yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah Soekotjo Subiakto 2005; Wahyudi 2009a.
Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan Dirjen BPK Nomor 77VI-BPHA2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada
tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan Surat Keputusan Dirjen BPK Nomor 41VI-BPHA2007 tanggal 10 April 2007, termasuk di dalamnya
IUPHHK PT Gunung Meranti. Pedoman teknis sistem TPTII berdasarkan Keputusan Dirjen BPK Nomor SK. 226VI-BPHA2005 tanggal 1 September 2005.
Sistem TPTII bertujuan membangun hutan tropis lestari dinamis, yang dicirikan dengan selalu meningkatnya potensi dan fungsi hutan, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas dari satu rotasi tebang ke rotasi tebang berikutnya. Sedangkan tujuan khusus penerapan sistem ini adalah membangun hutan sebagai transisi menuju
hutan tanaman meranti dan unt uk menjamin fungsi hutan yang optimal Ditjen BPK 2005.
Penerapan sistem TPTII tahap ke-2 pada 25 IUPHHK model hanya dilakukan pada 10 dari luas areal pengelolaan, selebihnya masih menggunakan sistem TPTI.
Dengan demikian dalam satu unit pengelolaan hutan dapat menerapka n dua sistem silvikultur, dan hal ini merupakan wujud penggunaan multisistem silvikultur.
Keniscayaan ini telah diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2007 jo. Nomor 3 tahun 2008 pasal 34 dan 38 yang menyatakan bahwa “Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan
alam pada hutan produksi dapat dilakukan denga n satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan atau lingkungannya“. Saat ini,
penerapan multisistem silvikultur pada hutan alam produksi yang telah berbentuk mosaik merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan produktifitas serta menjaga
kepastian dan keutuhan kawasan hutan produksi. Menurut Ditjen BPK 2005 dan Soekotjo 2009 pengelolaan hutan dengan
sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar seluas minimal 1000 hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat
menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Denga n asumsi diameter pohon tebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan
standing stock sebanyak 400 m
3
per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan.
Dengan meningkatnya produktifitas hutan, maka luas areal hutan alam yang dipergunakan untuk menghasilkan kayu pertukangan akan semakin kecil sehingga
alokasi areal untuk konservasi akan bertambah luas. Dengan demikian akan semakin banyak areal hutan yang dimanfaatkan sebagai kawasan perlindungan dan pengatur
tata air, sumber plasma nutfah, pe nelitian dan lain- lain. Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII Ditjen BPK 2005 adalah:
1 Penataan areal P-3 2 Risalah hutan P-3
3 Pembukaan wilayah hut an P-2 4 Pengadaan bibit P-1
5 Penyiapan lahan, yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan jalur bersih P-1
6 Penanaman P 7 Pemeliharaan tanaman, yang meliputi:
- penyiangan dan pemulsaan I sd X P+0,1,2,3 - penyulaman I dan II P+0 dan P+1
- pemupukan I dan II P+0 dan P+1 - pembebasan vertikal I dan II P+1 dan P+3
- penjarangan I dan II P+5 dan P+10 8 Perlindungan tanaman terus menerus
9 Penelitian dan pengembangan 10 Pemanenan ka yu P+31
Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTJ Ditjen BPK 2009a adalah: 1 Penataan areal kerja
2 Inventarisasi hutan 3 Pembukaan wilayah hut an
4 Pengadaan bibit 5 Tebang naungan
6 Penyiapan dan pembuatan jalur tanam 7 Penanaman dan pemeliharaan tanaman jalur
8 Pembebasan dan penjarangan 9 Pemanenan
10 Perlindungan da n pengamanan hut an
2.3 Pertumbuhan dan Has il
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil growth and yield
po hon ada lah genetik Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar Matthias 2004; Na’iem Pamuji 2006, lingkungan atau tempat tumbuh Fisher Binkley
2000; Kozlow ski Pallardy 1997; Soekotjo 1995 dan teknik silvikultur Coates Philip 1997; Halle et al. 1978; Pasaribu 2008; Santoso et al. 2008. Bagan alir
faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil po hon Sistem silvikultur biasanya mengandung beberapa teknik silvikultur serta
serangkaian perlakuan yang harus diberikan pada tanaman atau tegakan. Para praktisi dapat mengembangkan dan merekayasa teknik silvikultur dalam ruang
lingkungan sistem yang masih dipe rke nanka n. Pengendalian hama da n penyakit tanaman merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari teknik silvikultur.
Belakangan berkembangan teknik pengendalian hama terpadu Integrated Pest
Sistem silvikultur Iklim A
Teknik silvikultur Iklim B
Pengendalian Iklim C
hama terpadu Metabolisme
Udara Arsitek pohon
Cahaya Suhu
Tekstur tanah Struktur tanah
Anakan alam KTK
Keasaman tanah Tegakan benih
Mineral tanah Iklim mikro
Kebun benih Mikroorganisme
Mikoriza a bit of blood
Rhizobium Tree superior
Biomassa Pemuliaan pohon
Genetik Lingkungan
Silvikultur Iklim
Tanah Arah lereng
Ketinggian Kelerengan
Sifat fisik Sifat kimia
Biologi tanah Pencucian
Erosi Unsur hara
Arsitek akar Kerapatan
Pertumbuhan dan Hasil
Presipitasi Cahaya
Suhu udara Kelembaban
Angin Letak
geografi Fotosintesis
Air tanah Katalisator
Serapan hara
Management yang menekankan pada teknik pengendalian hama yang ramah
lingkungan menggunakan predator, parasit hama dan meningkatkan kualitas kesehatan po hon biocontrol.
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditent uka n oleh curah huj an, intensitas
cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian,
kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan atau genetik po hon memegang perana n cukup pe nting da lam
mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali Danida
Dephut 2001. Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, zat pengatur tumbuh dan tingkat
pembentukan serat Kozlowski Pallardy 1994; Landsberg 1986. Upa ya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih
mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.10Menhut-II2007 tanggal 13
Maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata- rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan
dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah sumber benih dengan pohon fenotipa bagus yang mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak
cacat dan percabangan ringan. Tegaka n benih seed stand adalah areal tegakan yang dipilih untuk menghasilkan
benih dan bibit berkualitas tinggi melalui pohon-po hon induk yang terdapat di dalamnya. Penunjukkan tegakan benih juga didasarkan pada kemampuan berbuah
pohon induk untuk dapat menyuplai benih dan bibit bagi keperluan persemaian dan penanaman. Tegakan benih dalam IUPHHK dikenal dengan nama Areal Sumber
Daya Genetik ASDG, diwajibkan dibuat seluas 100 ha dalam setiap 5 blok kerja tahunan dulu bernama blok RKL sehingga secara keseluruhan, setiap IUPHHK
wajib mempunyai 700 ha ASDG PT GM 2008a. Tegakan benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi
yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon seperti ini diharapka n kualitas tegakan hutan akan semakin
meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul