diri untuk melakukan rutinitas yang akan mengganggu kondisi kesehatannya, sudah dapat memilah permasalahan, dan hal tersebut membuat keluarga mereka jauh dari selisih
paham. Rheina juga mulai bisa bersikap wajar dengan pertanyaan dari kenalan dan tetangga yang menanyakan kondisi kesehatannya. Bahkan untuk diagnosa penyebaran
tulang yang baru dokter berikan kepada Rheina, ia tidak terlihat menunjukkan emosi- emosi negatif yang berlebihan seperti ketika doagnosa penyebaran sebelumnya.
f. Analisa dan Interpretasi Data Hasil Pelaksanaan Treatment Partisipan II
Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan analisa dan interpretasi data hasil pelaksanaan treatment pada partisipan II.
Tabel 4.25 Analisis dan Interpretasi Data Hasil Penerapan Well-Being Therapy Pada
Partisipan II Rheina Dimensi
PWB Fase
Baseline Fase Pelaksanaan Terapi
Fase Hasil
Penerimaan diri
self-
acceptance
- Mengalami
hambatan untuk memandang positif
terhadap diri dan kondisi kesehatan
yang dipengaruhi oleh emosi-
emosi negatif yang sangat dominan
- Merasa resah, gelisah,
merasa tidak nyaman, tidak
puas, kecewa
terhadap diri sendiri dan hal yang telah terjadi
berkaitan dengan kondisi kesehatan
- Menganggap diri tidak
sempurna, lemah, dan memiliki
banyak keterbatasan
dalam menjalani peran sebagai
istri, ibu, dan wanita yang bekerja
- Terus menyangkal dan
tidak memberi
kesempatan diri untuk berpikir
dan bersikap
positif, meski ia cukup terbuka mengemukakan
hal yang
menjadi permasalahan, sehingga ia
butuh waktu lama untuk memiliki penilaian dan
pandangan
positif terhadap diri dan kondisi
kesehatannya
- Butuh
waktu, kenyamanan,
keyakinan dan
kepercayaan diri
untuk memulai
dan kemudian
belajar memahami
apa yang
terjadi dalam
dirinya berkaitan
dengan -
Sudah lebih mudah menyampaikan
emosi- emosi positif sehingga
merasa lebih
positif memaknai
diri dan
kondisi kesehatan yang membuatnya
menjadi lebih
optimis dalam
menjalani hari-harinya
- Sudah mulai memahami
keterbatasan yang
dimiliki berkaitan
dengan kondisi
kesehatan yang pada
akhirnya meminimalisir kekecewaan,
kegelisahan, dan
ketakutan akan apa yang terjadi di
masa-masa mendatang
- Memahami
dan
Universitas Sumatera Utara
- Merasa tidak memiliki
kekuatan dan keyakinan untuk
dapat kembali
menjalani hari-hari ke depan
seperti ketika
kondisi kesehatan masih baik.
munculnya perasaan-
perasaan negatif
dan menggantinya
menjadi perasaan-perasaan
yang
lebih positif.
- Butuh
waktu untuk
kemudian bersedia
melihat hal-hal
positif berupa kelebihan, kualitas
diri, dan potensi diri yang patut disyukuri
- Ada keinginan untuk
kemudian berupaya
menerima kelemahan dan keterbatasan
berkaitan dengan
kondisi
kesehatannya
mengakui adanya
kelebihan, kualitas diri, dan potensi diri sebagai
sesuatu hal yang berbeda dibandingkan
kebanyakan orang lain yang
sehat maupun
orang lain
yang memiliki penyakit yang
sama. -
Meningkatkan keimanan dan
spiritual, dalam
bentuk rasa syukur dan lebih menghargai makna
kesehatan dan
keberadaan keluarga
yang selalu
mendampingi. Hubungan
positif dengan
orang
lain positive
relational with others
- Penilaian negatif pada
diri sendiri dan orang lain yang
muncul dari
sensitivitas yang tinggi dalam keseharian
- Merasa
orang-orang terdekat dan orang-orang
di sekitar
tidak memahami
dan tidak
ingin peduli
dengan
kondisi kesehatannya.
- Bersedia untuk terus
berupaya meredam
sensitivitas sebagai upaya menjaga
perasaan diri
sendiri dan orang lain.
- Bersedia
untuk memberikan kesempatan
pada dirinya
untuk menilai positif orang lain
dan menerima hal baik dari
orang lain
di sekitarnya
terutama orang-orang
terdekat
keluarga
- Mulai terbiasa untuk
bersikap tenang, lebih bersabar, dan bersyukur
dengan kepedulian,
perhatian dan dukungan dari orang-orang sekitar
- Mulai
menikmati indahnya
kebersamaan dan kehidupan ketika
diri menilai
positif, menghargai
dan menerima dengan baik
apa yang yang diberikan oleh
orang lain
terhadapnya
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.27 Rekapitulasi Analisis dan Interpretasi Data Hasil Penerapan Well-Being Therapy Pada Partisipan I dan II
Dimensi PWB
Partisipan I Partisipan II
Fase Baseline
Fase Pelaksanaan Terapi
Fase Hasil Fase
Baseline Fase Pelaksanaan
Terapi Fase Hasil
Penerimaan diri
self
acceptance
- Sulit memandang
positif terhadap diri dan
kondisi kesehatan
yang dirasa semakin hari
semakin memburuk yang memunculkan
sikap pesimis
- Merasa
resah, gelisah,
merasa tidak nyaman, tidak
puas, kecewa
terhadap diri sendiri dan hal yang telah
terjadi berkaitan
dengan kondisi
kesehatan
- Merasa diri tidak
sempurna, lemah,
dan memiliki
banyak keterbatasan dalam
menjalani peran sebagai istri,
ibu, dan
wanita
yang bekerja
- Mau
terbuka terhadap hal yang
menjadi permasalahan,
namun butuh waktu untuk
memiliki penilaian
dan pandangan
positif terhadap diri dan
kondisi kesehatannya
- Butuh
waktu, kesabaran,
dan keyakinan
diri untuk
belajar memahami
apa yang terjadi dalam
diri berkaitan
dengan munculnya perasaan-perasaan
negatif dan
menggantinya menjadi perasaan-
perasaan yang lebih positif
- Merasa
lebih positif memaknai
diri dan kondisi kesehatan sebagai
ujian hidup yang sedang
dihadapi, dan menjadi lebih
optimis dalam
menjalani hari
- Memahami
keterbatasan yang dimiliki berkaitan
dengan kondisi
kesehatan yang
pada akhirnya
mereduksi kekecewaan,
kegelisahan, dan
ketakutan akan apa yang
terjadi di
masa depan
- Memahami
kelebihan, kualitas diri, dan potensi
diri sebagai
- Mengalami
hambatan untuk
memandang positif terhadap diri dan
kondisi kesehatan yang dipengaruhi
oleh emosi-emosi negatif yang sangat
dominan
- Merasa
resah, gelisah,
merasa tidak
nyaman, tidak puas, kecewa
terhadap diri
sendiri dan
hal yang telah terjadi
berkaitan dengan
kondisi kesehatan
- Menganggap diri
tidak sempurna,
lemah, dan
memiliki banyak
keterbatasan dalam menjalani
peran sebagai istri, ibu,
- Terus menyangkal
dan tidak memberi kesempatan
diri untuk berpikir dan
bersikap positif,
meski ia
cukup terbuka
mengemukakan hal yang
menjadi permasalahan,
sehingga ia butuh waktu lama untuk
memiliki penilaian dan
pandangan positif terhadap diri
dan kondisi
kesehatannya
- Butuh
waktu, kenyamanan,
keyakinan dan
kepercayaan diri
untuk memulai dan kemudian
belajar memahami
apa yang terjadi dalam
- Sudah
lebih mudah
menyampaikan emosi-emosi
positif sehingga merasa
lebih positif memaknai
diri dan kondisi kesehatan
yang membuatnya
menjadi lebih
optimis dalam
menjalani hari-
harinya
- Sudah
mulai memahami
keterbatasan yang
dimiliki berkaitan dengan
kondisi kesehatan
yang pada
akhirnya meminimalisir
kekecewaan, kegelisahan, dan
Universitas Sumatera Utara
- Merasa
tidak memiliki kekuatan
dan keyakinan
untuk dapat kembali menjalani hari-hari
ke depan seperti ketika
kondisi kesehatan
masih
baik.
