keterlibatan pemerintah dalam proses pengelolaan. Community-based management
berorientasi pada masyarakat, sedangkan co-management lebih fokus pada sistem kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan stakeholder
lainnya. Pemerintah mempunyai peranan kecil dalam community-based management
sedangkan dalam co-management menuntut peran pemerintah yang aktif. Peranan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan
antara lain memberikan dukungan kebijakan dan peraturanperundang-undangan, seperti desentralisasi wewenang dan kekuasaan management, pembinaan
partisipasi dan dialog, legitimasi hak-hak masyarakat, inisiatif dan intervensi, penegakan hukum, menangani masalah, koordinasi di berbagai tingkatan, dan
pemberian bantuan keuangan dan teknis. Pemerintah memberikan legitimasi dan akuntabilitas untuk community-based management melalui co-management,
dengan menetapkan hak dan kondisi sepadan sehingga tercipta strategi yang efektif dalam pengelolaan sumberdaya. Hanya pemerintah yang dapat melegalkan
dan menjaga hak-hak pengguna sumberdaya di tingkat masyarakat. Beberapa kelebihan co-management antara lain:
1. Lebih terbuka, transparan dan otonom dalam proses pengelolaan.
2. Lebih hemat dibandingkan dengan centralized system yang membutuhkan
banyak administrasi dan penegakan hukum. 3.
Bersifat adaptif, pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan kondisi yang ada dan pembelajaran sebelumnya.
4. Lebih dapat memaksimalkan kegunaan kearifan lokal sebagai informasi
tentang sumberdaya dan pelengkap dalam scientific information untuk pengelolaan.
5. Dapat menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap sumberdaya.
6. Dapat meminimalkan konflik dan mempertahankan atau meningkatkan kohesi
sosial dalam masyarakat.
2.3 Daerah Perlindungan Laut DPL
2.3.1 Pengertian, Maksud dan Tujuan Pembentukan DPL
Daerah perlindungan laut DPL merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai no take zone area yang
dikelola oleh masyarakat lokal Crawford et al. 2000, juga dapat difungsikan sebagai marine sanctuary atau fish sanctuary.
Pembentukan DPL dimaksudkan untuk i mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya terumbu karang dan
mangrove, ii melindungi spesies langka dan habitatnya, iii dapat merehabilitasi sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak, dan iv mengembangkan kegiatan
yang dapat meningkatkan perekonomian bagi masyarakat lokal Salm et al. 2000. DPL atau no take marine protected areas didirikan sebagai bentuk pengelolaan
perikanan dan untuk perlindungan biodiversity Jones et al. 2007. DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas
perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu
karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang dan organisme dasar laut lain yang
sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi menyediakan tempat hidup dan makanan bagi
ikan untuk hidup, makan, tumbuh dan berkembang biak. Gambar 3 memperlihatkan contoh sketsa penerapan DPL.
Gambar 3. Contoh sketsa DPL di sekitar pulau kecil Tulungen et al. 2002
2.3.2 Indikator Keberhasilan Pengelolaan DPL
Langkah-langkah umum dari penetapan dan implementasi DPL-BM adalah: i tahap masuk ke masyarakat, persiapan dan penilaian; ii perencanaan
yang termasuk pembentukan kelompok inti, pemilihan lokasi perlindungan, pembentukan aturan, penentuan mekanisme pengelolaan dan pengaturan
keuangan; iii peresmian melalui persetujuan sebuah aturan municipal, perencanaan dan penganggaran dan iv implementasi Berkes et al. 2001.
Indikator keberhasilan pengelolaan DPL dapat dilihat dari i peningkatan sumberdaya dan diversitas dari ikan dan luasan tutupan karang, ii peningkatan
persepsikesadaran masyarakat tentang pentingnya DPL yang akan merubah kebiasaan masyarakat yang bersifat merusak sumberdaya yang ada, iii
pembentukan dan pengelolaan secara fisik dari fungsi DPL seperti pemasangan marker buoys
sepanjang batasan, tanda batas, management plan, kelembagaan, dll, iv tingkat kesadaran untuk berperan dan v kesepakatan untuk
memberdayakan masyarakat dalam mengelola sumberdaya laut mereka Pollnac dan Crawford 2001.
Lebih lanjut, Pollnac dan Crawford 2001 menyampaikan dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan DPL, yaitu faktor kontekstual dan faktor
project . Faktor kontekstual dibagi menjadi tiga kategori, yaitu i lingkungan dan
demografi, ii sosial ekonomi dan iii perekonomian secara umum dan kualitas hidup penduduk. Sedangkan faktor project dibagi menjadi dua kategori, yaitu i
aspek fisik dari no take zone dan aktifitas project dan ii aspek partisipasi masyarakat dalam pengembangan no take zone. Sedangkan Alhanif 2007
menggunakan tiga kriteria yang merupakan gabungan dari berbagai sumber dan dimodifikasi, yaitu i lingkungan dan demografi, ii sosial-ekonomi dan iii
faktor eksternal. Faktor eksternal ini meliputi komitmen dan dukungan dari pemerintah lokal serta dukungan data yang bersifat scientifik.
