yang otoriter dan menuntut kesempurnaan anaknya, dia menjadi Ibu yang selalu ada saat anaknya membutuhkan, dan menjadi sahabat bagi anaknya. Kutipan 48
menjelaskan ketika Ibu memilih menjadi manajer Sasana daripada profesinya sebagai dokter bedah. Dia menemani Sasana ketika ada kerjaan manggung di
berbagai acara.
b. Ayah
Tokoh Ayah yang dimaksud di sini adalah Ayah dari Sasana. Ayah digambarkan sebagai sosok yang otoriter dan pemarah. Ayah juga selalu memaksa
Sasana untuk bermain piano klasik dan melarang Sasana untuk menonton dangdut. Hal ini ditunjukkan pengarang dengan menggunakan teknik tidak
langsung atau dramatik melalui kutipan sebagai berikut 49
Piano memang benda istimewa di rumah ini. Bagi Ayah dan Ibuku, memainkan piano adalah sebuah tradisi yang harus dijunjung tinggi.
Aku sendiri heran kenapa mereka sampai bersikap seperti itu. Madasari, 2013: 16
50 “Musik seperti itu tidak baik, Sasana,” kata Ayah. “Musik nya orang
mabuk, orang tidak pernah sekolah. Kamu lihat sendiri kan, semalam banyak orang mabuk?” Aku menggeleng. Memang tak kulihat orang
mabuk tadi malam. Yang aku lihat semua orang bergoyang dengan senang. “Jangan pernah lagi nonton-nonton yang seperti itu. Tidak
baik.” Ayah mengakhiri pembicaraan. Madasari, 2013: 23 Ayah juga tidak mempercayai Sasana saat dia dipukuli oleh kelompok
gang di sekolahnya. Ayah justru memukulnya dan memakinya. Pergolakan batin sang Ayah terjadi saat dia merasa tidak mampu membela anaknya yang dipukuli
mendapatkan keadilannya karena salah satu dari anggota gang tersebut merupakan anak pejabat. Hal ini ditunjukkan pengarang dengan menggunakan teknik tidak
langsung atau dramatik melalui kutipan sebagai berikut
51 Begitu datang Ayah langsung menampar wajahku. Aku terkejut.
Ayahku selalu lembut dan sabar kenapa tiba-tiba bisa main tangan. “Kamu kalau mau jadi jagoan sini berkelahi sama Ayah” Wajah Ayah
merah. Ia sangat marah. Ibu terus menangis terisak- isak. “Dulu juga
sudah berkelahi. Ibu bilang ke Ayah, tapi Ayah diam. Karena Ayah percaya kamu anak baik, tidak mungkin berkelahi lagi. Tapi ini apa?
Apa?” Ayah bicara sambal berdiri. Tangannya terus menunjuk-nunjuk ke arahku. Madasari, 2013: 36
52 “Mereka mengancam ke kantor Ayah…” kata Ayah sambal terisak.
Ayah kemudian berdiri mendekatiku. Ia memelukku lalu berkata, “Maafkan Ayah ya, Sasana… Ayah tidak mampu membelamu…”
Madasari, 2013: 43
Pada akhirnya Ayah berpisah dengan Istrinya dan putus hubungan dengan Sasana karena Ayah malu memiliki anak seperti Sasana. Hal ini ditunjukkan
pengarang dengan menggunakan teknik tidak langsung atau dramatik melalui kutipan sebagai berikut
53 Ayah malu sekali malam itu. Meski tetangga-tetangga masih belum
percaya aku anaknya, tapi Ayah merasa kini semua orang menertawakannya. Madasari, 2013: 283
54 Tapi ketika ia pulang untuk mengambil barang. Ayah marah besar.
Ayah tak mau Ibu mengunjungiku. Ayah mau kami putus hubungan. Ayah tak mau ada lagi ruang untukku dalam hidupnya. Madasari,
2013: 283
Dalam pelukisan tokoh Ayah, pengarang hanya menggunakan teknik tidak
langsung atau dramatik. Teknik tersebut dapat dilihat melalui kutipan 49, 50, 51, 52, 53, dan 54. Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut dapat disimpulkan
bahwa kutipan 49 dan 50 menjelaskan sikap Ayah yang juga menuntut Sasana untuk pandai bermain piano. Dia juga melarang Sasana untuk menonton konser
dangdut. Kutipan 51 menjelaskan sifat Ayah yang pemarah dan tidak percaya. Dia memukul dan memarahi Sasana yang babak belur ketika pulang sekolah,
Ayah mengira Sasana berkelahi, padahal Sasana dipukul dan dirampas uanganya
oleh kelompok gang di sekolahnya. Kutipan 52 menjelaskan kekecewaan seorang Ayah yang tidak mampu membela anaknya yang menjadi korban
pemukulan oleh kelompok gang di sekolahnya. Kutipan 53 dan 54 menjelaskan sikap Ayah yang malu mempunyai anak transgender seperti Sasana.
Dia juga memutus hubungannya dengan Sasana, dan tidak ingin tinggal bersama anaknya.
c. Cak Man