Habitat Pengelolaan Satwaliar Secara Lestari

aspek relung ekologi tersebut dapat dikatakan sebagai ruangan atau relung habitat, relung trofik dan relung multidimensi hypervolume. Menurut Reinert 1993, suatu tipe habitat umumnya digunakan oleh suatu spesies tertentu. Alikodra 2002 menyatakan bahwa habitat yang cocok bagi suatu spesies belum tentu cocok bagi spesies lain. Berarti dalam hal ini ada pemilihan suatu karakteristik tertentu pada suatu habitat oleh spesies. Habitat berada dalam batas tertentu sesuai dengan persyaratan organisme yang menghuninya Soemarwoto 2004. Batas bawah disebut titik minimum, batas atas disebut titik maksimum dan diantara keduanya ada titik optimum. Bila sifat habitat berubah diluar titik minimum atau maksimumnya, penghuninya harus pindah atau dia akan mati. Organisme selalu mempunyai insting untuk mencari tempat hidup yang sesuai dengan kebutuhannya. Python reticulatus di Kalimantan umumnya bisa ditemukan dihampir seluruh wilayah Kalimantan Stuebing Inger 1999. Python reticulatus merupakan jenis ular terrestrial hidup di daratan. Di Kalimantan, Python reticulatus bisa ditemukan di dataran rendah pada ketinggian dibawah 1 000 m diatas permukaan laut dpl. Meskipun termasuk ular terrestrial, namun di Kalimantan tidak ditemukan Python reticulatus yang tinggal dalam lubang tanah. Python reticulatus banyak ditemukan di serasah, tanah dan pohon meskipun sering ditemukan pula sedang berada di perairan tawar Tweedie 1983; Stuebing Inger 1999. Sedangkan sarang biasanya berada diantara serasah Shine 1998; Stuebing Inger 1999. Sebagai ular terrestrial daerah tropis, Python reticulatus di Kalimantan selalu menjaga suhu tubuhnya pada 31 C Stuebing Inger 1999. Suhu lingkungan yang paling disukai Python reticulatus di Kalimantan adalah 29 – 31 C. Untuk menjaga suhu badannya tetap stabil, Python reticulatus selalu berjemur dibawah sinar matahari. Suhu lingkungan atau sarang yang paling cocok untuk telur adalah 29 C – 31 C dengan kelembaban sekitar 70. Pada suhu diluar itu, telur bisa gagal menetas, pertumbuhan tidak sempurna dan sex rasio yang tidak seimbang. Namun Shine 1998 mengatakan bahwa ular yang hidup di daerah tropishangat, telurnya cenderung lebih tahan dan bisa menetas pada area yang dingin. Python reticulatus selalu mengerami telurnya dengan melingkarkan tubuhnya disekitar telur untuk menjaga suhu dan meninggalkannya hanya untuk berjemur atau minum Shine 1998. Selama mengerami, Python reticulatus tahan untuk tidak makan sama sekali. Pada iklim tropis yang hangat, ular betina bisa bereproduksi setiap tahun, sedangkan pada iklim yang dingin biasanya betina akan bereproduksi beberapa tahun sekali Stuebing Inger 1999. Makanan merupakan salah satu faktor penentu bagi ular dalam memilih habitatnya. Ketika pada suatu tempat terdapat banyak makanan, maka biasanya akan