Teknik Penangkapan dan Pengulitan a

a b Gambar 10 Pembelahan kulit perut a dan pengelupasan kulit b pada proses pengulitan. Kulit dibersihkan dan daging dibuang setelah proses pengelupasan kulit selesai. Pembersihan dilakukan untuk membersihkan kulit dari sisa-sisa daging yang masih menempel. Daging yang masih menempel ketika dijemur akan menyebabkan penjemuran menjadi lebih lama dan bisa terjadi kemungkinan kulit menjadi busuk. Pembersihan dilakukan dengan cara membuang sisa daging di kulit menggunakan lempengan besi dan dicuci dengan air bersih Gambar 11. a b Gambar 11 Proses pembersihan kulit dari daging dengan cara dikerok a dan pencucian dengan menggunakan air b. Bagian terakhir dari proses pengulitan adalah penjemuran. Penjemuran dilakukan dengan cara membentangkannya pada papan kayu dengan posisi bagian dalam kulit berada di atas. Proses penjemuran ini sekaligus juga proses pembentukan agar ukuran kulit yang dihasilkan sesuai standar. Kulit diletakkan di papan dan ditarik ujung-ujungnya sampai maksimal kemudian dipaku pada ujung- ujungnya, selanjutnya sisi kanan dan kiri juga ditarik agar melebar sampai maksimal dan dipaku. Jarak satu paku dengan paku lainnya sekitar 1-2 cm agar terbentuk kulit yang ukuran dan bentuknya bagus Gambar 12. Kulit ular kering berukuran lebih panjang dari ular hidup karena ada pertambahan panjang ± 40 cm permeter kulit. Kulit bisa kering dalam waktu 6 jam pada saat matahari bersinar penuh. Apabila tidak bisa kering karena cuaca mendung, penjemuran bisa dilanjutkan keesokan harinya asalkan kulit tidak terkena air hujan. Kulit yang terkena air hujan akan mudah rusak karena busuk dan sisik mengelupas. Ular yang sedang berganti kulit tidak bisa langsung dikuliti, namun ditunggu sampai proses ganti kulit selesai dengan sempurna kecuali bila ular sudah terlanjur mati. Pengulitan ular yang sedang berganti kulit akan menghasilkan kulit dengan kualitas yang sangat buruk, yaitu mudah sobek saat proses pengulitan dan penjemuran dan sisik akan mengelupas. Proses pengulitan yang hati-hati juga dilakukan pada kulit ular yang ditangkap ketika sedang mengerami. Kulit ular yang sedang mengerami lebih mudah sobek ketika dikuliti dan diregangkan, hal ini mungkin terjadi karena ular yang sedang mengerami mempunyai kulit yang lebih tipis karena selama mengerami ular tidak makan. a b Gambar 12 Kulit dibentangkan pada papan dan dipaku diseluruh bagian tepi sambil ditarik a dan kulit dijemur dibawah matahari langsung b. Yuwono 1998 menyatakan bahwa Python reticulatus banyak ditangkap untuk tata niaga disekitar perairan. Penangkapan Python reticulatus di Sumatera biasanya dilakukan dengan menggunakan jerat yang sengaja dipasang pada permukaan air yang menjadi jalur pergerakan ular dan juga ditangkap secara tidak sengaja ketika penangkap tersebut sedang melakukan aktivitas lainnya seperti bekerja di ladang, perkebunan atau hutan Shine 1999. Abel 1998 juga menyatakan bahwa Python reticulatus di Sumatera Utara ditangkap dengan menggunakan simpul jerat. Siregar 2012 menyebutkan bahwa teknik penangkapan Python reticulatus di Sumatera Utara adalah dengan menggunakan jerat oleh penangkap profesional dan tanpa teknik khusus oleh penangkap amatir. Sedangkan menurut Riquier 1998, penangkapan di Kalimantan Barat juga