- Bersedia
untuk melihat hal positif
berupa kelebihan,
kualitas diri, dan potensi diri yang
patut disyukuri
- Mau berusaha untuk
menerima kelemahan
dan keterbatasan
berkaitan dengan
kondisi kesehatannya.
sesuatu hal yang berbeda
dibandingkan kebanyakan orang
lain
yang sehat
maupun orang lain yang
memiliki penyakit
yang
sama
- Meningkatkan
keimanan dan
spiritual, dalam
bentuk rasa syukur dan
lebih menghargai makna
kesehatan.
dan wanita yang bekerja
- Merasa
tidak memiliki kekuatan
dan keyakinan
untuk dapat
kembali menjalani hari-hari ke depan
seperti ketika
kondisi kesehatan masih baik.
dirinya berkaitan
dengan munculnya perasaan-perasaan
negatif dan
menggantinya menjadi perasaan-
perasaan yang lebih positif
- Butuh waktu untuk
kemudian bersedia melihat
hal-hal positif
berupa kelebihan, kualitas
diri, dan potensi diri yang
patut
disyukuri
- Ada
keinginan untuk
kemudian berupaya menerima
kelemahan dan
keterbatasan berkaitan
dengan kondisi
kesehatannya
ketakutan akan
apa yang terjadi di
masa-masa
mendatang
- Memahami dan
mengakui adanya kelebihan,
kualitas diri, dan potensi
diri sebagai sesuatu
hal yang berbeda dibandingkan
kebanyakan orang lain yang
sehat
maupun orang lain yang
memiliki penyakit
yang
sama
- Meningkatkan
keimanan dan
spiritual, dalam bentuk
rasa syukur dan lebih
menghargai makna kesehatan
dan keberadaan keluarga
yang selalu
mendampingi
Universitas Sumatera Utara
Hubungan positif
dengan orang
lain positive
relational with others
- Sensitif
dalam keseharian
yang kemudian memicu
penilaian negatif
pada diri sendiri dan orang lain
- Merasa orang-orang
terdekat dan orang- orang
di sekitar
menilai buruk
tentang diri
dan memberi labelling
negatif berkaitan
dengan kondisi
kesehatannya.
- Bersedia
untuk meredam
sensitivitas sebagai upaya
menjaga perasaan diri sendiri
dan orang lain
- Memberikan
kesempatan pada
dirinya untuk
menilai positif
orang lain
dan menghargaimeneri
ma hal baik dari orang lain.
- Mulai
terbiasa untuk
bersikap tenang,
dan memahami
perasaan orang lain tidak jauh berbeda
dengan
perasaan
diri sendiri
- Mulai menikmati
indahnya hidup
ketika diri menilai positif
dan menghargaimeneri
ma hal baik yang diberikan
oleh
orang lain.
- Penilaian negatif
pada diri sendiri dan
orang lain
yang muncul dari sensitivitas
yang tinggi
dalam
keseharian
- Merasa
orang- orang terdekat dan
orang-orang di
sekitar tidak
memahami dan
tidak ingin peduli dengan
kondisi
kesehatannya.
