PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat penting dalam pembangunan. Potensi ini
berupa sumberdaya lahan yang sangat besar untuk pengembangan budidaya rumput laut. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan 2011, total luas lahan
yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya rumput laut sebesar 1 110 900 hektar dengan tingkat produktivitas 128 ton berat basah per hektar per
tahun atau 16 ton berat kering per hektar per tahun, sehingga potensi produksi rumput laut Indonesia adalah 17 774 400 ton berat kering per tahun.
Rumput laut menjadi salah satu komoditas unggulan dalam Program Revitalisasi Perikanan Budidaya tahun 2006-2009 selain udang dan tuna, yang
telah dicanangkan oleh presiden pada tanggal 11 Juni 2005 dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan, menyumbang ekspor non migas, mengurangi kemiskinan dan menyerap tenaga kerja nasional Burhanuddin,
2008. Beberapa hal yang menjadi keunggulan rumput laut antara lain : 1
peluang pasar ekspor yang terbuka luas, 2 belum ada batasan atau kuota perdagangan bagi rumput laut, 3 teknologi pembudidayaannya sederhana,
sehingga mudah dikuasai, 4 siklus pembudidayaannya relatif singkat, sehingga cepat memberikan keuntungan, 5 kebutuhan modal relatif kecil, dan 6
merupakan komoditas yang tidak tergantikan, karena tidak ada produk sintetisnya Anggadiretdja, 2006. Oleh karena itu rumput laut termasuk komoditas
unggulan yang perlu mendapat prioritas dalam penanganannya. Rumput laut di pasar internasional pada umumnya diproduksi oleh negara-
negara Asia seperti Indonesia, China, Philphina, Korea dan beberapa negara Eropa seperti Chili, Prancis, Tanzania dan Mexico FAO, 2010. Indonesia
termasuk salah satu produsen terbesar dunia, bahkan menjadi peringkat kedua produsen rumput laut dunia setelah negara China untuk jenis Eucheuma cottoni.
Pada kurun waktu enam tahun terakhir 2005-2010, perkembangan produksi
rumput laut Indonesia meningkat pesat. Tahun 2005 produksi rumput laut Indonesia untuk jenis Eucheuma cottoni hanya sebesar 85 400 ton berat kering
yang meningkat pada tahun 2010 menjadi 140 020 ton berat kering. Hal ini semakin memperbaiki posisi Indonesia sebagai produsen rumput laut dunia dan
berdampak positif terhadap peningkatan ekspor rumput laut Indonesia di pasar internasional. Perkembangan produksi dan ekspor rumput laut Indonesia tahun
2005-2010 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Ekspor Rumput Laut Kering Jenis
Eucheuma cottoni Indonesia Tahun 2005
– 2010
No Tahun
Produksi Ton
Persentase Pertumbuhan
Ekspor Ton
Persentase Pertumbuhan
1 2005
85 400 -
69 264 -
2 2006
98 200 14.99
95 588 38.01
3 2007
114 900 17.01
94 073 -1.58
4 2008
139 100 21.06
99 948 6.25
5 2009
155 060 11.47
94 002 -5.95
6 2010
140 020 -9.70
126 177 34.23
Rata-Rata Pertumbuhan
Tahun 2005-2010
10.97 14.19
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011 Tabel 1 memperlihatkan bahwa produksi rumput laut kering mengalami
peningkatan selama kurun waktu 2005 hingga 2008, akan tetapi tahun 2009 sampai 2010 mengalami penurunan akibat terjadinya intensitas la nina yang
berkepanjangan dan beberapa sentra produksi mengalami serangan penyakit ice- ice. Demikian pula dengan ekspor rumput laut kering Indonesia mengalami
fluktuasi akan tetapi semakin meningkat dengan rata-rata peningkatan ekspor rumput laut kering sebesar 14.19 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
permintaan rumput laut mengalami peningkatan, sehingga perlu usaha untuk meningkatkan produksi dan ekspor ke berbagai negara. Akan tetapi sebagian
besar ekspor rumput laut Indonesia masih dalam bentuk bahan baku kering raw material
dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan , 2010.
Peranan Indonesia di pasar rumput laut dunia, baik sebagai produsen ataupun eksportir juga dapat dilihat dari besarnya pangsa pasar Indonesia di
pasar internasional. Dalam konteks perdagangan internasional, dengan beberapa produsen sekaligus eksportir seharusnya menguntungkan dalam penguasan pangsa
pasar. Oleh karena itu, ekspor rumput laut Indonesia yang relatif meningkat secara otomatis mendorong peningkatan pangsa pasar rumput laut di pasar
internasional. Trend peningkatan pangsa pasar rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber : FAO, 2010 Diolah Gambar 1. Trend Pangsa Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional
.
Apabila dilihat dari pangsa pasar rumput laut Indonesia di pasar internasional mengalami fluktuatif akan tetapi relatif meningkat. Kondisi ini
seharusnya dapat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang semakin kompetitif di pasar internasional.
Peningkatan permintaan rumput laut dunia juga dapat dilihat dari peningkatan volume impor yang dilakukan oleh negara-negara importir. China
merupakan negara importir terbesar rumput laut dunia, diikuti oleh Jepang pada posisi ke-dua, dan Hongkong pada posisi ke-tiga serta beberapa negara seperti
Denmark, Prancis dan Amerika. Selama kurun waktu 2005 hingga 2009, ketiga negara tersebut mengimpor 55.66 persen dari seluruh impor dunia, sesuai dengan
data yang diperoleh dari FAO Food and Agriculture Organization, 2010. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ketiga negara tersebut memiliki posisi penting
bagi setiap eksportir dunia. Apabila suatu negara memiliki pangsa pasar yang
baik di negara importir utama, maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut memiliki daya saing di pasar internasional rumput laut.
Perkembangan produksi rumput laut dunia yang semakin besar yang diiringi dengan permintaan dunia yang semakin besar pula, beberapa negara
produsen mulai bersaing untuk memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas yang semakin baik. Negara pesaing ekspor utama rumput laut
Indonesia adalah Negara Philpina. Philpina memiliki pangsa pasar rata-rata sebesar 30.37 persen terhadap ekspor dunia selama tahun 2005-2009. Sedangkan
Indonesia memiliki rata-rata pangsa pasar sebesar 23.36 persen selama tahun 2005-2009.
Indonesia memiliki pangsa pasar yang lebih kecil dari Philpina. Hal ini terjadi karena efesiensi produksi yang masih rendah dan belum mampu memenuhi
standar mutu ekspor yang semakin tinggi. Sedangkan Philpina memiliki kualitas rumput laut yang sangat baik, memiliki penetapan standar mutu yang baik dan
pengolahan rumput laut yang maju. Hal inilah yang menyebabkan pangsa pasar Philpina lebih besar dari Indonesia meskipun harganya lebih mahal dibandingkan
dengan rumput laut Indonesia. Perbedaan kualitas rumput laut Philpina dengan rumput laut Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 6.
Intensitas perdagangan internasional yang semakin meningkat menjadikan produktivitas dan daya saing semakin penting untuk diperhatikan, apalagi negara-
negara importir menerapkan berbagai persyaratan terutama menyangkut persyaratan kualitas bagi komoditi rumput laut yang diimpor dalam menjamin dan
melindungi serta kepuasan konsumen. Salah satu kebijakan negara pengimpor tentang mutu atau kualitas rumput laut adalah ISO International Standard
Organization 9000. Persyaratan mengenai mutu dan keamanan pangan
komoditi ekspor seperti rumput laut dilakukan oleh suatu lembaga antar pemerintah internasional yang mengembangkan keamanan standar pelindungan
konsumen dan memfasilitasi perdagangan dunia. Lembaga ini menerapkan pengujian lebih dari 750 bahan tambahan makanan, menggunakan lebih dari 240
standar komoditas dan 40 kode higienis dan teknologi Suboko, 2003. Kesepakatan akan konsep sanitary and phytosanitary SPS yang
mencakup keamanan pangan, kandungan gizi, mengharuskan pemerintah untuk
segera menyusun program sanitasi dan mengembangkan standar baku bagi produk hasil perikanan dan prosesnya. Sedangkan rumput laut Indonesia masih
banyak yang belum memenuhi standar tersebut menyebabkan ketidakmampuan komoditi rumput laut Indonesia bersaing dengan negara-negara penghasil rumput
laut lainnya. Standar suatu produk akan mempengaruhi daya saing karena produk yang diekspor menjadi lebih murah. Kondisi ini tentunya akan memperlemah
daya saing rumput laut Indonesia di pasar internasional. Adapun persyaratan ekspor Eucheuma sp dapat dilihat pada Lampiran 7.
Peningkatan standar kualitas atau mutu terhadap produk pangan khususnya rumput laut oleh negara importir merupakan salah satu kendala sulitnya
menembus pasar rumput laut internasional. Selain itu meningkatnya produksi rumput laut di negara-negara pesaing seperti Philpina juga menyebabkan semakin
menurunnya posisi tawar eskportir rumput laut Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pangsa dan nilai ekspor
rumput laut, kajian mengenai analisis daya saing rumput laut dirasakan penting untuk dilakukan untuk meningkatkan ekspor komoditi rumput laut Indonesia.
1.2. Perumusan Masalah