Analisis finansial a. Asumsi dan standar biaya
Sumber: PT GM 2008a
Disamping biaya-biaya di atas, komponen biaya produksi langsung maupun tidak langsung lainnya meliputi biaya administrasi umum tata usaha kayu, investasi alat
berat, investasi bangunan, penyusutan, gaji dan upah, insentif, pajak, kewajiban sosial, lingkungan dan biaya operasional tebang penyiapan lahan.
b. Analisis finansial penge lolan hutan sistem TPTII Berdasarkan hasil analisis finansial terhadap semua komponen penerimaan yang
berasal dari penjualan kayu bulat serta nilai sisa unit serta semua komponen pengeluaran dengan asumsi kegiatan ini dikerjakan unit manajemen baru, dapat
diketahui bahwa pada suku bunga 9 kisaran bunga bank saat ini dan harga jual kayu bulat berdiameter 40-49 cm sebesar Rp. 1.150.000,-m
3
dan berdiameter 50 cm ke atas sebesar Rp. Rp. 1.300.000,-m
3
harga awal tahun 2010 kegiatan pengusahaan hutan sistem TPTII mencapai titik impas breakeven point atau baru
menguntungkan setelah tahun ke-7, dengan nilai keuntungan sebesar Rp. 4.139.693,-ha, sedangkan pada suku bunga 0, 6 dan 12 titik impas baru
dapat dicapai masing- masing pada tahun ke-6, ke-6 dan ke-7 dengan nilai keuntungan yang berbeda.
Pencapaian titik impas breakeven point ke layaka n usaha ini ditandai dengan nilai BCR
≥ 1 dan nilai NPV 0. Gambaran selengkapnya tentang analisis finansial ini dapat dilihat pada Tabel 30.
Berdasarkan tabel tersebut waktu pencapaian titik impas dan nilai keuntungan bersih pengelolaan hutan dalam rangka penerapan sistem TPTII sudah tercapai sebelum
mencapai siklus ke-1. Gambaran lebih jelas tentang pencapaian waktu titik impas dan kelayakan usaha
pengelolaan hutan sistem TPTII pada tingkat suku bunga 0, 6, 9 dan 12 dapat dilihat pada Gambar 37. Garis yang telah mencapai sumbu x axis atau berada pada
posisi sumbu y ordinat sama dengan nol adalah saat pencapaian titik impas. Semakin tinggi ordinat suatu garis menunjukkan semakin besar keuntungan yang
diperoleh.
Tabel 30. Nilai NPV dan BCR pada pengelolaan hutan sistem TPTII
Gambar 37. Nilai NPV Rpha pengelolaan hutan sistem TPTII pada saat harga kayu bulat meranti berdiameter 40-49 cm dan 50 cm ke atas masing-
masing sebesar Rp. 1,15 juta per m
3
dan Rp. 1,3 juta per m
3
dengan tingkat suku bunga 0, 6, 9 dan 12.
Pengelolaan hutan sistem TPTII saat ini banyak dilakukan unit manajemen yang telah berjalan dengan sistem TPTI. Kegiatan yang bersifat multisistem silvikultur ini
dapat melakukan subsidi silang dari kegiatan yang satu dengan kegiatan lainnya sehingga mampu mempertinggi efisiensi.
