dilindungi undang-undang. Khusus untuk jenis satwaliar yang dilindungi undang- undang,  sebelum  ditetapkan  kuota  pengambilannya,  satwaliar  tersebut  harus
ditetapkan sebagai satwa buru Sekditjen PHKA 2007c. Kuota  yang  sudah  ditetapkan  oleh  Dirjen  PHKA  menjadi  dasar  untuk
pemberian ijin pengambilan TSL oleh Kepala Balai KSDA untuk jenis dilindungi dan  termasuk  dalam  Appendix  CITES  dan  oleh  Kepala  Dinas  propinsi  setempat
untuk jenis tidak diliindungi yang tidak termasuk dalam Appendix CITES. Kepala Balai  KSDA  dan  Kepala  Dinas  dilarang  menerbitkan  ijin  tanpa  didasarkan  pada
kuota yang ditetapkan oleh Dirjen PHKA Sekditjen PHKA 2007c. Seluruh  kegiatan  pemanfaatan  satwaliar,  baik  untuk  komersial  maupun
non  komersial,  harus  dengan  ijin  dari  Otoritas  Pengelola.  Ijin  pengambilan  dari alam  harus  menjamin  kelestarian  populasi,  maka  lokasi  pengambilan  harus
dirotasi. Jangka waktu  rotasi didasarkan pada kondisi  populasi, habitat dan sifat- sifat  biologis  serta perilaku jenis  yang ditetapkan. Penetapan lokasi pengambilan
harus  memperhatikan  status  kawasan,  kelimpahan  populasi,  kondisi  habitat, rencana  penggunaan  lahan  dan  aspek  sosial  budaya  masyarakat  setempat
Sekditjen PHKA 2007c.
2.4. Tata Niaga Satwaliar
Tata  niaga  satwa  liar  yang  legal  maupun    ilegal  mempunyai  andil  dalam menurunnya  banyak  populasi  spesies  Indrawan  et  al.  2007.  Pemanfaatan
satwaliar  secara  berlebih  biasanya  menunjukkan  pola  yang  sama.  Ketika  suatu satwaliar ditemukan mempunyai nilai komersial, selanjutnya terbentuk pasar dan
terjadilah  permintaan  dari  pasar  yang  menyebabkan  eksploitasi  untuk  memenuhi permintaan tersebut.  Peres 2010  menyatakan bahwa eksploitasi  satwaliar  yang
berlebihan menjadi penyebab menurunnya populasi. Tata niaga satwaliar internasional sudah diatur dalam CITES Convention
on  International  Trade  in  Endangered  Species  of  Wild  Fauna  and  Flora  yang ditandatangani  pada  tanggal  3  Maret  1973  di  Wasington  DC  dan  mulai  berlaku
pada  tanggal  1  Juli  1975  Dit.  KKH  2010.  Indonesia  telah  menjadi  anggota CITES  yang  ke  48  pada  tanggal  28  Desember  1978  www.cites.org  2012  dan
meratifikasi  CITES  melalui  Keputusan  Presiden  No.  43  tahun  1978  tentang
Pengesahan CITES. Indonesia telah pula menetapkan Ditjen PHKA Kementerian Kehutanan  sebagai  Otoritas  Pengelola  dan  LIPI  sebagai  Otoritas  Keilmuan
melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Dit. KKH 2010. Tujuan dari CITES adalah menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa
dari  kepunahan  di  alam  melalui  pengendalian  tata  niaga  serta  produk-produknya secara internasional Dit. KKH 2010. Eksploitasi tumbuhan dan satwaliar untuk
kepentingan  komersial  dianggap  sebagai  ancaman  terhadap  kelestarian  sehingga tata  niaganya  perlu  diatur  agar  membantu  pelestariannya.  Tanpa  adanya
mekanisme  tata  niaga  internasional,  dikhawatirkan  akan  terjadi  ekploitasi  yang lebih besar dan semakin mengancam kelestarian tumbuhan dan satwaliar. Adanya
CITES  sebagai  mekanisme  tata  niaga  yang  legal,  mengakibatkan  adanya  tata niaga  yang  ilegal.  Direktorat  Konservasi  Keanekaragaman  Hayati  Dit.  KKH
Kementerian  Kehutanan  menduga  bahwa  tata  niaga  tumbuhan  dan  satwa  ilegal menduduki  posisi  kedua  dari  segi  nilai  tata  niaga  setelah  narkotika  Dit.  KKH
2010. Tata  niaga  satwaliar  merupakan  salah  satu  bentuk  pemanfaatan  satwaliar
