Analisis semiotik fil biola tak berdawai

(1)

ANALISIS SEMIOTIK FILM

BIOLA TAK BERDAWAI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh :

Aminah Tuzahra NIM : 107051102738

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H / 2011 M


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2011


(5)

ABSTRAK

Aminah Tuzahra 107051102738

Analisis Semiotik Film Biola Tak Berdawai

Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia memerlukan komunikasi untuk kelangsungan hidupnya. Film merupakan suatu medium ekspresi dan komunikasi. Media film memiliki keampuhan yang besar untuk mempengaruhi publik. Publik seakan menyaksikan langsung, bahkan seolah-olah ikut terlibat pada peristiwa yang terjadi dalam sebuah film.

Film yang menjadi objek penelitian ini adalah film Biola Tak Berdawai (BTB), garapan sutradara Sekar Ayu Asmara. Film BTB mengisahkan tentang kasih sayang dan ketulusan seorang wanita terhadap anak-anak asuhnya yang menderita berbagai macam kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autisme, tuna wicara dan tuna daksa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam film BTB.

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Karena sebuah film pada dasarnya bisa melibatkan bentuk-bentuk simbol visual dan linguistik untuk mengkodean pesan yang sedang disampaikan.

Untuk itu, penulis menggunakan teori semiotik dalam penelitian ini dengan model Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna eksplisit untuk memahami makna yang terkandung dalam film ini. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai „mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Film BTB, memiliki makna denotasi sebagai film yang menggambarkan anak-anak yang mempunyai kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang memiliki jaringan otak yang rusak berat, autisme, dan tuna daksa. Mereka sering dianggap tidak berguna oleh lingkungannya. Sedangkan makna konotasinya, anak-anak yang memiliki jaringan otak yang rusak berat, autisme dan juga tuna daksa. Anak tersebut tidak pernah merespon pembicaraan dan mengeluarkan kata-kata apapun. Hal ini diibaratkan seperti biola tak berdawai, tidak bisa dimainkan dan tidak bisa menghasilkan nada-nada yang indah. Film yang tergolong kedalam film verbal ini menegaskan mitos, bahwa manusia memerlukan komunikasi dalam kehidupan. Karena manusia adalah makhluk sosial, baik itu komunikasi verbal maupun nonverbal sangat dibutuhkan.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, pemilik alam semesta. Alangkah tak berdayanya semua makhluk dihadapan-Mu, Dzat yang Maha Kuasa, Dzat yang Maha Mengatur, sehingga dengan Rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi akhir zaman yang menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia.

Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridlo kepada Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan didukung oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibuku tercinta, Fathiyah Duryad Reso Radin dan almarhum bapakku, Muslim Salimin, atas segala ridlo dan ketangguhannya mendidikku. Ini bukan akhir perjalanan hidupku untuk membahagiakan kalian.

2. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi; Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A selaku Pembantu Dekan I; Bapak Drs. Mahmud Djalal, M.A selaku Pembantu Dekan II; serta Bapak Drs. Study Rizal LK, M.A selaku Pembantu Dekan III.

3. Bapak Dr. Suhaimi, M.Si, selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, motivasi, do‟a dan ilmu kepada penulis.

4. Ibu Rubiyanah, M.A, selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik, beserta Ibu Ade Rina Farida, M.Si, selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik.


(7)

5. Seluruh Dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada Ibu Sekar Ayu Asmara, selaku sutradara film Biola Tak Berdawai, yang banyak membantu demi terselesaikannya skripsi ini.

7. Kepada kru Kalyana Shira Film, atas segala bantuan dan partisipasinya. 8. Keluargaku tercinta, Siti Widiyastuti Muslim, Arif Rahman Muslim, MF

Amin Fauzi Muslim, Hasan Alwi Muslim, M. Lutfi Muslim, Sholahuddin Muslim, Husni Mubarok Muslim, Yuyun Nazili, dan Ayu Irawati Wulandari, serta kedua keponakanku, Savira Layyina Rizqa dan Vara Lubhna Aghnia. Terima kasih atas segala dukungan kepada penulis, baik moril maupun materil.

9. Segenap karyawan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.Segenap guru SDN Dukuh 09 Pagi Jak-Tim, MTs NU Banat Kudus Ja-Teng, dan MAK Futuhiyyah-1 Mranggen Ja-Teng yang turut membantu demi terselesaikannya skripsi ini.

11.Teman-teman Jurnalistik angkatan 2007: Ika, Cahya, Mawa, Zahro, Ririn, Zabrina, Yanti, Dita, Nana, Nunu, Sintia, Lola, Nia, Silvi, Nadia, Andi, Wahyu, Ajat, Iqbal, Miral, Kiki, Helmi, Taufik, Rezza, Munir, Dodo, Nujumul, Fajar, Iman, Era dan Zainal. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Spesial untuk Ahmad Syafiul Alam, yang telah banyak membantu, meluangkan waktu, dan memberikan motivasi.


(8)

Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala dukungan dan perhatian kalian.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis.

Jakarta, Agustus 2011 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………. i

KATA PENGANTAR……… ii

DAFTAR ISI……….. v

DAFTAR TABEL……….. vi

DAFTAR GAMBAR………. vii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A.Latar Belakang Masalah……… 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah……….. 4

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 4

D.Metodologi Penelitian……… 5

E. Tinjauan Kepustakaan………... 7

F. Sistematika Penulisan……… 8

BAB II TINJAUAN TEORITIS……….. 10

A.Tinjauan Teoritis tentang Film………. 10

B.Tinjauan Teoritis Semiotik……… 28

1. Konsep Semiotik……….. 28

2. Konsep Semiotik Roland Barthes……… 34

C.Tinjauan Teoritis Komunikasi Nonverbal……… 39

BAB III GAMBARAN UMUM FILM BIOLA TAK BERDAWAI... 48

A.Profil Sutradara Film……… 48

B.Profil Pemain Film……… 49

C.Sinopsis Film………. 51

BAB VI DATA DAN HASIL PENELITIAN………... 55

A.Analisis Makna Judul Film Biola Tak Berdawai………… 55

B.Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film Biola Tak Berdawai……… 60

BAB V PENUTUP……… 86

A.Kesimpulan……… 86

B.Saran……….. 87

DAFTAR PUSTAKA……… 88


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol dari Charles Sanders Pierce 32

Tabel 2 : Peta Tanda Roland Barthes………... 37

Tabel 3 : Scene 2………... 60

Tabel 4 : Scene 5……… 63

Tabel 5 : Scene 8……… 66

Tabel 6 : Scene 10……….. 69

Tabel 7 : Scene 24……….. 71

Tabel 8 : Scene 25……….. 73

Tabel 9 : Scene 40……….. 76

Tabel 10: Scene 41……….. 79

Tabel 11: Scene 62………. 81


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot……….. 61 Gambar 2 : Renjani akan Menghadiri Acara Pemakaman…. 63 Gambar 3 : Renjani dan Dewa Berjalan-jalan di Pematang Sawah 66 Gambar 4 : Renjani Berbincang dengan Mbak Wid……….. 69 Gambar 5 : Renjani Menari Ballet untuk Dewa………. 71 Gambar 6 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot………. 74 Gambar 7 : Renjani Berbincang dengan Bhisma…………... 77 Gambar 8 : Renjani Menari Ballet Diiringi Alunan Biola Bhisma 79 Gambar 9 : Mbak Wid Bermain Kartu Tarot………. 81 Gambar 10: Bhisma dan Dewa ke Pusara Makam Renjani… 83


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah komunikasi digunakan dalam arti yang sangat luas untuk menampung semua prosedur yang bisa digunakan oleh satu pikiran untuk mempengaruhi pikiran lain. Adapun tujuan dari komunikasi adalah sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi tingkah laku sasaran (tujuan) komunikasi (atau penerima pesan).1

Pada dasarnya, kegiatan komunikasi sehari-hari manusia tidak hanya menggunakan komunikasi verbal saja, namun komunikasi non verbal juga diperlukan. Karena dalam mempersepsikan manusia, kita tidak hanya lewat bahasa verbal, namun juga melalui prilaku non verbalnya. Komunikasi non verbal merupakan aspek penting di dalam komunikasi manusia.

Jika komunikasi verbal itu menggunakan kata-kata, baik dalam bentuk percakapan maupun tulisan, komunikasi non verbal lebih banyak menggunakan lambang-lambang atau isyarat gerak tubuh.

Menurut D. A Peransi dalam bukunya Film/Media/Seni, Film merupakan suatu medium ekspresi dan komunikasi. Film merupakan suatu medium yang relatif baru di dalam kebudayaan umat manusia, dibandingkan dengan medium seperti bahasa dan tulisan2. Karena seringkali penonton film terbuai dan terbawa oleh suasana dan menganggap apa yang disajikan

1

Werner J. Severin dan James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, ed. 5, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 57.

2


(13)

pada layar sungguh-sungguh kenyataan. Dalam kondisi inilah terjadi proses identifikasi para penonton.

Film dianggap memiliki pengaruh lebih kuat terhadap khalayaknya dibandingkan dengan media lain. Meskipun berbagai penelitian tidak mendapatkan buktinya, dugaan film menguasai khalayaknya juga tidak hilang. Isi dan teknik pembuatan film memang sedemikian rupa sehingga mengikat perhatian penontonnya. Bahkan ada pengamat yang menyatakan bahwa film memiliki kekuatan hipnotis. Dalam Penguin Film Review No 8, Hugh Mauerhofer menguraikan betapa film mempunyai kekuatan tersendiri dalam memenuhi pikiran penonton, dan karena kekuatan inilah film perlu dikontrol. Film dikatakannya dapat menyihir penonton sehingga mereka selalu pasif dan menerima saja apa yang disajikan film3.

Sebagai film drama, “Biola Tak Berdawai” (BTB) memiliki kisah yang romantis, dramatik, sekaligus memperlihatkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang anak yang memiliki kelainan fisik sejak lahir.

Film BTB diproduksi oleh PT Kalyana Shira Film pada tahun 2002, disutradarai oleh Sekar Ayu Asmara. BTB merupakan salah satu film drama yang tergolong sukses mendapatkan bermacam penghargaan seperti Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003, juga meraih aktris terbaik di Festival Film Asia Pasifik di Shiraz, serta aktor dan musik terbaik di Bali International Film Festival. Bahkan di Festival Film Bandung (FFB) yang digelar pada bulan Maret 2004, BTB mendapatkan enam penghargaan dari tujuh kategori yang diperebutkan. Salah satu dari penghargaan tersebut

3

William L. Rivers, jay W. Jensen, dan Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna. (Jakarta:Prenada Media, 2004), ed. 2, cet. 2, h.291.


(14)

adalah sebagai musik Terpuji yang digarap oleh Addie MS. Selanjutnya MTV Indonesia menggelar pula ajang bergengsi untuk insan film Indonesia, yang dikenal dengan MTV Indonesia Movie Awards. Dari 5 nominasi Most favorite yang direncanakan, BTB yang berdurasi 97 menit masuk 4 nominasi yang berasal dari pemilihan seratus jurnalis yaitu: Most Favorite Actor (Nicolas Saputra), Most Favorite Actress (Ria Irawan), Most Favorite Supporting Actor (Dicky Lebrianto), Most Favorite Supporting Actress (Jajang C. Noer). Dari berbagai macam ajang penghargaan perfilman tersebut, jelas bahwa film “Biola Tak Berdawai” memiliki kualitas yang cukup diperhitungkan dan diakui dalam perfilman di dalam maupun di luar negeri4.

Dalam film ini, ada scene yang menggambarkan tentang seorang anak yang lahir dalam keadaan yang tidak normal. Seorang anak yang dilahirkan dengan jaringan otak yang rusak berat. Selain itu, dia juga mempunyai kecendrungan autisme dan penyandang tuna wicara. Tubuhnya kerdil, kepalanya selalu tertunduk ke bawah dengan tatapan mata yang hampa. namun pada suatu hari, anak yang menderita ketidak normalan itu mendadak mengangkat kepalanya, untuk yang pertama kalinya. hal ini dikarenakan setelah ia mendengarkan lagu dan tarian. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk sedikit menyajikan unsur komunikasi non verbal dalam film ini. Bahwa ternyata pentingnya mempelajari komunikasi non verbal disamping komunikasi verbal yang telah kita miliki sejak lahir. Semua ini terbingkai apik dalam film besutan sutradara Sekar Ayu Asmara.

4Ismail Fahmi, “

Biola Tak Berdawai”,artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari cafe.degromiest.nl/wp/archives/30.


(15)

Ini adalah drama kemanusiaan yang mengisahkan cinta lebih besar dari segalanya, bahwa cinta bisa membuat harapan yang tidak mungkin bisa menjadi kenyataan. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menyusun skripsi ini dengan judul: “Analisis Semiotik Film Biola Tak Berdawai

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih fokus, maka penulis membatasi pengambilan potongan adegan-adegan dan teks dalam film BTB, hanya yang dianggap memiliki makna dari tanda atau simbol yang mewakili kasih sayang seorang wanita terhadap anak-anak asuhnya yang menderita berbagai macam kelainan sejak lahir, salah satunya seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, autis, dan tuna daksa. Penelitian ini menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes.

Perumusan masalah dalam penilitian ini adalah:

 Bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos dalam film BTB?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan pertanyaan penelitian di atas, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos yang terdapat dalam film BTB. Sedangkan manfaat yang diharapkan

dari adanya penelitian ini adalah:

1. Manfaat Akademis yang ingin dicapai adalah untuk menambah kajian ilmu komunikasi serta sebagai tambahan referensi bahan pustaka,


(16)

khususnya pemikiran tentang analisis dengan minat pada kajian film dan semiotika.

2. Manfaat Praktis hasil karya ilmiah ini diharapkan dapat menarik penelitian lain, khususnya dikalangan mahasiswa. Untuk mengembangkan penelitian dalam karya ilmiah lanjutan tentang masalah yang serupa, memberi masukan kepada kalangan pembuat film. Dan tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wacana tentang wawasan, khususnya dalam komunikasi nonverbal.

D. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini digunakan dengan pertimbangan bahwa penelitian ini nantinya akan menganalisis pesan yang disampaikan dalam film BTB, Sedangkan taraf analisis dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran dan penjelasan terkait dengan rumusan masalah.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab semua pertanyaan yang ada, dan untuk menemukan hasil yang sesuai ialah metode analisis semiotik. Semiotik merupakan teori yang membahas tanda-tanda.

Akan tetapi, yang akan dibahas lebih lanjut adalah tanda-tanda yang dihasilkan oleh manusia. Melihat sebenarnya manusia hidup


(17)

didalam dunia yang penuh dengan tanda-tanda dan menggunakannya dalam berkomunikasi, bahkan telah membentuk kehidupan sosial. Maka mempelajari tentang tanda-tanda merupakan kebutuhan yang cukup penting dalam kehidupan manusia. Semiotika adalah studi tentang tanda-tanda itu bekerja.

3. Objek Penelitian

Objek penelitian adalah film Biola Tak Berdawai besutan sutradara Sekar Ayu Asmara yang dirilis pada tahun 2003.

4. Teknik Pengumpulan data

Dokumentasi

Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang berupa catatan formal dan juga video serta artikel yang didapat dengan mengunduh dari internet serta catatan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

Observasi

Mengadakan pengamatan langsung melalui media yang bersangkutan. Dalam hal ini, akan dilakukan pengamatan langsung dengan menonton film Biola Tak Berdawai .

5. Unit Analisis

Unit analisis penelitiannya adalah potongan gambar atau teks yang terdapat dalam film Biola Tak Berdawai yang berkaitan dengan rumusan masalah dan penelitian.


(18)

6. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari Januari hingga Mei 2011. 7. Teknik analisis data

Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan pertanyaan penelitian yang telah ditentukan. Setelah data terklasifikasi, dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes. Barthes mengembangkan semiotik menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi yang menghasilkan makna eksplisit untuk memahami makna yang terkandung dalam film Biola Tak Berdawai yang menjadi objek penelitian.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan kepustakaan yang menjadi rujukan penulis, yaitu:

1. “Analisis Semiotika Film Turtle Can Fly” oleh Istianah tahun 2009, jurusan Jurnalistik, UIN Jakarta.

2. “Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah haji (Analisis Semiotika karya Zarqoni Maksum pada Galeri Foto antara.co.id”) oleh Fatimah tahun 2008, KPI D, UIN Jakarta.

Kedua skripsi diatas memiliki objek penelitian yang berbeda. Ada yang membedah tentang Film dan Foto. Di sini penulis bermaksud, untuk mengetahui persamaan dan perbedaan diantara kedua skripsi tersebut. Masing-masing menggunakan teknik analisis semiotika model Roland Barthes.


(19)

Selain itu peneliti juga mencari data-data dan artikel di internet dan skripsi lain yang mungkin terdapat ketidaksengajaan sama dengan judul ini. Peneliti menemukan sebuah abstrak di internet yaitu eprints.umm.ac.id/4620. Disusun oleh Insyaf Luhur Bramasto (2006) dengan judul “Autisme dalam Film Biola Tak Berdawai” (Analisis Semiotik pada Film Biola Tak Berdawai karya Sekar Ayu Asmara), Undergraduate thesis, Universitas Muhammadiyah Malang, namun peneliti tidak menemukan persamaan isi dengan abstrak thesis tersebut.

Meskipun dalam penelitian ini penulis mendapatkan rujukan dari skripsi-skripsi tersebut di atas, penelitian yang dilakukan penulis tetaplah berbeda. Objek penelitian penulis adalah sebuah film karya anak bangsa dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika model Roland Barthes. Pengambilan film ini didasarkan karena belum ada mahasiswa yang meneliti film ini, sehingga penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat menambah referensi penelitian film.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis menguraikan beberapa hal pada penulisan yang terdiri dari lima bab dengan beberapa sub-babnya. Sistematika penulisan skripsi ini berdasarkan pada buku pedoman penulisan Karya Ilmiah UIN ( Skripsi, Tesis, dan Disertasi Karya hamid Nasuhi dkk), yaitu sebagai berikut:


(20)

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Bab ini menguraikan Tinjauan umum Film; Pengertian Film, Sejarah dan Perkembangan Film, Jenis dan Klasifikasi Film, Unsur-unsur Pembentuk Film, Struktur Film, Film Suatu Medium Ekspresi dan Komunikasi, Teknik Pengambilan Gambar; Konsep Umum Semiotik, Konsep Semiotik Roland Barthes serta Tinjauan Umum tentang Komunikasi Non Verbal.

BAB III GAMBARAN UMUM FILM BIOLA TAK BERDAWAI

Bab ini menggambarkan secara umum film Biola Tak Berdawai karya Sekar Ayu Asmara, terdiri dari biografi Sekar Ayu Asmara dan karya-karyanya, Sinopsis Cerita serta Profil Tokoh.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memfokuskan pada data dan hasil penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menyampaikan uraian singkat berupa kesimpulan dan saran penulis atas permasalahan yang diteliti.


(21)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Teoritis Tentang Film 1. Pengertian Film

Film adalah gambar hidup, juga sering disebut movie. Film, secara kolektif, sering disebut sinema. Sinema itu sendiri bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di dunia para sineas sebagai seluloid. Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie = grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar kita dapat melukis gerak dengan cahaya, kita harus menggunakan alat khusus, yang biasa kita sebut dengan kamera.5

Definisi Film Menurut UU 8/1992, adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan

5 David Summerton, “Definisi Film”

artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari Ayanona. Tumblr.com.


(22)

atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem Proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.6

Secara material film terdiri atau dibangun oleh gambar-gambar dan bukan oleh seluloid. Gambar-gambar ini menimbulkan ilusi yang kuat sekali pada kita bahwa apa yang diproyeksilkan pada layar sungguh-sungguh kenyataan. Ini disebabkan karena gambar-gambar itu berbeda dengan gambar-gambar seni lukis misalnya, tapi merupakan gambar-gambar mekanis (dibuat oleh dan dengan suatu mekanik: fototustel, kamera film ).7

Film lahir di kurun waktu seni, terutama seni lukis meninggalkan naturalisme dan realisme. Impresionalisme di bidang seni rupa telah memulai perjalanan pasti ke arah pemberian bentuk abstrak pada seni rakyat.8

Fotografi dan film mengambil jurus yang bertentangan. Kenyataan malah direproduksi dengan mirip sekali,termasuk gerak yang oleh seni rupa tidak dapat ditiru.film mengambil tontonan massa, tempatnya bukan di galeri atau museum, tetapi di lapangan, di sebuah tenda (sekarang bioskop).9

Media film memiliki keampuhan yang besar untuk mempengaruhi publik. Medium ini dapat menyajikan gambar-gambar atau peragaan gerak, termasuk suara. Teknologi baru yang hampir sejenis dengan film adalah kaset video dengan piringan laser (laser disc). Teknologi baru

6 David Summerton, “Definisi Film” artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari

Ayanona. Tumblr.com.

7

D.A. Peransi, Film/Media/Seni, (Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005), cet. 1, h.146.

8

Ibid, h.28.

9


(23)

mempunyai sifat praktis karena dengan menghubungkan melalui monitor televisi dirumah-rumah, kemudian muncul gambar dan sekaligus suaranya. Film dapat dikategorikan menjadi beberapa macam sebagai berikut: 10

a. Film Berita (news reel) b. Film Dokumenter c. Film Cerita (story film) d. Film Kartun

e. Film Iklan (orientasi bisnis)

2. Sejarah dan Perkembangan Film

Pada penghujung abad XIX, teknologi pembuatan film, gambar yang bisa bergerak, ditemukan di Perancis, Inggris dan Amerika. Pada waktu itu, negeri Nusantara ini masih merupakan jajahan Belanda dengan nama Nederlands Indie atau dalam bahasa Pribumi disebut Hindia Belanda. Sejak 1900, tontonan film mulai bisa disaksikan oleh masyarakat di kota-kota besar Hindia Belanda.11

Teknologi film atau motion picture bekerja berdasarkan proses kimiawi seperti fotografi. Medium ini dikembangkan pada 1880-an dan 1890-an. Pada 1930-an bioskop sudah ada di mana-mana menayangkan talkies.12 Pada dasarnya tontonan bergerak sudah ada sejak lama. Tanggal 24 April 1894, The New York Times memberitakan dahsyatnya sambutan publik terhadap film layar lebar pertama yang ditayangkan

10

YS. Gunadi dan Djony Heffan, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo, 1998), h. 11-12.

11

Misbach Yusran Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), h. 1.

12


(24)

yakni tentang dua gadis pirang yang memperagakan tarian payung. Film pertama ditayangkan di AS pada tanggal 23 April 1896 di kota New York.13

Sejarah film pertama terjadi di Prancis, tepatnya pada 28 Desember 1895, ketika Lumiere bersaudara telah membuat dunia „terkejut‟. Mereka telah melakukan pemutaran film pertama kalinya di depan publik, yakni di Cafe de Paris. Film-film buatan Lumiere yang diputar pada pertunjukan pertama itu adalah tentang para laki-laki dan wanita pekerja di Pabrik Lumiere, kedatangan kereta api di Stasiun la Ciotat, bayi yang sedang makan siang dan kapal-kapal yang meninggalkan pelabuhan. Salah satu kejadian unik, yaitu saat dipertunjukan lokomotif yang kelihatannya menuju ke arah penonton, banyak yang lari ke bawah bangku. Teknologi temuan Lumiere ini kemudian mendunia dengan cepat karenajuga didukung oleh teknologi proyektor berfilm 2 ¾ inci yang lebih unggul keluaran The American Biograph, yang diciptakan Herman Casler pada 1896. Maka sejak pertunjukan di cafe de Paris itulah, kata Louis Lumiere, lahirlah ekspresi I have been to a movie !14

Perubahan dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan dengan segala macam

13

William L. Rivers, jay W. Jensen, dan Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat Modern, Edisi kedua, (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna. (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. 2, h.198.

14

Misbach Yusran Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), h. xv.


(25)

efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih nyata.

Isu yang cukup menarik dibicarakan mengenai industri film adalah persaingannya dengan televisi. Untuk menyaingi televisi, film diproduksi dengan layar lebih lebar, waktu putar lebih lama dan biaya yang lebih besar untuk menghasilkan kualitas yang lebih baik.

Sejarah perfilman di Indonesia secara ringkas sebagai berikut: 15 a. Film pertama dibuat di Kota Bandung, tahun 1926 oleh Davis,

berjudul Lely Van Java.

b. Film Euis Atjih produksi Krueger Corporation tahun 1927/1928. c. Film cerita Loetoeng Kasarung, Si Lorat dan Pereh. Namun,

sampai tahun 1930 film-film di Indonesia masih bisu, tanpa efek suara.

d. Film Terang Bulan merupakan film bicara pertama yang dibintangi oleh Roekiah dan Raden Mochtar, atas cerita naskah garapan Saerun.

e. Tahun 1941 berlangsung Perang Asia Timur raya. Perfilman di Indonesia diambil alih oleh Jepang.

f. Tahun 1950-an perkembangan film di Indonesia cukup cerah sampai sekarang ini.

15

YS. Gunadi dan Djony Heffan, Himpunan Istilah Komunikasi, (Jakarta: PT Grasindo, 1998), h. 11-12.


(26)

3. Jenis dan klasifikasi Film

a. Jenis-Jenis Film

Jika dilihat dari isinya, film dibedakan menjadi jenis film fiksi dan non fiksi. Sebagai contoh, untuk film non fiksi adalah film dokumenter yang menjelaskan tentang dokumentasi sebuah kejadian alam, flora, fauna maupun manusia. Adapun penjelasan dari jenis-jenis film itu sebagai berikut:

1) Film Dokumenter adalah film yang menyajikan fakta berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti informasi atau berita, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, politik (propaganda), dan lain sebagainya.

2) Film fiksi adalah film yang menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata, terkait oleh plot, dan memiliki konsep pengadegaan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terikat hokum kausalitas. Cerita fiksi juga seringkali diangkat dari kejadian nyata dengan menggunakan beberapa cuplikan rekaman gambar dari peristiwa aslinya (fiksi-dokumenter).

3) Film Eksperimental merupakan film yang berstruktur namun tidak berplot. Film ini tidak bercerita tentang apapun


(27)

(anti-naratif) dan semua adegannya menentang logika sebab-akibat (anti-rasionalitas).16

b. Klasifikasi Film

Menurut Himawan Pratista dalam buku Memahami Film-nya, metode yang paling mudah dan sering digunakan untuk mengklasifikasi film adalah berdasarkan genre, yaitu klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama (khas) sebagai berikut17:

1) Aksi, yaitu film yang berhubungan dengan adegan-adegan aksi fisik seru, menegangkan, berbahaya, dan nonstop dengan tempo cerita yang cepat.

2) Drama, yaitu film yang kisahnya seringkali menggugah emosi, dramatik, dan mampu menguras air mata penontonnya. Tema umumnya mengangkat isu-isu sosial, seperti kekerasan, ketidakadilan, masalah kejiwaan, penyakit, dan sebagainya.

3) Epik sejarah, yaitu film dengan tema periode masa silam (sejarah) dengan latar sebuah kerajaan, peristiwa, atau tokoh besar yan menjadi mitos, legenda, atau kisah biblical.

4) Fantasi, yaitu film yang berhubungan dengan tempat, peristiwa dan karakter yangtidak nyata, dengan menggunakan unsur magis, mitos, imajinasi, halusional, serta alam mimpi.

16

Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h. 4-8.

17


(28)

5) Fiksi Ilmiah, yaitu film yang berhubungan dengan teknologi dan kekuatan di luar jangkauan teknlogi masa kini yang artificial.

6) Horror, yaitu film yang berhubungan dengan dimensi spiritual atau sisi gelap manusia.

7) Komedi, yaitu jenis film yang tujuannya menghibur dan memancing tawa penonton.

8) Kriminal dan Gangster, yaitu film yang berhubungan dengan aksi-aksi kriinal dengan mengambil kisah kehidupan tokoh kriminal besar yang diinspirasi dari kisah nyata.

9) Musikal, yaitu film yang mengkombinasikan unsur musik, lagu, tari (dansa), serta gerak (koreografi).

10) Petualangan, yaitu film yang berkisah tentang perjalanan, eksplorasi, atau ekspedisi ke suatu wilayah asing yang belum pernah tersentuh.

11) Perang, yaitu film yang mengangkat tema ketakutan serta teroe yang ditimbulkan oleh aksi perang dengan memperlihatkan kegigihan, dan perjuangan.

12) Western, yaitu film dengan tema seputar konflik antara pihak baik dan jahat berisi aksi tembak-menembak, aksi berkuda, dan aksi duel.


(29)

4. Unsur-Unsur Pembentuk Film18

Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, berhubungan dengan aspek cerita atau tema film, terdiri dari unsur-unsur seperti: tokoh, masalah, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Sementara unsur sinematik atau gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.

Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yakni: a) Mise-en-scene, yaitu segala hal yang berada di depan kamera. b) Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta

hubungan kamera dengan obyek yang diambil.

c) Editing, yakni transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya.

d) Suara, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran.

Film juga mengandung unsur-unsur dramatik. Unsur dramatik dalam istilah lain disebut dramaturgi, yakni unsur-unsur yang dibutuhkan untuk melahirkan gerak dramatik pada cerita atau pada pikiran penontonnya, antara lain: konflik, suspense, curiosity, dan surprise. Konflik merupakan suatu pertentangan yang terjadi dalam sebuah film misalnya, pertentangan antar tokoh. Suspense merupakan

18

Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h. 1-2.


(30)

ketegangan yang dapat menggiring penonton ikut berdebar menantikan adegan selanjutnya. Curiosity merupakan rasa ingin tahu atau penasaran penonto terhadap jalannya cerita sehinga penonton terus mengikuti alur film sampai selesai. Surprise adalah kejutan. Kejutan ini biasanya digunakan pada alur film yang sulit ditebak. 19

5. Struktur Film20

Esensi dari struktur film terletak pada pengaturan berbagai unit cerita atau ide sedemikian rupasehingga mudah dipahami. Struktur adalah blueprint; kerangka desain yang menyatukan berbagai unsur film dan merepresentasikan jalan pikiran dari pembuat film. Struktur terdapat dalam semua bentuk karya seni. Pada film ia mengikat aksi (action) dan ide menjadi satu kesatuan yang utuh.

Struktur yang baik adalah struktur yang sederhana tapi penuh relief. Struktur yang sederhana berhubungan dengan kontinyuitas fisik, yaitu: anak dilahirkan, hidup sebagai orang dewasa, kemudian mati. Ini mengandaikan adanya permulaan, pengembangan dan akhir. Variasi dari urutan ini banyak sekali, misalnya suatu akhir dapat dijadikan permulaan dalam hal kilas balik flashback umpamanya.

19

Elizabeth Lutters, Kunci Sukses menulis Skenario, (Jakarta: Grasindo.2004), cet. 3, h.100-103.

20


(31)

Penyusunan pikiran dan perasaan si seniman film ditentukan oleh faktor-faktor:

a. Keutuhan: Semua unsur dalam film mesti bertalian dengan subyek utamanya, harus menjaga bagian dari keseluruhan. Arti dan maknanya ditentukan pertaliannya dengan keseluruhan karya. b. Ketergabungan: Unsur atau unit yang satu harus memiliki

hubungan dengan unit atauunsur berikutnya, sedemikian rupa sehingga hubungan itu bukan saja logis akan tetapi juga hubungan yang membangun. Ini berarti bahwa urutan unsur ini harus menunjukkan perkembangan yang menuju suatu kesimpulan. Faktor ketergabungan ini tergantung lagi pada sebab, akibat dan kemungkinan.

c. Tekaan: Berhubungan dengan atau menentukan posisi dari unit-unit pertama dan sampingan, hubungan yang satu terhadap yang lain. Tekanan menentukan juga proporsi dari unit-unit itu sehingga menjadi jelas nilai dari berbagai unit tersebut.

d. Interes: Berhubungan dengan “isi” dari setiap unit. Pilihan ini yang tepat untuk menjadikan unit-unit itu saling berhubungan dengan jalinan subordinat dan menjadfi suatu kesatuan karya yang utuh.


(32)

Struktur film terdiri dari struktur lahiriah dan struktur batiniah. Dalam struktur lahiriah, terdapat unsur-unsur atau unit-unit yang membangun yaitu :

a. shot; dapat dirumuskan sebagai peristiwa yang direkam oleh film tanpa interupsi.

b. scene terbentuk apabila beberapa shot disusun secara berarti dan menimbulkan suatu pengertian yang lebih luas tapi utuh. Adegan dapat kita sebut juga premis minor. Banyaknya shot, panjang pendeknya shot dalam sebuah adegan akan menentukan ritme dari adegan itu. Selain shot dan scene, adapula

c. sequence atau babak; babak terbentuk apabila beberapa adegan disusun secara berarti dan logis. Babak memiliki ritme permulaan, pengembangan dan akhir.

d. totalitas; Dalam hubungan ini sudah jelas merupakan nilai yang muncul dari seluruh urutan shot, adegan dan sekwens, yaitu tema.

Struktur batiniah ditentukan oleh sejumlah faktor: 1. Eksposisi: keterangan tempat, waktu dan perwatakan.

2. Point of Attack atau serangan awal: menggambarkan tentang konfrontasi awal dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan.

3. Komplikasi: segi-segi yang menarik dari watak-watak tokoh-tokohnya.


(33)

4. Discovery atau penemuan: memberikan informasi-informasi baru tentang tokoh-tokohnya sementara cerita berlangsung terus, munculnya kejadian-kejadian.

5. Reversal atau pembalikan: terjadi komplikasi-komplikasi baru 6. Konflik: pertentangan-pertentangan batin yang menguasai

tokoh-tokoh.

7. Rising action atau tanjakan aksi: bagian cerita yang mengungkapkan pengembangan plot utama, mulai dari point of attack sampai klimaks.

8. Krisis: meramalkan suatu perkembangan baru.

9. Klimaks: puncak paling tinggi dari semua ketegangan dan intensitas.

10. Falling action atau surutnya aksi: klimaks menurun dan menuju kesimpulan.

11. Kesimpulan: dalam tahap ini semua pertanyaan dijawab, masalah-masalah utama dan sampingan dipecahkan dan diatasi.

6. Film Suatu Medium Ekspresi dan Komunikasi21

Film merupakan suatu medium yang relatif baru di dalam kebudayaan umat manusia, dibandingkan dengan medium seperti tulisan dan bahasa.

Ernest Cassier (An Essay on Man dan Die Philosophie der Syimbolischen Formen) merumuskan manusia sebagai “animal

21


(34)

syimbolicum”, yang berbeda dengan binatang, berkomunikasi dengan lambang-lambang dan perlambangan. Bahasa adalah salah satu lambang bunyi yang arbitrer yang diciptakannya. Itu sebabnya orang Indonesia dan Inggris mempunyai bunyi yang berbeda untuk melambangkan fakta yang sama.

Komunikasi antara dua orang yang lahir dari masyarakat bahasa yang berbeda akan sulit dilakukan apabila yang satu tudak mengenal bahasa yang lainnya.

Sejak fotografi ditemukan abad yang lalu, dan didasarkan atas fotografi film dikembangkan, maka bertambah lagi medium ekspresi dan komunikasi antar manusia.

Tetapi berbeda dengan bahasa yang mempergunakan unsurebunyi untuk mengekspresikan arti dan bersifat lebih abstrak, film mempergunakan rekaman optik dari kenyataan. Film merekam secara persis sekali kenyataan yang pernah ada di depan kamera dan kenyataan itu (melalui film) tampil di depan kita yang melihatnya sebagai kenyataan optik.

Dengan menganggap bahwa apa yang ada dilayar sungguh-sungguh kenyataan maka pada penonton sebenarnya terjadi ilusi. Ilusi bahwa yang ia lihat benar-benar kenyataan.

Di dalam kondisi demikian itu terjadi beberapa proses identifikasi pada penonton. Pertama, adalah identifikasi optik.Penonton melihat kenyataan sebagaimana kenyataan itu dilihat oleh lensa (optik) kamera. Kedua, adalah identifikasi emosional. Disini penonton secara emosional


(35)

mempertautkan dirinya dengan bayangan-bayangan dari kenyataan yang ia lihat di layar. Ketiga, adalah identifikasi imajiner. Di sini penonton mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu tokoh atau beberapa tokoh di dalam film yang ditontonnya.

Film mempunyai daya magis yang kuat sekali, tentu tergantung pada baik-buruknya film yang dibuat.

Film adalah suatu medium yang memungkinkan manusia terlibat secara ekstensial dengan kenyataan-kenyataan imajiner. Terlibat secara eksistensial berarti bahwa terjadi suatu hubungan yang dialektis antara dirinya dan kenyataan memang imajiner itu.

Film pada dasarnya menceritakan suatu perkembangan psikologis dari tokoh-tokohnya, bukan seperti film dokumenter yang bertolak dari konsep dan ide. Perkembangan psikologis itu dituang ke dalam suatu plot cerita yang mengenal permulaan, pengembangan cerita dan klimaks. Di dalam garris plot itulah protagonis dan antagonisnya dipertemukan dan dipertentangkan.

Konflik antara protagonis dan antagonis tentunya merupakan konflik antara nilai-nilai yang menjadi dasar masing-masing. Nilai itu bisa bersumber pada pribadi atau pada kelompok dimana pribadi itu berada. Itu sebabnya konflik-konflik di dalam cerita film bisa juga merupakan konflik antara berbagai kelompok dan kepentingan, latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan sejarah.


(36)

Sering pula di dalam film Indonesia, ketidakmampuan dramaturgi pembuat filmnya menyebabkan film itu menawarkan kenyataan-kenyataan serta penyelesaiannya yang tidak masuk akal.

7. Teknik Pengambilan Gambar

a. Sinematrogafi

Dalam sebuah produksi film ketika seluruh aspek mise-en-scene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya, maka pada tahap inilah unsur sinematografi mulai berperan. Sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan sebagainya.

Sama seperti teknik dalam pemotretan, pada kamera juga menggunakan teknik framing dalam pengambilan gambarnya. Framing adalah meletakkan objek sebagai foreground untuk membuat bingkai yang bertujuan memberi kesan ruang tiga dimensi.22

22

Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional, (Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1, h. 55.


(37)

Berikut ini adalah salah satu aspek framing yang terdapat dalam sinematografi, yakni jarak kamera terhadap obyek (type of shot), yaitu:23

1) Extreme long shot, merupakan jarak kamera yan paling jauh dari objeknya. Teknik ini umumnya untuk menggambarkan sebuah objek yang sangat jauh atau panorama yang luas. 2) Long shot, pada teknik ini memperlihatkan tubuh fisik

manusia yang tampak jelas namun latar belakang masih dominan.

3) Medium long shot, pada teknik ini manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas.

4) Medium shot, pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas.

5) Medium close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. Adegan percakapan normal biasanya mengunakan jarak ini.

6) Close-up, umumnya memperlihatkan wajah, kaki, atau sebuah obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah secara jelas serta gestur yang mendetil.

7) Extreme close-up,teknik ini mampu memperlihatkan lebih detil bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah obyek.

23

Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), cet. 1, h. 104-106.


(38)

b. Sudut Pengambilan gambar

Ada beberapa tehnik pengambilan gambar yang biasa di gunakan diantaranya:

Bird Eye View

Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang dilakukan di atas,seperti burung terbang yang melihat ke bawah. Efek yang tampak, subjek terlihat menjadi rendah, pendek dan kecil. Manfaatnya untuk menyajikan suatu lokasi atau pemandangan24. Biasanya untuk mengambil gambar dengan sudut ini dilakukan dari atas gedung ataupun dengan helikopter.

High Angle

Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil.

Low Angle

Ini merupakan sudut Pengambilan gambar yang diambil dari bawah si objek, sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle. Efek yang timbul adalah distorsi perspektif yang secara teknis dapat menurunkan kualitas gambar. Bagi yang kreatif, hal ini dimanfaatkan untuk menimbulkan efek khusus. Kesan efek ini adalah menimbulkan sosok pribadi yang besar, tinggi, kokoh, dan berwibawa, juga angkuh25.

24

Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional,(Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1, h. 49.

25


(39)

Eye Level

Ini merupakan sudut pengambilan gambar sebatas mata posisi berdiri. Sudut pengambilan gambar ini merupakan posisi yang paling umum. Objek sejajar dengan mata, tidak menimbulkan kesan khusus yang terlihat menonjol26.

Frog Level

Ini merupakan sudut pengambilan gambar yang diambil sejajar dengan permukaan tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.27

B. Tinjauan Teoritis Semiotik 1. Konsep Semiotik

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan „tanda‟. Dengan demikian, semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.28

Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.29

Studi sistematis tentang tanda-tanda dikenal sebagai semiologi. Arti harfiahnya adalah”kata-kata mengenai tanda-tanda”. Kata semi

26

Yannes Irwan Mahendra, Dari Hobi jadi Profesional,(Yogyakarta: Andi, 2010), ed. 1, h. 49.

27

Ibid, h.50.

28

Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.87.

29

Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),ed. 1, h. 261-262.


(40)

dalam semiologi berasal dari semeion (bahasa Latin), yang artinya „tanda‟. Semiologi telah dikembangkan untuk menganalisis tanda-tanda.30

Menurut Ferdinand de Saussure didalam bukunya Course in General Linguistik. Bahasa adalah suatu sistem tanda yang mengekpresikan ide-ide (gagasan-gagasan) dan karena itu dapat dibandingkan dengan sistem tulisan, huruf-huruf untuk orang bisu-tuli, simbol-simbol keagamaan, aturan-aturan sopan santun, tanda-tanda kemiliteran, dan sebagainya. Semua itu merupakan hal yang sangat penting dari keseluruhan sistem tersebut. Suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda kehidupan dalam masyarakat bersifat dapat dipahami. Hal itu merupakan bagian dari psikologi sosial atau berkaitan dengan psikologi umum. Saussure menyebutnya sebagai semiologi (dari bahasa Latin semion: tanda). Semiologi akan menjelaskan unsur yang menyusun suatu tanda dan bagaimana hukum-hukum itu mengaturnya.31

Untuk menyederhanakannya kemudian Umberto Eco dalam bukunya A Theory of Semiotics menjelaskan dan mempertimbangkan, bahwa semiotika berkaitan dengan segala hal yang dapat dimaknai tanda-tanda. Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Segala sesuatu ini tidak terlalu mengharuskan perihal adanya atau mengaktualisasikan perihal dimana dan kapan suatu tanda

30

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,Edisi Baru,(Yogyakarta: tiara wacana, 2010),cet. 1, h. 4.

31


(41)

memaknainya. Jadi, semiotika ada dalam semua kerangka (prinsip), semua disiplon studi, termasuk dapat pula digunakan untuk menipu bila segala sesuatu tidak dapat dipakai untuk menceritakan (mengatakan) segala sesuatu (semuanya).32 Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”; dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial.33

Semiotika seperti yang kita kenal dapat dikatakan baru karena berkembang sejak awal abad-20. Memang pada awal abad-18 dan ke-19 banyak ahli teks (khususnya Jerman) berusaha mengurai pelbagai masalah yang berkaitan dengan tanda, namun mereka tidak menggunakan pengertian semiotis.34

Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure didalam Course in General Linguistik. Sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.35 Sedangkan semiotika menurut Roland Barthes adalah ilmu mengenai bentuk (form). Studi ini mengkaji signifikasi yang terpisah dari sisinya (content). Semiotika tidak hanya meneliti mengenai signifier dan signified, tetapi juga

32

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010),cet. 1, h. 4.

33

Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.87.

34

Tommy Cristomy, Semiotika Budaya,(Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1, h.81

35

Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotik; Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 256 .


(42)

hubungan yang mengikat mereka. Tanda yang berhubungan secara keseluruhan.36

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinan de Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkan semiologi (semiolology).37

Ada dua pendekatan penting atas tanda-tanda. Pertama pendekatan yang didasarkan pada pandangan Saussure yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun oleh dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan suatu konsep tempat citra-bunyi itu disandarkan. 38

TANDA

Penanda Petanda

Citra-bunyi konsep

Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Pendekatan kedua yang penting untuk memahami tanda-tanda, yakni suatu sistem

36

Alex Sobur, Analisis teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h.123.

37

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet. 2, h. 11.

38

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,Edisi Baru, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 13-14.


(43)

analisis tanda yang dikembangkan oleh filsuf Charles Sanders Pierce (1839-1914), pemikir Amerika yang cerdas dan pemikirannya tak dapat disepelekan. Pierce mengatakan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan kausal dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan kausalnya, dan simbol untuk asosiasi konvensionalnya.39

Table berikut menjelaskan hal tersebut. Trikotomi Ikon/ Indeks/ Simbol

dari Charles Sanders Pierce

Tanda Ikon Indeks Simbol

Ditandai dengan

Contoh:

Proses

Persamaaan (kesamaan) Gambar-gambar Patung-patung tokoh besar Foto Reagen Dapat dilihat

Hubungan kausal

Asap/api Gejala/penyakit

(Bercak

merah/campak) Dapat

diperkirakan

Konvensi

Kata-kata Isyarat

Harus dipelajari

39

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,Edisi Baru, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 16-17.


(44)

Bila pernyataan Saussure tentang penanda dan petanda adalah kunci dari model analisis semiologi, maka trikotomi Pierce adalah kunci menuju analisis semiotika.40

Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penandaan (signifier) dengan sebuah idea tau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau coretan yang bermakna”.41 Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.42

Pierce dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangle meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang terdiri dari: Tanda (sign), Acuan Tanda (Object), Pengguna Tanda (Interpretant). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada di benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.43

40

Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: tiara wacana, 2010), cet. 1, h. 17.

41

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 46.

42

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual; Metode Analisis Tanda dan Makna pada Karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), cet. 2, h. 16.

43

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. 6, h. 115.


(45)

2. Konsep Semiotik Roland Barthes

Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.

Menilik sejarahnya, tradisi semiotika berkembang dari dua tokoh utama, yaitu: Charles Sanders Pierce yang mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure yang mewakili tradisi Eropa. Keduanya tidak pernah bertemu sama sekali, sehingga kendati keduanya sering disebut mempunyai kemiripan gagasan, penerapan konsep-konsep dari masing-masing keduanya, namun seringkali mereka mempunyai perbedaan. Barangkali keduanya berangkat dari disiplin yang berbeda, Pierce adalah seorang guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah seorang ahli linguistik.44

Ada sesuatu yang disebut dengan istilah semiologi, atau yang sering disebut dengan istilah semiotika, melalui peminjaman kata Inggris semiotics. Pada pandangan pertama, sesuatu itu tampaknya telah mendapatkan beberapa definisi yang saling berdekatan dari beberapa ilmuwan yang telah memikirkan persoalan tersebut dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Menurut Georges Mounin, Saussure-lah yang menjadi tokoh karena dalam bukunya, Cours de linguistique générale, telah membaptis dan mendefinisikan secara garis besar ”ilmu umum

44

Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida Sundari Husein dalam Panuti Sujiman dan Aart van Zoest, (Ed) Serba-Serbi Semiotika, (Jakarta: Gramedia, 1991), h.1.


(46)

tentang semua sistem tanda (atau tentang semua sistem simbol), sistem-sistem itu bisa membuat manusia bisa berkomunikasi diantara mereka“.45

Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang rajin mempraktikkan model linguistik semiologi Saussure.46Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan istilah “order of signification”.47

Bagi Roland Barthes yang juga mengikuti Saussure, maka “secara prospektif objek semiologi adalah semua sistem tanda, entah apapun substansinya, apapun batasannya (limit): gambar, gerak tubuh, bunyi melodis, benda-benda, dan pelbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang bias ditemukan dalam ritus, protokol, dan tontonan sekurangnya merupakan sistem signifikasi (pertandaan), kalau bukan merupakan „bahasa‟ (langage).”48

Pada mulanya Mounin dan Barthes membatasi medan riset semiologi dengan menetapkan: medan semiologi berisi “sistem-sistem

45

Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h.2.

46

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 63.

47

Rahmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268.

48

Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h.3.


(47)

tanda”. Tetapi mereka melihat sistem-sistem tersebut dengan cara yang sangat berbeda. Bagi Mounin, sistem-sistem tanda terdefinisikan oleh fungsinya: sistem itu digunakan untuk komunikasi manusia. Bagi Barthes, sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita bias mempertanyakan apakah pendapat itu tidak membuat kita juga mengurusi sistem-sistem yang di dalamnya perkara yang sudah diidentifikasi hanyalah pelbagai kumpulan yang berisi fakta-fakta signifikatif,49

Two orders of signinification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi.50

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroprasi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.51

49

Jeanne Martinet, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5.

50

M. Antonius birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 56.

51

Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia,2004), cet. 1, h. 94.


(48)

Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes: 1. Signifer (penanda) 2. Signified

(petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif)

4.Connotative signifier (penanda konotatif)

5.Connotative signified

(petanda konotatif) 6.Connotative sign (tanda konotatif)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.52

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dan tatanan denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah tingkatan representasi atau tingkatan

52


(49)

mana. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai berikut:53

1. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal. 2. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan

perasaan atau emosi pembaca/pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi. Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.54

Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri. Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi. Makna denotasi adalah apa yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya memunculkan denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi

53

M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi,(Yogyakarta: Gitanyali, 2004), h. 57.

54

AS. Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006), cet. 1, h. 27-28.


(50)

ketika konotasi tersebut sudah umum digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku.

Mitos dalam pemahaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.55

Ferdinand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional dan mitos modern. Mitos modern ini dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, olahraga, sinema, televisi, dan pers. Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesuatu yang hampir mirip dengan „re-presen-tasi kolektif‟ di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk.56

C. Tinjauan Teoritis Komunikasi Nonverbal 1. Pengertian Komunikasi Nonverbal

Secara sederhana, komunikasi non verbal didefinisikan sebagai komunikasi tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata yang kita pergunakan57. Komunikasi non verbal lebih dulu ada daripada komunikasi verbal. Karena setiap manusia saat menginjak usia 18 bulan kita secara total tergantung pada komunikasi non verbal seperti sentuhan,

55

Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), cet. 1, h. 94.

56

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 224.

57

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 308.


(51)

senyuman, pandangan mata, dan sebagainya58. Menurut Adler dan Rodman dalam bukunya Understanding Human Communication, batasan yang sederhana tersebut merupakan langkah awal untuk membedakan apa yang disebut vocal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan mulut, dan verbal communication yaitu tindak komunikasi yang menggunakan kata-kata59.

2. Perilaku Non Verbal

Perilaku non verbal dapat diartikan sebagai semua tindakan, seperti gerakan mimik wajah, gerakan-gerakan tubuh, gerakan otot tubuh, berkeringat, muka merah, dan sebagainya yang bekerja bersama-sama dalam mengkomunikasikan makna-makna tertentu.

Semua gerakan yang kita lakukan dalam hubungannya dengan orang lain selalu dikomunikasikan, diterima dan diinterpretasikan. Gerakan-gerakan non verbal ini dalam hubungannya dengan orang lain akan menenetukan bagaimana umpan balik dari orang tersebut. Selain itu perilaku non verbal adalah sebuah metakomunikasi, yang artinya perilaku tersebut memperkuat perilaku-perilaku non verbal maupun bahasa-bahasa verbal lainnya dalam sebuah komunikasi.

3. Fungsi dan Peran Komunikasi Non Verbal

Ada beberapa pendapat mengenai fungsi dari komunikasi non verbal. Bentuk komunikasi ini sama pentingnya dengan komunikasi

58

Ibid. h. 308.

59

Sasa Djuarsa Sendjaja. Pengantar Komunikasi, (Universitas Terbuka (UT)),. h. 6.3-6.19.


(52)

verbal yang umum dipakai. Fungsi komunikasi nonverbal diantaranya

yaitu:60

1. Complementing

2. Accenting

3. Contradicting

4. Repeating

5. Regulating

6. Substituting

Menurut Samovar dalam suatu komunikasi, perilaku non verbal digunakan secara bersama-sama dengan bahasa verbal.

 Perilaku non verbal memberi aksen atau penekanan pada pesan verbal.

 Perilaku non verbal sebagai pengulangan dari bahsa verbal.

 Tindak komunikasi non verbal melengkapi pernyataan verbal.

 Perilaku non verbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal. Pemikiran yang hampir sama juga diungkapkan oleh Paul Elman yang menjelaskan bahwa fungsi dari lambang-lambang verbal maupun non verbal adalah untuk memproduksi makna yang komunikatif. Secara historis, kode non verbal sebagai suatu multi saluran akan mengubah pesan verbal melalui enam fungsi,pengulangan (repetition), berlawanan (contradiction), pengganti (subtitution), pengaturan (regulation), penekanan (accentuation) dan pelengkap (complementation)61.

60

Akhmad Farhan, “Komunikasi Nonverbal”, artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari

akhmadfarhan.wordpress.com/2008/12/.../komunikasi-nonverbal...

61

Sasa Djuarsa Sendjaja, Pengantar Komunikasi, (Universitas Terbuka (UT)), h. 6.31-6.33.


(53)

Jalaluddin Rahmat mengelompokan pesan-pesan non verbal sebagai berikut:

1) Pesan Kinesik

Pesan kinesik merupakan bentuk komunikasi non verbal yang menggunakan gerakan tubuh yang berarti. Terdiri dari tiga komponen utama, yaitu:

a. Pesan fasial, menggunakan air muka untuk menyampaikan makana tertentyu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebahagiaan, rasaterkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban dan tekad. Sementara itu Leathers menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah, sebagai berikut: a) wajah menkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, yang menunjukkan apakah komunikator memandang objek penelitiannya baik atau buruk; b) wajah mengkomunikasikan berminat atau tidak pada orang lain atau lingkungan; c) wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasi-situasi; d) wajah mengkomunikasikantingkat pengendalian individu terhadap pernyataan endiri dan e) wajah barangkali mengkomuikasikan adanya atau kurang pengertian.


(54)

b. Pesan gestural, menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk berkomunikasi berbagai makna.

c. Pesan postural, berkenaan dengan keseluruhan anggota badan, makna yang dapat disampaikan adalah: a) Imediacy yaitu ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilain positif; b) power mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Anda dapat membayangkan postur orang yang tinggi hati di depan anda, dan postur orang yang merendah; c) Responsiveness yang mana individu dapat berreaksi secara emosional pada lingkungan secara positif dan negative. Bila postur anda tidak berubah, anda megungkapkan sikap yang tidak responsif.

2) Pesan proksemik

Pesan proksemik merupakan pesan yang disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Umumnya dengan mengatur jarak bagaimana kita mengungkapkan keakraban kita dengan orang lain.


(55)

4. Klasifikasi Pesan Non vebal

Dari berbagai literatur yang dipelajari, komunikasi non verbal dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk62, antara lain :

1) Eye Geze (Gerakan Mata)

Aspek komunikatif yang utama dari perilaku mata adalah siapa dan apa yang sedang kita lihat dan untuk berapa lama. Mata kita merupakan saluran komunikasi non verbal yang penting, tidak hanya selama interaksi tetapi juga sebelum dan sesudah interaksi berakhir. Bahkan ada yang menilai gerakan mata sebagai pencerminan isi hati seseorang.

2) Touching (sentuhan)

Ialah isyarat yang dilambangkan dengan sentuhan badan. Menurut bentuknya sentuhan badan dibagi atas tiga macam berikut :

Kinestheic ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama lain sebagai symbol keakraban atau kemesraan.

Sociofugal ialah isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling merangkul.

Thermal ialah isyarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabtan yang begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah lama tak bertemu.

62

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 316-380.


(56)

3) Paralanguage

Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama suara sehingga penerima dapat memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan. Misalnya “datanglah” bisa diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita atau sekedar basa-basi tergantung intonasi suara kita.

4) Diam

Berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode non verbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negative, tetapi bisa juga melambangkan sikap positif.

5) Postur Tubuh

Orang lahir ditakdirkan dengan berbagai bentuk tubuh. Well dan Siegel dua orang ahli psikologi melalui studi yang mereka lakukan, membagi bentuk tubuh atas tiga tipe, yakni ectomophory dilambangkan sebagai orang yang mempunyai sikap ambisi, pintar, kritis dan sedikit cemas. Mesomorphy dilambangkan sebagai pribadi yang cerdas, bersahabat, aktif dan kompetitif, dan endomorphy digambarkan sebagai pribadi yang humoris, santai dan cerdik.

7) Kedekatan dan Ruang

Proximity adalah komunikasi non verbal yang menunjukkan kedekatan dari dua orang yang mengandung arti. Edward T. Hall membagi kedekatan menurut territory atas empat macam, yakni :


(57)

 Wilayah Intim (rahasia), yakni kedekatan yang berjarak antara 3-18 inchi.

 Wilayah pribadi, ialah kedekatan yang berjarak antara 18 inchi-4 kaki.

 Wilayah social, ialah kedekatan yang berjarak antara 4-12 kaki.

 Wilayah Umum (publik), ialah kedekatan yang berjarak antara 4-12 kaki atau sampai suara kita terdengar dalam jarak 25 kaki.

Selain kedekatan dari segi territory, ada juga beberapa ahli melihat dari sudut pandang ruang dan posisi, misalnya posisi meja dan tempat duduk. Here dan Bales menemukan bahwa orang yang banyak bicara dalam rapat umumnya duduk pada posisi kursi yang lebih tinggi.

8) Artifak dan Visualisasi

Artifak adalah hasil kerajinan manusia (seni), baik yang melekat pada diri manusia maupun yang ditujukan untuk kepentingan umum. Artifak ini selain dimaksudkan untuk kepentingan estetika, juga untuk menunjukkan status atau identitas diri seseorang atau suatu bangsa. Misalnya baju, topi, cincin, gelang, alat transportasi, monument, patung dan sebagainya.


(58)

9) Warna

Warna juga memberi arti terhadap suatu objek. Hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini bisa dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni.

10) Waktu

Waktu mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagi masyarakat tertentu, melakukan suatu pekerjaan sering kali dikaitkan dengan waktu. Misalnya membangun rumah, menanam padi, melaksanakan perkawinan, membeli sesuatu dan sebaginya. 11) Bunyi

Apabila paralanguage dimaksudkan sebagi tekanan suara yang keluar dari mulut untuk mejelaskan ucapan verbal, banyak bunyi-bunyian yang dilakukan sebagai tanda isyarat yang tidak dapat digolongkan sebagai paralanguage. Misalnya bersiul, bertepuk tangan, bunyi terompet, letusan senjata, beduk, sirine dan sebagainya.

12) Bau

Bau juga digunakan sebagi kode non verbal. Selain digunakan untuk melambangkan sesuatu seperti kosmetik, bau juga dapat dijadikansebagi petunjuk arah. Misalnya posisi bangkai, bau karet terbakar dan sebagainya.


(59)

BAB III

Gambaran Umum Film Biola Tak Berdawai

A. Profil Sekar Ayu Asmara sebagai Sutradara Film Biola Tak Berdawai

Sekar Ayu Asmara lahir di Jakarta, Indonesia. Menghabiskan masa kecil berpindah-pindah di beberapa negara mengikuti karier Diplomat ayahnya. Pernah menetap di Afghanistan, Turki, dan Negeri Belanda.

Semua bidang seni yang ditekuni, dipelajari Sekar secara otodidak. Baik itu sebagai sutradara film, pelukis, produser musik, penulis skenario, maupun penulis novel.

Film pertamanya, Biola Tak Berdawai, mendapatkan anugerah The Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003. Penghargaan bergengsi ini diberikan kepada sutradara film pertama. Film ini juga dianugerahi penghargaan Best Actress untuk Ria Irawan di Asia Pacific Film Festival, Shiraz, Iran 2003. Sementara Bali International Film Festival, Indonesia 2003, menganugerahkan penghargaan Best Actor bagi Nicholas Saputra dan Best Music untuk Addie MS.

Film keduanya, Belahan Jiwa, juga memenangkan penghargaan The Best International Feature Film di ajang New York International Independent Video and Film Festival 2007.

Sekar telah menerbitkan tiga novel: Pintu Terlarang, Kembar Keempat, dan Doa Ibu. Film Biola Tak Berdawai dinovelisasikan oleh Seno Gumira Ajidarma. Sementara novel Pintu Terlarang telah diangkat


(60)

menjadi film layar lebar oleh Joko Anwar. email: xekarayu@gmail.com.

B. Profil Pemain Film Biola Tak Berdawai

a. Renjani

Tokoh Renjani yang diperankan Ria Irawan merupakan pemeran utama dalam film BTB. Tipologi Renjani tergolong sederhana, berkarakter lembut, dan penyanyang. Seorang wanita yang berprofesi sebagai penari balet ini mengalami pemerkosaan oleh lelaki yang dicintainya namun sayangnya tidak bertanggung jawab. Anak yang dikandungnya sengaja ia aborsikan. Kemudian, karena malu di hina oleh masyarakat sekitar, ia pun berniat berhijrah ke Yogyakarta.

Renjani tidak memiliki orang tua bahkan saudara kandung dan kerabat dekat. Dalam perjalanan menuju Yogya, ia bertemu dengan seorang wanita yang membawa seorang anak dalam dekapannya. Wanita tersebut kemudian menitipkan anaknya kepada Renjani, karena ia tak mampu untuk merawatnya. Renjani pun tak bias mengelak, ia luluh dengan keadaan mereka. Diterimanya anak tersebut, Renjani tahu bahwa anak tersebut terlahir dalam keadaan yang tidak normal. Renjanipun berniat untuk membesarkannya.

b. Bhisma

Nicholas Saputra begitu apik memerankan tokoh Bhisma. Lelaki muda seorang pemain biola yang memiliki karakter baik, ramah dan mudah bergaul.


(61)

Bhisma tertarik kepada Renjani saat Renjani membawa Dewa dalam pertunjukan musiknya. Yang menarik perhatiannya adalah Renjani selalu membawa Dewa saat melihat pertunjukannya. Suatu ketika saat pertunjukan musiknya selesai, Dewa tak mau beranjak dari tempat duduknya, kemudian Bhisma mendekati Renjani yang sedang mengajak Dewa pulang, ternyata Dewa suka dengan biola yang di pegang Bhisma, Bhisma pun rela meminjamkannya untuk Dewa.

c. Mbak Wid

Tokoh mbak wid yang diperankan oleh Jajang C.Noer ini adalah seorang dokter anak yang bertempat tinggal di Kota gede, Yogyakarta. Wanita yang lahir dari seorang ibu yang bekerja sebagai Wanita Tuna Susila (WTS) ini, selalu bertekad dan bercita-cita untuk bisa menyelamatkan anak-anak yang lahir sama seperti dirinya. Akhirnya cita-citanya pun tercapai hingga ia bisa menjadi seorang dokter anak.

Mbak Wid bekerjasama dengan Renjani mandirikan rumah asuh untuk anak-anak yang kurang beruntung. Anak-anak yang terlahir cacat fisik dan mental. Mereka sudah terbiasa menghadapi kematian demi kematian yang selalu mengejar hidup anak-anak cacat yang mereka asuh .

Yang terasa sedikit mengganggu adalah karakter Mbak Wid yang semakin kebelakang menjadi semakin terasa konyol dengan selalu mempertanyakan banyak hal menjadi sebuah teka-teki aneh,


(62)

dan dengan dialog-dialog yang terlalu lambat, lama, dan pada beberapa bagian terasa terlalu teatrikal.

d. Dewa

Dewa merupakan seorang anak yang dilahirkan dengan jaringan otak yang rusak berat. Selain itu, dia juga mempunyai kecendrungan autisme dan penyandang tuna wicara. Tubuhnya kerdil, kepalanya selalu tertunduk ke bawah dengan tatapan mata yang hampa.

Dicky Lebrianto yang berperan sebagai Dewa, meski hampir sepanjang film tidak ada dialog yang diucapkannya, namun Dicky dengan sukses memberikan perhatian kepada penonton seorang Dewa yang cukup misterius.

C. Sinopsis Film Biola Tak Berdawai63

Category: Movies Genre : Drama

Written and directed by Sekar Ayu Asmara

Cast :

Renjani : Ria Irawan Mbak Wid : Jajang C.Noer Bhisma : Nicholas saputra Dewa : Dicky Lebrianto Pak Kliwon: Masroom Sara Suster 1 : Ragilia

Suster 2 : Maria Andini

63


(63)

Crew:

Produksi : PT. Kalyana Shira Film

Producers: Afi Shamara, Nia Dinata, Sekar Ayu Asmara Executive Producer: Seto Harjojudanto

Music by Addie MS

Sound Designer: Adityawan, Susanto, Satrio Budiono Art director: Iri Supit

Editor: Dewi S. Alibasah

Dibuat dalam format video digital, lalu ditransfer ke film 35 mm.

Renjani adalah seorang mantan penari balet setelah dirinya diperkosa, hamil, dan dipaksa untuk mengaborsi kandungannya. Ia memutuskan membuang masa lalunya dan pindah ke Yogyakarta. Di perjalanan di kereta, ia duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang disuruh untuk membuang bayi cacat yang kini berada dalam gendongannya. Sesampai di Yogyakarta, ia menempati rumah Neneknya yang sangat besar. Kemudian Renjani teringat kisah perjalanannya dan mendirikan rumah asuh untuk anak-anak yang cacat bernama Ibu Sejati. Seorang wanita yang filosofis terhadap sifat manusia sekaligus pintar membaca kartu tarot, Mbak Wid melamar sebagai dokter anak disana. Mbak Widpun mempunyai masa lalu sendiri, ia adalah anak dari seorang pelacur yang mudah hamil. Hanya Mbak Wid saja benih yang berhasil lahir, sementara itu, seluruh benih lain diaborsikan oleh sang ibu. Hal itu membuat Mbak Wid bertekad menjadi seorang dokter anak. Renjani kemudian menemukan Dewa seorang anak cacat yang diberikan ke rumah itu. Dewa diasuh Renjani hingga Renjani merasa bahwa Dewa adalah anaknya sendiri. Sampai umurnya yang menjelang kedelapan, Dewa


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ayyubi, Abu Es. Hadist-Hadist Pilihan. Jakarta: Sholahuddin Press, 2009.

Biran, Misbach Yusa. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.

Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: Universitas Indonesia, 2004.

D.A. Peransi. Film/Media/seni. Jakarta: FFTV-IKJ Press, 2005.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Gunadi, YS dan Djony Herfan. Himpuan Istilah Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo, 1998.

Kriyantono, Rahmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi ed 1. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Kristanto, JB. Katalog Film Indonesia 1926-2005. Jakarta: Nalar, 2005.

Luthfi, Ikhwan, dkk. Psikologi Sosial. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Lutters, Elizabeth. Kunci Sukses Menulis Skenario. Jakarta: Grasindo, 2006.

Mahendra, Yannnes Irwan. Dari Hobi jadi Profesional. Yogyakarta: Andi, 2010.

Martinet, Jeanne. Semiologi; Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi. Yogyakarta: Jala Sutra. cet. 1, 2010.

Mulyana, Deddy dan Rahmat, Jalaluddin. Komunikasi AntarBudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.


(2)

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008.

Rivers, L William,dkk. Media Massa dan Mayarakat Modern. (Terj.) oleh Haris Munandar dan Dudy Priatna, Jakarta: Prenada media, 2004. ed-2.

Sendjaja, Sasa Djuarsa. Pengantar Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka (UT), 2005.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

______________. Semiotika Komunikasi . Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Vivian, John. Teori Komunikasi Massa Edisi ke-8. Jakarta: Kencana Media Group, 2008.

Internet:

Fahmi, Ismail. “Biola Tak Berdawai”. Artikel ini diakses pada 17 Juli 2011 dari cafe.degromiest.nl/wp/archives/30.

Farhan, Akhmad. “Komunikasi Nonverbal”. Artikel ini diakses pada 17 Juli 2011

dari akhmadfarhan.wordpress.com/2008/12/.../komunikasi-nonverbal...

Id.wikipedia.org/wiki/Biola_Tak_Berdawai. Artikel ini diakses pada tanggal 15 Juli 2011.

Id.wikipedia.org/wiki/Kedokteran. Artikel ini diakses pada tanggal 14 Juli 2011.

Kartini Batam, Sekolah Luar Biasa. “Tuna Daksa”. artikel ini diakses pada 29 Juli 2011 dari www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=73


(3)

Summerton, David. “Definisi Film”. Artikel ini diakses pada 11 Mei 2011 dari Ayanona. Tumblr.com.

Zaman, Nuruz. “Beberapa Pendapat Tentang Musik dan Tarian untuk Terapi Anak”. Artikel ini diakses pada tanggal 14 Juli 2011 dari Nuruz-zaman.blogspot.com/.../beberapa-pendapat-tentang-musik....


(4)

(5)

Biola Tak Berdawai

Sutradara Sekar Ayu Asmara

Produser Nia Dinata

Afi Shamara

Penulis Sekar Ayu Asmara

Pemeran Nicholas Saputra

Ria Irawan Jajang C. Noer Dicky Lebrianto

Musik oleh Addie MS

Victorian Philarmonic Orchestra

Sinematografi German G. Mintapradja

Penyunting Dewi S. Alibasah

Distributor Kalyana Shira Film

Warner Indonesia

Durasi 97 menit


(6)