- Bersedia
untuk terus
berupaya meredam
sensitivitas sebagai upaya
menjaga perasaan diri sendiri
dan orang lain
- Bersedia
untuk memberikan
kesempatan pada
dirinya untuk
menilai positif
orang lain
dan menerima hal baik
dari orang lain di sekitarnya terutama
orang-orang terdekat keluarga
- Mulai
terbiasa untuk
bersikap tenang,
lebih bersabar,
dan bersyukur
dengan kepedulian,
perhatian
dan dukungan
dari orang-orang
sekitar
- Mulai menikmati
indahnya kebersamaan dan
kehidupan ketika diri
menilai positif,
menghargai dan menerima
dengan baik apa yang
yang diberikan
oleh orang
lain
terhadapnya
Universitas Sumatera Utara
B. Pembahasan
Berdasarkan data hasil yang diperoleh pada penelitian ini ditemukan bahwa kedua partisipan mengalami peningkatan psychological well-being terutama untuk dimensi self-
acceptance dan dimensi positive relational with others, setelah melakukan serangkaian kegiatan well-being therapy. Peningkatan pada kedua dimensi tersebut, telah mengubah
dimensi yang lainnya menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Linley Joseph 2004, bahwa well-being therapy merupakan salah satu terapi yang dapat
meningkatkan level psychological well-being pada individu, sesuai dengan enam dimensi yang dikemukakan oleh Ryff 1989. Dalam hal ini kesejahteraan wellness dan hidup
yang sehat dapat dicapai dengan membantu individu menyadari potensi diri yang sesungguhnya, memiliki keterlibatan secara penuh dengan orang lain, dan meraih potensi
yang optimal. Menurut Ryff 1989, teknik yang digunakan dalam well-being therapy
menekankan pada pemikiran dan kepercayaan yang mengarah pada interupsi premature. Selama proses pelaksanaannya, terapis menemukan defense pada salah satu partisipan
penelitian, yakni Rheina. Rheina yang meski memiliki motivasi yang cukup kuat untuk menyelesaikan masalahnya, ia terus saja menyangkal dan menghindar untuk
mengungkapkan hal yang menjadi sumber masalah yang terkait dengan kondisi kesehatannya. Berbeda dengan Aulia yang sejak awal sudah cukup terbuka untuk
mengungkapkan apa yang menjadi masalahnya dan memiliki motivasi yang cukup kuat untuk menyelesaikan masalah yang muncul terkait kondisi kesehatannya. Kondisi ini
membuat Rheina butuh waktu lebih lama untuk menyadari dan mengenali emosi-emosi positif dan emosi-emosi negatif yang ia miliki dibandingkan Aulia. Seperti yang
diungkapkan oleh Sarafino 1994, bahwa terapi bertujuan untuk membuat perubahan dan biasanya diiringi dengan rasa sakit. Jika sesuatu terlalu menyakitkan untuk dihadapi,
Universitas Sumatera Utara
individu mungkin menyangkal bahwa hal tersebut ada. Hal ini merupakan suatu sistem pertahan diri yang disebut denial atau penyangkalan. Individu akan melakukan tindakan
menghindar dari hal-hal yang menimbulkan rasa sakit. Ada tidaknya defense yang dilakukan oleh kedua partisipan mempengaruhi proses
sebelum, saat dan setelah pelaksanaan terapi. Dalam penelitian ini, terapis berusaha untuk lebih memahami kondisi Aulia yang tidak melakukan defense dalam bentuk denial dan
kondisi Rheina yang melakukan defense dalam bentuk denial dengan memberikan perlakuan yang berbeda pada keduanya. Pada Aulia, terapis sering melakukan konfrontasi
yang membuatnya lebih mudah insight terhadap permasalahan. Sedangkan pada Rheina, terapis lebih fokus pada unsur-unsur subjektif dari apa yang disampaikan Rheina dengan
melakukan refleksi dari apa yang ia sampaikan dan rasakan, dan melakukan konfrontasi seperlunya. Pertimbangan ini diambil terapis didasarkan pada apa yang diungkapkan
Corey 1997, bahwa ada saatnya terapis harus melakukan konfrontasi terhadap tingkah laku menyangkal dan menghindar Corey, 1997. Walau demikian, terlalu memusatkan
perhatian terhadap konfrontasi dapat menjadi batasan yang tidak perlu dalam terapi. Pada penelitian ini, hal yang dilakukan terapis cukup berhasil dalam menghadapi Aulia dan
Rheina. Ketika kedua partisipan terbuka terhadap masalahnya, kemudian menyadari dan
memahami emosi-emosi yang muncul dalam diri mereka, maka proses terapi pun lebih mudah untuk dilaksanakan dan keberhasilan tujuan terapi pun berpeluang besar untuk
dicapai. Selain keterbukaan terhadap masalah, motivasi dan kedisiplinan juga menjadi hal yang penting dalam proses pelaksanaan well-being therapy pada penelitian ini. Sama