ditemukan Python reticulatus di lokasi tersebut. Python reticulatus merupakan satwa karnivora, makanan utamanya adalah jenis-jenis burung dan mamalia Tweedie 1983. Penangkap Python reticulatus biasanya menangkapnya dengan menggunakan jaring di perairan tawar pada malam hari. Kemungkinan ini terjadi karena Python reticulatus merupakan satwa nokturnal yang mencari makan malam hari Stuebing Inger 1999. Ular ini bisa makan makanan yang ukurannya lebih besar dari diameter tubuhnya dan bukan termasuk ular yang berbisa, namun sangat berbahaya karena dapat menyerang mangsanya dengan belitan yang kuat Hoesel 1959. Jenis data yang diambil untuk mendapatkan gambaran karakteristik habitat pada habitat terestrial untuk ampibi adalah 1 lokasi penangkapan yang ditulis secara spesifik, 2 tipe habitat, 3 vegetasi yang dominan, 4 koordinat lokasi, 5 ketinggian, 5 deskripsi data klimatologi suhu, kelembaban, pH, 6 indikasi adanya gangguan dan 7 faktor habitat lain tipe tanah, kapasitas menahan air, frekuensi banjir Kusrini 2009. Sedangkan untuk habitat perairan, data yang perlu dikumpulkan adalah 1 tipe habitat sungai besar, sungai kecil, anak sungai, danau, rawa, 2 indikasi durasi relative habitat permanen, mengalir sepanjang tahun, musiman , 3 lebar dan kedalaman, 4 indikasi laju kecepatan air, 5 kondisi vegetasi dipinggiran, dan 6 substrat dasar lumpur, batu, pasir. Dengan merujuk pada Bailey 1984, Reinert 1993 dan Alikodra 2002, data yang perlu dikumpulkan untuk menggambarkan karakteristik habitat ular bisa disamakan mirip dengan ampibi. Python reticulatus mempunyai pola sebaran patchy atau mengelompok TPBC 1998, ini menjadi suatu permasalahan yang mungkin dihadapi dalam melakukan penelitian mengenai habitat. Tidak semua lokasi ditemukan Python reticulatus, namun hanya pada tempat tertentu. Mengamati tipe habitat preferensial juga tidak mungkin dilakukan dengan mengikuti ular tersebut sepanjang hari dan mencatat habitat yang paling banyak digunakan oleh Python reticulatus. Bahkan ketika menangkap Python reticulatus di lokasi tertentu, mungkin belum bisa menggambarkan habitat yang sesungguhnya. Habitat tersebut mungkin hanya merupakan lokasi jalurnya mencari makan atau beraktifitas lain. Bahkan sebagai ular terestrial, Python reticulatus justru banyak ditangkap di daerah perairan pada malam hari. Python reticulatus merupakan satwa nocturnal sehingga banyak ditemukan pada malam hari. Pendekatan mengenai habitat yang tepat mungkin bisa dilakukan dengan mengetahui keadaan pada sarang dan pada lokasi terestrial didekat perairan dimana Python reticulatus ditangkap. Asumsinya adalah habitat sarang sudah dipilih oleh Python reticulatus dengan selektif dan sesuai dengan faktor biotik dan abiotik yang dibutuhkan, sedangkan habitat di dekat perairan dimana ular ini ditangkap mungkin merupakan habitat tempat tinggalnya.

