162 “Terserah. Itu artinya kamu dipecat dari perusahaan ini,” katanya.
“Tanpa pesangon karena kamu sendiri yang melakukan kesalahan dan tidak mau mengikuti aturan.” Madasari, 2013: 199
4.5.2 Tidak Terpenuhinya Kebutuhan akan Rasa Aman
Sasana dan Jaka dalam novel Pasung Jiwa membutuhkan akan rasa aman, rasa aman dari teman-temannya SMA, tentara, maupun preman. Kebutuhan akan
hukum, ketentraman, dan keteraturan juga merupakan bagian dari kebutuhan akan rasa aman. Sejak kecil, Sasana selalu dipaksa orang tuanya untuk menyukai piano,
ia selalu tersiksa dan tertekan dengan aturan-aturan yang dibuat oleh orang tuanya. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut
163 Memainkan piano hanya soal menggunakan alat, pikirku saat itu.
Kalau sekedar mengikuti apa yang diajarkan guru, aku dengan mudah melakukannya. Meski sebenarnya aku tak suka dan selalu
tersiksa. Madasari, 2013: 15
Ketika Sasana SMA, ia juga mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok anggota geng di sekolahnya. Setiap hari uang sakunya diambil dan
ia dipukuli sampai babak belur. Sampai pada akhirnya kasusnya tersebut tidak dapat diproses karena salah satu anggota geng tersebut merupakan anak jendral.
Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut 164
Wajah-wajah yang asing, jelas mereka bukan teman sekelasku. Dua orang merapat ke tubuhku, kiri dan kanan. Satu orang berjalan di
depanku, dua orang di belakangku. Kedua tanganku kini dipegang dua orang yang berjalan di sampingku. “Ikut kami,” kata salah satu
di antara mereka. Aku kebingungan sekaligus ketakutan. Orang- orang ini sejak awal sudah menunjukkan sikap bermusuhan.
Madasari, 2013: 31
165 Salah satu dari mereka menarik tubuhku, lalu kembali menekanku
ke dinding. “Jadi mulai sekarang kamu anggota Dark Gang. Siaaap?” “Si..ap..,” jawabku. Lemah dan pelan. Dia masih belum
puas. “Jawab yang kears” serunya. “Siaaap” teriakku. Sekeras- kerasnya. Bukan karena aku benar-benar siap ikut geng itu, tapi
karena aku takut. Takut dipukuli dan ditendang lagi. Madasari, 2013: 32
166 “Ada satu anak jenderal, satu anak pejabat. Kasusnya tidak bisa
diproses,” jawab Ayah datar. “Hah? Anak kita disiksa seperti anjing lalu pelakunya tidak bisa diproses?” Ibu berteriak. Kini ia bukan
hanya marah pada orang-orang yang menganiayaku dan pada polisi yang tak memproses perkaraku. Ia marah pada ayahku. Madasari,
2013: 42
Kebutuhan rasa aman juga tidak terpenuhi ketika Sasana dipenjara setelah membantu Cak Man demo di pabrik tempat anaknya bekerja agar anaknya yang
diculik dipulangkan. Selama dipenjara, Sasana mendapat perlakuan yang tidak senonoh, ia diperkosa dan dipukuli oleh beberapa tentara yang ada tahanan
tersebut. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut 167
Aku bangun sambal meringis kesakitan. Pipiku terasa bengkak dan panas. Belum sempurna aku berdiri, sebuah tendangan bersarang di
perutku. Aku terhuyung ke belakang sampai membentur dinding. Orang yang lain kini menarik rambutku. Aku berteriak. Ia terus
menarik, memaksaku mengikuti ke mana langkahnya. Kami
berhenti di ruangan tanpa jendela. “Duduk” seru mereka sambal mendorong tubuhku ke kursi itu. Mereka keluar. Pintu ditutup. Aku
sendirian di dalam ruang yang gelap. Kepalaku semakin berat, tubuhku lemas, aku sangat haus dan lapar. Apa yang terjadi
denganku? Apa yang terjadi dengan kawan-kawanku? Cemas dan takut memenuhi pikiran dan perasaanku. Madasari, 2013: 96-97
168 Sepanjang malam aku terus menggigil. Antara kesakitan, ketakutan,
dan kedinginan. Aku masih tetap memakai celana dalam dan BH. Sedikit pun mereka tak tersentuh untuk memberiku kain penutup
apa saja. Dasar bajingan Madasari, 2013: 99
Setelah keluar dari penjara, Sasana mengalami ketakutan dan kecemasan yang selalu membayanginya ia merasa dirinya tidak aman dan dihantui oleh
orang-orang yang dulu telah menyiksanya. Hal itu membuat Sasana harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut
169 Semakin aku berpapasan dengan banyak orang, semakin kalut
perasaanku. Orang-orang itu menatapku penuh heran. Apakah mereka sudah menemukan kejanggalan pada diriku? Mereka seperti
curiga, aku adalah orang di luar golongan mereka yang bisa menimbulkan bahaya. Kini tatapan mereka jadi penuh kebencian.
