Tata Niaga Satwaliar TINJAUAN PUSTAKA

Tata niaga satwaliar yang tidak lestari di Asia Tenggara sudah diidentifikasi sebagai salah satu tantangan dalam pelestarian satwaliar Nijman 2010. Mardiastuti dan Soehartono 2004 menyebutkan angka 300 juta kulit reptil sudah diekspor dari Indonesia pada periode tahun 1983-1999. Sedangkan Nijman 2010 menyatakan bahwa selama tahun 1998-2007, lebih dari 35 juta satwaliar diperdagangkan di Asia Tenggara dan 30 juta diantaranya merupakan hasil tangkapan dari alam. Nijman 2010 menyatakan bahwa reptil mempunyai jumlah terbesar yang diperdagangkan, yaitu 17.4 juta ekor dan 13.79 juta diantaranya berasal dari alam. Negara yang menjadi pengekspor terbesar adalah Indonesia dan Malaysia, sedangkan negara pengimpor terbesar adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Indonesia menjadi penyuplai 62 reptil pada tata niaga satwaliar di Asia Tenggara yang berasal dari tangkapan alam selama tahun 1998-2007 Nijman 2010. Komponen utama dalam tata niaga reptil di Indonesia adalah tata niaga kulit dan pet Yuwono 1998. Nijman 2010 juga menyatakan bahwa bentuk reptil yang diperdagangkan adalah kulit dan pet. Yuwono 1998 dan Nijman 2010 menyatakan bahwa kulit reptil diperdagangkan dalam jumlah yang lebih besar daripada pet. Dalam penetapan kuota tangkap di Indonesia, spesies yang ditangkap untuk tata niaga kulit lebih sedikit daripada untuk pet, namun jumlah kuota untuk tiap spesies jauh lebih banyak daripada untuk pet Ditjen PHKA 2010a, 2010b, 2011. Mardiastuti dan Soehartono 2003 mengatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, kulit reptil mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan membanjiri pasar internasional, termasuk diantaranya dari Indonesia. Mulai tahun 1980-an, tujuh jenis reptil Indonesia mulai dimanfaatkan untuk skala besar tata niaga dunia. Salah satu diantaranya adalah Python reticulatus. Python reticulatus merupakan salah satu spesies yang menjadi primadona Mardiastuti Soehartono 2003. Python reticulatus menjadi satu jenis ular yang banyak dieksploitasi Abel 1998; Requier 1998; Shine et al. 1998b; Yuwono 1998; Auliya et al. 2002; Mardiastuti Soehartono 2003. Antara tahun 1983 – 1999, rata-rata jumlah ekspor kulit Python reticulatus mencapai 230 957 lembar. Nijman 2010 menyebutkan bahwa Python merupakan ular dengan jumlah nomor dua terbanyak untuk ekpor yaitu 1.2 juta antara tahun 1998-2007. Amerika Serikat dan Singapura menjadi negara pengimpor kulit Python reticulatus terbesar dari Indonesia. Amerika Serikat juga menjadi negara pengimpor Python reticulatus untuk pet dari Indonesia. Tahun 2010-2012, jumlah kuota tangkap menurun menjadi 180 000 ekor dan kuota ekspor 162 000 ekor. Rute normal untuk tata niaga kulit dan pet di Indonesia terdiri dari empat komponen yaitu pengumpulpenangkap, perantara, supplier pedagang besar dan eksportir Yuwono 1998. Kadang-kadang, terdapat lebih dari satu orang perantara dan kadang-kadang penangkap langsung membawa tangkapannya ke eksportir atau pedagang besar tanpa melalui perantara biasanya pada penangkap skala kecil atau tangkapan yang tidak disengaja. Sebelum akhir tahun 1980-an, tidak ada penangkap ular yang professonal. Namun sejak PT. Terraria Indonesia beroperasi pada tahun 1988, penangkap ular profesional mulai bermunculan. Alur tata niaga ular bisa diketahui melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah dengan mengetahui siapa saja eksportir atau pedagang besar. Mulai dari eksportir atau pedagang besar tersebut, bisa dirunut kebawah untuk mengetahui siapa dan berapa jumlah perantara dan selanjutnya bisa dirunut sampai tingkat penangkap snow ball. Pendekatan kedua bisa dilakukan dengan cara sebaliknya. Namun pada umumnya akan lebih mudah merunut dari tingkat eksportir atau pedagang besar. Kesulitan yang mungkin dihadapi pada pengumpulan data tata niaga adalah tidak semua pengusahapelaku bersedia membuka informasi yang sebenar- benarnya mengenai rantai tata niaganya, jumlah produksi dan harga. Hal ini terjadi karena adanya persaingan antar pelaku tata niaga tersebut dan ingin melindungi informasi yang berharga untuk mereka sendiri.

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Waktu

Pengumpulan data secara langsung di lapangan dilakukan mulai pertengahan Maret s.d. awal Mei 2012. Beberapa data didapatkan pula antara bulan Mei s.d. Juli yang dikirimkan melalui pos, email dan telepon.

4.2. Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, clipboard, tally sheet, kamera digital, meteran, timbangan pegas, kertas lakmus, thermo- higrometer, GPS, peta dasar, dan software pengolahan data. Bahan penelitian adalah Python reticulatus yang ditangkap, habitat dan pelaku perdagangannya.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang digunakan untuk menguji hipotesis. Data primer dikumpulkan di lapangan, baik secara langsung maupun melalui perantara seperti telepon, email dan data dikirim melalui pos. Data sekunder adalah semua data penunjang yang dibutuhkan, namun tidak untuk menguji hipotesis. Data sekunder didapatkan dari berbagai sumber, seperti internet, buku- buku, artikel ilmiah dan data-data yang didapatkan langsung dari dinas terkait yang bisa mendukung. Metode pengambilan data dan analisis data secara lengkap disajikan dalam Tabel 1 pada akhir bab ini. Jenis data primer yang dikumpulkan adalah sebagai berikut :

4.3.1. Tata Niaga

Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara. Narasumber dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan pada 1 penangkap; 2 pengumpul perantara; 3 pengumpul; 4 Balai KSDA Kalimantan Tengah sebagai Otoritas Pengelola. Penangkap adalah orang yang menangkap ular dari alam untuk keperluan komersial. Pengumpul perantara adalah pengumpul yang tidak mempunyai ijin tangkap maupun edar, namun menjadi perantara antara penangkap dan pengumpul. Pengumpul adalah pedagang yang memiliki ijin tangkap dan atau ijin edar dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Data yang dikumpulkan adalah pelaku perdagangan, jalur perdagangan, teknik penangkapan dan pengulitan, harga dan ukuran Python reticulatus yang diperdagangkan di Kalimantan Tengah. Data pengumpul diambil dari Balai KSDA Kalimantan Tengah. Selanjutnya dari pengumpul yang terdata, dikumpulkan data perantara dan penangkap beserta lokasi penangkapannya. Jumlah lokasi pengumpul yang ditentukan adalah 1 titik. Jumlah ini berdasarkan jumlah pengumpul yang mempunyai ijin dari BKSDA Kalimantan Tengah. Jumlah narasumber dari Balai KSDA Kalimantan Tengah sebanyak tiga narasumber. Pengumpul perantara yang menjadi narasumber dalam penelitian ini berjumlah empat orang masing-masing di Pangkalan Banteng Kabupaten Kotawaringin Barat PP A, Anjir Kabupaten Pulang Pisau PP B, Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur PP C, dan Kapuas Kabupaten Kuala Kapuas PP D. Jumlah penangkap yang langsung menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah satu kelompok dan dua penangkap perorangan profesional yang berasal dari Pangkalan Banteng Kabupaten Kotawaringin Barat penangkap A, B dan C, dua penangkap dari Anjir Kabupaten Pulang Pisau Penangkap D dan E, satu penangkap tidak profesional dari Pulang Pisau dan Kapuas dan satu mantan penangkap dari Katingan. Profesional berarti memerlukan kepandaian khusus untuk melakukan pekerjaannya Kemdiknas 2012. Penangkap profesional tersebut memiliki kepandaian khusus untuk menangkap ular.

