4. Output  bersifat  tradable  sedangkan  input  dapat  dipisah  berdasarkan  faktor
asing dan faktor domestik. 5.
Eksternalitas dianggap sama dengan nol. 6.
Nilai  tukar  resmi  adalah  nilai  tukar  rata-rata  yang  berlaku  pada  tahun  2010 yakni sebesar Rp. 9 062.12 per US Dollar.
Matriks  Analisis  Kebijakan  yang  digunakan  adalah  model  PAM  yang dikembangkan oleh Monke and Pearson 1989 sebagai berikut :
Uraian Penerimaan
Biaya Cost Keuntungan
Tradable Input
Faktor Domestik
Harga Privat A
B C
D Harga Sosial
E F
G H
Dampak  Kebijakan  dan Distorsi Pasar
I J
K L
Sumber : Monke and Pearson, 1989 4.4.1.
Analisis Indikator Matriks Kebijakan 1.
Analisis Keuntungan
a.
Analisis Keuntungan Privat Private Profitability
Keuntungan  Privat  adalah  selisih  antara  penerimaan  dengan  total  biaya pada tingkat harga privat
Keuntungan Privat D =  A – B + C
Dimana : D =  Keuntungan Privat Rp
A =  PenerimaanPendapatan Privat  Rp B =  Biaya Input Tradable Privat Rp
C =  Biaya Faktor Domestik Privat Rp Apabila  D    0  maka  usahatani  rumput  laut  memperoleh  profit  di  atas
normal  yang  mempunyai  implikasi  bahwa  rumput  laut  mampu berekspansi,  kecuali  apabila  sumberdaya  terbatas  atau  adanya  komoditi
alternatif yang lebih menguntungkan.
Apabila D  0 maka usahatani rumput laut memperoleh profit yang negatif atau tidak menguntungkan
b. Analisis Keuntungan  Sosial Social Profitability
Keuntungan  Sosial  adalah  selisih  antara  penerimaan  dengan  total  biaya pada tingkat harga sosial.
Keuntungan Sosial H =  E – F + G
Dimana : H =  Keuntungan Sosial Rp
E =  PenerimaanPendapatan Sosial  Rp F =  Biaya Input Tradable Sosial Rp
G =  Biaya Faktor Domestik Sosial Rp Apabila  H    0  dan  nilainya  makin  besar,  berarti  usahatani  rumput  laut
makin efesien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Apabila H  0 dan nilainya makin kecil berarti usahatani rumput laut tidak
efesien.
2. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif
a. Rasio Biaya Privat Private Cost Ratio
Private  Cost  Ratio  PCR  adalah  ratio  antara  Biaya  domestik  terhadap nilai tambah nilai tambah adalah selisih antara penerimaan dengan biaya
tradable pada tingkat harga privat PCR =  C  A
– B Dimana :
C  = Biaya domestik pada tingkat harga privat A  = Penerimaan pada tingkat harga privat
B  = Biaya tradable pada tingkat harga privat Apabila  nilai  PCR    1  dan  makin  kecil,  berarti  usahatani  rumput  laut
mampu  membiayai  faktor  domestiknya  pada  harga  privat  memiliki keunggulan kompetitif.
Apabila  PCR    1  dan  makin  besar  berarti  usahatani  rumput  laut  tidak memiliki keunggulan kompetitif.
b. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Domestic Resource Cost Ratio
Domestic Resource Cost Ratio DRC adalah ratio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada tingkat harga sosial.
DRC = G  E – F
Dimana : G  = Biaya domestik pada tingkat harga sosial
E  = Penerimaan pada tingkat harga sosial F  = Biaya tradable pada tingkat harga sosial
Apabila  DRC    1  maka  usahatani  rumput  laut  mampu  menghemat sumberdaya  domestik  yang  digunakan  untuk  menghasilkan  satu  unit
devisa memiliki keunggulan komparatif. Apabila DRC  1 maka usahatani runmput laut tidak memiliki keunggulan
komparatif.
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a.
Output Transfer
Transfer Output Output Transfer adalah selisih antara penerimaan pada
tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. Transfer Output I =  A - E
Dimana : A  = Penerimaan pada tingkat harga privat
E  = Penerimaan pada tingkat harga sosial Apabila nilai I  0 menunjukkan adanya transfer insentif dari konsumen
terhadap  petani  rumput  laut.    Sehingga  petani  rumput  laut  menerima harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya.
Apabila I  0 atau negatif menunjukkan bahwa ada transfer sumberdaya dari  petani  ke  konsumen  sehingga  harga  yang  diterima  petani  lebih
murah. b.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output NPCO
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output NPCO adalah rasio
antara  penerimaan  pada  tingkat  harga  privat  dengan  penerimaan  pada
tingkat harga sosial.
NPCO = A  E
Apabila  NPCO    1  berarti  kebijakan  bersifat  protektif  terhadap  output atau pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga
efesiennya harga dunia. Apabila  NPCO    1  berarti  kebijakan  pemerintah  bersifat  disprotektif
terhadap output yang menyebabkan harga output di pasar domestik lebih murah disbanding harga dunia.
c. Transfer Input TI
Transfer Input TI adalah selisih antara biaya tradable pada tingkat harga privat dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial
TI J = B – F
Dimana : B = Biaya tradable pada tingkat harga privat
F  = Biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila  TI    0,  menunjukkan  besarnya  transfer  insentif  dari  petani
rumput laut kepada produsen input tradable. Apabila  TI    0  menunjukkan  besarnya  transfer  dari  produsen  input
tradable kepada petani sehingga harga input yang diperoleh lebih murah.
d. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input NPCI
Nominal  Protection  Coefficient  on  Tradable  Input NPCI  adalah  rasio
antara biaya tradable pada tingkat harga privat denga biaya tradable pada tingkat harga sosial.
NPCI = B  F Apabila NPCI  1 berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di
pasar domestik di bawah harga efesiennya sehingga petani membeli input tradable    lebih  murah.    Demikian  pula  sebaliknya  apabila  NPCI    1
berarti  pemerintah  menaikkan  harga  input  tradable  di  pasar  domestik  di atas  harga  efesiensinya.    Sehingga  petani  rumput  laut  membeli  harga
input tradable lebih mahal. e.
