Struktur film terdiri dari struktur lahiriah dan struktur batiniah. Dalam struktur lahiriah, terdapat unsur-unsur atau unit-unit yang
membangun yaitu : a.
shot; dapat dirumuskan sebagai peristiwa yang direkam oleh film tanpa interupsi.
b. scene terbentuk apabila beberapa shot disusun secara berarti dan
menimbulkan suatu pengertian yang lebih luas tapi utuh. Adegan
dapat kita sebut juga premis minor. Banyaknya shot, panjang
pendeknya shot dalam sebuah adegan akan menentukan ritme dari adegan itu. Selain shot dan scene, adapula
c. sequence atau babak; babak terbentuk apabila beberapa adegan
disusun secara berarti dan logis. Babak memiliki ritme permulaan, pengembangan dan akhir.
d. totalitas; Dalam hubungan ini sudah jelas merupakan nilai yang
muncul dari seluruh urutan shot, adegan dan sekwens, yaitu tema.
Struktur batiniah ditentukan oleh sejumlah faktor: 1.
Eksposisi: keterangan tempat, waktu dan perwatakan. 2.
Point of Attack atau serangan awal: menggambarkan tentang konfrontasi
awal dari
kekuatan-kekuatan yang
saling bertentangan.
3. Komplikasi: segi-segi yang menarik dari watak-watak tokoh-
tokohnya.
4. Discovery atau penemuan: memberikan informasi-informasi baru
tentang tokoh-tokohnya sementara cerita berlangsung terus, munculnya kejadian-kejadian.
5. Reversal atau pembalikan: terjadi komplikasi-komplikasi baru
6. Konflik: pertentangan-pertentangan batin yang menguasai tokoh-
tokoh. 7.
Rising action atau tanjakan aksi: bagian cerita yang mengungkapkan pengembangan plot utama, mulai dari point of
attack sampai klimaks. 8.
Krisis: meramalkan suatu perkembangan baru. 9.
Klimaks: puncak paling tinggi dari semua ketegangan dan intensitas.
10. Falling action atau surutnya aksi: klimaks menurun dan menuju
kesimpulan. 11.
Kesimpulan: dalam tahap ini semua pertanyaan dijawab, masalah- masalah utama dan sampingan dipecahkan dan diatasi.
6. Film Suatu Medium Ekspresi dan Komunikasi
21
Film merupakan suatu medium yang relatif baru di dalam kebudayaan umat manusia, dibandingkan dengan medium seperti
tulisan dan bahasa. Ernest Cassier An Essay on Man dan Die Philosophie der
Syimbolischen Formen merumuskan manusia sebagai “animal
21
D.A. Peransi, FilmMediaSeni, Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005, cet. 1, h. 146.
syimbolicum ”, yang berbeda dengan binatang, berkomunikasi dengan
lambang-lambang dan perlambangan. Bahasa adalah salah satu lambang bunyi yang arbitrer yang diciptakannya. Itu sebabnya orang
Indonesia dan Inggris mempunyai bunyi yang berbeda untuk melambangkan fakta yang sama.
Komunikasi antara dua orang yang lahir dari masyarakat bahasa yang berbeda akan sulit dilakukan apabila yang satu tudak mengenal
bahasa yang lainnya. Sejak fotografi ditemukan abad yang lalu, dan didasarkan atas
fotografi film dikembangkan, maka bertambah lagi medium ekspresi dan komunikasi antar manusia.
Tetapi berbeda dengan bahasa yang mempergunakan unsurebunyi untuk mengekspresikan arti dan bersifat lebih abstrak, film
mempergunakan rekaman optik dari kenyataan. Film merekam secara persis sekali kenyataan yang pernah ada di depan kamera dan kenyataan
itu melalui film tampil di depan kita yang melihatnya sebagai kenyataan optik.
Dengan menganggap bahwa apa yang ada dilayar sungguh- sungguh kenyataan maka pada penonton sebenarnya terjadi ilusi. Ilusi
bahwa yang ia lihat benar-benar kenyataan. Di dalam kondisi demikian itu terjadi beberapa proses identifikasi
pada penonton. Pertama, adalah identifikasi optik.Penonton melihat kenyataan sebagaimana kenyataan itu dilihat oleh lensa optik kamera.
Kedua, adalah identifikasi emosional. Disini penonton secara emosional
mempertautkan dirinya dengan bayangan-bayangan dari kenyataan yang ia lihat di layar. Ketiga, adalah identifikasi imajiner. Di sini
penonton mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu tokoh atau beberapa tokoh di dalam film yang ditontonnya.
Film mempunyai daya magis yang kuat sekali, tentu tergantung pada baik-buruknya film yang dibuat.
Film adalah suatu medium yang memungkinkan manusia terlibat secara ekstensial dengan kenyataan-kenyataan imajiner. Terlibat secara
eksistensial berarti bahwa terjadi suatu hubungan yang dialektis antara dirinya dan kenyataan memang imajiner itu.
Film pada dasarnya menceritakan suatu perkembangan psikologis dari tokoh-tokohnya, bukan seperti film dokumenter yang bertolak dari
konsep dan ide. Perkembangan psikologis itu dituang ke dalam suatu plot cerita yang mengenal permulaan, pengembangan cerita dan
klimaks. Di dalam garris plot itulah protagonis dan antagonisnya dipertemukan dan dipertentangkan.
Konflik antara protagonis dan antagonis tentunya merupakan konflik antara nilai-nilai yang menjadi dasar masing-masing. Nilai itu
bisa bersumber pada pribadi atau pada kelompok dimana pribadi itu berada. Itu sebabnya konflik-konflik di dalam cerita film bisa juga
merupakan konflik antara berbagai kelompok dan kepentingan, latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan sejarah.