4. Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisah berdasarkan faktor
asing dan faktor domestik. 5.
Eksternalitas dianggap sama dengan nol. 6.
Nilai tukar resmi adalah nilai tukar rata-rata yang berlaku pada tahun 2010 yakni sebesar Rp. 9 062.12 per US Dollar.
Matriks Analisis Kebijakan yang digunakan adalah model PAM yang dikembangkan oleh Monke and Pearson 1989 sebagai berikut :
Uraian Penerimaan
Biaya Cost Keuntungan
Tradable Input
Faktor Domestik
Harga Privat A
B C
D Harga Sosial
E F
G H
Dampak Kebijakan dan Distorsi Pasar
I J
K L
Sumber : Monke and Pearson, 1989 4.4.1.
Analisis Indikator Matriks Kebijakan 1.
Analisis Keuntungan
a.
Analisis Keuntungan Privat Private Profitability
Keuntungan Privat adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga privat
Keuntungan Privat D = A – B + C
Dimana : D = Keuntungan Privat Rp
A = PenerimaanPendapatan Privat Rp B = Biaya Input Tradable Privat Rp
C = Biaya Faktor Domestik Privat Rp Apabila D 0 maka usahatani rumput laut memperoleh profit di atas
normal yang mempunyai implikasi bahwa rumput laut mampu berekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditi
alternatif yang lebih menguntungkan.
Apabila D 0 maka usahatani rumput laut memperoleh profit yang negatif atau tidak menguntungkan
b. Analisis Keuntungan Sosial Social Profitability
Keuntungan Sosial adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya pada tingkat harga sosial.
Keuntungan Sosial H = E – F + G
Dimana : H = Keuntungan Sosial Rp
E = PenerimaanPendapatan Sosial Rp F = Biaya Input Tradable Sosial Rp
G = Biaya Faktor Domestik Sosial Rp Apabila H 0 dan nilainya makin besar, berarti usahatani rumput laut
makin efesien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Apabila H 0 dan nilainya makin kecil berarti usahatani rumput laut tidak
efesien.
2. Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif
a. Rasio Biaya Privat Private Cost Ratio
Private Cost Ratio PCR adalah ratio antara Biaya domestik terhadap nilai tambah nilai tambah adalah selisih antara penerimaan dengan biaya
tradable pada tingkat harga privat PCR = C A
– B Dimana :
C = Biaya domestik pada tingkat harga privat A = Penerimaan pada tingkat harga privat
B = Biaya tradable pada tingkat harga privat Apabila nilai PCR 1 dan makin kecil, berarti usahatani rumput laut
mampu membiayai faktor domestiknya pada harga privat memiliki keunggulan kompetitif.
Apabila PCR 1 dan makin besar berarti usahatani rumput laut tidak memiliki keunggulan kompetitif.
b. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik Domestic Resource Cost Ratio
Domestic Resource Cost Ratio DRC adalah ratio antara biaya domestik terhadap nilai tambah pada tingkat harga sosial.
DRC = G E – F
Dimana : G = Biaya domestik pada tingkat harga sosial
E = Penerimaan pada tingkat harga sosial F = Biaya tradable pada tingkat harga sosial
Apabila DRC 1 maka usahatani rumput laut mampu menghemat sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit
devisa memiliki keunggulan komparatif. Apabila DRC 1 maka usahatani runmput laut tidak memiliki keunggulan
komparatif.
3. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
a.
Output Transfer
Transfer Output Output Transfer adalah selisih antara penerimaan pada
tingkat harga privat dengan penerimaan pada tingkat harga sosial. Transfer Output I = A - E
Dimana : A = Penerimaan pada tingkat harga privat
E = Penerimaan pada tingkat harga sosial Apabila nilai I 0 menunjukkan adanya transfer insentif dari konsumen
terhadap petani rumput laut. Sehingga petani rumput laut menerima harga lebih tinggi dari harga yang seharusnya.
Apabila I 0 atau negatif menunjukkan bahwa ada transfer sumberdaya dari petani ke konsumen sehingga harga yang diterima petani lebih
murah. b.
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output NPCO
Nominal Protection Coefficient on Tradable Output NPCO adalah rasio
antara penerimaan pada tingkat harga privat dengan penerimaan pada
tingkat harga sosial.
NPCO = A E
Apabila NPCO 1 berarti kebijakan bersifat protektif terhadap output atau pemerintah menaikkan harga output di pasar domestik di atas harga
efesiennya harga dunia. Apabila NPCO 1 berarti kebijakan pemerintah bersifat disprotektif
terhadap output yang menyebabkan harga output di pasar domestik lebih murah disbanding harga dunia.
c. Transfer Input TI
Transfer Input TI adalah selisih antara biaya tradable pada tingkat harga privat dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial
TI J = B – F
Dimana : B = Biaya tradable pada tingkat harga privat
F = Biaya tradable pada tingkat harga sosial Apabila TI 0, menunjukkan besarnya transfer insentif dari petani
rumput laut kepada produsen input tradable. Apabila TI 0 menunjukkan besarnya transfer dari produsen input
tradable kepada petani sehingga harga input yang diperoleh lebih murah.
d. Nominal Protection Coefficient on Tradable Input NPCI
Nominal Protection Coefficient on Tradable Input NPCI adalah rasio
antara biaya tradable pada tingkat harga privat denga biaya tradable pada tingkat harga sosial.
NPCI = B F Apabila NPCI 1 berarti pemerintah menurunkan harga input tradable di
pasar domestik di bawah harga efesiennya sehingga petani membeli input tradable lebih murah. Demikian pula sebaliknya apabila NPCI 1
berarti pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik di atas harga efesiensinya. Sehingga petani rumput laut membeli harga
input tradable lebih mahal. e.
Transfer Faktor TF Transfer Faktor TF adalah selisih antara biaya domestik pada tingkat
harga privat dengan biaya domestik pada tingkat harga sosial. TF K = C
– G
Dimana : C = Biaya domestik pada tingkat harga rpivat
G = Biaya domestik pada tingkat harga sosial Apabila TF 0 berarti ada kebijakan pemerintah yang melindungi
produsen faktor domestik pemberian subsidi positif. Apabila TF 0 atau negatif berarti ada kebijakan pemerintah yang
berpihak kepada petani rumput laut. f.
Efective Protection Coefficient EPC Efective Protection Coefficient
EPC adalah rasio antara nilai tanbah pada tingkat harga privat dengan nilkai tanmbah pada tingkat harga
sosial. EPC = A
– B E – F Dimana :
A – B = Nilai tambah pada tingkat harga privat atau selisih antar
penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga privat
E – F = Nilai tambah pada tingkat harga sosial atau selisih antar
penerimaan dengan biaya tradable pada tingkat harga sosial
Apabila EPC 1, berarti pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan di atas harga efesiensinya. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan pemerintah melindungi petani rumput laut berjalan secara efektif. Demikian pula sebaliknya jika EPC 1 berarti kebijakan
pemerintah tidak berjalan efektif. g.
Transfer Bersih TB Transfer Bersih TB adalah selisih antara keuntungan bersih pada
tingkat harga privat dengan keuntungan bersih pada tingkat harga sosial. TB L = D
– H Dimana :
D = Keuntungan Privat atau financial H = Keuntungan Sosial atau ekonomi
Apabila TB 0, menunjukkan tambahan surplus petani rumput laut yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan
output, demikian pula sebaliknya jika TB 0 menunjukkan penurunan surplus petani rumput laut yang disebabkan oleh penerapan kebijakan
pemerintah terhadap input-output. h.
Koefisien Keuntungan Profitability Coefficient, PC Profitability Coefficient
PC adalah rasio antara keuntungan pada tingkat harga privat dengan keuntungan pada tingkat harga sosial.
PC = D H Apabila PC 1, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah
memberi insentif pada petani rumput laut. Akan tetapi jika PC 1, maka kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima petani rumput
laut lebih kecil dibandingkan tanpa ada kebijakan. i.
Rasio Subsidi Bagi Produsen Subsidy Ratio to Producer, SRP Subsidy Ratio to Producer
SRP adalah rasio antara transfer bersih dengan penerimaan pada tingkat harga sosial.
SRP = L E Dimana :
L = Transfer Bersih E = Penerimaan pada tingkat harga sosial
Apabila SRP 0 atau bernilai negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan petani mengeluarkan
biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi dan sebaliknya jika SRP 0 atau positif berarti petani mengeluarkan biaya
produksi lebih kecil dari opportunity cost.
4.4.2. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Menurut Monke dan Pearson 1989 ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengalokasikan biaya ke dalam komponen domestik dan asing yaitu
pendekatan total Total Approach dan pendekatan langsung Direct Approach. Pendekatan total mengasumsikan setiap biaya input tradable dibagi ke dalam
komponen biaya domestik dan asing dan penambahan input tradable dapat
dipenuhi dari poduksi domestik jika input tersebut mempunyai kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Sedangkan pendekatan langsung
mengasumsikan seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan input tradable baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing
dan dapat dipergunakan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan total karena dianggap tepat untuk digunakan dalam menganalisis dapak kebijakan dan memperkirakan biaya
ekonomi biaya sosial dalam analisis keunggulan komparatif dengan mengalokasikan biaya ke dalam komponen asing tradable dan domestik non
tradable . Penentuan komponen biaya asing dan domestik dapat dilihat pada
Lampiran 8.
4.4.3. Penentuan Harga Bayangan
Penentuan harga pada input dan output yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua tingkat harga yaitu harga pasar harga privat atau harga aktual
dan harga bayangan harga sosial atau harga ekonomi. Harga pasar adalah tingkat harga yang diterima petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke dalam
penjualan hasil produksinya atau tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi.
Menurut Gittinger 1986, perhitungan harga bayangan dapat dilakukan dengan mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan pemerintah seperti subsidi,
pajak, penentuan upah minimum, harga pembelian pemerintah dan lain-lain. Harga bayangan dalam penelitian ini adalah harga bayangan output hasil rumput
laut kering dan harga bayangan input seperti tali rafia, solar, tenaga kerja, peralatan dan nilai tukar rupiah. Komoditas yang tradable, harga bayangan
output usahatani rumput laut yang merupakan komoditi ekspor didekati dengan harga FOB Free on Board yaitu harga di pelabuhan ekspor dalam penelitian ini
adalah pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar.
4.4.3.1. Harga Bayangan Output
Komoditi rumput laut yang dihasilkan oleh petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke merupakan komoditi ekspor sehingga harga bayangan
output yang digunakan adalah harga FOB Free on Board di pelabuhan ekspor pelabuhan acuan yaitu pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar yang dikonversi
dengan SER Shadow Exchange Rate dikurangi dengan biaya tataniaga transportasi dan penanganan dari pelabuhan ke Kepulauan Tanakeke, sehingga
dihasilkan harga paritas ekspor di tingkat petani. Komoditi rumput laut kering yang dihasilkan di Kepulauan Tanakeke
merupakan komoditi yang berorientasi ekspor. Penentuan FOB dapat dihitung dari harga CIF rumput laut di negara pengimpor dikurangi dengan biaya asuransi
dan pengapalan Insurance and Freight. Diketahui bahwa harga CIF rumput laut di pasar internasional China adalah sebesar 1 287 US Dollar per Ton. Biaya
asuransi dan pengapalan Insurance and Freight rumput laut dari China ke Indonesia ditentukan dari besarnya pajak yang harus dikeluarkan berdasarkan
keputusan Direktorat Jenderal Pajak yaitu 10 persen dari harga CIF untuk komoditas yang berasal dari Asia yang Non-Asean adalah sebesar 128 US Dollar
per Ton, sehingga harga FOB rumput laut di Indonesia adalah sebesar 1 159 US Dollar per Ton. Nilai tersebut kemudian dikonversikan dengan nilai tukar
bayangan SER sebesar Rp 9 062.12 per US Dollar. Hasil tersebut kemudian dikurangi dengan biaya transportasi dan bongkar muat di Pelabuhan Makassar,
sehingga didapatkan harga paritas ekspor tingkat pedagang besar sebesar Rp 9 461 per Kilogram. Terakhir biaya tersebut dikurangi dengan biaya distribusi ke
tingkat petani sebesar Rp 1 810 per Kilogram, sehingga diperoleh harga paritas ekspor di tingkat petani sebesar Rp 7 651 per Kilogram. Perhitungan harga
paritas ekspor di tingkat petani dapat dilihat pada Lampiran 10.
4.4.3.2. Harga Bayangan Tenaga Kerja
Menurut Pearson and Gotsch 2005, menyatakan bahwa peneliti tidak banyak menemukan divergensi yang mempengaruhi pasar tenaga kerja di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketentuan upah minimum tidak berlaku di
sektor pertanian. Menurut Gittinger 1986, tenaga kerja di pedesaan umumnya bukan merupakan tenaga ahli dan kenyataan masih adanya pengangguran.
Sehingga dalam penelitian ini pengukuran harga bayangan tenaga kerja menggunakan pendekatan produk marginal dimana produk marginal sebenarnya
masih dapat ditingkatkan, sehingga tingkat upah bayangan diduga lebih rendah dari upah aktual. Tingkat upah bayangan adalah tingkat upah aktual di Kepulauan
Tanakeke dikali persentase penduduk yang bekerja di Kabupaten Takalar. Secara umum pengukuran harga bayangan tenaga kerja didasarkan pada
formulasi sebagai berikut : HB Upah Tenaga Kerja = 100 - pengangguran X HA Upah Tenaga Kerja
dimana : HB = Harga Bayangan
HA = Harga Aktual Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Takalar 2010 dengan adanya pengangguran sebesar 8 persen, maka harga bayangan sosial adalah 92 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah
penelitian. Tingkat upah aktual yang berlaku adalah Rp 2 500 per HOK. Sehingga harga bayangan tenaga kerja adalah Rp 2 300 per HOK.
4.4.3.3. Harga Bayangan Bibit Rumput Laut
Harga bayangan untuk benih rumput laut didekati dengan harga aktualnya. Hal ini disebabkan karena bibit yang digunakan oleh petani rumput laut di
Kepulauan Tanakeke pada umumnya adalah bibit lokal, sehingga harga bayangan sama dengan harga pasarnya harga di Kepulauan Tanakeke.
4.4.3.4. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan
Penentuan harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga border price untuk input tradable dan harga domestik untuk input non
tradable . Dalam penelitian ini yang termasuk input tradable adalah tali rafia dan
solar, sedangkan bibit dan peralatan yang digunakan termasuk ke dalam input non tradable.
Harga bayangan tali rafia merupakan harga beli di lokasi penelitian harga pedagang pengumpultoko saprodi setempat. Hai ini didasari asumsi bahwa
border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan tali rafia tersebut,
sehingga sulit untuk menentukan harga bayangan border price untuk bahan baku. Selain itu, tali rafia merupakan input sarana produksi yang tidak mendapatkan
subsidi dari pemerintah, sehingga harga jual dilepas ke mekanisme pasar pasar bebas. Untuk itu harga sosial harga bayangan sama dengan harga privatnya
harga aktualnya. Biaya tali rafia terdiri dari tradable dan non tradable, dimana sebagian bahan bakunya adalah impor, maka ditetapkan 20 persen dihitung
sebagai komponen tradable dan 80 persen non tradable. Harga bayangan untuk peralatan digunakan harga pasar dengan
pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati pasar
persaingan sempurna. Sementara dalam perhitungan analisis ekonomi dan finansial, nilai harga yang dimasukkan adalah nilai penyusutan dari masing-
masing peralatan berdasarkan umur ekonomisnya.
4.4.3.5. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah
Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada
kondisi persaingan sempurna Suryana, 1980. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada
pada tingkat keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standard Conversion Factor SCF sebagai faktor koreksi
terhadap nilai tukar resmi yang berlaku. Squire dan Van Der Tak 1982 dalam Gittinger 1986 menggunakan formula sebagai berikut :
SER
t
= OER
t
SCF
t
Dimana : SER
t
: Nilai Tukar Bayangan RpUS OER
t
: Nilai Tukar Resmi RpUS SCF
t
: Faktor Konversi Standar
Nilai faktor konversi standar yang merupakan rasio dari nilai impor dan ekspor ditambah pajaknya dapat ditentukan sebagai berikut :
SCF
t
= Xt + Mt
Xt – Txt + Mt + Tmt
Dimana : SCFt
: Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt
: Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t Rp Mt
: Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t Rp Txt
: Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t Rp Tmt
: Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t Rp Harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan metode Squire dan
Van Der Tak yaitu besarnya nilai ekspor tahun 2010 senilai Rp 1 423.505 milyar, nilai impor senilai Rp 1 223.97 milyar, pajak ekspor sebesar Rp 8 030 milyar
dan pajak impor sebesar Rp 19 760 milyar BPS, 2010. Sehingga diperoleh nilai SER sebesar Rp 9 062.12. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
Berdasarkan uraian di atas, komponen input dipisahkan antara komponen tradable
dan komponen non tradable domestik, maka metode penentuan harga bayangan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Metode Pendekatan Penentuan Harga Privat dan Sosial Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011
No. Uraian
Harga Privat Harga Bayangan Sosial
1 Output
Harga yang berlaku di pasaran Harga perbatasan FOB.
Harga Bayangan Rumput Laut = FOB X SER
– Biaya transportasi dan penanganan dari pelabuhan ke
tempat penelitian Pearson et all, 2005
2 Bibit
Harga yang berlaku di pasaran Sama dengan harga privat
3 Tali Rafia
Harga yang berlaku dipasaran Sama dengan harga privat
4 Solar
Harga yang berlaku dipasaran Sama dengan harga privat
5 Tenaga Kerja
Tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian
Berdasarkan konsep produk marginal Gittenger, 1986
mempertimbangkan tingkat pengangguran 8 persen sehingga 92
persen dari upah aktual
6 Biaya
Peralatan Biaya penyusutan peralatan
Sama dengan harga privat 7
Nilai Tukar Nilai tukar yang berlaku pada
saat penelitian berlangsung Keseimbangan nilai tukar uang
yang didekati dengan menggunakan SCF Standar Conversion Factor
Berdasarkan uraian di atas mengenai harga bayangan, maka nilai harga bayangan dan harga privat dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Justifikasi Nilai Harga Bayangan Sosial dan Harga Privat Usahatani Rumput Laut di Kepulauan Tanakeke, 2011.
4.5. Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu usahatani rumput laut bila terjadi perubahan terhadap input maupun output.
Perubahan ini dapat mempengaruhi penerimaan dan biaya petani rumput laut di Kepulauan Tanakeke.
Analisis sensitivitas pada penelitian ini dilakukan dengan mengubah besarnya produksi dan harga rumput laut. Penetapan besarnya perubahan-
perubahan tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut : 1.
Fluktuasi harga rumput laut sebesar 16 persen per tahun ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian.
2. Perubahan besarnya produksi rumput laut sebesar 30 persen.
No. Uraian
Satuan Harga Privat
Harga Bayangan Sosial
1 Output
RpKg 7 396.18
7 651 2
Bibit RpKg
3 000 3 000
3 Tali Rafia
RpKg 15 000
15 000 4
Tenaga Kerja RpHOK
2 500 2 300
5 Penyusutan
Peralatan Rp
2 465 813 2 465 813
6 Solar
RpL 4 500
4 500 7
Nilai Tukar Rp
9 022.14 9 062.12
V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA
5.1. Perkembangan Rumput Laut Dunia
Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan dan mempunyai prospek pasar yang baik serta
dapat meningkatkan pendapatan petani di wilayah pesisir. Rumput laut seaweed merupakan nama dalam perdagangan untuk jenis alga yang dipanen dari laut.
Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tumbuhan ini mempunyai bentuk yang
sama, walaupun sebenarnya berbeda Yulianda, 2001. Rumput laut menjadi salah satu komoditas unggulan dalam Program
Revitalisasi Perikanan Budidaya tahun 2006-2009 selain udang dan tuna, yang telah dicanangkan oleh presiden pada tanggal 11 Juni 2005 dan tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, menyumbang ekspor non migas,
mengurangi kemiskinan dan menyerap tenaga kerja nasional Burhanuddin, 2008.
Beberapa hal yang menjadi keunggulan rumput laut antara lain : 1 peluang pasar ekspor yang terbuka luas, 2 belum ada batasan atau kuota
perdagangan bagi rumput laut, 3 teknologi pembudidayaannya sederhana, sehingga mudah dikuasai, 4 siklus pembudidayaannya relatif singkat, sehingga
cepat memberikan keuntungan, 5 kebutuhan modal relatif kecil, dan 6 merupakan komoditas yang tidak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya
Anggadiretdja, 2006. Oleh karena itu rumput laut termasuk komoditas unggulan yang perlu mendapat prioritas dalam penanganannya.
Rumput laut di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Eropa Brown, 1983. Rumput laut yang diperdagangkan di pasar internasional terdiri
dari banyak jenis dengan kandungan dan manfaat yang berbeda-beda diantaranya Eucheuma cottoni
. Gracilaria sp dan sargassum sp. Perkembangan rumput laut di dunia ditandai dengan meningkatnya permintaan rumput laut khususnya rumput
laut Eucheuma cottoni dalam bentuk raw material atau rumput laut kering oleh negara-negara konsumen.
5.1.1. Produksi Rumput Laut Dunia
Rumput laut di pasar internasional pada umumnya diproduksi oleh negara- negara Asia seperti Indonesia, China, Philphina, Korea dan beberapa negara
Eropa seperti Chili, Prancis, Tanzania dan Mexico FAO, 2010. Indonesia termasuk salah satu produsen terbesar dunia, bahkan menjadi peringkat kedua
produsen rumput laut dunia setelah negara China untuk jenis Eucheuma cottoni. Indonesia dengan potensi rumput laut yang sangat besar berpeluang
menjadi salah satu produsen rumput laut terbesar dunia. Adapun perkembangan produksi rumput laut dunia dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : FAO, 2011 diolah
Gambar 6. Perkembangan Produksi Rumput Laut Dunia Tahun 2005 – 2010
Gambar 6 memperlihatkan bahwa rumput laut di dunia diproduksi oleh 9 negara utama penghasil rumput laut dan selama enam tahun terakhir Negara
China menjadi produsen utama rumput laut dunia dengan produksi rata-rata 49.22 persen. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi peringkat kedua produsen rumput
laut dunia dengan produksi sebesar 3 082 113 ton. Sejak tahun 2005, produksi rumput laut dunia mencapai 11 980 219 ton, akan tetapi pada tahun 2009
mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu produksi rumput laut dunia mencapai 13 783 065 ton. Perkembangan produksi rumput laut yang demikian
tinggi mencerminkan adanya peluang dan permintaan yang semakin besar di pasar internasional.
5.1.2. Ekspor Rumput Laut Dunia
Ekspor rumput laut dunia selama lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan, meskipun kenaikan ini tidak sejalan dengan peningkatan produksi.
Pada periode tahun 2005 – 2009, rata-rata pertumbuhan eskpor rumput laut dunia
sebesar 7.05 persen dengan trand yang meningkat, dengan ekspor tertinggi pada tahun 2009 sebesar 420 963 ton. Gambar 7 di bawah ini memperlihatkan
perkembangan ekspor rumput laut dunia periode tahun 2005 – 2009.
Sumber : FAO, 2011 diolah Gambar 7. Perkembangan Ekspor Rumput Laut Dunia Periode Tahun 2005-2009
Selama 5 tahun terakhir 2005-2009, ekspor rumput laut dunia di dominasi oleh negara-negara Asia seperti Philpina, Chili, Vietnam, Malaysia, dan
Indonesia, dimana ekspor terbesar berasal dari Philpina yang mampu mengekspor sebanyak 535 715 ton dari total produksi dunia. Indonesia sebagai negara
produsen rumput laut dunia terbesar hanya mampu mengekspor sebesar 412 837 ton jauh di bawah Philpina. Hal ini disebabkan karena banyaknya rumput laut
Indonesia yang ditolak karena tidak memenuhi standar rumput laut internasional Kementrian Perdagangan, 2011.
5.2. Perkembangan Rumput Laut di Indonesia 5.2.1. Produksi Rumput Laut Indonesia
Luas perairan laut Indonesia serta keragaman jenis rumput laut merupakan gambaran potensi rumput laut Indonesia. Dari 782 jenis rumput laut di perairan ,
hanya 18 jenis dari 5 genus yang sudah diperdagangkan. Dari kelima marga tersebut hanya genus Eucheuma dan Gracilaria yang sudah dibudidayakan.
Wilayah sebaran budidaya genus Eucheuma berada di Sumatera Barat Kabupaten Pesisir Selatan dan Mentawai, Sumatera Selatan, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, Banten, Pulau Seribu, Jawa Tengah, NTT, NTB, Pulau Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua Anggadiredja dan Achmad, 2009.
Rumput laut Eucheuma sp. Mulai dibudidayakan secara masal pada tahun 1984 di Nusa Dua, Nusa Penida, Nusa Tenggara Barat. Jenis rumput laut yang
dibudidayakan adalah jenis Eucheuma spinosum dengan bibit lokal dan Eucheuma cottoni
dengan bibit asal Philpina. Sesuai dengan perkembangan pasar, saat ini yang lebih banyak dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottoni.
Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan 2011, total luas lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut adalah sebesar 1 110 900 hektar
dengan tingkat produktivitas 128 ton berat basah per hektar per tahun atau 16 ton berat kering per hektar per tahun, sehingga potensi produksi rumput laut Indonesia
adalah 17 774 400 ton berat kering per tahun. Perkembangan produksi rumput laut Indonesia tahun 2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perkembangan Produksi Rumput Laut Indonesia Jenis Eucheuma cottoni
Tahun 2005 – 2010
No Tahun
Produksi Ton Δ
1 2005
85 400 -
2 2006
98 200 14.99
3 2007
114 900 17.01
4 2008
139 100 21.06
5 2009
155 060 11.47
6 2010
140 020 -9.70
Rata-Rata Pertumbuhan Tahun 2005-2010 10.97
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011
Tabel 6 memperlihatkan bahwa Total produksi rata-rata rumput laut sebesar 122 133 ton per tahun atau rata-rata peningkatan produksi sebesar 10.97
persen per tahun 2005 – 2010. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
potensi sebagai produsen utama rumput laut dunia. 5.2.2. Ekspor dan Impor Rumput Laut Indonesia
Ekspor rumput laut Indonesia di perdagangan dunia mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh belum stabilnya perdagangan rumput laut Indonesia di
pasaran internasional karena berbagai hal diantaranya kualitas rumput laut Indonesia yang belum memenuhi standar kualitas yang diinginkan oleh negara-
negara importir seperti Jepang dan China, sehingga hal tersebut juga mempengaruhi ketidakstabilan harga rumput laut Indonesia yang semakin rendah.
Volume eskpor rumput laut Indonesia periode 2005 – 2009 mengalami
fluktuasi akan tetapi semakin meningkat dengan rata-rata volume ekspor sebesar 90 575 per tahun atau rata-rata peningkatan sebesar 14.19 persen per tahun.
Adapun negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia terlihat pada Tabel 7 adalah China, Hongkong, Jepang, Denmark, USA, Korea Selatan, dan Perancis,
Spanyol, Taiwan dan Inggris Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010. Tabel 7. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia ke Negara Tujuan Tahun 2005-
2009
Negara Tujuan
Volume Ekspor Per Tahun Ton Total
2005 2006
2007 2008
2009
China
22 926 25 834
22 318 35 220
11 328 118 826
Jepang
8 060 8 145 7 878 9 210 8 780 43 073
Korea
5 143 8 843 8 421 5 513 3 629 31 549
Hongkong
8 385 10 674 8 890 6 070 2 114 37 133
Spanyol
4 736 7 431 6 451 9 766 4 364 33 870
Prancis
2 919 4 604 6 192 5 927 3 736 23 378
Denmark
3 754 3 125 4 098 5 348 4 077 20 402
USA
1 065 6 751 2 454 4 414 3 629 18 313
Taiwan
1 905 3 353 3 407 2 422 2 749 13 836
Inggris
1 932 2 948 3 499 1 900 2 395 12 674
Negara Lain
8 401 13 800 20 465 14 158 44 368 101 192
Tot. Ekspor
69 226 95 508 94 073 99 948 94 002
Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010a
Tabel 7 memperlihatkan bahwa Negara China, Jepang dan Korea merupakan negara tujuan ekspor terbesar berdasarkan volume ekspor rumput laut
Indonesia di negara tujuan ekspor tersebut sejak tahun 2005-2009. Akan tetapi sebagian besar ekspor rumput laut Indonesia dalam bentuk bahan baku kering
raw material dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri untuk dijadikan agar-agar.
Permintaan untuk ekspor yang tinggi dan terus meningkat mengakibatkan ketidakseimbangan antara ekspor dengan industri pengolahan dalam negeri.
Industri pengolahan dalam negeri masih kekurangan bahan baku sehingga perlu dilakukan impor dari beberapa negara seperti Jepang, Korea, Cina, Eropa dan
Amerika Latin. Umumnya impor rumput laut dilakukan dalam bentuk yang telah mengalami pengolahan lebih lanjut seperti agar-agar. Disamping itu
terdapat beberapa jenis rumput laut yang tidak dapat tumbuh di perairan Indonesia seperti jenis Nori Phorphyra sp.. Rumput laut ini diimpor dan dimanfaatkan
sebagai edible seaweeds tidak diekstrak, yaitu sebagai pembungkus makanan lemper atau langsung dapat dimakan sebagai penyedap makanan. Selain itu,
Nori juga dimanfaatkan sebagai campuran berbagai obat-obatan. Oleh karena itu,
impor rumput laut adalah pada produk akhir seperti karagenan, alginat ataupun agar-agar Anggadiredja dan Achmad, 2009. Impor rumput laut jenis lainnya
dan produk olahan seperti agar-agar dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Rumput Laut dan Agar-Agar
Indonesia Tahun 2005-2009
No Tahun
Rumput Laut Jenis Lainnya Agar-Agar
Volume Kg
Nilai 1000 US
Volume Kg
Nilai 1000 US
1 2005
139 194 224 505
587 269 443 690
2 2006
216 756 294 952
594 643 712 963
3 2007
124 656 308 004
556 176 844 699
4 2008
36 730 253 708
383 765 391 694
5 2009
71 123 322 742
4 388 871 1 027 487
Pertumbuhan 9.08
12.33 251.86
46.96 Sumber : Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010b
Tabel 8 memperlihatkan bahwa impor rumput laut jenis lainnya selain Eucheuma cottoni
dan Gracilaria sp mengalami pertumbuhan sebesar 9.08 persen setiap tahunnya, hal ini mengindikasikan bahwa impor rumput laut setiap
tahunnya meningkat. Demikian pula dengan produk olahan agar-agar, dimana industri pengolahan agar-agar masih mengimpor rata-rata 1 302 144.8 kg per
tahun dengan nilai US 684 106.6 per tahun.
5.2.3. Harga Rumput Laut Indonesia
Perkembangan harga rumput laut di pasar dunia mengalami fluktuasi. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya jumlah volume ekspor, bentuk
rumput laut dan yang paling penting adalah kualitas rumput laut yang sesuai standar yang ditetapkan dalam perdagangan internasional.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan 2011 menunjukkan perkembangan harga rumput laut Indonesia yang fluktuatif, bahkan
termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara eksportir lainnya. Adapun perkembangan harga rumput laut Indonesia di pasar dunia dapat dilihat pada
Gambar 8.
Sumber : Kementerian Perdagangan, 2011 diolah. Gambar 8. Perkembangan Harga Rumput Laut Indonesia di Pasar Dunia Periode
2005 - 2010
Gambar 8 memperlihatkan bahwa persentase perkembangan harga rumput laut Indonesia meningkat yaitu sebesar 19.34 persen dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 838.91 US per tahun. Menurut UnComtrade 2010, bahwa harga rumput laut di pasaran internasional cukup rendah dibandingkan
dengan negara eksportir seperti Philpina dengan harga mencapai 4 440 US per ton dan Marocco sebesar 5 428 US per ton. Perbedaan ini dikarenakan sebagian
besar rumput laut Indonesia masih dalam bentuk raw material bahan baku dengan kualitas yang rendah.
VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT
Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor atau melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk
dari luar. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input maupun output. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output
yang diminta oleh produsen privat dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perbedagangan bebas. Kebijakan pemerintah yang diberlakukan
pada input maupun output adalah kebijakan subsidi dan pajak serta hambatan berupa tarif dan kuota Anindita dan Michael, 2008.
6.1. Kebijakan Terhadap Input
Kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan pengembangan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke adalah subsidi positif. Subsidi positif adalah
pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah kepada penyedia tunggal suatu barang. Pada kegiatan usahatani rumput laut di Kepulauan Tanakeke, subsidi
positif terdapat pada input solar, sedangkan untuk input lain seperti bibit, tenaga kerja, tali utama, pelampung dan peralatan lainnya tidak terdapat subsidi.
Pemberian subsidi bertujuan untuk meningkatkan kegiatan usahatani rumput laut sehingga akan diperoleh peningkatan produksi yang optimal. Harga
BBM dalam hal ini adalah solar berlaku sama diseluruh Indonesia yaitu Rp 4 500 per liter. Undang- Undang No.8 Tahun 1971 menyatakan bahwa subsidi BBM
diberikan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai konsekuensi dari penetapan harga yang dilakukan oleh pemerintah. Pertamina melaksanakan tugas sebagai
penyedia dan pelayanan BBM untuk keperluan dalam negeri sebagai tugas pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi subsidi ini secara bertahap akan
dikurangi. Hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No. 22 Tahun 2001, dimana dijelaskan bahwa penugasan khusus pertamina untuk
menyediakan BBM dalam negeri akan berakhir tahun 2005 Nugroho, 2004.
6.2. Kebijakan Terhadap Output
Salah satu kebijakan pemerintah yang ditetapkan pada suatu komoditas adalah kebijakan perdagangan. Kebijakan perdagangan terdiri atas kebijakan
ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan perdagangan yang diberlakukan pada usahatani rumput laut adalah kebijakan ekspor. Kebijakan ekspor bertujuan untuk
melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia. Kebijakan perdagangan untuk komoditi ekspor
dilakukan melalui penetapan pajak ekspor baik per unit barang yang di ekspor maupun secara keseluruhan dan pembatasan jumlah ekspor kuota ekspor.
Dalam rangka mendorong peningkatan ekspor Indonesia, Departemen Perdagangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No.558MPPKep121998 jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 01M-DAGPER12007 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor. Dalam
keputusan ini ditetapkan tiga kategori tata niaga ekspor yaitu komoditi yang diatur, diawasi dan dilarang ekspornya. Komoditi rumput laut tidak termasuk
dalam keputusan ini melainkan termasuk dalam kelompok barang yang bebas tata niaga ekspornya, artinya setiap badan kategori usaha atau perorangan dapat
melakukan kegiatan ekspor apabila telah memiliki SIPU, TDP dan NPWP. Meskipun komoditi rumput laut masuk dalam komoditi yang bebas
tataniaga ekspornya, tetap memerlukan perhatian yang serius terutama dalam kebijakan tentang penetapan standar mutu produk mulai dari hulu sampai ke hilir
Supply Chain. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas rumput laut yang akan di ekspor sebab negara tujuan ekspor khususnya negara-negara maju sangat
memperhatikan keamanan pangan yang terkait Sanitary dan Phytosanitary SPS dan dapat menjadi hambatan non tarif bagi negara pengekspor seperti Indonesia.
Kebijakan ekspor yang perlu mendapat perhatian adalah Laboratorium Penguji Mutu baik yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta Kementrian
Perindustrian dan Perdagangan, 2010. Berdasarkan kebijakan pemerintah dalam hal ekspor rumput laut, pada
tahun 2010 hingga akhir 2011, pemerintah Indonesia memberlakukan pajak ekspor rumput laut khusus ke Negara China sebesar 30 persen. Hal ini dilakukan
pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi ekspor bahan baku rumput laut
kering ke Negara China secara besar-besaran, selain itu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk industri dalam negeri. Kebijakan pemerintah dengan
menetapkan pajak ekspor tersebut berdampak terhadap volume ekspor yang menurun terutama ke negara China dan harga rumput laut dalam negeri menjadi
rendah akibat banyaknya bahan baku rumput laut kering yang tidak terserap oleh pasar domestik akibat industri pengolahan rumput laut dalam negeri masih
kurang. Oleh karena itu pada akhir tahun 2011 hingga sekarang, Kementerian perdagangan memutuskan untuk tidak memberlakukan kebijakan tersebut
sehingga pajak ekspor rumput laut kering tetap nol persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak lagi intervensi dalam perdagangan output rumput laut,
sehingga mekanisme harga rumput laut domestik lebih ditentukan oleh mekanisme pasar.
Meskipun komoditi rumput laut termasuk dalam komoditi yang bebas tata niaga ekspornya, kebijakan yang penting mendapat perhatian adalah kebijakan
tentang standar mutu produk. Kebijakan ini ditempuh untuk memenuhi keinginan negara-negara pengimpor rumput laut dari Indonesia sehingga sesuai
standar yang ditetapkan. Kebijakan pemerintah dalam mengurangi hambatan non tarif seperti
Sanitary dan Phynosanitary SPS serta Technical Barrier To Trade TBT yang terkait dengan regulasi teknis, standar dan prosedur konformitas dituangkan dalam
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59M-DAGPER2010 tentang penerbitan Certificate of Legal Origin CoLo untuk barang ekspor termasuk
rumput laut. Sertifikat CoLo ini diterbitkan oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini
dalam rangka mencapai ekuivalen dengan peraturan negara tujuan ekspor. Kebijakan ini menyebabkan biaya kegiatan ekspor terutama biaya legalisasi
dokumen ekspor menjadi tinggi dan membutuhkan waktu yang lama. 6.3. Kebijakan Revitalisasi Rumput Laut
Indonesia merupakan salah satu negara eksportir rumput laut dunia, akan tetapi beberapa tahun terakhir ini mengalami kemunduran akibat semakin
berkurangnya jumlah dan nilai ekspor rumput laut. Pencapaian produksi belum
diimbangi oleh pengembangan mata rantai pemasaran rumput laut seperti penyerapan produksi, stabilitas harga dan jaminan kualitas produksi belum
konsisten. Harga rumput laut yang tidak menentu di pasar internasional, kualitas rumput laut yang kurang memenuhi standar dunia dan permintaan yang inelastis
sehingga persaingan rumput laut dunia semakin ketat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang tepat dalam pengembangan rumput laut di Indonesia.
Kebijakan pengembangan rumput laut meliputi kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau lokal. Kebijakan pemerintah dalam
pengembangan rumput laut di Provinsi Sulawesi Selatan mengacu pada kebijakan pemerintah pusat, sehingga kebijakan tersebut dapat bersinergi dengan program
lainnya dan berkesinambungan. Adapun kebijakan nasional pengembangan rumput laut yang telah dan akan dilaksanakan adalah : 1 kebijakan peningkatan
produksi rumput laut, 2 kebijakan peningkatan produk derivatif rumput laut, 3 kebijakan kelembagaan, dan 4 kebijakan intensifikasi pasar. Kebijakan-
kebijakan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1.
Kebijakan peningkatan produksi rumput laut melalui : a.
Mengoptimalkan potensi dan pengembangan kawasan budidaya rumput laut. b.
Mengembangkan jumlah unit lahan budidaya pada kawasan-kawasan strategis dan potensial pengembangan rumput laut di Indonesia melalui
klaster budidaya rumput laut untuk kawasan Indonesia bagian Barat Aceh, Kepri, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jatim, Jabar dan Jateng, kawasan
Indonesia bagian Tengah Bali, NTB, NTT, Kaltim, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sulsel sedangkan kawasan Indonesia Timur meliputi Maluku dan Papua.
c. Mengembangkan input teknologi budidaya yang secara langsung berdampak
pada peningkatan jumlah unit budidaya dan kapasitas produksi. d.
Penyediaan bibit rumput laut yang berkualitas melalui pengembangan kebun bibit rumput laut di kawasan sentral budidaya rumput laut.
e. Kebijakan alokasi subsidi bibit rumput laut
f. Penyediaan pendanaan perbankan nasional seperti pemberian kredit usahatani
dan pengembangan UMKM 2.
Kebijakan Peningkatan Produk Derivatif Rumput Laut