bertanya kenapa, Ibu melotot dan menuding mukaku, “Kamu bukan anakku. Kamu binatang.” Madasari, 2013: 316
Dari  kutipan  194  dan  196  menjelaskan  bahwa  hal  yang  dilakukan  oleh tokoh  Sasana  tidak  sepantasnya  untuk  ditiru,  Sasana  melupakan  tanggung
jawabnya  sebagai  anak  kepada  orang  tuanya  yang  sudah  membiayai  dia  kuliah. Selain  itu  kutipan  195  dan  198  menjelaskan  sifat  Sasana  yang  patuh  dan
mencintai  orang  tuanya.  Kutipan  197  menjelaskan  bahwa  orang-orang  yang memiliki  kelainan  seksual  tidak  pantas  untuk  disingkirkan  dan  dicemooh  dari
lingkungan  masyarakat,  sedangkan  kutipan  199  menjelaskan  rasa  penyesalan Jaka  ketika  Ibunya  datang  ke  dalam  mimpinya  dan  mengutuknya.  Dengan
ditemukan hal-hal tersebut diharapkan sebagai gambaran kepada siswa agar dapat menemukan  permasalahan  dari  kehidupan  dalam  novel  sehingga  pada  akhirnya
siswa  dapat  menemukan  dan  membedakan  suatu  yang  baik  dan  yang  tidak  baik dalam kehidupan.
4.8.3 Aspek Latar Belakang Budaya
Latar belakang budaya juga penting dalam pengajaran sastra. Hal ini akan menambah minat dan ketertarikan peserta didik dalam menganalisis sebuah novel.
Novel Pasung Jiwa menggunakan latar belakang budaya kaum transgender, anak jalanan, dan buruh, sehingga siswa dapat memahami permasalahan-permasalahan
yang terjadi dalam kehidupan. Berikut kutipan yang menggambarkan hal tersebut 200
“Begini  lho,  Mas,  kami  mau  menyunatkan  anak  lanang.  Ingin  ada sedikit  rame-ramean.  Lihat  tulisan  di  depan  itu  jadi  mau  nanya-
nanya,” kata si tamu laki-laki. “Wah… bisa. Bisa sekali Kami sering kok ditanggep
buat sunatan,” balas Cak Jek. Madasari, 2013: 74 201
Penampilan nyeleneh mereka justru sangat sangar. Rambut dicukur di bagian  samping  lalu  ditegakkan  bagian  atasnya.  Anting-anting  di
salah satu telinga. Kaus hitam dengan gambar-gambar seram. Celana jins  robek-robek  dengan  rantai  menggelantung  di  saku.  Ada  tato  di
tangan, leher, atau kaki mereka. Gambarnya macam-macam. Dari ular hingga gambar perempuan. Madasari, 2013: 65
202 “Soal  biaya  gimana?” tanya perempuan itu. “Jangan mahal-mahal…
ini  sambatan lho..”  “Itu  mboten  sah  dipikirne.  Kami  jadi  penghibur
sudah panggilan jiwa.” Madasari, 2013: 75
203 Setiap hari dari jam delapan pagi sampai jam empat sore, aku berdiri
di  hadapan  meja  besar  ini,  mengusap  dan  memasang  ratusan  bahkan bisa sampai ribuan kaca setiap hari. Madasari, 2013: 159
Kutipan di atas melukiskan kehidupan para kaum buruh, anak jalanan, dan
kebiasaan  yang  ada  di  daerah  Malang.  Ini  merupakan  gambaran  suasana kehidupan  orang  marjinal.  Berasarkan  hasil  analisis  dalam  pemilihan  bahan
pembelajaran  sastra  di  SMA.  Pertama,  jika  dilihat  dari  aspek  bahasa,  dapat diketahui bahwa bahasa yang digunakan tidak jauh dari penguasaan bahasa siswa.
Meskipun  ada  beberapa  yang  menggunakan  bahasa  Jawa  tetapi  dapat  dilihat dalam bahasa Indonesia di halaman bawah note kaki sehingga dapat dimengerti
oleh siswa. Kedua,  dari  aspek  psikologis,  novel  ini  mempunyai  kesesuaian  dalam
tahap  perkembangan  siswa  karena  pada  umumnya  siswa  SMA  sudah  pada  tahap dapat  memahami  masalah-masalah  kehidupan  dengan  berusaha  menganalisis
fenomena  dalam  kehidupan  nyata.  Ketiga,  dilihat  dari  aspek  latar  belakang budaya,  makan  novel  ini  menghadirkan  latar  sosial  budaya  yang  ada  di
lingkungan masyarakat pada umunya.
4.9 Silabus terlampir