halnya ketika membuat partisipan terbuka terhadap masalahnya, untuk membuat mereka tetap termotivasi dan disiplin juga bukanlah hal yang mudah. Perlu upaya dari terapis
untuk meyakinkan mereka lebih jauh bahwa motivasi dan kedisiplinan sangat penting
Universitas Sumatera Utara
dalam keberhasilan pencapaian tujuan terapi untuk membantu masalah psikologis mereka, seperti ketika terapis meminta kesediaan mereka untuk mengisi lembar self-report untuk
episodes of well-being yang mereka alami. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Ryff 1989, bahwa individu sering menolak mengerjakan pekerjaan rumah tersebut, karena
bagi mereka tidak ada situasi sejahtera dalam hidup mereka. Dalam hal ini terapis dapat membantu dengan meyakinkan bahwa saat-saat tersebut sebenarnya terjadi, namun
terlewatkan tanpa diperhatikan. Untuk itu, perlu memonitornya dengan baik sehingga identifikasi terhadap situasi-situasi psychological well-being untuk saat-saat dan perasaan
well-being dapat terus ditingkatkan. Ketika motivasi telah mampu dipertahankan oleh kedua partisipan, dan
kedisiplinan juga sudah diterapkan, maka dukungan dari orang-orang terdekat yang mengetahui kondisi kedua partisipan yang tengah dalam proses terapi sangat diperlukan
untuk mengingatkan mereka akan tugas-tugas yang harus dikerjakan, keberhasilan- keberhasilan yang sudah susah payah didapatkan, dan ketika mereka harus
mempertahankan bahkan harus meningkatkan apa yang mereka telah dapatkan selama sesi terapi ketika sesi terapi berakhir. Hal menarik lainnya adalah tingkat religiusitas yang
mereka miliki sangat membantu untuk lebih mudah dan cepat memahami peranan well- being pada setiap situasi dari pengalaman hidup yang dihadapi berkaitan dengan kondisi
kesehatan mereka. Pemanfaatan kekuatan-kekuatan yang dimiliki kedua partisipan telah mendukung
keberhasilan terapi dalam penelitian ini. Kekuatan tersebut diantaranya adalah motivasi, kedisiplinan, dukungan dari orang-orang terdekat dan tingkat religiusitas dari kedua
partisipan yang telah diuraikan sebelumnya. Kekuatan yang dimiliki Aulia dan Rheina telah menuntun mereka untuk mengalami perubahan dan peningkatan psychological well-
being selama proses well-being therapy. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
Universitas Sumatera Utara
Rogers dalam Corey, 1997 bahwa prasyarat dasar bagi terapi adalah individu mempersepsi bahwa dirinya memiliki suatu masalah sehingga menimbulkan motivasi
untuk berubah. Individu yang kemudian berhasil mendapatkan manfaat dalam terapi biasanya memperlihatkan kesediaan yang tinggi untuk berubah dan memiliki pengharapan
yang positif atas perbaikan pribadi. Mereka juga bisa terlibat dalam eksplorasi diri yang dalam dan ekstensif. Kondisi ini tentu saja membuat individu disiplin dalam proses terapi,
dan tetap mempertahankan hal yang sudah berhasil didapatkan selama terapi. Pada kegiatan follow-up pertama dan kedua yang dilakukan terapis, ditemukan bahwa kedua
partisipan tetap mempertahankan apa yang sudah mereka dapatkan selama proses terapi, yakni emosi-emosi positif yang muncul dari pikiran dan perasaan positif mereka yang
membuat mereka bersikap dan berperilaku positif juga dalam keseharian. Hal tersebut mereka lakukan dengan terus memanfaatkan hal-hal dan kegiatan-kegiatan yang telah
dilakukan selama proses terapi hingga selesai, bahkan hingga peneliti menemui mereka kembali.
Universitas Sumatera Utara
132
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1. Well-being therapy dapat meningkatkan psychological well-being pada wanita
penderita kanker payudara. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan dimensi self acceptance dan dimensi positive relational with others pada kedua partisipan.
Kesimpulan ini menunjukkan bahwa hipotesa alternatif penelitian ini diterima yaitu well-being therapy dapat meningkatkan psychological well-being untuk dimensi self
acceptance dan dimensi positive relational with others pada partisipan penelitian yang menderita kanker payudara. Peningkatan kedua dimensi tersebut, juga telah mengubah
dimensi-dimensi psychological well-being lainnya menjadi lebih baik. 2.
Terapis perlu mengantisipasi defense-defense yang muncul selama proses well-being therapy. Pada penelitian ini terapis melakukan metode refleksi dan konfrontasi untuk
mengahadapi partisipan dengan defense dalam bentuk denial. 3.
Rapport, motivasi, dukungan dari orang-orang terdekat, dan pemanfaatan aspek religiusitas sebagai salah satu cara dalam pendekatan eudomanic pada well-being
therapy merupakan faktor-faktor yang mendukung proses pelaksanaan well-being therapy.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Saran Metodologis
a. Pelaksanaan well-being therapy pada wanita penderita kanker payudara akan lebih
mudah jika menggunakan contoh-contoh sederhana dan konkrit berdasarkan situasi dan pengalaman yang dialami partisipan dalam hidupnya untuk kemudian
mengaitkannya dengan aspek religi yang mereka miliki. Hal ini disesuaikan dengan kondisi religiusitas yang dimiliki partisipan.
b. Melihat kekuatan dan kelemahan partisipan akan memudahkan proses pelaksanaan
well-being therapy pada partisipan penderita kanker payudara. 2.
Saran Praktis a.
Partisipan Mempertahankan dan meningkatkan motivasi, serta memanfaatkan hal-hal dan
kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan untuk terus meningkatkan dan mengoptimalkan psychological well-being.
b. Keluarga Partisipan
Untuk terus memberikan dukungan dalam bentuk dukungan sosial dan moral kepada kedua partisipan dalam upaya mengoptimalkan psychological well-being di
masa mendatang setelah kegiatan terapi berakhir. c.
Profesi Lain Memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber informasi intervensi
yang dapat diberikan kepada penderita kanker payudara yang mengalami gangguan-gangguan psikologis terkait permasalahan kesehatannya sehingga dapat
Universitas Sumatera Utara
mencegah gangguan yang lebih berat, dan sekaligus juga untuk meningkatkan psychological well-being mereka.
d. Masyarakat
Memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber bacaan untuk menambah wawasan dalam memahami dan mensejahterakan para penderita kanker
payudara yang memiliki masalah yang kurang lebih sama dengan kedua partisipan
Universitas Sumatera Utara
xiv
DAFTAR PUSTAKA
Ade, F.R., dan Erlina, L.W. 2011. Post Traumatic Growth Pada Penderita Kanker Payudara. Yogyakarta
Andrews, F. M, dan Robinson, J. P. 1991. Measures of Subjective Well-Being. In J. P. Robinson, P. R. Shaver, L. S. Wrightsman Eds., Measures of Personality and
Social Psychological Attitudes. Volume 1. San Diego: Academic Press Anis, S.T., Ayu, P.,Urip, P. 2011. Hubungan Koping dan Dukungan Sosial dengan Body
Image Pasien Kanker Payudara Post Mastektomy di Poli Bedah Onkologi RSHS Bandung. Jurnal Psikologi, 1-14
Baradero, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pada Klien Kanker. Jakarta: EGC Bargai, N. Hochhauser, C. 2009. Medical resilience. [on-line] www. Israel Center for
the Treatment of Psychotrauma.com. [8 September 2012] Bellenir, K. 2009. Breast Cancer Sourcebook. USA: Springer Publishing Company, Inc
Chyntia, E. 2009. Akhirnya Aku Sembuh dari Kanker Payudara. Yogyakarta: Maximus Corey, G. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Fifth edition:
BrooksCole Publishing Company Diananda, R. 2009. Mengenal Seluk-Beluk Kanker. Yogyakarta: KATAHATI
Dixon, M. dan Leonard, R. 2002. Seri Kesehatan: Kelainan Payudara. Jakarta: Dian
Rakyat Drageset, S., Lindstrom, T., Underlid, K. 2010. Coping with Breast Cancer: Between
Diagnosis and Surgery. Journal of Advance Nursing, 66, 149-158 Fava, G. A. 1999. Well-Being Therapy: Conceptual and Technical Issues. Psychoterapy
Psychosom, 68: 171-179 Fava, G.A. dan Ruini, C. 2003 Development and Characteristic of Well Being
Enhancing Psychoterapeutic Strategy: Well-Being Therapy. Journal of Behavior Therapy and Experimental, 34, 45-63
Universitas Sumatera Utara
xv
Fava, G.A., Ruini, C., Rafanelli, C., Finos, L., Salmaso, L., Mangelli, L., Sirigantti, S. 2005. Well-Being Therapy of Generalized Anxiety Disorder. Psychoterapy
Psychosom, 74; 26-30 Feuerstein, M. 2007. Handbook of Cancer Survivorship. USA: Springer Publishing
