b. Memberikan  data  ilmiah  mengenai  tata  niaga  dan  tipe  penangkapan
Python reticulatus di Kalimantan Tengah untuk menentukan  penangkapan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian precautionary principle dan
penangkapan  yang  tidak  menimbulkan  kerusakan  di  alam  non-detriment findings.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bioekologi
Python reticulatus Scheider 1801
Python  reticulatus  dimasukkan  dalam  kelompok  ular  pembelit  raksasa oleh Hoesel 1959 dan  diklasifikasikan dalam:
Kingdom : Animal
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Famili : Pythonidae
Genus : Python
Spesies : Python reticulatus Scheider 1801
Python reticulatus biasa disebut dengan nama reticulated python Tweedie 1983,  sanca  batik  dan  puspo  kajang  Indonesia  Hoesel  1959.  Penangkap  di
Kalimantan  Tengah  menyebutnya  ular  sawa.  Python  reticulatus  merupakan saudara  satu  genus  dengan  ular  raksasa  lain  yaitu  Python  morulus  yang  biasa
disebut sebagai ular sawah Hoesel 1959, sanca bodo Indonesia,  Indian python atau rock python Tweedie 1983.
Corak pada kulit  Python reticulatus menyerupai  jala dengan bentuk  mata jala  agak  bulat  dan  warna  utamanya  coklat  muda  dan  kuning  Hoesel  1959.
Menurut  Tweedie  1983,  Python  reticulatus  mempunyai  kulit  bermotif  coklat kekuningan  dengan  garis  hitam  membujur  dari  moncong  hingga  ke  belakang
kepala.  Python  reticulatus  mempunyai  warna  dasar  coklat  terang  yang  akan menjadi lebih gelap pada Python reticulatus yang tua dan besar dengan pola garis
batik  yang  berwarna  hitam  tebal  dan  rumit,  dibatasi  oleh  warna  kuning  dibagian dalamnya  hingga  menjadi  sebuah  pola  yang  tersusun  secara  reguler.  Python
reticulatus  mempunyai  sisa-sisa  kaki  belakang  yang  terlihat  seperti  sepasang cakar pendek pada kiri dan kanan lubang pelepasan Hoesel 1959. Anak matanya
pipih tegak, ini merupakan ciri-ciri satwa ini berburu makanan pada malam hari. Menurut  Hoesel  1959,  cara  perkembangbiakkan  Python  reticulatus
adalah  dengan  bertelur.  Tweedie  1983  menyebutkan  bahwa  Python  reticulatus
bertelur  antara  10  sampai  100  butir  tergantung  pada  ukuran  tubuhnya.  Python reticulatus  dapat  bereproduksi  setiap  tahun  pada  iklim  tropis  Stuebing    Inger
1999. Semakin besar ukuran tubuh, semakin banyak telurnya. Betina mengerami telurnya dengan cara melingkarkan tubuhnya disekeliling telur. Masa pengeraman
berlangsung selama 94 sampai 101 hari.
2.2. Pengelolaan Satwaliar Secara Lestari
Hilangnya  habitat  dan  penangkapan  satwaliar  secara  besar-besaran  akan menyebabkan  menurunnya  jumlah  tangkapan  setiap  tahunnya,  mengurangi
keuntungan bagi manusia dan dalam beberapa kasus akan mempercepat terjadinya kepunahan Webb  Vardon 1998. Menurut Webb dan Vardon 1998, satwaliar
seringkali  tidak  memiliki  nilai  ekonomi  yang  melebihi  nilai  ekonomi  habitatnya, sehingga habitatnya diluar hutan  yang dilindungi akan diubah untuk  penggunaan
lain.  Sedangkan  satwaliar  yang  diketahui  mempunyai  nilai  ekonomi  tinggi,  akan semakin banyak dieksploitasi.
Kepunahan  adalah  sesuatu  yang  tidak  bisa  dihindari.  Kepunahan  masal pernah terjadi di dunia pada masa geologi lalu Indrawan et al. 2007. Bumi telah
mengalami  lima  kali  periode  kepunahan.  Namun  hal  ini  disebabkan  oleh perubahan ekstrim yang terjadi pada bumi itu sendiri. Sedangkan kepunahan yang
terjadi saat ini lebih banyak disebabkan karena aktivitas manusia. Indrawan et al. 2007  menyebut  ini  sebagai  kepunahan  yang  terhutang  extinction  debt.