Tahun Suku bunga 0 Suku bunga 6
Suku bunga 9 Suku bunga 12
ke NPV
BCR NPV
BCR NPV
BCR NPV
BCR 1
-53.114.251 0,35 -53.114.251
0,35 -53.114.251 0,35 -53.114.251
0,35 5
-9.564.693 0,94 -10.346.571
0,93 -10.776.947 0,92 -11.220.217
0,91 6
3.390.717 1,02
108.464 1,00
-1.253.487 0,99
-2.467.484 0,98
7 13.185.257
1,07 6.701.817
1,04 4.139.693
1,03 1.923.552
1,01 10
16.328.284 1,06
9.307.157 1,04
6.394.017 1,03
3.819.509 1,02
15 41.128.712
1,10 23.086.416
1,08 16.718.882
1,07 11.572.728
1,05 20
58.730.515 1,12
29.639.858 1,10
20.802.335 1,08
14.202.557 1,07
25 56.728.857
1,15 24.096.579
1,11 16.016.178
1,10 10.535.639
1,08 30
107.046.380 1,19
37.396.643 1,14
23.297.030 1,11
14.640.183 1,09
-80.000.000 -60.000.000
-40.000.000 -20.000.000
20.000.000 40.000.000
60.000.000 80.000.000
100.000.000 120.000.000
1 5
6 7
10 15
20 25
30
Tahun
N P
V R
p ha
Suku bunga 0 Suku bunga 6
Suku bunga 9 Suku bunga 12
Unit manajemen yang telah berjalan mempunyai sarana dan prasarana serta investasi awal berupa unit operasional produksi dan bangunan pendukung
perkantoran, perumahan, gudang, bengkel, dapur umum, pos jaga dan lain- lain serta ditopang oleh kegiatan yang telah berjalan sebelumnya seperti PMDH dan
biaya sosial, perijinan dan tata batas, tenaga teknis, tenaga lapangan buruh dan lain- lain.
Sebuah unit pengelolaan hutan baru yang menerapkan sistem TPTII tidak mungkin hanya melakukan kegiatan operasional TPTII saja, seperti tebang
penyiapan lahan, pembibitan, penanaman jalur dan pemeliharaan, namun juga harus melengkapi berbagai sarana dan prasaran penunjang termasuk kegiatan lain seperti
disyaratkan dalam berbagai peraturan yang ada dalam rangka memenuhi ketentuan kriteria dan indikator pengelolaan hutan produksi lestari PHPL yang meliputi aspek
prasyarat, produksi, ekologi dan sosial. Inilah yang menyebabkan usaha baru di bidang pengelolaan hutan sistem TPTII tidak langsung menguntungkan, melainkan
harus menunggu sampai beberapa tahun, kecuali adanya subsidi silang dari kegiatan yang telah berjalan. Lamanya waktu menunggu dipengaruhi oleh potensi kayu yang
dapat dimanfaatkan, harga kayu, tingkat suku bunga serta biaya operasional. Makin tinggi potensi tegakan hutan yang diperuntukan bagi pengelolaan sistem TPTII
makin pendek waktu menunggunya dan semakin jauh lokasi IUPHHK dengan industri pengolahan kayu makin tinggi biaya yang dikeluarkan.
Pengelolaan hutan sistem TPTII sudah dapat memberi keuntungan selama siklus ke-0 karena memanfaatkan hasil tebang penyiapan lahan. Pengelolaan hutan sistem
TPTII pada areal yang tidak memberi hasil tebang penyiapan lahan mempunyai titik impas breakeven point di atas waktu siklus tebangnya di atas 30 tahun atau 35
tahun. Secara ekonomi kondisi seperti ini sangat sulit untuk dikerjakan kecuali ada kebijakan khusus, seperti bantuan dana dari pemerintah, paket reboisasi dan
penghijauan yang tidak dikenakan status IUPHHK sehingga tidak ada kewajiban seperti yang disyaratkan da lam suatu IUPHHK.
Salah satu komponen yang dapat meningkatkan status kelayakan usaha pada pengelolaan hutan sistem TPTII ini adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi
kayu yang masak tebang pada kegiatan tebang penyiapan lahan serta upaya peningkatan harga jual kayu bulat. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, harga
kayu bulat masih dibawah harga kelayakan usaha pengelolaan hutan alam sehingga
kerusakan hutan cenderung meningkat disebabkan minimnya dana pembinaan pasca penebangan Handadari 2005.
