untuk dijual dijual di pasar gelap. Tidak hanya mencuri lalu menjual, kelompok bersenjata di selatan Thailand 174 Thitinan Pongsudhirak, Small Arms Trafficking in Southeast Asia: A Perspective From Thailand, dalam Small is Not Beautiful: the Problem of Small Arms in Southeast Asia, Philips Jusario Vermonte eds. Penerbit CSIS dan Asia Centre Japan Foundation, 2004. hal 65. Universitas Sumatera Utara ini juga memasuki secara paksa fasilitas milik negara dan menembaki sejumlah petugas keamanan. sebagian besar dari kekerasan ini berorientasi pada pencurian senjata untuk tujuan komersil. Tidak terkait dari kekerasan yang terjadi di selatan Thailand, pencurian senjata oleh para kelompok pemberontak yang memperbesar perhatian publik ini juga terkait dengan tujuan mereka melawan pemerintah. Walaupun dibandingkan dengan tahun-tahun 1970 atau 1980an ketika gerakan pemeberontakan Thailand selatan terorganisasi, dipersenjatai, dan dibiayai dengan lebih baik, namun kelompok-kelompok seperti Mujahideen Islam Pattani, Bersatu, New Pulo, dan Barisan Revolusi Nasional Melayu Pattani tetap memiliki pengaruh dan kekuatan dalam mengancam keamanan dan keutuhan negara tetap tidak dapat diragukan. 175 Mayoritas SALW ini ditransitkan yang melalui ataupun berasal dari Thailand, dikatakan digunakan oleh pihak asing. Diantara negara-negara pemilik asing, kelompok pemberontakan etnik Burma Myanmar sudah menjadi pembeli tetap di sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Sebelumnya, kelompok Karen National Union KNU menjadi pembeli utama memanfaatkan penjualan kayu untuk membayar senjata. Akan tetapi pemerintah Rangoon telah berhasil melenyapkan keberadaan KNU akhir 1990, setelah itu muncul kelompok Wa. The United Wa State Army UWSA secara khusus memperoleh dana dari produksi dan ekspor amphetamine yang juga banyak ke Thailand. Dana yang diperoleh dari produksi ini digunakan untuk membeli senjata selain juga untuk kebutuhan bahan kimia untuk memproduksi 175 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 66. Universitas Sumatera Utara amphetamine. Demikian lah pola perolehan senjata yang dialirkan dari kelompok Karen kepada kelompok Wa dan dari hasil penjualan kayu kepada hasil penjualan obat-obatan. Kelompok pemberontak lainnya, Shan State Army SSA secara garis besar memperoleh senjata dari para personel militer Thailand yang berusaha menciptakan buffer zone dengan UWSA dan kekuatan pusat Rangoon. SSA pengaruhnya sama saja dengan kelompok pemberontak Khamer selama Perang Dingin dalam menciptakan buffer zone dalam strategi Thailand. Walaupun demikian, keterlibatan kelompok-kelompok pemberontakan Myanmar ini dalam membeli senjata terus-menerus menurut seiring dengan meningkatkan batasan-batasan sumber finansial. Karena sekitar tahun 2003 lalu pemerintahan Thaksin mengeluarkan kebijakan ketat atas obat-obatan yang akhirnya membatasi perdagangan amphetamine di Thailand, yang memaksa kelompok Wa akhirnya mencari sumber pasar yang lain. 176 Tidak hanya berfungsi sebagai buffer zone bagi kelompok-kelompok pemberontakan di Myanmar, Thailand juga menciptakan buffer zone bagi kelompok-kelompok pemberontakan lain di Sri Lanka Tamil Tigers atau LTTE, Filipina Moro Islamic Liberation Front atau MILF, dan juga Indonesia Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Pertengahan tahun 2000 misalnya, kelompok pemberontak Tamil Tigers masih menggunakan Thailand sebagai basis perolehan senjata, terutama sekitar Pulau Phuket di daerah Andaman pesisir selatan Thailand. 177 176 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 67. 177 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 68. Universitas Sumatera Utara III.3.3.2 . Thailand sebagai Grey Market Area Perdagangan SALW ilegal di Thailand, selayaknya sebagian besar wilayah di dunia yang mengahadapi persoalan proliferasi senjata, cenderung berawal dari transfer senjata dari sumber-sumber legal, termasuk jalur pemerintah ke pemerintah dengan jalan bantuan militer dan perolehan dari pemerintah. Setelah berhasil mendapatkan senjata melalui jalur yang sah, senjata-senjata ini kemudian memasuki perdagangan ilegal melalui ‘kebocoran-kebocoran’, yang secara umum mengaitkan tindakan korupsi yang dilakukan oleh para petugas pemerintah. 178 Observasi umum mengenai keabsahan transfer SALW ini sangat penting bagi pemahaman perdagangan SALW ilegal. Oleh karena itu, tidak heran jika proliferasi SALW di Thailand bersumber dari : pertama, dalam Thailand sendiri. Tidak seperti negara lainnya di Asia Tenggara, militer merupakan penyedia utama bagi SALW yang terdapat di Thailand. 179 Kebocoran SALW dari persenjataan militer lokal mengurangi biaya transaksi dari pembeli, sebagaimana produk-produk onsite lebih murah dibandingkan pengiriman dari supplier luar negeri. Kebocoran-kebocoran ini juga memperbesar pendapatan bagi kalangan militer yang terlibat karena kecilnya penghasilan yang mereka peroleh memotivasi mereka untuk menjalankan bisnis senjata. Sumber senjata kedua juga berhubungan dengan point sebelumnya. Terpisah dari keuntungan yang dapat dikorupsi dari persenjataan militer yang telah tersedia, pedagang-pedagang ilegal ini juga telah membawa sejumlah besar SALW yang tidak diketahui dengan jelas, khususnya senapan, ke dalam Thailand. 178 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 60. 179 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 61. Universitas Sumatera Utara Peraturan setempat mengijinkan toko-toko senjata, sekitar 350 buah toko, untuk mengimpor 30 senjata per tahun untuk satu toko. Akan tetapi, kebanyakan para pedagang senjata ini mengimpor melebihi dari quota yang diijinkan dan lalu menjual lebihnya di dalam pasar gelap, dengan memanfaatkan militer atau polisi pedagang sebagai penengah. 180 Bahkan, sejumlah senapan yang juga tidak diketahui kejelasannya dapat diimpor melalui celah-celah dalam hukum di negeri ini yang mengijinkan para pegawai negeri untuk membeli dan memiliki senjata. Banyak pegawai negeri yang menjual haknya sebagai ganti bagian keuntungan yang mereka peroleh dari para pedagang senjata. Setelah memberikan hak mereka untuk membeli senjata, senjata-senjata ini kemudian dibeli melalui pedagang di pasar gelap untuk diekspor kembali kepada pembeli-pembeli di negara-negara tetangga. Sifat ambigu dalam defenisi SALW yang dimiliki oelh hukum di Thailand, ke depannya semakin memperumit persoalan terkait SALW. Hukum setempat membedakan pengertian ’handguns’ dengan ’war weapons’. Jika tidak digunakan untuk tujuan perang, maka handguns dapat dibeli dan dimiliki secara legal oleh tiap-tiap orang. Dalam kenyataanya, senjata-senjata inilah yang justru digunakan untuk tujuan yang berhubungan dengan perang. Butir hukum ini, menimbulkan atmosfir kepemilikan senjata dan hak kepemilikan tersebut di Thailand, tanpa mempedulikan larangan umum dalam praktek penggunaan senjata ilegal. 181 Sumber ketiga berasal dari perbatasan Kamboja-Thailand. Sisa-sisa perolehan senjata pasca konflik di Kamboja sudah terkenal sebagai sumber 180 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 61. 181 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 62. Universitas Sumatera Utara keberadaan senjata di Thailand. 182 Penjualan senjata ini sepenuhnya di motivasi oleh kemiskinan yang merajalela di wilayah ini. Petugas militer di Kamboja, mulai dari masa pemerintahan Heng Samrin dan bekas tentara gerilya tidak dibayar dengan semestinya, sementara mereka bertanggung jawab atas sejumlah besar senjata. Bagi mereka, menjual senjata-senjata tersebut merupakan pendapatan penghasilan yang cepat dan besar. Dengan menjual senjata, mereka juga mendapatkan keuntungan dari membangun relasi yang baik dengan para personel militer Thailand, khususnya terkait kasus pemberontakan terhadap pemerintah di Pnom Penh. Bertahun-tahun setelah ditutupnya hubungan kerjasama dengan militer Thailand memunculkan kembali hubungan personal lewat mana para personel militer Kamboja ini dapat menjual senjata mereka demi uang. Senjata-senjata ini akan berakhir di pasar gelap Thailand siap untuk didistribusikan kembali kepada kelompok-kelompok bersenjata yang bersedia untuk membayar cukup uang. 183 Sumber keempat, Cina, merupakan negara sumber pemasok SALW yang cukup besar bagi Thailand. Senjata-senjata buatan Cina mengalir menuju Thailand lewat Vietnam, Laos, dan Kamboja. Pemerintahan pusat Cina, memiliki kesulitan dalam mengontrol produksi dan penjualan senjata kepada wilayah-wilayah tetangga secara terpisah karena perusahaan senjata milik negara berhubungan dengan pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan. Poly Technologies dan China Northern Industries, contohnya, merupakan perusahaan senjata yang 182 Ibid. Thitinan Pongsudhirak, hal 62. 183 bid. Thitinan Pongsudhirak, hal 62. Universitas Sumatera Utara berhubungan dengan pejabat eselon tingkat atas di pemerintahan Cina. 184 Senjata buatan Cina yang ditransfer via negara-negara Indocina ini berakhir di pasar gelap untuk kemudian dijual dan ditransfer kembali kepada kelompok oposisi yang berusaha mengumpulkan kekuasaan di kawasan. Thailand memang sangat terkenal sebagai pasar gelap perdagangan senjata yang diakses oleh berbagai kelompok pemberontak atau kriminal bersenjata. Kelompok pemberontak bersenjata UWSA United Wa State Army di Myanmar, misalnya, telah lebih dari 15 tahun mengandalkan pembelian senjata dari Thailand. Dari pasar gelap ini UWSA antara lain memperoleh mortir, senapan mesin, carbine, dan juga M-16. Perdagangan senjata Thailand juga berperan dalam pembelian senjata oleh GAM. GAM diperkirakan memiliki 2000-3000 senjata termasuk M-16 serta tipe AK-47. senjata dari Thailand ini umumnya masuk dari Kamboja, masuk ke wilayah Selatan Thailand dan dengan pengatiran dari kelompok separatis Pattani dipindahkan ke Malaysia, yang selanjutnya di kapalkan melalui Selat Malaka menuju Aceh. 185 184 Robert E. Bedeski, Andrew Anderson dan Santo Darmosumarto, Small Arms Trade and Proliferation in East Asia: Southeast Asia and the Russian Far East, Working Paper No. 24, Victoria, Canada: Institute of International Relations, University of British Columbia, 1998. 185 David Capie, Small Arms Production and Transfers in South East Asia, Strategic and Defense Studies Centre, Australian National Univrsity, Australia, 2002. hal 96. Universitas Sumatera Utara

BAB IV IMPLEMENTASI PROGRAM AKSI PBB UNTUK MENCEGAH,