Distribusi diameter pohon Tanah Berdasarkan hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah, seperti terlihat pada

Persamaan pembentuk kurva J terbalik pada Gambar 18 adalah: Persamaan yang mendukung po la J terbalik pada keempat kelompok pohon tersebut cukup menyakinkan karena nilai koefisien determinai cukup tinggi, berkisar antara 80,23 sampai 97,79. Pola persamaan J terbalik yang terbentuk menandaka n ba hwa struktur hutan alam alleven aged stand forest dalam penelitian ini masih terjaga dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer et al. 1961, Davis dan Johnson 1987, Nyland 1996; Suhendang 1995 dan Bettinger et al. 2009 yang menyatakan bahwa pola penyebaran diameter pada hutan alam menyerupai J terbalik dengan persamaan q=qo.e -cDBH . Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter DBH yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit pop ulasinya N. 5.2.4 Model pertumbuhan dan has il tegakan tinggal Simulasi terhadap parameter-parameter vegetasi dan lingkungan serta interaksi antara keduanya dapat dipergunakan untuk menentukan siklus tebang yang sesuai dengan kondisi hutan. Kerangka pemikiran dalam pemodelan dinamika tegakan hutan berpedoman pada aspek kelestarian, baik kelestarian hutan maupun kelestraian produksi. Siklus tebang sebaiknya ditetapkan berdasarkan aspek kelestarian yang dicirikan dengan pulihnya struktur dan komposisi tegakan serta tercapainya volume produksi seperti semula sebelum ditebang. a. Batasan model dan formulasi diagram umpan balik Sistem silvikultur TPTII mempunyai dua lokasi pengelolaan, yaitu jalur tanam dengan sistem tebang habis permudaan buatan dan jalur antara dengan sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih selective cutting dijalanka n de ngan meneba ng po hon- pohon komersial dengan limit diameter 40 cm ke atas, kemudian membuat jalur tanam dengan lebar 3 meter melalui tebang habis clear cutting. Pada siklus ke-2, tegakan tinggal hanya berada pada areal seluas 85 =1720 x100 dari areal semula siklus ke-1 karena telah terdapat jalur tanam sebesar 15. Kel meranti : N =193,59e -0,0551DBH ……… R 2 = 0,9630 Kel dipt non meranti : N =90,055e -0,0674DBH ……… R 2 = 0,8903 Kel kom lain ditebang : N =27,091e -0,0523DBH ……… R 2 = 0,8023 Kel kom lain tidak ditebang : N =364,07e -0,0945DBH ……… R 2 = 0,9779 Pemodelan menggunakan diagram aliran stok berupa kerapatan pohon Nha yang diawali dari pohon berdiameter 10-19 cm tingkat tiang. Kerapatan tiang kelas diameter 10-19 cm mendapat input berupa ingrowth dari tingkat pancang dan tingkat pancang dari semai sedangkan output-nya berupa ke matian mortality yang disebabkan oleh efek tebangan maupun persaingan alami yang merupakan fungsi dari kerapatan semua tegakan. Makin tinggi kerapatan tegakan maka semakin rendah pertumbuhannya. Namun demikian baik ingrowth maupun upgrowth sangat ditentukan oleh pertumbuhan po hon itu sendiri. Diagram umpan balik dinamika tegakan tinggal dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Diagram umpan balik dinamika tegakan hutan Pertumbuhan po hon mendapa tka n input dari uns ur hara da n cahaya. Kematian pohon dapat menambah unsur hara da lam tanah. Kerapa tan po hon-pohon besar akan menaungi dan mengurangi intensitas cahaya yang diterima pohon-po hon yang lebih kecil, termasuk tingkat semai dan pancang, sehingga makin rapat tegakan hutan maka maka semakin kecil peluang terjadinya ingrowth maupun upgrowth menuju kelas diameter di atasnya yang merupakan penjelmaan dari pertumbuhan pohon itu sendiri. Kerapatan masak tebang D ≥40 cm Kerapatan pohon D:30-39 cm Kerapatan semai Kerapatan pancang Kerapatan pohon D:20-29 cm Kerapatan tiang D:10-19 cm Laju tebangan Mati alam Diameter masak tebang Riap Serasah Hara tanah Biji dan tunas Ingrowth Upgrowth Upgrowth Upgrowth Intensitas Cahaya Curah hujan + + + + + + + + - - - - - - - - - - - - + - - + + Ingrowth + Mati efek tbg - - - - - - + + - Menurut Indrawan 2000, produksi biji merupakan awal dari aliran stock yang dimulai dari tingkat semai. Biji yang dihasilkan oleh pohon berkembang menjadi semai dan semai akan menjadi pancang dan seterusnya dengan faktor pembatas berupa kelembaban, makin lembab areal makin tinggi prosentase perkecambahannya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, keberadaan permudaan ini sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan itu sendiri Favrichon Kim 1998; Vanclay 1995, 2001 sehingga semakin rapat tegakan hutan semakin tinggi laju kematiannya. b. Diskripsi model pada diag ram alir Pemodelan perkembangan tegakan tinggal dapat dilakukan pada setiap tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, pohon dan pohon masak tebang melalui skema diagram alir Indrawan 2003a, 2003b. Input data dapat menggunakan data primer hasil pengukuran pada plot penelitian maupun data sekunder hasil penelitian pihak lain da n studi pustaka. Dalam penelitian ini data primer berupa riap tingkat tiang, pohon diameter 20-39 cm dan pohon masak tebang diameter 40 cm ke atas yang diolah menjadi persamaan ingrowth, upgrowth da n mortality serta data kerapatan untuk tingkat semai dan pancang. Gambar 20 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat semai, dimana kerapatan semai tergantung pada semai yang masuk dan keluar. Jumlah semai yang masuk ingrowth dipengaruhi oleh jumlah semai yang berkecambah dan kondisi kelembaban. Proses perkecambahan akan berjalan normal bila berada pada kelembaban yang cukup tinggi. Semai yang keluar disebabkan proses perpindahan dari tingkat semai ke tingkat pancang upgrowth dan karena kematian, baik kematian alami maupun akibat pemanenan kayu Indrawan, 2003a. Gambar 21 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pancang, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pancang yang masuk ingrowth dan pancang yang keluar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat tiang upgrowth maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan Indrawan 2003a. Gambar 22 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat tiang, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh tiang yang masuk ingrowth da n tiang yang ke luar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat pohon upgrowth maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan Indrawan 2003a. Gambar 20. Model perkembangan tingkat semai setelah penebangan Gambar 21. Model perkembangan tingkat pancang setelah penebangan Gambar 22. Model perkembangan tingkat tiang setelah penebangan Kerapatan semai Mati semai Upgrowth semai Ingrowth semai Prosen Upgrowth semai Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Ef ek kelembaban Kelembaban Peny edia semai Kerapatan pancang Mati pancang Upgrowth pancang Ingrowth pancang Prosen Upgrowth pancang Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth semai Kerapatan tiang Mati tiang Upgrowth tiang Ingrowth tiang Prosen Upgrowth tiang Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth pancang Gambar 23 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pohon diameter 20- 39 cm, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pohon yang masuk ingrowth dan pohon yang keluar, baik karena proses perpindahan menuju tingkat pohon masak tebang upgrowth diameter 40 cm ke atas maupun kematian alami dan kematian akibat efek tebangan Indrawan 2003a. Gambar 23. Model perkembangan tingkat pohon setelah penebangan Gambar 24 menunjukkan diagram alir perkembangan tingkat pohon masak tebang diameter 40 cm ke atas, dimana kerapatannya dipengaruhi oleh pohon diameter 20-39 cm yang masuk dan pohon masak tebang yang keluar disebabkan kematian alami dan kematian akibat penebangan dengan adanya laju penebangan pohon masak tebang Indrawan 2003 a. Gambar 24. Model perkembangan tingkat pohon masak tebang Kerapatan pohon Mati pohon Upgrowth pohon Ingrowth pohon Peluang phn pindah Mati alami Prosen mati akibat logging Laju tebangan Upgrowth tiang Kerapatan pohon MT Mati pohon MT Laju tebangan Ingrowth pohon MT Peluang phn pindah Mati alami Prosen mati akibat logging Prosen tebangan Upgrowth pohon

c. Persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality

1 Ingrowth Ingrowth disini adalah perpindahan tingkat pancang menuju tingkat tiang sebagai respon dari pertumbuhan tingkat pancang dan kerapatan tegakan secara keseluruhan. Persamaan ingrowth diolah melalu data hasil pengukuran sebanyak empat kali. Dalam merancang pemodelan dinamika hutan, ingrowth merupakan fungsi dari luas bidang dasar tegakan B dan kerapatan N Buongiorno Michie 1980; Coates 2002 dalam Fyllas 2010; Vancly 2001. Persamaan ingrowth yang mencerminka n perpindahan dari tingkat pancang ke dalam tingkat tiang dalam waktu satu tahun adalah seba gai berikut: Kelompok meranti……………………………. ig=12,3906-0,3198N+0,3947B R 2 = 0,5470 Kelompok dipterocarp non meranti................... ig= 2,7261+0,0289N-0,1396B R 2 = 0,2201 Kelompok komersial lain................................... ig= 76,2581-0,4653N-1,6808B R 2 = 0,7686 dimana: ig= ingrowth, N= kerapatan phnha, B= luas bidang dasar m 2 ha Pengelompokkan jenis pohon menjadi tiga kelompok seperti tersebut di atas telah banyak dilakukan para peneliti hutan alam seperti Favrichon dan Kim 1998, Rombe 1981 dan lain- lain. Mudah dipahami bahwa semakin detail pengelompokkan jenis maka semakin baik hasil yang didapatkan, namun cara ini sering kali menyulitkan dalam memperoleh konstanta yang lebih representatif. Berdasarkan persamaan ingrowth di atas, dapat diketahui bahwa fungsi ingrowth pada kelompok meranti berbanding terbalik dengan kerapatan tegakan N yang mengindikasikan ba hwa semakin rapat kondisi tegakan semakin kecil peluang terjadi ingrowth pada kelompok jenis ini. Pada penelitian ini ingrowth berupa perpindahan dari tingkat pancang ke dalam tingkat tiang dan pada fase ini kelompok jenis meranti sangat memerlukan ketersediaan cahaya yang optimal. Kelompok dipterocarp non meranti berbanding terbalik dengan aspek luas bidang dasar B karena luas bidang dasar pada dasarnya merepresentasikan kerapatan tegakan, makin tinggi kerapatan tegakan makin besar nilai luas bidang dasarnya. Fenomena yang sama juga terjadi pada kelompok rimba campuran dan kayu indah. Pada kelompok komersial lain terjadi fenomena yang lebih jelas bahwa fungsi ingrowth berbanding terbalik dengan kerapatan tegakan yang dicerminkan dalam bentuk jumlah pohon per ha N dan luas bidang dasar B dengan koefisien determinasi 76,86. Nilai koefisien determinasi, yang menunjukkan besarnya variasi kerapatan tegakan N dan luas bidang dasar B dalam menerangkan peubah ingrowth, pada penelitian ini berkisar antara 22,01 sampai 76,86. Variasi komponen lain dapat berasal dari indek kualitas tapak Vanclay 1989 dalam Vanclay 2001, indek fotosintesis McMurtrie et al. 1990, lapisan kanopi tajuk Bossel Krieger 1991 dan lain- lain. Namun sejalan dengan pendapat Vanclay 1995, bahwa hambatan dalam pemodelan hutan tropis campuran mixed tropical forest terletak pada keterbatasan data pendukung untuk menentukan kualitas tapak, aspek fisiologis, ekologis dan interaksi ekosistem yang komplek. Upaya menuangkan dinamika ekosistem hutan tropis yang komplek ke dalam sebuah model masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggabungkan semua fungsi yang terkait. Hingga saat ini pemodelan dinamika hutan masih menggunakan beberapa komponen dasar seperti riap, kerapatan, luas bidang dasar, disturbance dan lain- lain. Hal inilah yang menyebabkan nilai koefisien determinasi pada setiap persamaan ingrowth da n juga upgrowth da n mortality selalu berada pada kisaran rendah sampai sedang. Sebagai perbandingan, nilai koefisien determinasi persamaan ingrowth yang ditemukan oleh Buongior no et al. 1995 sebesar 37-47, Volin and Buongiorno 1996 sebesar 44-53, Favrichon and Kim 1998 sebesar 4-10 dan Labetubun 2004 sebesar 17,9 -42,7 . 2 Upgrowth Definisi upgrowth dapat diberikan sebagai peluang pohon yang hidup dalam kelas diameter tertentu yang pindah ke dalam kelas diameter di atasnya dalam waktu satu tahun. Upgrowth merupakan fungsi dari nilai tengah diameter D dan luas bidang dasar B Buongiorno et al. 1995, Favrichon 1998, Favrichon Kim 1998, Fyllas et al. 2010, Vanclay 1995. Persamaan upgrowth dalam pe nelitian ini dibagi dalam tiga kelompok jenis, yaitu meranti, dipterocarp non meranti serta komersial lain, sebagai berikut: Kelompok meranti: ug= 0,1729+0,0765D-0,0029D 2 +0,0000273D 3 -0,002B R 2 = 0,5356

Dokumen yang terkait

Forest Fire Threaten Indonesia Forest Plantation: a Case Study in Acacia mangium Plantation

0 4 16

Integration of GIS Model and Forest Management Simulation to Minimize Loss Risk By Illegal Cutting (A Case Study of The Teak Forest in District Forest of Cepu, Central Java)

0 16 120

Study on Spatial and Temporal Changes of Forest Cover Due to Canal Establishment in Peat Land Area, Central Kalimantan

0 6 29

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 20 311

The potency of Intensive Sylviculture System (TPTII) to support reduced emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) (a case study in concession of PT.Sari Bumi Kusuma in Central Kalimantan)

0 22 597

Growth of plantation and residual trees on the intensified indonesian selective cutting and planting. Case study in PT Gunung Meranti Forest Concession Area, Central Kalimantan Province

0 21 394

The Linkage Between Growth, Unemployment and Income Inequality on Poverty in Central of Java Province, 2004-2010

1 8 184

Stand structure dynamic for forest yield regulation based on number of trees : case on a logged over area of a low and dry-land of tropical rain natural forest in Kalimantan

1 16 186

The Growth of Red Meranti (Shorea leprosula Miq.) with Selective Cuttingand Line Planting in areas IUPHHK-HA PT. Sarpatim Central Kalimantan

0 3 86

Analysis of Land and Forest Fires Hazard Zonation in Spatial Planning (Case Study in Palangka Raya City, Central Kalimantan Province).

2 16 135