2.3. Kebijakan Pemanfaatan Satwaliar di Indonesia

Pemanfaatan satwaliar di Indonesia diatur dalam Undang-undang No 5 Tahun 1990 UU No. 51990 dan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 PP No. 81999. Menurut UU No. 51990, sumberdaya alam hayati Indonesi harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari Sekditjen PHKA 2007a. Sedangkan PP No. 81999 menyatakan bahwa satwaliar dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan pemanfaataannya dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan keanekaragamannya Sekditjen PHKA 2007b. Bahkan pemanfaatan satwaliar ditujukan agar satwaliar tersebut bisa tetap lestari. Pemanfaatan satwaliar di Indonesia dilakukan untuk kegiatan komersial dan non komersial. Menurut PP No. 81999, pemanfaatan satwaliar bisa dilakukan dalam bentuk 1 pengkajian, penelitian dan pengembangan; 2 penangkaran; 2 perburuan; 4 perdagangantata niaga; 5 peragaan; 6 pertukaran; dan 7 pemeliharaan untuk kesenangan Sekditjen PHKA 2007b. Pemanfaatan TSL untuk kegiatan ekonomi yang komersial, diijinkan sesuai dengan UU No. 51990 yang menyebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan yang salah satunya adalah pemanfaatan secara lestari dan salah satu bentuk pemanfaatannya adalah untuk perdagangan tata niaga Sekditjen PHKA 2007a. Dalam PP No. 81999 juga disebutkan bahwa pemanfaatan jenis TSL dilaksanakan dalam bentuk yang salah satunya adalah perdagangan tata niaga Sekditjen PHKA 2007b. Lebih lanjut dalam SK Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003 disebutkan bahwa TSL yang diperdagangkan bisa diperoleh dari penangkaran dan pengambilan atau penangkapan dari alam Sekditjen PHKA 2007c. Pemanfaatan untuk tata niaga dilaksanakan dengan sistem kuota. Dalam SK Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003, kuota didefinisikan sebagai batas maksimum ukuran dan satuan tumbuhan dan satwaliar dari alam untuk setiap jenis yang dapat dimanfaatkan selama satu tahun takwim. Kuota pengambilan di alam ditetapkan oleh Dirjen PHKA dengan memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan LIPI untuk kurun waktu satu tahun takwim dari tanggal 1 Januari sampai 31 Desember Sekditjen PHKA 2007c. Ketika kuota pengambilan sudah ditetapkan, bisa dilakukan peninjauan kembali kuota tersebut pada tahun berjalan dengan tetap memperhatikan rekomendasi dari Otoritas Keilmuan. Kuota pengambilan dari alam selanjutnya menjadi dasar bagi kuota ekspor dan pemanfaatan lainnya penangkaran, penelitian, pasar dalam negeri. Kuota ekspor tidak akan melebihi kuota pengambilan dari alam. Kuota ditetapkan oleh Ditjen PHKA sebagai Otoritas Pengelola dengan berdasarkan pada rekomendasi LIPI sebagai Otoritas Keilmuan CITES di Indonesia. LIPI memberikan rekomendasi berdasakan peta data dan informasi ilmiah hasil monitoring populasi Sekditjen PHKA 2007c. Namun bila data dimaksud tidak tersedia, kuota dapat diperoleh atas dasar 1 kondisi habitat dan populasi jenis yang ditetapkan; 2 informasi ilmiah dan teknis lainnya tentang populasi dan habitat; 3 realisasi pegambilan tahun sebelumnya; dan 4 kearifan tradisional. Kuota pengambilan dari alam ditetapkan untuk jenis TSL yang termasuk maupun tidak termasuk dalam Appendix CITES, baik dilindungi maupun tidak dilindungi undang-undang. Khusus untuk jenis satwaliar yang dilindungi undang- undang, sebelum ditetapkan kuota pengambilannya, satwaliar tersebut harus ditetapkan sebagai satwa buru Sekditjen PHKA 2007c. Kuota yang sudah ditetapkan oleh Dirjen PHKA menjadi dasar untuk pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan termasuk dalam Appendix CITES dan oleh Kepala Dinas propinsi setempat untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai KSDA dan Kepala Dinas dilarang menerbitkan ijin tanpa didasarkan pada kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA Sekditjen PHKA 2007c. Seluruh kegiatan pemanfaatan satwaliar, baik untuk komersial maupun non komersial, harus dengan ijin dari Otoritas Pengelola. Ijin pengambilan dari alam harus menjamin kelestarian populasi, maka lokasi pengambilan harus dirotasi. Jangka waktu rotasi didasarkan pada kondisi populasi, habitat dan sifat- sifat biologis serta perilaku jenis yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan harus memperhatikan status kawasan, kelimpahan populasi, kondisi habitat, rencana penggunaan lahan dan aspek sosial budaya masyarakat setempat Sekditjen PHKA 2007c.

2.4. Tata Niaga Satwaliar

Tata niaga satwa liar yang legal maupun ilegal mempunyai andil dalam menurunnya banyak populasi spesies Indrawan et al. 2007. Pemanfaatan satwaliar secara berlebih biasanya menunjukkan pola yang sama. Ketika suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan terjadilah permintaan dari pasar yang menyebabkan eksploitasi untuk memenuhi permintaan tersebut. Peres 2010 menyatakan bahwa eksploitasi satwaliar yang berlebihan menjadi penyebab menurunnya populasi. Tata niaga satwaliar internasional sudah diatur dalam CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora yang ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Wasington DC dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1975 Dit. KKH 2010. Indonesia telah menjadi anggota CITES yang ke 48 pada tanggal 28 Desember 1978 www.cites.org 2012 dan meratifikasi CITES melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978 tentang