Transfer Faktor TF Transfer  Faktor  TF  adalah  selisih  antara  biaya  domestik  pada  tingkat
harga privat dengan biaya domestik pada tingkat harga sosial. TF K = C
– G
Dimana : C  = Biaya domestik pada tingkat harga rpivat
G  = Biaya domestik pada tingkat harga sosial Apabila  TF    0  berarti  ada  kebijakan  pemerintah  yang  melindungi
produsen faktor domestik pemberian subsidi positif. Apabila  TF    0  atau  negatif  berarti  ada  kebijakan  pemerintah  yang
berpihak kepada petani rumput laut. f.
Efective Protection Coefficient EPC Efective  Protection  Coefficient
EPC  adalah  rasio  antara  nilai  tanbah pada  tingkat  harga  privat  dengan  nilkai  tanmbah  pada  tingkat  harga
sosial. EPC = A
– B  E – F Dimana :
A – B = Nilai tambah pada tingkat harga privat atau selisih antar
penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga privat
E – F = Nilai tambah pada tingkat harga sosial atau selisih antar
penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial
Apabila EPC  1, berarti pemerintah menaikkan  harga output atau input yang  diperdagangkan  di  atas  harga  efesiensinya.    Hal  ini  menunjukkan
bahwa  kebijakan  pemerintah  melindungi  petani  rumput  laut  berjalan secara efektif.  Demikian pula sebaliknya jika EPC  1 berarti kebijakan
pemerintah tidak berjalan efektif. g.
Transfer Bersih  TB Transfer  Bersih    TB  adalah  selisih  antara  keuntungan  bersih  pada
tingkat harga privat dengan keuntungan bersih pada tingkat harga sosial. TB L = D
– H Dimana :
D  =  Keuntungan Privat atau financial H  =  Keuntungan Sosial atau ekonomi
Apabila TB  0, menunjukkan tambahan surplus petani rumput laut yang disebabkan  oleh  kebijakan  pemerintah  yang  diterapkan  pada  input  dan
output,  demikian  pula  sebaliknya  jika  TB    0  menunjukkan  penurunan surplus  petani    rumput  laut  yang  disebabkan  oleh  penerapan  kebijakan
pemerintah terhadap input-output. h.
Koefisien Keuntungan Profitability Coefficient, PC Profitability Coefficient
PC adalah rasio antara keuntungan pada tingkat harga privat dengan keuntungan pada tingkat harga sosial.
PC = D  H Apabila  PC    1,  berarti  secara  keseluruhan  kebijakan  pemerintah
memberi insentif pada petani rumput laut.  Akan tetapi jika PC  1, maka kebijakan pemerintah membuat keuntungan  yang diterima petani rumput
laut lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. i.
Rasio Subsidi Bagi Produsen Subsidy Ratio to Producer, SRP Subsidy  Ratio  to  Producer
SRP  adalah  rasio  antara  transfer  bersih dengan penerimaan pada tingkat harga sosial.
SRP =  L  E Dimana :
L  = Transfer Bersih E  =  Penerimaan pada tingkat harga sosial
Apabila  SRP    0  atau  bernilai  negatif  menunjukkan  bahwa  kebijakan pemerintah  yang  berlaku  selama  ini  menyebabkan  petani  mengeluarkan
biaya  produksi  lebih  besar  dari  biaya  sosial  untuk  berproduksi  dan sebaliknya  jika  SRP    0  atau  positif  berarti  petani  mengeluarkan  biaya
produksi lebih kecil dari opportunity cost.
4.4.2. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Menurut Monke dan Pearson 1989 ada dua pendekatan  yang digunakan untuk  mengalokasikan  biaya  ke  dalam  komponen  domestik  dan  asing  yaitu
pendekatan  total  Total  Approach  dan  pendekatan  langsung  Direct  Approach. Pendekatan  total  mengasumsikan  setiap  biaya  input  tradable  dibagi  ke  dalam
komponen  biaya  domestik  dan  asing  dan  penambahan  input  tradable  dapat
dipenuhi  dari  poduksi  domestik  jika  input  tersebut  mempunyai  kemungkinan untuk  diproduksi  di  dalam  negeri.    Sedangkan  pendekatan  langsung
mengasumsikan  seluruh  biaya  input  yang  dapat  diperdagangkan  input  tradable baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing
dan  dapat  dipergunakan  apabila  tambahan  permintaan  input  tradable  tersebut dapat  dipenuhi  dari  perdagangan  internasional.    Pendekatan  yang  digunakan
dalam  penelitian  ini  adalah  pendekatan  total  karena  dianggap  tepat  untuk digunakan  dalam  menganalisis  dapak  kebijakan  dan  memperkirakan  biaya
ekonomi  biaya  sosial  dalam  analisis  keunggulan  komparatif  dengan mengalokasikan  biaya  ke  dalam  komponen  asing  tradable  dan  domestik  non
tradable .    Penentuan  komponen  biaya  asing  dan  domestik  dapat  dilihat  pada
Lampiran 8.
4.4.3. Penentuan Harga Bayangan
Penentuan  harga  pada  input  dan  output  yang  digunakan  dalam  penelitian ini terdiri atas dua tingkat harga yaitu harga pasar harga privat atau harga aktual
dan  harga  bayangan  harga  sosial  atau  harga  ekonomi.    Harga  pasar  adalah tingkat  harga  yang  diterima  petani  rumput  laut  di  Kepulauan  Tanakeke  dalam
penjualan  hasil  produksinya  atau  tingkat  harga  yang  dibayar  dalam  pembelian faktor produksi.
Menurut  Gittinger  1986,  perhitungan  harga  bayangan  dapat  dilakukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi,
pajak,  penentuan  upah  minimum,  harga  pembelian  pemerintah  dan  lain-lain. Harga bayangan dalam penelitian ini adalah harga bayangan output hasil rumput
laut  kering  dan  harga  bayangan  input  seperti  tali  rafia,  solar,  tenaga  kerja, peralatan  dan  nilai  tukar  rupiah.    Komoditas  yang  tradable,  harga  bayangan
output  usahatani  rumput  laut  yang  merupakan  komoditi  ekspor  didekati  dengan harga FOB Free on Board yaitu harga di pelabuhan ekspor dalam penelitian ini
adalah pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar.
