Scene 2: Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos dalam Film Biola Tak Berdawai

- Close-up Denotasi “Ruang lilin” ini digunakan Mbak Wid saat memainkan kartu tarotnya. Sebuah kartu terakhir yang dibukanya adalah kartu Death. Nyala lilin meninggalkan bayangan-bayangan temaram yang menggeliat-geliat didinding, salah satu dari lilin tersebut cahayanya mulai surut dan kemudian padam. Konotasi Tergambar pada kartu tarot seorang ksatria berkuda yang memegang sebuah panji. Ini adalah kartu kematian yang melambangkan sebuah akhir, atau sebuah awal. Mitos Kartu tarot merupakan kartu yang biasa digunakan oleh peramal dalam meramalkan sesuatu. Nasib, karir, dan cinta misalnya. Tergantung ramalan apa yang dibutuhkan. Kartu tarot terdiri dari 78 kartu dengan bermacam-macam gambar. Gambar tersebutlah yang melambangkan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan kepada pembaca kartu tarot peramal. Salah satu lambang dalam kartu tarot misalnya, seorang ksatria berkuda memegang sebuah panji. Dalam dunia ramal, ini melambangkan kematian. Mungkin hal ini melambangkan bahwa kematian akan datang. Tidak semua orang percaya dengan ramalan-ramalan tersebut. Mungkin hanya sebagian dari banyak orang yang masih percaya akan hal-hal seperti itu. Kartu tarot bisa disebut sebuah kepercayaan bagi dunia ramal.

2. Scene 5:

Adegan selanjutnya memperlihatkan kamar tidur Renjani. Ia berada didepan meja rias dan sedang menyisir rambut hitamnya yang panjang. Ia lantas mengepang rambutnya. Di sini, tampak ia sedang mengajak seseorang bicara, namun yang diajak bicara tidak membalas kata apapun. Visual DialogSuara Type of shot Renjani: “Kamu tahu, kemarin malam adik Larasati meninggal dunia. Tapi kamu tidak usah sedih, kematian itu adalah bagian dari perjalanan hidup. Semua yang hidup pasti mati.” pada salah satu dinding terlihat sebuah bayangan yang tidak bergerak Medium Close-up, pada jarak ini memperlihatkan manusia dari dada ke atas. Renjani: “Dan setiap kematian membuat kamu lebih kuat. Yah… kamu memang masih kecil, tapi kamu perlu tahu jug a.” Renjani tidak pernah menerima tanggapan atau jawaban dari Dewa Renjani: “Ya sudah, sekarang kamu mau ikut ke makam atau tingal di rumah saja?, Gimana Dewa?” Ia lalu mendekati Dewa dan memeluknya Renjani: “Ibu sayaaaaang sekali sama Dewa.” Medium Close-up Long Shot, di mana tubuh manusia tampak terlihat jelas dan latar tempat subjek berada terlihat di dalam frame. Denotasi Renjani sedang bersiap-siap untuk pergi ke acara pemakaman pagi ini. Saat Renjani sedang bersiap-siap, ia mengajak bicara Dewa, seorang anak penyandang jaringan otak yang rusak berat dan autisme, namun Dewa hanya diam dengan pandangan menunduk. Konotasi Mengajak anak berkomunikasi adalah salah satu hal yang baik. Khususnya bagi anak-anak yang mempunyai kelainan seperti Dewa. Karena dengan cara itulah dapat membantu meningkatkan perkembangannya. Dewa, dalam film ini, berperan sebagai seorang anak yang terlahir dengan jaringan otak yang rusak berat, tuna daksa dan juga menderita autisme. Tuna berarti cacat, sedangkan daksa berarti tubuh. Pengertian tunadaksa adalah sbb: kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan, kelainan atau kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan otak dan saraf tulang belakang. 67 Dewa mempunyai tubuh yang tidak normal. Walaupun usianya bertambah, namun tubuhnya tetap kerdil. Mitos Zaman dulu, orang tua yang memiliki anak seperti ini dianggap sebagai kutukan Dewa atau Tuhan. Mereka sengaja mengurung anak mereka yang terlahir cacat. Mereka tidak di ajak berkomunikasi. Hingga anak tersebut tidak menunjukkan adanya perkembangan. Peran yang dimainkan oleh Renjani, menunjukkan bahwa ternyata anak-anak yang terlahir seperti Dewa juga butuh kasih sayang layaknya anak normal pada umumnya. Namun, cara pendekatannya saja yang harus berbeda, 67 Sekolah Luar Biasa Kartini Batam, “Tuna Daksa”, artikel ini diakses pada 29 Juli 2011 dari www.slbk-batam.orgindex.php?pilih=halid=73