4.3.2. Karakteristik habitat

Lokasi pengambilan data karakteristik habitat dilakukan pada kebun kelapa sawit antara pukul 07.30-13.30 WIB. Data karakteristik habitat dibagi menjadi data habitat tangkap dan habitat bersarang. Habitat tangkap adalah lokasi dimana ular biasa ditangkap. Habitat bersarang adalah lokasi dimana sarang ditemukan. Bagian yang diukur variabelnya untuk habitat tangkap adalah parit dimana ular tersebut ditangkap. Data habitat bersarang diambil pada lokasi yang diindikasikan sebagai sarang. Pengambilan data di habitat tangkap dan sarang dilakukan dengan mengikuti penangkap ular. Metode survei yang dilakukan adalah dengan metode penjebakan trapping, yaitu membuat jebakan pada titik-titik yang sudah ditentukan TPBC 1998. Pada setiap titik dimana jebakan dibuat, diambil data sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan. Metode ini diterapkan untuk pengambilan data karakteristik habitat tangkap. Sedangkan pada habitat bersarang, tidak dilakukan metode penjebakan. Jenis data yang diambil untuk mendapatkan gambaran karakteristik habitat sesuai dengan Kusrini 2009 dengan beberapa penyesuaian. Jenis data yang diambil pada habitat tangkap adalah adatidak ular, ketinggian lokasi m dpl, suhu air C, suhu udara C, kelembaban udara dan ph air. Jumlah titik pengamatan untuk habitat tangkap adalah 75 titik yang terdiri dari 17 titik ditemukan ular dan 58 titik tidak ditemukan ular. Peubah yang dianalisis pada sarang adalah: keberadaan Python reticulatus pada suatu sarang, suhu udara pada sarang C, kelembaban udara pada sarang , pH tanah pada sarang, kedalaman sarang cm dan lebar mulut sarang cm. Jumlah sarang yang diamati adalah 13 buah yang ada ularnya dan 114 buah tidak ada ularnya. Lokasi titik pengambilan data disajikan dalam Gambar 2 berikut ini. Gambar 2. Titik pengambilan data habitat.

4.3.3. Panenan

Data panenan dikumpulkan dengan cara menghitung langsung Python reticulatus yang dipanen pada tingkat 1 penangkap; dan 2 pengumpul perantara. Panenan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kelimpahan panenan pada tingkat penangkap dan pengumpul perantara. Kelimpahan yang bisa dihitung hanya pada tingkat ini karena pada tingkat pengumpul, ular sudah dalam bentuk kulit mentah. Pengambilan data pada tingkat penangkap dilakukan dengan cara menghitung langsung jumlah ular yang berhasil ditangkap oleh penangkap dalam kurun waktu tertentu. Pengambilan data pada pengumpul perantara dilakukan dengan menghitung jumlah ular yang berhasil dikumpulkan oleh pengumpul dalam kurun waktu tertentu. Sumber data berasal dari satu pengumpul perantara dan lima penangkap.

4.3.4. Parameter Demografi

Data parameter demografi diambil pada dua lokasi, yaitu 1 penangkap; dan 2 pengumpul perantara. Parameter demografi yang bisa diketahui dari data yang diambil adalah 1 sex rasio; dan 2 kelas umur. Variabel yang diukur dan diambil datanya adalah Snout-vent lenght SVL, jenis kelamin dan jumlah ular pada masing-masing lokasi. Menurut Caughley 1977 dan Alikodra 2002, ukuran tubuh satwaliar bisa digunakan untuk pendekatan pendugaan kelas umur. Caughley 1977 menyatakan bahwa pada reptil, pendekatan pembagian umurnya biasanya didasarkan pada ukuran tubuh. Jumlah ular yang tertangkap untuk analisis parameter demografi adalah 117 ekor pada tingkat penangkap dan 56 ekor pada tingkat pengumpul perantara.

4.3.5. Morfometri

Data morfometri diambil pada dua lokasi, yaitu 1 penangkap; dan 2 pengumpul perantara. Variabel yang diukur untuk mendapatkan data morfometri adalah Snout-vent lenght SVL yaitu panjang tubuh mulai dari moncong sampai kloaka cm, massa tubuh kg dan jenis kelamin Reinert 1993; TPBC 1998 serta panjang badan dari leher sampai kloaka cm, panjang ekor cm, panjang kepala cm dan jarak mata cm. Panjang ekor perlu diukur karena kadang