4.4.3.1.   Harga Bayangan Output
Komoditi  rumput  laut  yang  dihasilkan  oleh  petani  rumput  laut  di Kepulauan  Tanakeke  merupakan  komoditi  ekspor  sehingga  harga  bayangan
output  yang  digunakan  adalah  harga  FOB  Free  on  Board  di  pelabuhan  ekspor pelabuhan  acuan  yaitu  pelabuhan  Soekarno-Hatta  Makassar  yang  dikonversi
dengan  SER  Shadow  Exchange  Rate  dikurangi  dengan  biaya  tataniaga transportasi  dan  penanganan  dari  pelabuhan  ke  Kepulauan  Tanakeke,  sehingga
dihasilkan harga paritas ekspor di tingkat petani. Komoditi    rumput  laut  kering  yang  dihasilkan  di  Kepulauan  Tanakeke
merupakan  komoditi  yang  berorientasi    ekspor.      Penentuan  FOB  dapat  dihitung dari harga CIF rumput laut di negara pengimpor dikurangi dengan biaya asuransi
dan pengapalan Insurance and Freight.  Diketahui bahwa harga CIF rumput laut di  pasar  internasional  China  adalah  sebesar  1  287  US  Dollar  per  Ton.    Biaya
asuransi  dan  pengapalan  Insurance  and  Freight  rumput  laut  dari  China  ke Indonesia  ditentukan  dari  besarnya  pajak  yang  harus  dikeluarkan  berdasarkan
keputusan  Direktorat  Jenderal  Pajak  yaitu  10  persen  dari  harga  CIF  untuk komoditas yang berasal dari Asia yang Non-Asean adalah sebesar 128 US Dollar
per Ton, sehingga harga FOB rumput laut di Indonesia adalah sebesar 1 159 US Dollar  per  Ton.    Nilai  tersebut  kemudian  dikonversikan  dengan  nilai  tukar
bayangan  SER  sebesar  Rp  9  062.12  per  US  Dollar.    Hasil  tersebut  kemudian dikurangi  dengan  biaya  transportasi  dan  bongkar  muat  di  Pelabuhan  Makassar,
sehingga  didapatkan  harga  paritas  ekspor  tingkat  pedagang  besar  sebesar  Rp  9 461  per  Kilogram.    Terakhir  biaya  tersebut  dikurangi  dengan  biaya  distribusi  ke
tingkat petani sebesar Rp  1 810 per Kilogram,  sehingga diperoleh harga paritas ekspor  di  tingkat  petani  sebesar  Rp  7  651  per  Kilogram.      Perhitungan  harga
paritas ekspor di tingkat petani dapat dilihat pada Lampiran 10.
4.4.3.2.  Harga Bayangan Tenaga Kerja
Menurut  Pearson  and  Gotsch  2005, menyatakan bahwa peneliti tidak banyak  menemukan  divergensi  yang  mempengaruhi  pasar  tenaga  kerja  di
Indonesia.  Hal ini disebabkan karena ketentuan  upah minimum tidak berlaku di
sektor  pertanian.    Menurut  Gittinger  1986,  tenaga  kerja  di  pedesaan  umumnya bukan  merupakan  tenaga  ahli  dan  kenyataan  masih  adanya  pengangguran.
Sehingga  dalam  penelitian  ini  pengukuran  harga  bayangan  tenaga  kerja menggunakan  pendekatan  produk  marginal  dimana  produk  marginal  sebenarnya
masih  dapat  ditingkatkan,  sehingga  tingkat  upah  bayangan  diduga  lebih  rendah dari upah aktual.  Tingkat upah bayangan adalah tingkat upah aktual di Kepulauan
Tanakeke  dikali persentase penduduk yang bekerja di Kabupaten Takalar. Secara  umum  pengukuran  harga  bayangan  tenaga  kerja  didasarkan  pada
formulasi sebagai berikut : HB Upah Tenaga Kerja = 100 -  pengangguran X HA Upah Tenaga Kerja
dimana : HB  =  Harga Bayangan
HA =  Harga Aktual Berdasarkan  data  Dinas  Tenaga  Kerja  dan  Transmigrasi  Kabupaten
Takalar  2010  dengan  adanya  pengangguran  sebesar  8  persen,  maka  harga bayangan  sosial  adalah  92    persen    dari  tingkat  upah  yang  berlaku  di  daerah
penelitian.    Tingkat  upah  aktual  yang  berlaku  adalah  Rp  2  500  per  HOK. Sehingga harga bayangan tenaga kerja adalah Rp 2 300 per HOK.
4.4.3.3.   Harga Bayangan Bibit Rumput Laut
Harga bayangan untuk benih rumput laut didekati dengan harga aktualnya. Hal  ini  disebabkan  karena  bibit  yang  digunakan  oleh  petani  rumput  laut  di
Kepulauan Tanakeke pada umumnya adalah bibit lokal, sehingga harga bayangan sama dengan harga pasarnya harga di Kepulauan Tanakeke.
4.4.3.4.  Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan
Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga  border  price  untuk  input  tradable  dan  harga  domestik  untuk  input  non
tradable .  Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable adalah tali rafia dan
solar, sedangkan bibit dan peralatan yang digunakan termasuk ke dalam input non tradable.
Harga bayangan tali rafia merupakan harga beli di lokasi penelitian harga pedagang  pengumpultoko  saprodi  setempat.    Hai  ini  didasari  asumsi    bahwa
border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan tali rafia tersebut,
sehingga sulit untuk menentukan harga bayangan border price untuk bahan baku. Selain  itu,  tali  rafia  merupakan  input  sarana  produksi  yang  tidak  mendapatkan
subsidi  dari  pemerintah,  sehingga  harga  jual  dilepas  ke  mekanisme  pasar  pasar bebas.    Untuk  itu  harga  sosial  harga  bayangan  sama  dengan  harga  privatnya
harga aktualnya.   Biaya tali rafia terdiri dari tradable dan non tradable, dimana sebagian  bahan  bakunya  adalah  impor,  maka  ditetapkan  20  persen  dihitung
sebagai komponen tradable dan 80 persen non tradable. Harga  bayangan  untuk  peralatan  digunakan  harga  pasar  dengan
pertimbangan  tidak  ada  kebijakan  pemerintah  yang  mengatur  secara  langsung, sehingga  distorsi  pasar  yang  terjadi    amat  kecil  atau  pasar  mendekati  pasar
persaingan  sempurna.    Sementara  dalam  perhitungan  analisis  ekonomi  dan finansial,  nilai  harga  yang  dimasukkan  adalah  nilai  penyusutan  dari  masing-
masing  peralatan berdasarkan umur ekonomisnya.
