dan ijin edar dalam negeri dengan kuota yang sudah terbagi habis untuk keduanya. Badan usaha tersebut pada tahun 2009-2010 tercatat melakukan
kegiatan peredaran dalam negeri, namun pada tahun 2011 tidak tercatat adanya aktivitas resmi dari badan usaha tersebut. Tahun 2012 dimana kuota hanya untuk
dua pemilik ijin, namun badan usaha tersebut terlihat melakukan aktifitas untuk membeli kulit dari penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat,
baik yang menjadi narasumber maupun tidak dengan alasan masih memiliki ijin resmi, namun tidak bisa menunjukkan ijin yang dimaksud.
Yuwono 1998 menyatakan bahwa pelaku tata niaga reptil yaitu penangkap colector, agen middleman, supplier, dan eksportir exporter.
Semiadi dan Sidik 2011 menyebutkan bahwa pelaku tata niaga Python reticulatus di Sumatera Utara dan Nanggro Aceh Darussalam NAD adalah
pengumpul daerah, agen, sub agen dan pengasong. Pengumpul daerah adalah orang yang membawahi beberapa agen pengumpul yang biasanya berdomisili di
perkotaan sekitar kawasan penangkapan ular. Pengumpul daerah umumnya terdaftar di Balai KSDA dan mempunyai ijin tangkap. Agen adalah mereka yang
berperan mengumpulkan hasil tangkapan dari pengasong dan dijual ke pengumpul daerah. Antara pengasong dengan agen terdapat sub agen. Pengasong adalah
masyarakat penangkap. Pengasong dibagi menjadi pengasong sambilan dan pengasong insidentil. Pengasong sambilan adalah mereka yang mempunyai
pekerjaan mapan yang melakukan kegiatan menangkap ular selepas jam kerja mereka. Pengasong insidentil adalah mereka yang melakukan penangkapan secara
tidak teratur tergantung kebutuhan ekonomi atau yang menangkap ular secara tidak sengaja dan dijual ke sub agen atau langsung ke pengumpul daerah.
Siregar 2012 yang melakukan penelitian pada lokasi yang sama yaitu Sumatera Utara, menyebutkan bahwa pelaku tata niaga ular di Sumatera Utara
terdiri dari penangkap ular, pengumpul kecil, pengumpul besar dan eksportir. Penangkap terdiri dari penangkap profesional penuh, penangkap profesional
sambilan dan penangkap amatir. Penangkap profesional penuh yaitu orang yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan utama. Penangkap
profesional sambilan adalah penangkap yang menjadikan pekerjaan menangkap ular sebagai pekerjaan sambilan. Sedangkan penangkap amatir adalah orang yang
mendapatkan ular secara kebetulan. Pengumpul kecil adalah yang mengumpulkan ular langsung dari penangkap. Pengumpul besar adalah pengumpul yang
membawahi pengumpul kecil. Eksportir adalah yang mempunyai ijin ekspor. Terdapat perbedaan pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah dan di
Sumatera, baik menurut Yuwono 1998, Semiadi dan Sidik 2011 ataupun Siregar 2012. Pelaku tata niaga di Kalimantan Tengah hanya sampai pada
tingkat pengedar dalam negeri, sedangkan di Sumatera sampai pada tingkat eksportir. Namun secara umum, pelaku tata niaga terdiri dari level yang sama
yaitu penangkap, pengumpul dan pemilik ijin edar. Semakin pendek rantai tata niaga, kemungkinan akan semakin besar nilai jual yang bisa diterima oleh pelaku
tata niaga di level terbawah. Namun kadang tidak bisa dihindari adanya tambahan level, terutama bila lokasi penangkapan jauh dari level tertinggi.
Berdasarkan aturan perundang-undangan mengenai pemanenan dan tata niaga satwaliar dalam negeri, yaitu SK Menteri Kehutanan No.447Kpts-II2003
Sekditjen PHKA 2007c, ada ketidaksesuaian antara penerapan di lapangan dengan aturan tersebut. Pasal 24 3 menyebutkan bahwa pemanfaatan untuk
tujuan komersial hanya diberikan kepada badan usaha resmi. Pasal 26 1 menyatakan bahwa penangkapan hanya bisa dilakukan oleh pemilik ijin
pengambilan dari alam. Kenyataan yang terjadi di lapangan adalah penangkap bukan pemilik ijin penangkapan. Pemilik ijin hanya membeli dari penangkap yang
tidak memiliki ijin. Bahkan penangkap tersebut dengan bebas bisa menjual pada pemilik ijin atau dijual pada orang lain yang tidak memiliki ijin atau dijual
melalui jalur yang tidak resmi. Otoritas pengelola BKSDA seharusnya mengawasi dan melakukan
pembinaan terhadap penangkap, pengumpul dan pemegang ijin edar sebagaimana disebutkan pada pasal 107 1 serta melakukan penegakan hukum. Langkah awal
yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendata penangkap dan lokasi tangkapnya, selanjutnya dilakukan pembinaan dan sosialisasi aturan dalam
penangkapan satwaliar serta memfasilitasi penangkap agar bisa mendapatkan ijin secara resmi. Kegiatan ini harus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan
demikian maka akan terjadi keteraturan dan mempermudah dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan satwaliar di alam.
5.1.2 Jalur Tata Niaga
Jalur tata niaga Python reticulatus di Kalimantan Tengah dimulai dari penangkap sampai pengedar dalam negeri. Secara ringkas, jalur tata niaga Python
reticulatus di Kalimantan Tengah disajikan dalam Gambar 3. Seluruh penangkap profesional di Kotawaringin Barat yang menjadi narasumber, langsung menjual
kulit hasil produksinya kepada pengumpul di Katingan. Seluruh penangkap profesional dari Pulang Pisau juga langsung menjual kulit hasil produksinya
kepada pengumpul di Katingan. Penangkap bukan profesional di Pulang Pisau yang menjadi narasumber, menjual ular hidup kepada pengumpul perantara di
Pulang Pisau. Dari empat pengumpul perantara, seluruhnya langsung mendapatkan pasokan dari penangkap dan langsung disetorkan pada pengumpul
di Katingan yang juga merupakan pengedar dalam negeri. Pengumpul tersebut langsung mengirimkannya pada pemesan diluar Kalimantan Tengah Jakarta,
Surabaya, Denpasar, Medan, Banjarmasin, artinya jalur tata niaga disini sangat pendek.
Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Kotawaringin Barat juga langsung menjual keluar Kalimantan Tengah, yaitu ke Banjarmasin Kalimantan
Selatan atau ke Semarang Jawa Tengah dan Surabaya Jawa Timur, terutama untuk kulit yang tidak diterima pengumpul di Katingan karena ukurannya yang kurang
sesuai kriteria. Seluruh penangkap dan pengumpul perantara di Pulang Pisau dan Kuala Kapuas kadang menjual langsung ke Banjarmasin. Pengangkutannya tentu
saja tanpa SATS-DN dari BKSDA Kalimantan Tengah. Penangkap dan pengumpul perantara yang menjadi narasumber, penangkap di Kalimantan
Tengah bagian timur yang dekat dengan Banjarmasin juga langsung menjual ke Banjarmasin. Menurut informasi seorang penangkap di Kapuas, ada calo dari
Banjarmasin yang berkeliling di daerah tersebut dan mendatangi orang-orang yang memiliki kulit. Seorang mantan penangkap ular juga menyatakan bahwa
hasil tangkapannya langsung dijual ke Banjarmasin. Berarti banyak kulit dari Kalimantan Tengah yang masuk Banjarmasin tanpa surat.
Keterangan:
Jalur resmi dengan dokumen Jalur tidak resmi tanpa dokumen
Gambar 3 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus di Kalimantan Tengah.
Jalur tata niaga reptil menurut Yuwono 1998 adalah sebagaimana
disajukan dalam Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Yuwono 1998.
Menurut Semiadi dan Sidik 2011, jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara dan NAD adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 5.
Collector Collector
Collector Middleman
Middleman Middleman
Supplier Exporter
Penangkap Penangkap merangkap
pengumpul perantara Penangkap
Penangkap Penangkap
Penangkap
pengumpul perantara
pengumpul perantara
Pengumpulpengedar dalam negeri
Pengumpulpengedarpengrajin di luar Kalimantan Tengah
Keterangan: Kegiatan yang biasa dilakukan
Kegiatan dalam jumlah sangat terbatas
Gambar 5 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Semiadi dan Sidik 2011.
Menurut Siregar 2012, jalur tata niaga reptil di Sumatera Utara adalah sebagaimana disajikan dalam Gambar 6.