yang  diperbolehkan  sepanjang  mengikuti  aturan  yang  berlaku.  Pemanfaatan satwaliar,  sebagai  salah  satu  aspek  dari  konservasi  satwaliar,  menjadi  kegiatan
yang  dilakukan  manusia  untuk  memenuhi  kebutuhannya  Indrawan  et  al.  2007. Pemanfaatan  tumbuhan  dan  satwaliar  TSL  di  Indonesia  saat  ini  masih
mengutamakan  perhitungan  ekonomis  daripada  perhitungan  keamanan  secara ekologi.  Pemanfaatan  yang  tidak  terkendali  merupakan  ancaman  yang  paling
berbahaya untuk kelestarian TSL di alam. Pada sisi lain, seharusnya pemanfaatan jenis  TSL  didasarkan  pada  prinsip  kehati-hatian  precautionary  principle  dan
dasar-dasar ilmiah untuk  mencegah terjadinya kerusakan atau degradasi  populasi non-detriment  findings  sebagaimana  tertuang  dalam  Artikel  III,  IV  dan  V  dari
Convention  on  International  Trade  in  Endangered  Species  of  Wild  Fauna  and Flora  CITES.  Artikel  III,  IV  dan  V  CITES  mengatur  tentang  mekanisme  tata
niaga  untuk  TSL  yang  termasuk  dalam  Appendix  I,  II  dan  III  CITES  Dit  KKH 2010.
Tata  niaga  satwaliar  yang  tidak  lestari  di  Asia  Tenggara  sudah diidentifikasi  sebagai  salah  satu  tantangan  dalam  pelestarian  satwaliar  Nijman
2010. Mardiastuti dan Soehartono 2004 menyebutkan angka 300 juta kulit reptil sudah diekspor dari Indonesia pada periode tahun 1983-1999. Sedangkan Nijman
2010  menyatakan  bahwa  selama  tahun  1998-2007,  lebih  dari  35  juta  satwaliar diperdagangkan  di  Asia  Tenggara  dan  30  juta  diantaranya  merupakan  hasil
tangkapan dari alam. Nijman 2010 menyatakan bahwa reptil mempunyai jumlah terbesar yang
diperdagangkan, yaitu 17.4 juta ekor dan 13.79 juta diantaranya berasal dari alam. Negara  yang  menjadi  pengekspor  terbesar  adalah  Indonesia  dan  Malaysia,
sedangkan  negara  pengimpor  terbesar  adalah  Singapura,  Uni  Eropa  dan  Jepang. Indonesia  menjadi  penyuplai  62  reptil  pada  tata  niaga  satwaliar  di  Asia
Tenggara  yang  berasal  dari  tangkapan  alam  selama  tahun  1998-2007  Nijman 2010.
Komponen  utama  dalam  tata  niaga  reptil  di  Indonesia  adalah  tata  niaga kulit  dan  pet  Yuwono  1998.  Nijman  2010  juga  menyatakan  bahwa  bentuk
reptil  yang  diperdagangkan  adalah  kulit  dan  pet.  Yuwono  1998  dan  Nijman 2010  menyatakan  bahwa  kulit  reptil  diperdagangkan  dalam  jumlah  yang  lebih
besar  daripada  pet.  Dalam  penetapan  kuota  tangkap  di  Indonesia,  spesies  yang ditangkap  untuk  tata  niaga  kulit  lebih  sedikit  daripada  untuk  pet,  namun  jumlah
kuota  untuk  tiap  spesies  jauh  lebih  banyak  daripada  untuk  pet  Ditjen  PHKA 2010a,  2010b,  2011.  Mardiastuti  dan  Soehartono  2003  mengatakan  bahwa
beberapa tahun terakhir ini, kulit reptil mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan membanjiri pasar internasional, termasuk diantaranya dari Indonesia. Mulai tahun
1980-an,  tujuh  jenis  reptil  Indonesia  mulai  dimanfaatkan  untuk  skala  besar  tata niaga dunia. Salah satu diantaranya adalah Python reticulatus.
Python reticulatus  merupakan salah satu spesies yang menjadi primadona Mardiastuti  Soehartono 2003. Python reticulatus menjadi satu jenis ular yang
banyak  dieksploitasi  Abel  1998;  Requier  1998;  Shine  et  al.  1998b;  Yuwono 1998; Auliya  et  al. 2002; Mardiastuti   Soehartono 2003. Antara tahun 1983
– 1999, rata-rata jumlah ekspor kulit Python reticulatus mencapai 230 957 lembar.
Nijman 2010 menyebutkan bahwa Python merupakan ular dengan jumlah nomor