4.4.3.5.  Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah
Harga  bayangan  nilai  tukar  uang    adalah  harga  uang  domestik  dalam kaitannya dengan mata  uang asing  yang terjadi  pada pasar nilai tukar uang pada
kondisi  persaingan  sempurna  Suryana,  1980.    Salah  satu  pendekatan  untuk menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada
pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang.  Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standard Conversion Factor SCF sebagai faktor koreksi
terhadap nilai tukar resmi  yang berlaku.  Squire dan Van Der Tak 1982  dalam Gittinger 1986 menggunakan formula sebagai berikut :
SER
t
= OER
t
SCF
t
Dimana : SER
t
: Nilai Tukar Bayangan RpUS OER
t
: Nilai Tukar Resmi RpUS SCF
t
: Faktor Konversi Standar
Nilai    faktor  konversi  standar  yang  merupakan  rasio  dari  nilai  impor  dan  ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut :
SCF
t
= Xt + Mt
Xt – Txt + Mt + Tmt
Dimana : SCFt
: Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt
: Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t Rp Mt
: Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t  Rp Txt
: Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t Rp Tmt
: Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t Rp Harga  bayangan      nilai      tukar  dihitung  berdasarkan  metode  Squire  dan
Van Der Tak yaitu besarnya nilai ekspor tahun 2010 senilai Rp 1 423.505 milyar, nilai impor senilai Rp 1 223.97 milyar, pajak   ekspor   sebesar     Rp 8 030 milyar
dan pajak impor sebesar Rp 19 760 milyar BPS, 2010.  Sehingga diperoleh nilai SER sebesar Rp 9 062.12.  Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan uraian di atas, komponen input dipisahkan antara komponen tradable
dan komponen  non tradable domestik, maka metode penentuan harga bayangan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel  4.  Metode  Pendekatan  Penentuan  Harga  Privat  dan  Sosial  Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011
No. Uraian
Harga Privat Harga Bayangan Sosial
1 Output
Harga yang berlaku di pasaran Harga perbatasan FOB.
Harga  Bayangan  Rumput  Laut  = FOB  X  SER
– Biaya transportasi dan  penanganan  dari  pelabuhan  ke
tempat  penelitian  Pearson  et  all, 2005
2 Bibit
Harga yang berlaku di pasaran Sama dengan harga privat
3 Tali Rafia
Harga yang berlaku dipasaran Sama dengan harga privat
4 Solar
Harga yang berlaku dipasaran Sama dengan harga privat
5 Tenaga Kerja
Tingkat  upah  yang  berlaku  di daerah penelitian
Berdasarkan konsep produk marginal Gittenger, 1986
mempertimbangkan tingkat pengangguran 8 persen sehingga 92
persen dari upah aktual
6 Biaya
Peralatan Biaya penyusutan peralatan
Sama dengan harga privat 7
Nilai Tukar Nilai  tukar  yang  berlaku  pada
saat penelitian berlangsung Keseimbangan nilai tukar uang
yang didekati dengan menggunakan SCF Standar Conversion Factor
Berdasarkan  uraian  di  atas  mengenai  harga  bayangan,  maka  nilai  harga bayangan dan harga privat dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel  5.     Justifikasi  Nilai  Harga  Bayangan  Sosial  dan  Harga  Privat  Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011.
4.5. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu usahatani  rumput  laut  bila  terjadi  perubahan  terhadap  input  maupun  output.
Perubahan  ini  dapat  mempengaruhi  penerimaan  dan  biaya  petani  rumput  laut  di Kepulauan Tanakeke.
Analisis  sensitivitas  pada  penelitian  ini  dilakukan  dengan  mengubah besarnya  produksi  dan  harga  rumput  laut.      Penetapan  besarnya  perubahan-
perubahan tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut : 1.
Fluktuasi  harga  rumput  laut  sebesar  16  persen  per  tahun  ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian.
2. Perubahan besarnya produksi rumput laut sebesar 30 persen.
No. Uraian
Satuan Harga Privat
Harga Bayangan Sosial
1 Output
RpKg 7 396.18
7 651 2
Bibit RpKg
3 000 3 000
3 Tali Rafia
RpKg 15 000
15 000 4
Tenaga Kerja RpHOK
2 500 2 300
5 Penyusutan
Peralatan Rp
2 465 813 2 465 813
6 Solar
RpL 4 500
4 500 7
Nilai Tukar Rp
9 022.14 9 062.12
V.  TINJAUAN UMUM  RUMPUT LAUT DI INDONESIA
5.1.  Perkembangan Rumput Laut Dunia
Rumput  laut  merupakan  salah  satu  komoditas  budidaya  laut  yang  dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek pasar yang baik serta
dapat meningkatkan pendapatan petani di wilayah pesisir.  Rumput laut seaweed merupakan  nama  dalam  perdagangan  untuk  jenis  alga  yang  dipanen  dari  laut.
Dari  segi  morfologinya,  rumput  laut  tidak  memperlihatkan  adanya  antara  akar, batang  dan  daun.    Secara  keseluruhan,  tumbuhan  ini  mempunyai  bentuk  yang
sama, walaupun sebenarnya berbeda Yulianda, 2001. Rumput  laut  menjadi  salah  satu  komoditas  unggulan  dalam  Program
Revitalisasi  Perikanan  Budidaya  tahun  2006-2009  selain  udang  dan  tuna,  yang telah  dicanangkan  oleh  presiden  pada  tanggal  11  Juni  2005  dan  tertuang  dalam
Rencana  Pembangunan  Jangka  Menengah  Nasional  2004-2009  dalam  rangka peningkatan  kesejahteraan  masyarakat  nelayan,  menyumbang  ekspor  non  migas,
mengurangi  kemiskinan  dan  menyerap  tenaga  kerja  nasional  Burhanuddin, 2008.
