Teknik-teknik Well-Being Therapy Well-Being Therapy

kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Purpose in life Subjek kurang menyadari makna dari hidup; memiliki hanya sedikit tujuan, kurang sadar akan arah, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lalu; tidak memiliki keyakinan yang dapat memberi makna dalam hidup. Subjek memiliki tujuan dan arah dalam hidup; merasakan adanya makna dari kehidupan di masa kini dan masa lalu; memiliki keyakinan yang dapat memberikan tujuan hidup; memiliki tujuan untuk kehidupan. Personal growth Subjek mengalami kebuntuan pribadi; kurang kesadaran akan pengembangan dan perluasan dari waktu ke waktu; merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan; merasa tdak mampu mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru. Subjek merasakan perkembangan dan berkelanjutan; melihat dirinya sebagai sesuatu yang bertumbuh dan berkembang; terbuka terhadap pengalaman yang baru; sadar akan potensi dirinya; dapat melihat perkembangan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu.

4. Teknik-teknik Well-Being Therapy

Teknik yang dapat digunakan dalam mengatasi gangguan pada psychological well- being ini dapat terdiri dari cognitive restructuring, scheduling of activities, assertive training, dan problem solving. Yang menjadi tujuan terapi adalah membimbing pasien melalui transisi yang ditunjukkan oleh table 2.2. Kemajuan yang terjadi dan insight terhadap masalah hanya bisa dilihat melalui tingkah lakunya. Fava 2003, mengilustrasikan seorang individu yang telah mengalami fase ketiga dari recurrent episode pada major depression mungkin mendapati bahwa kurangnya otonomi autonomy pada dirinya mengakibatkan rekan kerjanya mengambil keuntungan dari dirinya. Beban kerja yang diterimanya melebihi kemampuannya sehingga mengakibatkan rendahnya penguasaan lingkungan environmental mastery dan pada akhirnya menimbulkan stres dalam jam kerja. Situasi tersebut dapat diterjemahkan dalam Universitas Sumatera Utara konteks rendahnya penerimaan diri self-acceptance, individu menekankan bahwa ini adalah dirinya apa adanya namun pada saat bersamaan merasa tidak puas akan dirinya dan mengalami kemarahan secara kronis. Saat ia belajar untuk berkata tidak pada rekan kerjanya assertive training, dan secara terus menerus menguatkan sikap ini, terjadi tingkat distress yang signifikan, akibat adanya ketidaksukaan dari orang lain. Walau demikian, seiring waktu, toleransinya terhadap ketidaksukaan diri self disapproval perlahan lahan meningkat dan dalam akhir sesi ia dapat membuat pernyataan bahwa ia dapat melindungi dirinya sendiri. Menurut Fava 2003 gambaran klinis di atas mengilustrasikan bagaimana perasaan awal dari well-being dapat membantu orang lain yang diidentifikasi dalam buku harian, ternyata mengarahkan pada distres. Pencapaian dan perubahan yang terjadi pada tingkah laku biasanya mengarahkan pada distres yang lebih besar lagi sebelum kemudian berkurang dan terjadi suatu penerimaan menyerah. Selanjutnya Fava 2003 menjelaskan, format standar yang dibuat melibatkan 8 sesi: tetapi jumlah sesi dapat bervariasi, tergantung pada kebutuhan individu dan kolaborasinya dengan terapi. Pada kasus-kasus tertentu, bahkan dibutuhkan 12-16 sesi; pada kasus yang lainnya misalnya jika pasien telah menjalani terapi CBT yaitu yang mengorientasikan pada gejala, maka pasien sudah mengenal tugas-tugas dan buku harian jumlah sesinya bisa lebih sedikit lagi. Menurut Macleod Moore 2000, perbedaan well-being therapy dengan terapi kognitif yang lain, yang juga melibatkan berpikir positif adalah pada fokusnya dimana well-being therapy menggunakan contoh emotional well-being, sementara terapi kognitif menggunakan psychological distress. Perbedaan lain adalah kognitif bertujuan mengurangi atau menghilangkan distres melalui pengendalian authomatic thought atau pemikiran yang berlawanan contrast, sementara well-being therapy bertujuan untuk Universitas Sumatera Utara meningkatkan psychological well-being berdasarkan dimensi Ryff 1989. Karena keduanya berbagi teknik dan komponen terapeutik yang serupa, well-being therapy dapat dikonseptualisasikan sebagai strategi spesifik dalam spectrum yang luas pada self- therapies Fava, 2000. Perbedaan yang terakhir adalah fakta bahwa well-being therapy menghindari penjelasan akan masalah individu serta strateginya dan menekankan pada perkembangan pencapaian self yang positif. Misalnya pada pasien yang mengalami kecemasan, dapat dibantu untuk melihat bahwa kecemasan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diatasi dengan peningkatan akan penguasaan lingkungan dan penerimaan diri. Well-being therapy tidak harus digunakan secara tersendiri namun dapat juga menjadi bagian dari strategi cognitive behavioral yang lebih kompleks. Dengan menambahkan episodes of well-being, maka akan meliputi interupsi prematur dan skema disfungsional yang lebih menyeluruh Fava, 2003.

5. Penerapan Well-Being Therapy pada Individu dengan Kanker Payudara