Company, Inc. Franco. 2010. Body Image and Quality of Life in Patients Who Underwent Breast
Surgery. The American Surgeon, 76, 1000-1005 Halim, M. S. 2003. Quality of Life and Breast Cancer: A General Concept. Journal of
Psychology, 12 2, 13-24 Hawari, D. 2004. Kanker Payudara: Dimensi Psikoreligi. Jakarta: FKUI
Jemal, A. 2003. Cancer Statistic. CA. Cancer J Clin ; 53:5 Linley, P.A dan Joseph, S. 2004. Positive Psychology in Practice. New Jersey: John
Wiley dan Sons, Inc Luwia, M. 2003.Problematika dan Keperawatan Payudara. Cetakan I. Jakarta: Kawan
Pustaka Macleod, A. K., Moore, 2000. Positive Thinking Revisited: Positive Cognitions, Well-
Being, and Mental Health. Clinical Psychology and Psychoterapy, 7, 1-10 Matthew, E dan Cook, P. 2005. Relationship Among Optimism, Well-Being, Self-
Transcendence, Coping and Social Support in Women During Treatment for Breast Cancer. Psycho-Oncology, 18, 716-726
Moleong, J. L. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Odgen, J. 2004. Understanding Breast Cancer. England: John Willey Sons, Ltd Odgen, J. 2007. Health Psychology. New York: McGraw-Hill International
Osborn, Kathlen, S., Watson. 2010. Medical Surgical Nursing: Preparation for
Practice. Volume 2. USA: Pearson Papalia, D. E., Old, S. W., Feldman. 2001. Human Development. Six Edition. New
York: McGraw-Hill International
Universitas Sumatera Utara
xvi
Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rahardjo, M. 2010. Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif. Malang: UIM
Rahayu, T. A. 1991. Kanker Payudara. Surabaya: Yayasan Kanker Wisnuwardhana Ramli, M. 2003. Management of Breast Cancer: Kumpulan Naskah Ilmiah Muktamar VI
PERABOI. Semarang Ramli, M. 2005. Deteksi Dini Kanker. Jakarta: FKUI
Reich, M. C., Lesur, Chevallier, P. 2008. Depresion, Quality of Life and Breast
Cancer: A Review of The Literature. Breast Cancer Res Treat, 110, 9-17 Ricks, D. 2005. Breast cancer, Basics and Beyond: Treatment, Resources, Self-Help,
Good News, Updates. USA: Hunter House Inc., Publishers Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3 Edisi 8 alih
bahasa oleh Kuncara, dkk Jakarta: EGC Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo
Tavistock dan Routledge. 2002. The Experience of Illness Series. USA: Springer
Publishing Company, Inc Ryan, R. M dan Deci, E. L. 2001. On Happiness and Human Potensials: A Review of
Research on Hedonic and Eudomanic Well-Being. Annual Reviews: University of Illinois, 52: 141-166
Ryff, C. D. 1989. Happiness Is Everything or Is It? Exploration on The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 6:
1069-1081 Ryff, C. D dan Keyes, C. L. 1995. The Structure of Psychology Well-Being Revisited.
Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727 Ryff, C. D., Singer, B. 2000. Biopsychosocial Challenges of The New Millenium.
Psychoterapy and Psychosomatics, 69, 170-177
Universitas Sumatera Utara
xvii
Ryff, C. D., Keyes, C. L., M. Smotkin, D. 2002. Optimizing Well-Being: The Empirical of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82: 6,
1007-1002
Ryff. C. D 2005. Psychological Well-Being in Adult Life. Current Directions in Psychological Science, 4,99-104
Sarafino, E. P. 1994. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. Second Edition. New York: John Wiley Sons, Inc
Seniati, L., Yulianto, A., Setiadi, B.N 2005. Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks
Strauses, D. R., Lustig, D. C Ciptci, A. 2008. Psychological Well-Being: Its Relation to Work Personality, Vocational Identity, and Cancer Thoughts. The Journal of
Psychology Provincetown, Vol.142, 155
World Health Organization. 2008. Breast Cancer: Prevention and Control. [Online]. http:www.who.intcancerdetectionbreastcancerenindexl.htm
[8 September
2012]
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN I DATA
RESUME PARTISIPAN I
Universitas Sumatera Utara
DATA RESUME PARTISIPAN 1
1. IDENTITAS