Aku merasa terancam. Aku merasa tak lama lagi mereka akan mengerubungiku, meneriakiku, lalu mengarakku tanpa baju. Aku
ketakutan. Aku sedang tidak aman. Segala hal bisa mereka lakukan. Madasari, 2013: 109
Beberapa bulan di Rumah Sakit Jiwa kemudian Sasana memutuskan untuk kabur bersama teman-temannya. Keluar dari Rumah Sakit bukan serta-
merta Sasana aman, dia dipukuli oleh preman-preman pasar ketika dia tak mau membayar setoran. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut
170 Mereka pergi membawa semua barangku. Tape, mik, dan uang yang
kubawa dari rumah. Aku masih tersungkur di tanah. Banyak orang di sekitarku yang melihat kejadian itu. Kenapa tak satu pun
menolongku? Kenapa taka da yang berani melawan preman-preman itu? Madasari, 2013: 237
Dari kutipan-kutipan di atas maka dapat diambil kesimpulan Sasana mengalami konflik batin yang sangat mendalam, rasa cemas, sedih, takut, malu
akibat tidak terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan rasa aman Jaka tidak terpenuhi ketika rumah kontrakan yang
ia tinggali bersama Elis di Batam didatangi oleh sejumlah massa dan menyuruh Elis untuk pergi dari rumah tersebut karena rumah itu sudah dijadikan tempat
pelacuran oleh Jaka. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut 171
Aku menelan ludah. Kakiku gemetar. Aku ketakutan. Ketakutan yang sama dengan yang dulu kurasakan saat disekap di penjara
tentara. Ingatan tentang masa itu kembali datang. Kembali kurasakan siksaan mereka. Rasa sakit yang luar biasa disekujur
tubuhku, rasa terhina dan malu yang mengeras dalam hatiku. Ingatan itu kini mematikan seluruh keberanianku. Aku hanya diam
mematung saat orang-orang itu memaksa masuk rumah dan membuka pintu kamar Elis. Aku tak melakukan apa-apa, bahkan
bersuara pun aku tidak. Madasari, 2013: 189
Ketakutan dan merasa bersalah selalu membayangi Jaka, setelah keluar dari rumah kontrakan itu Jaka kembali ke mes yang dulu sudah disediakan oleh
pabrik tempatnya bekerja. Tak berapa lama bekerja, dia dipecat karena memecahkan salah satu kaca. Jaka kemudian menjadi buronan satpam pabrik
karena telah membuat kerusuhan mengajak para buruh untuk berdemo besar- besaran. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut
172 Aku ikut berjalan bersama mereka ke dalam kapal. Sepuluh hari di
laut tak jadi soal. Bahkan lebih lama juga lebih baik. Berada di laut bersama mereka jauh lebih aman untukku daripada tetap berada di
daratan. Aku bisa bekerja tanpa dibayar. Asal bisa sembunyi dengan aman dan bisa tetap makan. Madasari, 2013: 221
Jaka juga mengalami rasa tidak aman ketika dia bersama teman-teman Laskarnya sedang menggrebek kos-kosan di sekitar kampus yang dipakai untuk
tempat maksiat. Bayangan tentang Elis kembali muncul berupa tatapan pelacur- pelacur yang sedang ia razia. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut
173 Bertahun-tahun aku dikejar oleh tatapan Elis yang terakhir kali
kulihat. Tatapan penuh gugatan karena aku tak melawan orang- orang
yang membawanya.
Bertahun-tahun aku
berusaha melepaskan diri dari tatapan itu. Kini, tatapan itu kembali hadir
melalui mata perempuan lain. Aku gemetar. Aku ketakutan. Jiwaku terbelah, masing-masing berebutan saling menenggelamkan.
Madasari, 2013: 303
Ketakutan Jaka berlanjut ketika Ibunya yang sduah meninggal masuk dalam mimpinya dan menuduhnya sebagai binatang. Ketakutan itu bermula ketika
Jaka memasukkan Sasana ke dalam penjara karena goyangan Sasana yang bertentangan dengan Laskar yang ia pimpin. Rasa tidak aman akan hukuman
orang tuanya itu terlihat dari kutipan beriku
174 Ibu datang dalam mimpiku malam ini. Ia menangis di kamarnya.
Waktu aku dekati ia malah marah. Mendorongku menjauhinya. Aku bertanya kenapa. Ibu melotot dan menuding mukaku, ‘Kamu bukan
anakku. Kamu binatang.” Aku terbangun seketika. Tubuhku penuh peluh. Aku gemetar. Lalu aku menangis. Madasari, 2013: 316
4.5.3 Tidak Terpenuhinya Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan