116 Ibu memilihkan kostum warna emas untuk malam ini. Bentuknya
celana panjang ketat berumbai dengan atasan tanpa lengan yang penuh kerlap-kerlip. Dengan baju seperti itu, aku akan lebih mudah
bergoyang. Setiap gerakanku akan menghasilkan lekak-lekuk maksimal dan penonton akan merasakan kepuasan total. Madasari,
2013: 290
Peristiwa terjadi pada pagi hari, ketika Jaka pergi ke penjara untuk menjenguk Sasana. Sasana di penjara setelah acara manggungnya di alun-alun
Malang mendapatkan protes dari ormas keagamaan yang dipimpin oleh Jaka. Berikut kutipan tidak langsung yang menggambarkan hal tersebut
117 Pagi-pagi aku berangkat ke Lowokwaru. Aku pakai jubah putih dan
serbanku. Di tanganku aku genggam golok. Di punggungku ada tas yang berisi uang dan baju. Mudah sekali bagi orang sepertiku
mendapatkan sesuatu. Petugas penjara menyambutku. Ia turuti semua permintaanku. Aku diantar ke ruang khusus untuk bicara berdua
dengan Sasa. Madasari, 2013: 318
Dari penjelasan tentang latar waktu yang digambarkan dalam novel Pasung Jiwa
karya Okky Madasari, dapat disimpulkan bahwa ada latar waktu yang mempengaruhi terbentuknya konflik batin dalam tokoh Sasana dan Jaka.
4.3.3 Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berbikir dan bersikap Nurgiyantoro, 2007:233. Dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari selain terdapat
keberagaman latar tempat juga terdapat keberagaman latar sosial.
Piano merupakan benda istimewa di keluarga Sasana. Sejak lahir, Sasana sudah dikenalkan dengan dentingan-dentingan piano. Meskipun orang tua Sasana
bukan seorang seniman, namun mereka memaksa agar Sasana pandai bermain piano. Hal ini terlihat dalam kutipan tidak langsung di bawah ini
118 Piano memang benda istimewa di rumah ini. Bagi ayah dan ibuku,
memainkan piano adalah bagian tradisi yang harus dijunjung tinggi. Aku sendiri heran kenapa mereka sampai bersikap seperti itu. Ayah
dan ibuku bukan pemain music. Mereka memang bisa memainkan piano. Tapi permainan mereka hanya sekadarnya, jauh berbeda
dengan kemampuanku saat kelas 4 SD. Madasari, 2013: 16
Prinsip yang dipegang orang tuanya tersebut membuat Sasana merasa terkurung dengan aturan-aturan yang memaksanya. Dia terpaksa menyukai apa
yang tidak menjadi kesukaannya. Hingga kemudian dia mengenal musik dangdut. Dalam novel ini pengarang mencoba untuk menonjolkan dangdut. Dangdut
merupakan musik khas Indonesia yang tidak asing lagi di masyarakat. Berikut kutipan tidak langsung yang menggambarkan hal tersebut
119 Si penyanyi tersenyum senang, merasa ia begitu diinginkan. Gendang
ditabuh, gitar dipetik, musik mulai dimainkan. Musik yang tak pernah kudengar sebelumnya. Yang sangat berbeda dengan komposisi-
komposisi yang kumainkan, juga lagu-lagu yang aku dengarkan. Lalu penyanyi itu mulai menyanyikan lagu yang juga belum pernah aku
tahu. Tapi entah kenapa lagu itu seperti tak asing buatku. Lagu itu langsung akrab di telingaku, bahkan liriknya dengan mudah
kuhafalkan. Madasari, 2013: 18
Orang tua Sasana melarang dia untuk tidak menyukai dan menonton musik dangdut, mereka menganggap musik dangdut hanya untuk orang-orang nakal dan
pemabuk. Latar sosial juga terjadi ketika Sasana masuk ke sekolah khusus laki- laki. Di sekolah ini, Sasana dipaksa untuk gabung dengan kelompok gang dan
disuruh menyetor uang untuk mereka. Berikut kutipan langsung yang menggambarkan hal tersebut
120 “Kamu mau jadi anggota geng kita?” tanyanya. Aku diam. Tak paham
maksud pertanyaannya. “Jawab” serunya sambil memukul dadaku. Aku berteriak kesakitan. Sakit sekali. Kini tubuhku didorong ke arah
orang lain. Madasari, 2013: 32
121 Salah satu dari mereka menarik tubuhku, lalu kembali menekanku ke
dinding. “Jadi, mulai sekarang kamu anggota Dark Gang. Siaaap?” “Si…ap…” jawabku. Lemah dan pelan. Dia masih belum puas.