Kepunahan  akibat  kegiatan  manusia  berlangsung  100  kali  lebih  cepat  dibanding kepunahan secara alami Indrawan et al. 2007.
Salah satu ancaman utama  pada keanekaragaman hayati yang menyebabkan kepunahan  adalah  pemanfaatan  spesies  yang  berlebihan  untuk  kepentingan
manusia Indrawan et al. 2007. Aktifitas manusia sudah berkontribusi pada 45 penyebab  terjadinya  penurunan  populasi  Wheather  1994.  Introduksi  dan
perusakan habitat menyebabkan kepunahan sebesar 39 dan 36 dari penyebab kepunahan  yang  diketahui,  diikuti  dengan  perburuan  yang  menyebabkan
kepunahan  sebesar  23.  Dalam  suatu  skenario  yang  optimistik,  spesies  yang dieksploitasi  biasanya  akan  menjadi  sangat  langka,  sehingga  perburuan  akhirnya
di  stop  dan  diharapkan  populasi  akan  kembali  melimpah  Indrawan  et  al.  2007.
Kadang ketika populasi tersebut sudah sangat kecil ukurannya, daya lenting untuk kembali  menjadi  kecil  dan  akhirnya  bisa  menjadi  punah  sama  sekali.  Laju
kepunahan bisa diperlambat dengan pengelolaan yang tepat. Pengelolaan  satwaliar  adalah  seni  untuk  membuat  lahan  memproduksi
satwaliar  yang  bernilai  Bailey  1982.  Pengelolaan  satwaliar  merupakan  bagian dari  konservasi  satwaliar.  Bailey  1982  menyatakan  bahwa  konservasi  secara
sederhana  didefinisikan  sebagai  penggunaan  sumberdaya  secara  bijaksana. Menurut  Bailey  1982  pula,  konservasi  adalah  kebidupan  yang  harmonis  antara
manusia  dengan  alam.  Undang-undang  No.  5  Tahun  1990  mendefinisikan konservasi  sebagai  pengelolaan  sumberdaya  alam  hayati  yang  pemanfaatannya
dilakukan  secara  bijaksana  untuk  menjamin  kesinambungan  persediaannya dengan  tetap  meningkatkan  kualitas  keanekaragaman  dan  nilainya  Sekditjen
PHKA 2007a. Pengelolaan  satwaliar  harus  dilakukan  berdasarkan  prinsip  kelestarian
hasil  Alikodra  1997.  Ini  berarti  bahwa  satwaliar  dapat  dipanen  secara  periodik tanpa  mengurangi  potensi  perkembangbiakannya.  Menurut  Webb  dan  Vardon
1998, arti dari penangkapan secara lestari dan hubungannya dengan konservasi masih  cukup  membingungkan.  Penangkapan  yang  kurang  dari  batas  maksimum
perolehan  secara  lestari  adalah  lestari  secara  teoritis,  sedangkan  penangkapan pada  atau  dekat  dengan  batas  maksimum  perolehan  secara  lestari  akan  bersifat
lebih  riskan  Webb    Vardon  1998.  Strategi  pengelolaan,  baik  pada  populasi maupun  pada  habitatnya  diperlukan  untuk  mendapatkan  jumlah  maksimal
individu  yang  dipanen.  Populasi  dan  habitat  menjadi  faktor  yang  sangat  utama untuk diperhatikan dalam pengelolaan satwaliar.
2.2.1. Populasi
Odum  1994  mendefinisikan  populasi  satwaliar  sebagai  kelompok kolektif  organisme-organisme  dari  kelompok  yang  sama  atau  kelompok-
kelompok  lain  dimana  individu-individu  dapat  bertukar  informasi  genetiknya yang menduduki ruang atau tempat tertentu, memiliki berbagai ciri atau sifat yang
menjadi  milik  kelompok  dan  bukan    milik  individu  dalam  kelompok  itu. Tarumingkeng  1994  menyatakan  bahwa  populasi  adalah  sehimpunan  atau
sekelompok  individu  suatu  jenis  makhluk  hidup  yang  tergolong  dalam  satu