Beberapa  hal  yang  menjadi    keunggulan  rumput  laut  antara  lain  :  1 peluang  pasar  ekspor  yang  terbuka  luas,  2  belum  ada  batasan  atau  kuota
perdagangan  bagi  rumput  laut,  3  teknologi  pembudidayaannya  sederhana, sehingga  mudah  dikuasai,  4  siklus  pembudidayaannya  relatif  singkat,  sehingga
cepat  memberikan  keuntungan,  5  kebutuhan  modal  relatif  kecil,  dan  6 merupakan komoditas yang tidak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya
Anggadiretdja,  2006.      Oleh  karena  itu  rumput  laut  termasuk  komoditas unggulan yang perlu mendapat prioritas dalam penanganannya.
Rumput laut di Indonesia  pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Eropa Brown,  1983.    Rumput  laut  yang  diperdagangkan  di  pasar  internasional  terdiri
dari banyak jenis dengan kandungan dan manfaat yang berbeda-beda diantaranya Eucheuma cottoni
. Gracilaria sp dan sargassum  sp.  Perkembangan rumput laut di dunia ditandai dengan meningkatnya permintaan rumput laut khususnya rumput
laut  Eucheuma  cottoni  dalam  bentuk  raw  material  atau  rumput  laut  kering  oleh negara-negara konsumen.
5.1.1.  Produksi Rumput Laut Dunia
Rumput laut di pasar internasional pada umumnya diproduksi oleh negara- negara  Asia  seperti  Indonesia,  China,  Philphina,    Korea  dan  beberapa  negara
Eropa  seperti  Chili,  Prancis,  Tanzania  dan  Mexico  FAO,  2010.    Indonesia termasuk  salah  satu  produsen  terbesar  dunia,  bahkan  menjadi  peringkat  kedua
produsen rumput laut dunia setelah negara China untuk jenis Eucheuma cottoni. Indonesia  dengan  potensi  rumput  laut  yang  sangat  besar  berpeluang
menjadi salah satu produsen rumput laut terbesar dunia.  Adapun perkembangan produksi rumput laut dunia dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : FAO, 2011 diolah
Gambar 6.  Perkembangan Produksi Rumput Laut Dunia Tahun 2005 – 2010
Gambar 6 memperlihatkan bahwa rumput laut di dunia diproduksi oleh 9 negara  utama  penghasil  rumput  laut  dan  selama  enam  tahun  terakhir    Negara
China menjadi produsen utama rumput laut dunia dengan produksi rata-rata 49.22 persen.    Pada  tahun  2010  Indonesia  menjadi  peringkat  kedua  produsen  rumput
laut dunia dengan produksi sebesar 3 082 113 ton.   Sejak tahun 2005, produksi rumput  laut  dunia  mencapai  11  980  219  ton,  akan  tetapi  pada  tahun  2009
mengalami  peningkatan  yang  cukup  besar  yaitu  produksi  rumput  laut  dunia mencapai  13  783  065  ton.      Perkembangan  produksi  rumput  laut  yang  demikian
tinggi mencerminkan adanya peluang dan permintaan yang semakin besar di pasar internasional.
5.1.2.  Ekspor Rumput Laut Dunia
Ekspor  rumput  laut  dunia  selama  lima  tahun  terakhir  menunjukkan peningkatan,  meskipun  kenaikan  ini  tidak  sejalan  dengan  peningkatan  produksi.
Pada periode tahun 2005 – 2009, rata-rata pertumbuhan eskpor rumput laut dunia
sebesar  7.05  persen  dengan  trand  yang  meningkat,  dengan  ekspor  tertinggi  pada tahun  2009  sebesar  420  963  ton.    Gambar  7  di  bawah  ini  memperlihatkan
perkembangan ekspor rumput laut dunia periode tahun 2005 – 2009.
Sumber : FAO, 2011 diolah Gambar 7.   Perkembangan Ekspor Rumput Laut Dunia Periode Tahun 2005-2009
Selama  5  tahun  terakhir  2005-2009,  ekspor  rumput  laut  dunia  di dominasi oleh negara-negara Asia seperti Philpina, Chili, Vietnam, Malaysia,  dan
Indonesia, dimana ekspor terbesar berasal dari Philpina yang mampu mengekspor sebanyak  535  715    ton  dari  total  produksi  dunia.    Indonesia  sebagai  negara
produsen rumput laut dunia terbesar hanya mampu mengekspor sebesar  412 837 ton    jauh  di  bawah  Philpina.    Hal  ini  disebabkan  karena  banyaknya  rumput  laut
Indonesia  yang  ditolak  karena  tidak  memenuhi  standar  rumput  laut  internasional Kementrian Perdagangan, 2011.
5.2.  Perkembangan Rumput Laut di Indonesia 5.2.1.  Produksi Rumput Laut Indonesia
Luas perairan laut Indonesia serta keragaman jenis rumput laut merupakan gambaran potensi rumput laut Indonesia.  Dari 782 jenis rumput laut di perairan ,
hanya  18  jenis  dari  5  genus  yang  sudah  diperdagangkan.    Dari  kelima  marga tersebut hanya genus Eucheuma dan Gracilaria yang sudah dibudidayakan.
Wilayah  sebaran  budidaya  genus  Eucheuma  berada  di  Sumatera  Barat Kabupaten  Pesisir  Selatan  dan  Mentawai,  Sumatera  Selatan,  Bangka  Belitung,
Kepulauan Riau, Banten, Pulau Seribu, Jawa Tengah, NTT, NTB, Pulau Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua Anggadiredja dan Achmad, 2009.
Rumput laut Eucheuma sp. Mulai dibudidayakan secara masal pada tahun 1984  di  Nusa  Dua,  Nusa  Penida,  Nusa  Tenggara  Barat.    Jenis  rumput  laut  yang
dibudidayakan adalah jenis Eucheuma spinosum dengan bibit lokal dan Eucheuma cottoni
dengan  bibit  asal  Philpina.    Sesuai  dengan  perkembangan  pasar,  saat  ini yang lebih banyak dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottoni.
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan 2011, total luas lahan yang dapat dimanfaatkan   untuk   budidaya   rumput   laut   adalah   sebesar 1 110 900 hektar
dengan tingkat produktivitas 128 ton berat basah per hektar per tahun atau 16 ton berat kering per hektar per tahun, sehingga potensi produksi rumput laut Indonesia
adalah  17  774  400  ton  berat  kering  per  tahun.    Perkembangan  produksi  rumput laut Indonesia tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel  6.    Perkembangan  Produksi  Rumput  Laut  Indonesia    Jenis  Eucheuma cottoni
Tahun 2005 – 2010
No Tahun
Produksi Ton Δ
1 2005
85 400 -
2 2006
98 200 14.99
3 2007
114 900 17.01
4 2008
139 100 21.06
5 2009
155 060 11.47
6 2010
140 020 -9.70
Rata-Rata Pertumbuhan Tahun 2005-2010 10.97
Sumber :  Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011
Tabel  6  memperlihatkan  bahwa  Total  produksi  rata-rata  rumput  laut sebesar 122 133 ton per  tahun atau rata-rata peningkatan produksi sebesar 10.97
persen per  tahun 2005 – 2010.  Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
potensi sebagai produsen utama rumput laut dunia. 5.2.2.  Ekspor dan Impor Rumput Laut Indonesia
Ekspor rumput laut Indonesia di perdagangan dunia mengalami fluktuasi. Hal  ini  disebabkan  oleh  belum  stabilnya  perdagangan  rumput  laut  Indonesia  di
pasaran  internasional  karena  berbagai  hal  diantaranya  kualitas  rumput  laut Indonesia  yang  belum  memenuhi  standar  kualitas  yang  diinginkan  oleh  negara-
negara  importir  seperti  Jepang  dan  China,  sehingga  hal  tersebut  juga mempengaruhi ketidakstabilan harga rumput laut Indonesia yang semakin rendah.
Volume  eskpor  rumput  laut  Indonesia  periode  2005 –  2009  mengalami
fluktuasi akan tetapi semakin meningkat dengan rata-rata volume  ekspor sebesar 90 575 per tahun atau rata-rata peningkatan sebesar 14.19 persen per tahun.
Adapun negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia terlihat pada  Tabel 7 adalah China, Hongkong, Jepang,  Denmark, USA, Korea Selatan, dan Perancis,
Spanyol, Taiwan dan Inggris Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010. Tabel 7.  Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 2005-
2009
Negara Tujuan
Volume Ekspor Per Tahun Ton Total
2005 2006
2007 2008
2009
China
22 926 25 834
22 318 35 220
11 328  118 826
Jepang
8 060      8 145      7 878   9 210 8 780    43 073
Korea
5 143      8 843      8 421      5 513 3 629    31 549
Hongkong
8 385    10 674      8 890      6 070 2 114    37 133
Spanyol
4 736      7 431      6 451      9 766 4 364    33 870
Prancis
2 919      4 604      6 192      5 927 3 736    23 378
Denmark
3 754      3 125      4 098      5 348 4 077    20 402
USA
1 065      6 751      2 454      4 414 3 629    18 313
Taiwan
1 905      3 353      3 407      2 422 2 749    13 836
Inggris
1 932      2 948      3 499      1 900 2 395    12 674
Negara Lain
8 401    13 800    20 465    14 158     44 368  101 192
Tot. Ekspor
69 226    95 508    94 073    99 948 94 002
Sumber :  Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010a
Tabel  7  memperlihatkan  bahwa  Negara  China,  Jepang  dan  Korea merupakan negara tujuan ekspor terbesar berdasarkan volume ekspor rumput laut
Indonesia  di  negara  tujuan  ekspor  tersebut  sejak  tahun  2005-2009.    Akan  tetapi sebagian  besar  ekspor  rumput  laut  Indonesia  dalam  bentuk  bahan  baku  kering
raw material dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri untuk dijadikan agar-agar.
Permintaan untuk ekspor yang tinggi dan terus meningkat mengakibatkan ketidakseimbangan  antara  ekspor  dengan  industri  pengolahan  dalam  negeri.
Industri  pengolahan  dalam  negeri  masih  kekurangan  bahan  baku  sehingga  perlu dilakukan  impor  dari  beberapa  negara  seperti  Jepang,  Korea,  Cina,  Eropa  dan
Amerika  Latin.        Umumnya  impor  rumput  laut  dilakukan  dalam  bentuk  yang telah  mengalami  pengolahan  lebih  lanjut  seperti  agar-agar.    Disamping  itu
terdapat beberapa jenis rumput laut yang tidak dapat tumbuh di perairan Indonesia seperti  jenis  Nori  Phorphyra  sp..      Rumput  laut  ini  diimpor  dan  dimanfaatkan
sebagai  edible  seaweeds  tidak  diekstrak,  yaitu  sebagai  pembungkus  makanan lemper  atau  langsung  dapat  dimakan  sebagai  penyedap  makanan.    Selain  itu,
Nori juga dimanfaatkan sebagai campuran berbagai obat-obatan.  Oleh karena itu,
impor  rumput  laut  adalah  pada  produk  akhir  seperti  karagenan,  alginat  ataupun agar-agar  Anggadiredja  dan  Achmad,  2009.    Impor  rumput  laut  jenis  lainnya
dan produk olahan seperti agar-agar dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel  8.    Perkembangan  Volume  dan  Nilai  Impor  Rumput  Laut  dan  Agar-Agar
Indonesia Tahun 2005-2009
No Tahun
Rumput Laut Jenis Lainnya Agar-Agar
Volume Kg
Nilai 1000 US
Volume Kg
Nilai 1000 US
1 2005
139 194 224 505
587 269 443 690
2 2006
216 756 294 952
594 643 712 963
3 2007
124 656 308 004
556 176 844 699
4 2008
36 730 253 708
383 765 391 694
5 2009
71 123 322 742
4 388 871 1 027 487
Pertumbuhan 9.08
12.33 251.86
46.96 Sumber :  Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010b
Tabel  8  memperlihatkan  bahwa  impor  rumput  laut  jenis  lainnya  selain Eucheuma  cottoni
dan  Gracilaria  sp  mengalami  pertumbuhan  sebesar  9.08 persen setiap tahunnya,  hal ini mengindikasikan bahwa impor rumput laut setiap
tahunnya  meningkat.    Demikian  pula  dengan  produk  olahan  agar-agar,  dimana industri  pengolahan  agar-agar  masih  mengimpor  rata-rata  1  302  144.8  kg  per
tahun dengan nilai US 684 106.6 per tahun.
5.2.3.  Harga Rumput Laut Indonesia
Perkembangan harga rumput laut di pasar dunia mengalami fluktuasi.  Hal ini  dipengaruhi  oleh  berbagai  faktor  diantaranya  jumlah  volume  ekspor,  bentuk
rumput  laut  dan  yang  paling  penting  adalah  kualitas  rumput  laut  yang  sesuai standar yang ditetapkan dalam perdagangan internasional.
Berdasarkan  data  dari  Kementerian  Kelautan  dan  Perikanan  2011 menunjukkan perkembangan harga rumput laut Indonesia yang fluktuatif, bahkan
termasuk  rendah  dibandingkan  dengan  negara-negara  eksportir  lainnya.    Adapun perkembangan  harga  rumput  laut  Indonesia  di  pasar  dunia  dapat  dilihat  pada
Gambar 8.
Sumber :  Kementerian Perdagangan, 2011 diolah. Gambar 8.  Perkembangan Harga Rumput Laut Indonesia di Pasar Dunia Periode
2005 - 2010
Gambar 8 memperlihatkan bahwa persentase perkembangan harga rumput laut  Indonesia  meningkat  yaitu  sebesar  19.34  persen  dengan  rata-rata
pertumbuhan  sebesar  838.91  US  per  tahun.    Menurut  UnComtrade  2010, bahwa  harga  rumput  laut  di  pasaran  internasional  cukup  rendah  dibandingkan
dengan  negara  eksportir  seperti  Philpina  dengan  harga  mencapai  4  440  US  per ton dan Marocco sebesar 5 428 US per ton.  Perbedaan ini dikarenakan sebagian
besar  rumput  laut  Indonesia  masih  dalam  bentuk  raw  material  bahan  baku dengan kualitas yang rendah.
VI.  KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT
Kebijakan  pemerintah  ditetapkan  dengan  tujuan  untuk  meningkatkan ekspor atau melindungi  produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan  produk
dari luar.  Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input maupun output. Kebijakan  ini  menyebabkan  terjadinya  perbedaan  antara  harga  input  dan  output
yang  diminta  oleh  produsen  privat  dengan  harga  yang  sebenarnya  terjadi  jika dalam  kondisi  perbedagangan  bebas.    Kebijakan  pemerintah  yang  diberlakukan
pada  input  maupun  output  adalah  kebijakan  subsidi  dan  pajak  serta  hambatan berupa tarif dan kuota Anindita dan Michael, 2008.
6.1.  Kebijakan Terhadap Input
Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah subsidi positif.  Subsidi positif adalah
pembayaran  yang  dilakukan  oleh    pemerintah  kepada  penyedia  tunggal  suatu barang.    Pada  kegiatan  usahatani  rumput  laut  di  Kepulauan  Tanakeke,  subsidi
positif terdapat pada input solar, sedangkan untuk input lain seperti bibit, tenaga kerja, tali utama, pelampung dan peralatan lainnya tidak terdapat subsidi.
Pemberian  subsidi  bertujuan  untuk  meningkatkan  kegiatan  usahatani rumput laut sehingga akan diperoleh peningkatan produksi  yang optimal.  Harga
BBM dalam hal ini adalah solar berlaku sama diseluruh Indonesia yaitu Rp 4 500 per  liter.    Undang-  Undang  No.8  Tahun  1971  menyatakan  bahwa  subsidi  BBM
diberikan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai konsekuensi  dari penetapan harga  yang  dilakukan  oleh  pemerintah.    Pertamina  melaksanakan  tugas  sebagai
penyedia  dan  pelayanan  BBM  untuk  keperluan  dalam  negeri  sebagai  tugas pelayanan  kepada  masyarakat.    Akan  tetapi  subsidi  ini  secara  bertahap  akan
dikurangi.    Hal  tersebut  tertuang  dalam  Undang-Undang  Minyak  dan  Gas  Bumi No. 22 Tahun 2001,  dimana dijelaskan bahwa penugasan khusus pertamina untuk
menyediakan BBM dalam negeri akan berakhir tahun 2005 Nugroho, 2004.
6.2.  Kebijakan Terhadap Output
Salah  satu    kebijakan  pemerintah  yang  ditetapkan  pada  suatu  komoditas adalah  kebijakan  perdagangan.    Kebijakan  perdagangan  terdiri  atas  kebijakan
ekspor  dan  kebijakan  impor.    Kebijakan  perdagangan  yang  diberlakukan  pada usahatani rumput laut adalah kebijakan ekspor.  Kebijakan ekspor bertujuan untuk
melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah  dari  harga  dunia.    Kebijakan  perdagangan  untuk  komoditi  ekspor
dilakukan  melalui  penetapan  pajak  ekspor  baik  per  unit  barang  yang  di  ekspor maupun  secara keseluruhan dan pembatasan jumlah ekspor kuota ekspor.
Dalam  rangka  mendorong  peningkatan  ekspor  Indonesia,  Departemen Perdagangan  telah  mengeluarkan  Keputusan  Menteri  Perindustrian  dan
Perdagangan  No.558MPPKep121998  jo.  Peraturan  Menteri  Perdagangan  No. 01M-DAGPER12007  Tentang  Ketentuan  Umum  di  Bidang  Ekspor.    Dalam
keputusan  ini  ditetapkan  tiga  kategori  tata  niaga  ekspor  yaitu  komoditi  yang diatur,  diawasi  dan  dilarang  ekspornya.    Komoditi  rumput  laut  tidak  termasuk
dalam keputusan  ini melainkan termasuk dalam kelompok barang yang bebas tata niaga  ekspornya,  artinya  setiap  badan  kategori  usaha  atau  perorangan  dapat
melakukan kegiatan ekspor apabila telah memiliki SIPU, TDP dan NPWP. Meskipun  komoditi  rumput  laut  masuk  dalam  komoditi  yang  bebas
tataniaga  ekspornya,  tetap  memerlukan  perhatian  yang  serius  terutama  dalam kebijakan tentang penetapan standar mutu produk mulai dari hulu sampai ke hilir
Supply Chain.  Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas rumput laut yang akan di ekspor sebab negara tujuan ekspor khususnya negara-negara maju sangat
memperhatikan  keamanan  pangan  yang  terkait  Sanitary  dan  Phytosanitary  SPS dan dapat menjadi hambatan non tarif bagi negara pengekspor seperti  Indonesia.
Kebijakan  ekspor  yang  perlu  mendapat  perhatian  adalah  Laboratorium  Penguji Mutu  baik  yang  dimiliki  oleh  pemerintah  maupun  swasta  Kementrian
Perindustrian dan Perdagangan, 2010. Berdasarkan  kebijakan  pemerintah  dalam  hal  ekspor  rumput  laut,  pada
tahun  2010  hingga  akhir  2011,        pemerintah  Indonesia  memberlakukan    pajak ekspor rumput laut khusus ke Negara China sebesar 30 persen.  Hal ini dilakukan
pemerintah  dengan  tujuan  untuk  mengurangi  ekspor  bahan  baku  rumput  laut
kering  ke  Negara  China  secara  besar-besaran,  selain  itu  untuk  memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri.  Kebijakan pemerintah dengan
menetapkan  pajak  ekspor  tersebut  berdampak  terhadap  volume  ekspor  yang menurun terutama ke negara China dan harga  rumput laut dalam negeri  menjadi
rendah akibat banyaknya bahan baku rumput laut kering yang tidak terserap oleh pasar  domestik  akibat  industri  pengolahan  rumput  laut  dalam  negeri  masih
kurang.    Oleh  karena  itu  pada  akhir  tahun  2011  hingga  sekarang,  Kementerian perdagangan  memutuskan  untuk  tidak  memberlakukan  kebijakan  tersebut
sehingga pajak ekspor rumput laut kering tetap nol persen.    Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak  lagi intervensi   dalam perdagangan output rumput laut,
sehingga  mekanisme    harga  rumput  laut  domestik  lebih  ditentukan  oleh mekanisme pasar.
Meskipun komoditi rumput laut termasuk dalam komoditi yang bebas tata niaga  ekspornya,  kebijakan  yang  penting  mendapat  perhatian  adalah  kebijakan
tentang  standar  mutu  produk.        Kebijakan  ini  ditempuh  untuk  memenuhi keinginan  negara-negara  pengimpor  rumput  laut  dari  Indonesia  sehingga  sesuai
standar yang ditetapkan. Kebijakan  pemerintah  dalam  mengurangi  hambatan  non  tarif  seperti
Sanitary dan Phynosanitary SPS  serta Technical Barrier To Trade TBT yang terkait dengan regulasi teknis, standar dan prosedur konformitas dituangkan dalam
Peraturan  Menteri  Perdagangan  Nomor  59M-DAGPER2010    tentang penerbitan  Certificate  of  Legal  Origin  CoLo  untuk  barang  ekspor  termasuk
rumput  laut.    Sertifikat  CoLo  ini  diterbitkan  oleh  Laboratorium  Pembinaan  dan Pengujian    Mutu    Hasil  Perikanan.    Pemerintah  mengeluarkan  kebijakan  ini
dalam  rangka  mencapai  ekuivalen  dengan  peraturan  negara  tujuan  ekspor. Kebijakan  ini  menyebabkan  biaya  kegiatan  ekspor  terutama  biaya  legalisasi
dokumen ekspor menjadi tinggi dan membutuhkan waktu yang lama. 6.3.  Kebijakan Revitalisasi Rumput Laut
Indonesia merupakan salah satu negara eksportir  rumput laut dunia, akan tetapi  beberapa  tahun  terakhir  ini  mengalami  kemunduran  akibat  semakin
berkurangnya  jumlah  dan  nilai  ekspor  rumput  laut.    Pencapaian  produksi  belum
diimbangi  oleh  pengembangan  mata  rantai  pemasaran  rumput  laut  seperti penyerapan  produksi,  stabilitas  harga  dan  jaminan  kualitas  produksi  belum
konsisten.  Harga rumput laut yang tidak menentu di pasar internasional, kualitas rumput  laut  yang  kurang  memenuhi  standar  dunia  dan  permintaan  yang  inelastis
sehingga    persaingan  rumput  laut  dunia  semakin  ketat.    Oleh  karena  itu, diperlukan kebijakan yang tepat dalam pengembangan rumput laut di Indonesia.
Kebijakan pengembangan rumput laut meliputi kebijakan dari pemerintah pusat  dan  pemerintah  daerah  atau  lokal.      Kebijakan  pemerintah  dalam
pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mengacu pada kebijakan pemerintah  pusat,  sehingga  kebijakan  tersebut  dapat  bersinergi  dengan  program
lainnya  dan  berkesinambungan.    Adapun  kebijakan  nasional  pengembangan rumput laut yang telah dan akan dilaksanakan adalah : 1  kebijakan peningkatan
produksi rumput laut, 2  kebijakan peningkatan produk derivatif rumput laut, 3 kebijakan  kelembagaan,  dan  4    kebijakan  intensifikasi  pasar.    Kebijakan-
kebijakan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1.
Kebijakan peningkatan produksi rumput laut melalui : a.
Mengoptimalkan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut. b.
Mengembangkan  jumlah  unit  lahan  budidaya  pada  kawasan-kawasan strategis  dan  potensial  pengembangan  rumput  laut  di  Indonesia  melalui
klaster  budidaya  rumput  laut  untuk  kawasan  Indonesia  bagian  Barat  Aceh, Kepri,  Lampung,  DKI  Jakarta,  Banten,    Jatim,  Jabar  dan  Jateng,  kawasan
Indonesia  bagian  Tengah  Bali,  NTB,  NTT,  Kaltim,  Kalsel,  Sulut,  Sulteng, Sulsel sedangkan kawasan Indonesia Timur meliputi Maluku dan Papua.
c. Mengembangkan input teknologi budidaya yang secara langsung berdampak
pada peningkatan jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi. d.
Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut.
e. Kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut
f. Penyediaan pendanaan perbankan nasional seperti pemberian kredit usahatani
dan pengembangan UMKM 2.
Kebijakan Peningkatan Produk Derivatif Rumput Laut