Harga jual kayu bulat sebelum tahun 2005 masih di bawah Rp. 600 ribu per m3 bahkan sempat anjlok pada harga Rp. 200 ribu per m
3
. Sejak tahun 2005 harga kayu bulat mulai naik sejalan dengan makin gencarnya pemberantasan illegal logging,
namun harga tersebut tidak pernah melebihi Rp. 1.500.000,- per m
3
. Tabel 31. Analisis sensitifitas harga kayu bulat dan tingkat suku bunga untuk
menenetuka n titik impas dan waktu layak usaha
Berdasarkan hasil analisis sensitifitas menggunakan beberapa variasi harga jual
kayu bulat serta tingkat suku bunga, seperti ditunjukkan pada Tabel 31, dapat dilihat bahwa apabila harga kayu bulat sebesar Rp. 1.300.000,- per m
3
maka akan mencapai titik impas dan memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-6 pada tingkat suku
bunga 0 dan 6 dan pada tahun ke-7 pada tingkat suku bunga 9 dan 12. Sedangkan pada harga kayu bulat Rp 1.200.000,- per m
3
baru mencapai titik impas dan memberikan kelayakan usaha pada tahun ke-11 apabila tingkat suku bunga 0,
pada tahun ke-16 apabila tingkat suku bunga 6, pada tahun ke-17 apabila tingkat suku bunga 9 dan pada tahun ke-26 apabila tingkat suku bunga 12.
Apabila harga jual kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m
3
dapat memberikan titik impas dan kelayakan usaha pada tahun ke-3 pada berbagai tingkat suku bunga
Harga log Waktu
Indikator Tingkat suku bunga
per m
3
Rp layak tahun
6 9
12 11
NPV 1.000.977
BCR 1,00
16
NPV 2.064.372
1.200.000
BCR 1,00
17
NPV 354.553
BCR 1,00
26
NPV 39.723
BCR 1,00
6
NPV 3.653.587
333.290
1.300.000
BCR 1,03
1,00 7
NPV 4.409.715
2.173.940 BCR
1,03 1,02
1.500.000 3
NPV 4.965.644
2.570.707 1.501.484
506.557 BCR
1,06 1,03
1,02 1,01
yang terjadi, bahkan pada tingkat suku bunga 12 masih memberikan keuntungan sebesar Rp. 506.557,- ha pada tahun ke-3.
Harga kayu bulat sebesar Rp. 1.500.000,- per m
3
atau lebih masih memungk inkan untuk dicapai dengan cara meningkatkan pemberantasan illegal logging dan mafia
kehut anan, pe negaka n hukum, pe ngaturan tata usaha ka yu yang lebih baik Handadari 2005 serta penerapan reduced impact logging Wahyudi 2008.
Menurut Nugroho 2002 harga jual kayu bulat di Malaysia telah mencapai USD200-USD250 per m
3
atau sekitar Rp. 1.900.000,- Rp. 2.375.000,- per m
3
kurs Rp. 9.500 per USD. Apabila harga jual kayu bulat di Indonesia dapat menyamai
harga kayu bulat di Malaysia maka iklim usaha kehutanan di Indonesia akan semakin menarik dan kelestarian hutan alam produksi akan semakin cepat menjadi kenyataan
karena tersedia dana yang cukup untuk pe mbinaan hutan. Apabila harga jual kayu bulat masih belum dapat beranjak dari kisaran harga Rp.
1.300.000,- per m
3
, maka berdasarkan hasil penelitian ini dapat direkomendasikan bahwa unit manajemen yang melakukan pengelolaan hutan sistem TPTII selayaknya
mendapat paket pinjaman dana misalnya dari dana reboisasi dengan bunga 6 dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-6 atau pinjaman dana dengan
bunga 9 dengan bantuan biaya penanaman sampai tahun ke-7 . Apabila pemerintah Dephut masih belum bersedia mengucurkan dana bantuan untuk
kegiatan pengelolaan hutan sistem TPTII, pemerintah hendaknya menyakinkan dunia usaha perbankkan agar bersedia mengucurkan dana pinjaman pada proyek
pengusahaan hutan ini atau dibentuk bank pertanian yang memahami dunia usaha kehutanan yang berumur panjang dan resiko relatif besar.
6 KESIMPULAN DAN SARAN