Sedangkan menurut Berkes et al. 2001, beberapa variabel yang mempengaruhi pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan antara lain i
project variables , ii context variables supra community dan community dan
iii impact variables intermediate dan ultimate impacts. Project variables
yang dapat digunakan dalam evaluasi dari implementasi project
antara lain i partisipasi masyarakat dalam perencanaan, ii keberlanjutan partisipasi dalam perencanaan dan implementasi, iii fleksibilitas dalam
menjalankan project sebagaimana mestinya, iv tenaga fulltime sebagai pengelola
project dalam masyarakat, v identifikasi terhadap grup inti untuk pengembangan
kepemimpinan, vi pengembangan pendidikan masyarakat yang terkait dengan tujuan project, vii koordinasi antarpihak yang terlibat, viii komunikasi untuk
memperjelas tujuan atau maksud dari project dan ix pendanaan yang cukup. Context variables
merupakan non-project variables yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori atau level, yaitu supracommunity level,
level community dan household dan individual levels. Beberapa komponen paling
umum yang termasuk dalam supracommunity level antara lain pihak pusat, peraturan dan dukungan administratif dari pemerintah. Disamping hal tersebut,
supracommunity level ini dapat didukung antara lain institusi baik yang berasal
dari pemerintah maupun non pemerintah. Kadang kala, beberapa supracommunity tidak terkait langsung dengan nelayan, tetapi mereka memberikan pelayanan
seperti pelatihan, informasi, pemasaran untuk masyarakat pesisir. Supracommunity level
lainnya yang dapat memberikan dukungan dalam keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir adalah aspek dari pemasaran tingkat
regional, nasional dan internasional termasuk di dalamnya potensi untuk komersialisasi produk. Isu seperti permintaan dan harga dapat mempengaruhi
penggunaan sumberdaya dan penegakan aturan. Sedangkan dilihat dari community level
, lebih banyak mengacu pada kondisi sosial dan lingkungan masyarakat. Berkes et al. 2001 juga merangkum dari berbagai sumber terkait faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sumberdaya pesisir dan perikanan pada community level
, antara lain: i krisis pemanfaatan sumberdaya, ii komposisi, distribusi dan kegunaan dari spesies target, iii feature lingkungan yang
mempengaruhi definisi batasan, iv teknologi yang digunakan untuk mengolah sumberdaya, v tingkat pengembangan masyarakat, vi tingkat sosial ekonomi
dan cultural homogeneity masyarakat, vii tradisi kerjasama dan perkumpulan masyarakat, viii populasi dan perubahannya, ix tingkat integrasi dalam sistem
ekonomi dan politik, x mata pencaharian dan tingkat komersialisasi serta ketergantungan terhadap sumberdaya, xi organisasi politik lokal, xii dukungan
kepemimpinan lokal, xiii kualitas kepemimpinan lokal, xiv hak pemanfaatan sumberdaya dan sistem pengelolaannya baik formal maupun informal dan xv
kearifan lokal. Pada tingkat individu dan rumah tangga individual and household
level mempunyai tanggung jawab dalam pengambilan keputusan untuk
melaksanakan kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya. Berkes et al. 2001 merangkum dari beberapa sumber tentang beberapa faktor pada tingkat individu
dan rumah tangga yang dapat mempengaruhi keberhasilan project pengelolaan pesisir dan perikanan antara lain i pendidikan, ii pengalaman, iii ukuran dan
luasan operasi, iv penggunaan teknologi, v nilai budaya, vi kepuasan pekerjaan, vii pengetahuan ekologi dan viii jenis mata pencaharian.
Impact variables dibedakan menjadi dua, yaitu pencapaian intermediate
objectives dan ultimate objectives. Intermediate objectives meliputi pertimbangan
terhadap objek material seperti perubahan ukuran jala dan organization building dan nonmaterial pelatihan, penguatan kelembagaan. Sedangkan untuk dampak
yang kedua mempertimbangkan adanya perbaikan kondisi ekosistem sekitar. Beberapa contoh dari ultimate objectives ini antara lain peningkatan pendapatan
penduduk, perubahan akses terhadap sumberdaya dan keberadaan sumberdaya. Keberlanjutan project dan biaya serta keuntungan yang didapat adanya project ini
dapat dijadikan pertimbangan juga untuk penentuan kesuksesan suatu project.
2.3.3 Manfaat DPL