menggunakan jerat, penggunaan jaring tidak efektif karena lebih sedikit yang tertangkap dibandingkan jerat. Secara umum, penggunaan jerat tampaknya lebih banyak digunakan diberbagai lokasi penangkapan dibandingkan menggunakan jaring atau menangkap langsung. Penggunaan jerat lebih disukai karena hasilnya lebih efektif dibandingkan jaring atau penangkapan langsung. Jerat hanya akan melukai bagian tubuh yang terkena jerat sebagian besar leher sehingga kualitas kulit yang nantinya dihasilkan lebih bagus karena tidak rusak. Jaring akan mengakibatkan banyak luka disekujur tubuh karena seluruh tubuh langsung bersentuhan dengan jaring dan akan terjadi banyak luka ketika ular meronta terkena jaring, hal ini akan menyebabkan kulit yang dihasilkan memiliki kualitas yang kurang bagus. Menangkap langsung biasanya dilakukan dengan cara melukai atau membunuh ular untuk menghindari bahaya dari ular tersebut, hal ini akan membuat luka pada kulit dan berakibat mengurangi kualitas kulit yang dihasilkan. Teknik menangkap langsung yang dilakukan oleh penangkap di Kabupaten Kotawaringin Barat tidak menyebabkan luka pada ular. Sebenarnya dalam penangkapan langsung ini juga tetap menggunakan jerat. Ular dipancing agar mengeluarkan kepalanya dan selanjutnya dijerat dengan menggunakan tali, namun jerat tidak dipasang sebagai perangkap sebagaimana jerat yang dijelaskan diatas. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 447Kpts-II2003 Sekditjen PHKA 2007c pasal 27 4 jelas menyebutkan bahwa penangkapan harus memperhatikan kesejahteraan satwa animal welfare yaitu tidak menyakiti, melukai, mematikan dan menyebabkan stres pada individu yang tertangkap ataupun kelompoknya. Dalam hal ini rupanya animal welfare masih kurang diperhatikan karena teknik penangkapannya masih berpotensi mengakibatkan terjadinya kematian, luka atau stress pada individu yang tertangkap tersebut meskipun pada akhirnya akan dibunuh juga. Menurut Shine 1999, Python reticulatus di Sumatera dibunuh untuk dikuliti dengan beberapa cara yaitu dipukul pada bagian kepala, dibuat mati lemas, ditusuk dengan kawat sampai menembus otak dan digantung pada kepalanya. Dalam beberapa kejadian, ular betina yang sedang hamil tidak langsung dibunuh ketika ditangkap, betina tersebut dibiarkan hidup sampai bertelur kemudian baru dibunuh untuk dikuliti. Telur ditetaskan dan anakannya dijual untuk pet. Menurut penangkap di Kalimantan Tengah, cara membunuh ular yang paling cepat adalah dengan menusuk hidungnya dengan kawat atau paku sampai menembus otaknya. Setelah mati, tubuh ular digelontor dengan air untuk menambah ukuran tubuh dan mempermudah pengulitan. Siregar 2012 juga mengatakan bahwa sebelum dikuliti, ular dibunuh terlebih dahulu dengan cara yang tidak mengakibatkan kerusakan pada kulit, selanjutnya digantung dan digelontor air. Pengawasan terhadap perlakuan yang memperhatikan animal welfare sebaiknya lebih diperketat oleh otoritas pengelola. Otoritas pengelola memiliki hak dan kewajiban penuh untuk melakukan pengawasan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku Sekditjen PHKA 2007c. Mematikan ular dengan cepat seperti yang dilakukan di Sumatera Shine 1999; Siregar 2012 akan lebih memperhatikan animal welfare. Ular akan langsung mati ketika otaknya terkena kawat atau paku tersebut.

5.1.4 Ukuran dan Harga Python reticulatus yang diperdagangkan

Ukuran kulit yang dijual bervariasi dengan harga yang bervariasi menurut ukurannya Tabel 2. Pengumpul perantara di Anjir membeli dengan harga Rp200 000ekor apabila membeli dalam bentuk ular hidup. Pengumpul di Pangkalan Banteng membeli dengan harga Rp75 000meter untuk ular ukuran SVL minimal 250 cm. Untuk ular dengan panjang badan 200-245 cm dibeli dengan harga Rp50 000 per ekor. Keuntungan akan diperoleh dari dua sisi, yaitu penambahan ukuran dari ular hidup menjadi kulit dan harga kulit permeter yang bisa jadi lebih tinggi dari harga ular hidup per meter apabila dalam proses pengulitannya bagus. Harga ini cukup berbeda dengan harga jual di Banjarmasin. Kulit dengan ukuran standar bisa dihargai sampai Rp110 000 per meter, namun sortiran yang dilakukan sangat ketat sehingga harga jual untuk kulit dengan ukuran dan kualitas sama justru bisa lebih rendah dibandingkan harga dari pengumpul di Katingan. Pengumpul di Katingan tidak membeli kulit dengan ukuran dibawah 250 cm. Tabel 2 Ukuran kulit Python reticulatus kering setelah disortir yang diperjualbelikan di Kalimantan Tengah Ukuran kulit m Harga panjang lebar perut lebar ekor Penangkap ke Pengumpul perantara Rplembar Penangkap Pengumpul perantara ke Pengumpul pengedar dalam negeri Rpm 3.5 0.32 0.12 75 000 80 000 3.0-3.45 0.32 0.12 50 000 50 000 2.5-2.95 0.32 0.12 25 000 70 000 2.5 0.32 0.12 25 000 40 000 Ket: harga dalam Rplembar Harga produk satwaliar yang diperdagangkan dari satwa yang ditangkap dari alam, tidak bisa menggambarkan harga dari upaya melestarikan satwaliar tersebut dialamnya Melisch 1998. Keberadaan satwaliar di alam sebenarnya jauh lebih berharga daripada nilai satwaliar tersebut dalam bentuk barang yang diperdagangkan di pasar, baik hidup maupun mati. Menurut Arifin 1998, industri kulit di Indonesia meliputi industri barang dari kulit, industri kulit jadi dan industri kulit setengah jadi. Industri kulit yang dihasilkan di Kalimantan Tengah masih berupa kulit mentah yang hanya berupa kulit yang sudah dikeringkan tanpa diolah. Kisaran harga dan ukuran kulit yang dijual di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara agak berbeda. Ukuran kulit dengan harga paling tinggi di Kalimantan Tengah adalah kulit dengan ukuran panjang 350 cm, lebar perut 32 cm dan lebar ekor 12 cm. Menurut Semiadi dan Sidik 2011, kulit dengan harga tertinggi di Sumatera Utara dan NAD adalah kulit dengan ukuran panjang ≥ 215 cm Agen 1, ≥ 224 cm Agen 2 dan 220 cm Agen 3. Disini terjadi perbedaan ukuran antar agen. Sedangkan menurut Siregar 2012, kulit dengan harga paling tinggi adalah kulit dengan ukuran 400 cm. Tabel 3 Kisaran harga Python reticulatus di Sumatera Utara menurut Siregar 2012 Ukuran m Kisaran harga beli pengumpul kecil ke penangkap dalam keadaan hidup Rpm Kisaran harga beli pengumpul besar ke pengumpul kecilpenangkap Kisaran harga beli dari tingkat eksportir ke pengumpul besar Keterangan Dalam keadaan ular utuh Rpm Panjang kulit setelah jadi kulit kering m Kisaran harga kulit setelah jadi kulit kering Rpm 3 up 85 000 100 000 4 up 110 000 Dalam keadaan kulit kering terjadi penambahan panjang kulit ± 30 cmm kulit 2.7-2.9 65 000 85 000 3.51-3.77 90 000 2.5-2.7 40 000 55 000 3.25-3.51 65 000 2.2-2.5 20 000 40 000 2.86-3.25 45 000 2-2.2 15 000 25 000 2.6-2.86 25 000 Sumber data: Siregar 2012 Berdasarkan Tabel 2 dan 3 bisa diketahui bahwa di Kalimantan Tengah, untuk kulit dengan kualitas yang kurang baik akan dijual dalam ukuran rupiahlembar sedangkan untuk kualitas bagus dijual dengan ukuran rupiahmeter kulit. Sedangkan di Sumatera Utara semua dihargai dalam ukuran rupiahmeter kulit. Kisaran ukuran kulit yang dijual juga relatif berbeda. Ada empat kisaran ukuran yang berdasarkan pada panjang kulit, lebar perut dan lebar ekor di Kalimantan Tengah sedangkan di Sumatera Utara hanya berdasarkan panjang kulit saja. Harga di Sumatera Utara terlihat lebih memberi keuntungan pada tiap pelaku tata niaga daripada di Kalimantan Tengah. Selain berdasarkan ukuran kulit, dilakukan pula sortiran untuk kerusakan kulit Gambar 13. Sortiran dilakukan pada kulit yang berlubang atau sobek. Panjang sobekan akan mengurangi panjang kulit total, namun bila sobekan atau lubang sangat parah diseluruh kulit, meskipun ukurannya panjang, kulit akan masuk dalam kualitas paling rendah dan digargai perlembar. Pengumpul perantara di Kapuas bahkan melakukan sortiran pada sisik yang mengelupas. Setiap sisik yang mengelupas akan mengurangi panjang total kulit. Siregar 2012 menyatakan bahwa di Sumatera Utara, sortiran kondisi kulit dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu A untuk kulit tanpa cacat, B untuk kulit dengan cacat sedikit dan C untuk kulit dengan cacat banyak. Cacat yang dimaksud adalah luka gores, luka kutu dan sebagainya. Secara umum, sortiran antara Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara Siregar 2012 adalah sama. Gambar 13 Proses penyortiran dan pengukuran kulit. 5.2 Karakteristik Habitat 5.2.1 Habitat Tangkap Odum 1994 mendefinisikan habitat sebagai tempat hidup suatu organisme atau tempat yang harus dituju untuk menemukan organisme tersebut. Habitat menjadi sesuatu yang sangat penting karena merupakan lokasi dimana organism bisa hidup. Tanpa habitat, tidak akan ada organisme. Habitat tangkap Python reticulatus di Sumatera Utara adalah lokasi dengan penggunaan intensif untuk aktivitas pertanian, khususnya pada perkebunan kelapa sawit dan karet, sedangkan di Palembang Sumatera Selatan adalah di rawa-rawa pasang surut Shine 1999. Habitat tangkap di Kalimantan Tengah, juga berada di lokasi penggunaan intensif untuk pertanian, yaitu kebun kelapa sawit Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, kebun karet Kabupaten Pulang Pisau dan rawa-rawa pasang surut Kabupaten Katingan. Keberadaan Python reticulatus di lokasi yang merupakan areal diluar hutan dan bahkan merupakan areal dengan penggunaan intensif oleh manusia, mengindikasikan bahwa Python reticulatus mempunyai tingkat toleransi yang cukup tinggi terhadap manusia. Hal ini berarti Python reticulatus bukan merupakan satwa yang rentan dan mudah terganggu dengan adanya manusia disekitar mereka. Gangguan hanya dirasakan bila terjadi ekploitasi terhadap satwa tersebut. Hal ini bisa menjadi keuntungan namun juga kerugian. Keuntungannya adalah Python reticulatus tetap bisa bertahan dalam kondisi yang langsung bersinggungan secara intensif dengan manusia. Kerugiannya adalah Python reticulatus menjadi semakin mudah ditemukan tingkat perjumpaannya dengan manusia tinggi. Hal ini bisa menyebabkan semakin banyak tingkat eksploitasi karena manusia akan cenderung menangkapnya jika bertemu, baik karena nilai ekonominya maupun karena rasa takut manusia itu sendiri. Lokasi pengambilan data karakteristik habitat dilakukan di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan dengan tipe habitat kebun kelapa sawit. Penangkap yang menjadi narasumber dan melakukan penangkapan di kedua kabupaten ini seluruhnya berasal dari Kotawaringin Barat. Pemilihan tipe habitat ini didasarkan pada banyaknya pemanenan yang dilakukan di kebun kelapa sawit. Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan dipilih sebagai lokasi pengambilan data karena pada saat penelitian dilakukan, penangkap yang masih beraktifitas menangkap ular secara rutin berada di kabupaten ini, di kabupaten lain yang sebelumnya ditentukan pula sebagai titik pengamatan, tidak dijumpai penangkap yang mendapatkan ular pada saat penelitian ini dilakukan. Bagian yang diukur variabelnya adalah parit tempat jerat dipasang. Hasil tes normalitas data habitat tangkap dengan menggunakan One- Sample Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS 19.0 menunjukkan hasil bahwa data dengan sebaran normal adalah suhu air Asymp. sig 0.458 dan kelembaban udara Asymp. sig 0.305 sedangkan peubah lain mempunyai nilai Asymp. sig. 0.05 yang berarti sebaran data tidak normal Lampiran 1. T-test dua sampel independen untuk kesamaan rata-rata menghasilkan nilai signifikansi suhu air 0.211 dan kelembaban udara 0.131 Lampiran 2. Hal ini berarti bahwa suhu air dan kelembaban udara pada habitat ular tertangkap dan habitat ular tidak tertangkap tidak berbeda nyata.