“Jawab yang kears” serunya. “Siaaap” teriakku. Sekeras-kerasnya. Madasari, 2013: 32
Berikut kutipan tidak langsung yang juga menggambarkan latar sosial tersebut
122 Setiap hari, lima anggota Dark Gang menghampiriku saat aku baru
keluar dari kelas. Mereka minta jatah lima ribu rupiah. Kadang mereka menggeledah tasku, mengambil apa saja yang bisa diambil.
Madasari, 2013: 34
Dalam novel ini juga terdapat latar sosial yang menggambarkan tingkatan kelas berdasarkan golongan pangkat. Setelah dipukuli oleh kelompok gang di
sekolahnya, Sasana tidak memperoleh keadilan dari pihak sekolah maupun hukum, mereka takut memproses kasus pemukulan tersebut karena salah satu
anggota gang merupakan anak pejabat. Berikut kutipan langsung yang menggambarkan status sosial tersebut
123 “Ada satu anak jenderal, satu anak pejabat. Kasusnya tidak bisa
diproses,” jawab Ayah datar. “Hah? Anak kita disiksa seperti anjing lalu pelakunya tidak bisa diproses?” Ibu berteriak. Madasari, 2013:
42
Latar sosial juga terjadi mengenai adanya tradisi saweran. Tradisi ini diperkenalkan pengarang ketika Sasana sedang mengamen bersama Jaka. Setelah
mengamen biasanya seorang pengamen mengedarkan kantong kepada orang-
orang sekitar. Berikut kutipan tidak langsung yang menggambarkan latar sosial tersebut
124 Kadang kalau kami sudah kehabisan uang dan tak ada satu pun yang
mengundang, kami main saja di jalanan. Orang-orang satu per satu berkumpul lalu aku berkeliling mengedarkan kantong mita saweran.
Dari uang itu kami bisa makan, sambal menunggu panggilan orang hajatan yang butuh hiburan. Madasari, 2013: 47
Latar sosial terjadi ketika pengarang mencoba menggambarkan anak jalanan. Ketika sedang beristirahat di warung, Sasana dihampiri oleh beberapa
pengamen jalanan, mereka mengatasnamakan dirinya Marjinal. Lewat lagu yang mereka nyanyikan mereka sedang memperjuangkan hak mereka sebagai rakyat
agar tidak selalu ditindas oleh pejabat Negara. Berikut kutipan tidak langsung yang menggambarkan hal tersebut
125 Penampilan nyeleneh mereka justru sangat sangar. Rambut dicukur di
bagian samping lalu ditegakkan bagian atasnya. Anting-anting di salah satu telinga. Kaus hitam dengan gambar-gambar seram. Celana
jins robek-robek dengan rantai menggelantung di saku. Ada tato di tangan, leher, atau kaki mereka. Gambarnya macam-macam. Dari ular
hingga gambar perempuan. Madasari, 2013: 65
Adanya kebiasaan seseorang kelas menengah ke bawah ketika ingin meminta bantuan. Pada umumnya mereka tidak membutuhkan waktu terlalu lama
untuk sekedar berbasa-basi untuk meminta bantuan. Sasana dan Jaka mengajak dua orang anak pengamen jalanan untuk mengamen bersama mereka. Berikut
kutipan tidak langsung yang menggambarkan hal tersebut 126
Cak Jek memberi isyarat untuk mendekati dua bocah itu. Tak butuh waktu lama buat sesame orang jalanan seperti kami untuk berbasa-
basi. Hanya dengan menawarkan makan bersama, dua bocah itu sudah mau mengikuti kami. Madasari, 2013: 70
Terdapat kebiasaan orang-orang mengundang seseorang untuk mengisi acara sunatan atau nikahan di desa mereka. Sasana, Jaka, Memed dan Leman
diminta untuk menyanyi di acara sunatan yang diadakan oleh warga sekitar tempat mereka tinggal. Berikut kutipan langsung yang menggambarkan latar sosial
tersebut 127
“Begini lho, Mas, kami mau menyunatkan anak lanang. Ingin ada sedikit rame-ramean. Lihat tulisan di depan itu jadi mau nanya-
nanya,” kata si tamu laki-laki. “Wah… bisa. Bisa sekali Kami sering kok ditanggep
buat sunatan,” balas Cak Jek. Madasari, 2013: 74 Peristiwa selanjutnya terjadi ketika Cak Jek, Sasana, dan beberapa
temannya berdemonstrasi menuntut kembalinya Marsini yang menghilang setelah menuntut kenaikan gaji. Demonsrasi adalah cara mereka menuntut keadilan atas
ketidakadilan yang mereka peroleh. Berikut kutipan tidak langsung yang menggambarkan hal tersebut
128 Lha tapi kemudian apa yang terjadi hari ini? Ternyata mau tidak mau
kami mesti juga berurusan dengan Negara, dengan politik. Terus sekarang Cak Jek sendiri yang mengusulkan berdemonstrasi dengan
cara yang nyeni. Madasari, 2013: 89
Peristiwa juga terjadi ketika Sasana dituduh anggota PKI oleh petugas keamanan yang menahan setelah demonstrasi menuntut kembalinya Marsini. Pada
jaman itu PKI Partai Komunisi Indonesia dianggap yang sering membuat kerusuhan dan cenderung melawan pemerintah.Berikut kutipan langsung yang
menggambarkan hal tersebut 129
“Hei, cong, kowe PKI ya?” Tanya si komandan. Aku langsung menggeleng. PKI apa? Partai Komunis Indonesia? Partai yang
dilarang itu? Seumur-umur tahu namanya juga Cuma dari pelajaran sekolah. “Jawab” “Bukan”, jawablu. “Terus ngopo bikin rusuh koyok
mau awan ?” Madasari, 2013: 97
Mengenai kebiasaan orang-orang ketika mengetahui sesuatu yang menyimpang dengan moral dan aturan yang ada. Elis dianggap melanggar moral
ketika orang-orang mendapati dia sedang bersenggama dengan pria lain di rumah Jaka. Berikut kutipan tidak langsung yang menggambarkan hal tersebut
130 Kubiarkan orang-orang itu menggiring Elis dan tamu Elis berjalan
menyusuri perkampungan. Mulut orang-orang itu tak henti bersuara. Ada yang berteriak “Lonte”, “Pelacur”, “Zina” dan “Dosa”. Semua
orang keluar rumah, berdiri di pinggir jalan, seperti melihat tontonan. Madasari, 2013: 190
Novel ini juga menggunakan kelas sosial yang menunjukkan kalangan buruh dan orang berkantor. Berikut kutipan tidak langsung yang menggambarkan
hal tersebut 131
Kami berjalan meninggalkan wilayah pabrik menuju barisan ruangan yang dipindahkan oleh gudang-gudang. Di situlah semua orang
kantoran berada. Orang-orang sekolahan, pegawai-pegawai, manajer, sampai direktur semua berkantor di situ. Lain dengan kami, buruh-
buruh, yang hanya diisap tenaganya. Kalau mereka yang dipakai kan otaknya, kepintarannya. Kami kerja dengan seragam buruh yang sama
sekali tidak necis ini. Sementara orang-orang kantoran kerja dengan baju yang bagus dan rapi, bahkan ada yang pakai jas dan dasi. Meski
sama-sama kerja, kami ini sudah beda kelas. Mereka jauh lebih tinggi kelasnya. Madasari, 2013: 196
Dalam novel ini juga terdapat kebiasaan yang menggambarkan tentang aborsi yang dilakukan oleh seorang dukun. Berikut kutipan tidak langsung yang
menggambarkan hal tersebut 132
Aku duduk menghadap perempuan yang berbaring di atas tikar dengan hanya berbalut sarung. Persis seperti suami yang sedang
menunggui istri yang mau melahirkan. Perempuan tua pemilik rumah sedang menyiapkan semuanya. Persis seperti dukun yang sedang
menyiapkan Ubo Rampe. Tak jauh dari tempatku duduk, ada baskom berisi gumpalan daging. Napasku sesak. Madasari, 2013: 205
Adanya kebiasaan pada jaman reformasi. Dimana saat itu terjadi krisis moneter dan kerusuhan dimana-mana. Berikut kutipan tidak langsung yang
menggambarkan hal tersebut 133
Maret 1998 Kota ini menjadi tak biasa. Antrean panjang orang di depan toko
minyak dan bank. Harga sewa kontrakan dan makanan naik dua kali lipat. Uang ngamen makin berkurang. Semua orang kini jadi pelit dan
merasa kekurangan. Melalui obrolan dari warung ke warung kudengar kata-kata krismon, krisis moneter. Madasari, 2013: 239
Adanya organisasi massa Ormas yang mengatasnamakan agama tertentu. Berikut kutipan langsung yang menggambarkan hal tersebut
134 Aku menyalami seorang laki-laki berbaju serbaputih dan berjenggot
tebal itu. Orang itu tersenyum lalu berkata “Intinya, di sini kita
berjuang demi kebaikan. Demi agama kita. Demi Allah. Itu yang harus jadi niat kalau mau berjuang bersama di sini.” Madasari, 2013:
251
4.4 Analisis Alur
Alur yaitu rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama
yang menggerakan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian Sudjiman, 1988: 30. Seperti yang dikatakan oleh Sudjiman 1988:30-36,
struktur alur meliputi paparan exsposition, rangsangan inciting moment, gawatan rising action, tikaian conflict, rumitan complication, klimaks,
leraian falling action, selesaian denouement.
4.4.1 Paparan
Paparan adalah penyampaian informasi awal kepada pembaca yang disebut juga dengan eksposisi Sudjiman, 1988: 31. Tahap paparan dalam novel
Pasung Jiwa diawali dengan memaparkan tentang tokoh utama Sasana dan latar