Keterangan:
Jalur yang diteliti langsung oleh Siregar 2012 Jalur yang tidak diteliti langsung oleh Siregar 2012
Gambar 6 Jalur tata niaga kulit Python reticulatus menurut Siregar 2012. Penangkap
Penangkap Penangkap
Penangkap Penangkap
Penangkap merangkap
pengumpul kecil
Pengumpul kecil
Pengumpul kecil
Pengumpul besar
Pengrajin kulit lokal
Pengrajin kulit lokal
Eksportir Pengumpul besar
Eksportir
Pengumpul Daerah
Agen
Masyarakat penangkap Pengasong Sambilan dan Insidentil
Sub Agen
Jalur tata niaga kulit di Kalimantan Tengah cenderung lebih pendek apabila dibandingkan dengan jalur tata niaga kulit menurut Yuwono 1998,
Semiadi dan Sidik 2011 dan Siregar 2012. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, untuk sampai pada pengumpul besar yang mempunyai ijin, hanya
melalui satu jalur yaitu satu pengumpul perantara atau langsung dari penangkap ke pemilik ijin. Tidak ada level diantara penangkap dan pengumpul perantara atau
antara pengumpul perantara dengan pemilik ijin. Pada pasar tidak resmi, pengumpul perantara langsung mengambil pada tingkat penangkap atau dari
penangkap langsung menjual keluar daerah tanpa ada perantara lain. Antara penangkap, pengumpul perantara dan pemilik ijin yang menjadi
narasumber di Kalimantan Tengah, terjadi hubungan yang bersifat langganan tetap, namun bukan berarti terjadi monopoli karena pemilik ijin mempersilahkan
penangkap dan pengumpul perantara untuk menjual kepada orang lain. Sejauh ini, kulit yang dijual pada selain pemilik ijin tersebut adalah kulit dengan ukuran yang
tidak sesuai standar yang ditentukan pemilik ijin tersebut, yaitu kulit dengan ukuran dibawah 250 cm, kulit jenis lain selain Python reticulatus dan kulit yang
tingkat kerusakannya tidak bisa diterima pemilik ijin. Kulit tersebut biasanya langsung jual ke Jawa atau ke Banjarmasin. Tentunya tanpa dokumen legal dari
otoritas pengelola BKSDA. Apabila ditinjau dari SK Menteri Kehutanan No.447Kpts-II2003
Sekditjen PHKA 2007c, terjadi banyak penyimpangan peredaran dalam negeri. Hal ini bisa dikategorikan sebagai tata niaga illegal illegal trading. Adanya kulit
yang dikirim ke luar Kalimantan Tengah tanpa dokumen SATS-DN Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri oleh mereka yang tidak memiliki
ijin edar dalam negeri, jelas merupakan penyimpangan dari aturan yang ada. Pada level penangkap, penyimpangan ini lebih disebabkan karena ketidaktahuan
mereka terhadap aturan yang ada. Dalam hal ini kembali fungsi pengawasan dan pembinaan oleh otoritas manajemen harus dilakukan untuk mengendalikan
terjadinya lebih banyak illegal trading. Siswomartono 1998 mengatakan bahwa kontrol terhadap tata niaga
illegal di Indonesia bukan merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan karena
Indonesia merupakan negara kepulauan. Banyaknya pintu keluar masuk wilayah propinsi tanpa pengawasan khusus untuk peredaran satwaliar juga membuka
peluang adanya jalur tata niaga ilegal. Selama ini, pintu keluar masuk yang diawasai ketat adalah bandar udara. Maka pintu keluar masuk lewat darat dan laut
menjadi sangat aman untuk tata niaga illegal. Memantau dan memeriksa setiap barang yang dibawa keluar masuk suatu wilayah propinsi mengakibatkan tidak
mungkin dilakukannya pengawasan terhadap keluar masuknya satwaliar, terutama yang sudah dalam keadaan mati.
Tata niaga illegal sangat merugikan dalam beberapa hal. Menurut Dit. KKH 2010 tata niaga tumbuhan dan satwa ilegal menduduki posisi kedua dari
segi nilai tata niaga setelah narkotika. Tata niaga illegal menimbulkan adanya over eksploitasi pada sumberdaya alam hayati yang diperdagangkan tersebut.
Jumlah yang tercatat oleh otoritas pengelola sebagai realisasi kuota hanya merupakan jumlah yang resmi dan diperbolehkan sesuai aturan perundang-
undangan yang berlaku. Adanya tata niaga ilegal, jumlah yang dieksploitasi menjadi lebih banyak lagi dan tidak tercatat. Hal ini sangat berdampak pada
kelestaian karena tidak bisa diketahui dengan pasti berapa jumlah yang diekploitasi. Berdasarkan pertimbangan bahwa kuota yang ditetapkan selalu
mengikuti jumlah panenan lestari, maka dengan adanya tata niaga ilegal tersebut, jumlah yang dipanen bisa jadi berada diatas jumlah panenan yang lestari. Hal ini
artinya tata niaga ilegal bisa menyebabkan laju kepunahan menjadi semakin cepat karena over ekploitasi dan panenan yang tidak terkontrol. Tata niaga ilegal juga
menimbulkan kerugian dalam bidang penerimaan negara karena setiap barang yang diperdagangkan tersebut tidak memberi pemasukan terhadap negara.
5.1.3 Teknik Penangkapan dan Pengulitan a
Teknik Penangkapan
Penangkapan Python reticulatus di Kalimantan tidak berbeda dengan model penangkapan di Sumatera. Secara umum ada dua teknik penangkapan yang
dilakukan oleh penangkap, yaitu: