Analisa dan Interpretasi Data Hasil Pelaksanaan Treatment Partisipan II

diri untuk melakukan rutinitas yang akan mengganggu kondisi kesehatannya, sudah dapat memilah permasalahan, dan hal tersebut membuat keluarga mereka jauh dari selisih paham. Rheina juga mulai bisa bersikap wajar dengan pertanyaan dari kenalan dan tetangga yang menanyakan kondisi kesehatannya. Bahkan untuk diagnosa penyebaran tulang yang baru dokter berikan kepada Rheina, ia tidak terlihat menunjukkan emosi- emosi negatif yang berlebihan seperti ketika doagnosa penyebaran sebelumnya.

f. Analisa dan Interpretasi Data Hasil Pelaksanaan Treatment Partisipan II

Berikut ini merupakan tabel yang menggambarkan analisa dan interpretasi data hasil pelaksanaan treatment pada partisipan II. Tabel 4.25 Analisis dan Interpretasi Data Hasil Penerapan Well-Being Therapy Pada Partisipan II Rheina Dimensi PWB Fase Baseline Fase Pelaksanaan Terapi Fase Hasil Penerimaan diri self- acceptance - Mengalami hambatan untuk memandang positif terhadap diri dan kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh emosi- emosi negatif yang sangat dominan - Merasa resah, gelisah, merasa tidak nyaman, tidak puas, kecewa terhadap diri sendiri dan hal yang telah terjadi berkaitan dengan kondisi kesehatan - Menganggap diri tidak sempurna, lemah, dan memiliki banyak keterbatasan dalam menjalani peran sebagai istri, ibu, dan wanita yang bekerja - Terus menyangkal dan tidak memberi kesempatan diri untuk berpikir dan bersikap positif, meski ia cukup terbuka mengemukakan hal yang menjadi permasalahan, sehingga ia butuh waktu lama untuk memiliki penilaian dan pandangan positif terhadap diri dan kondisi kesehatannya - Butuh waktu, kenyamanan, keyakinan dan kepercayaan diri untuk memulai dan kemudian belajar memahami apa yang terjadi dalam dirinya berkaitan dengan - Sudah lebih mudah menyampaikan emosi- emosi positif sehingga merasa lebih positif memaknai diri dan kondisi kesehatan yang membuatnya menjadi lebih optimis dalam menjalani hari-harinya - Sudah mulai memahami keterbatasan yang dimiliki berkaitan dengan kondisi kesehatan yang pada akhirnya meminimalisir kekecewaan, kegelisahan, dan ketakutan akan apa yang terjadi di masa-masa mendatang - Memahami dan Universitas Sumatera Utara - Merasa tidak memiliki kekuatan dan keyakinan untuk dapat kembali menjalani hari-hari ke depan seperti ketika kondisi kesehatan masih baik. munculnya perasaan- perasaan negatif dan menggantinya menjadi perasaan-perasaan yang lebih positif. - Butuh waktu untuk kemudian bersedia melihat hal-hal positif berupa kelebihan, kualitas diri, dan potensi diri yang patut disyukuri - Ada keinginan untuk kemudian berupaya menerima kelemahan dan keterbatasan berkaitan dengan kondisi kesehatannya mengakui adanya kelebihan, kualitas diri, dan potensi diri sebagai sesuatu hal yang berbeda dibandingkan kebanyakan orang lain yang sehat maupun orang lain yang memiliki penyakit yang sama. - Meningkatkan keimanan dan spiritual, dalam bentuk rasa syukur dan lebih menghargai makna kesehatan dan keberadaan keluarga yang selalu mendampingi. Hubungan positif dengan orang lain positive relational with others - Penilaian negatif pada diri sendiri dan orang lain yang muncul dari sensitivitas yang tinggi dalam keseharian - Merasa orang-orang terdekat dan orang-orang di sekitar tidak memahami dan tidak ingin peduli dengan kondisi kesehatannya. - Bersedia untuk terus berupaya meredam sensitivitas sebagai upaya menjaga perasaan diri sendiri dan orang lain. - Bersedia untuk memberikan kesempatan pada dirinya untuk menilai positif orang lain dan menerima hal baik dari orang lain di sekitarnya terutama orang-orang terdekat keluarga - Mulai terbiasa untuk bersikap tenang, lebih bersabar, dan bersyukur dengan kepedulian, perhatian dan dukungan dari orang-orang sekitar - Mulai menikmati indahnya kebersamaan dan kehidupan ketika diri menilai positif, menghargai dan menerima dengan baik apa yang yang diberikan oleh orang lain terhadapnya Universitas Sumatera Utara Tabel 4.27 Rekapitulasi Analisis dan Interpretasi Data Hasil Penerapan Well-Being Therapy Pada Partisipan I dan II Dimensi PWB Partisipan I Partisipan II Fase Baseline Fase Pelaksanaan Terapi Fase Hasil Fase Baseline Fase Pelaksanaan Terapi Fase Hasil Penerimaan diri self acceptance - Sulit memandang positif terhadap diri dan kondisi kesehatan yang dirasa semakin hari semakin memburuk yang memunculkan sikap pesimis - Merasa resah, gelisah, merasa tidak nyaman, tidak puas, kecewa terhadap diri sendiri dan hal yang telah terjadi berkaitan dengan kondisi kesehatan - Merasa diri tidak sempurna, lemah, dan memiliki banyak keterbatasan dalam menjalani peran sebagai istri, ibu, dan wanita yang bekerja - Mau terbuka terhadap hal yang menjadi permasalahan, namun butuh waktu untuk memiliki penilaian dan pandangan positif terhadap diri dan kondisi kesehatannya - Butuh waktu, kesabaran, dan keyakinan diri untuk belajar memahami apa yang terjadi dalam diri berkaitan dengan munculnya perasaan-perasaan negatif dan menggantinya menjadi perasaan- perasaan yang lebih positif - Merasa lebih positif memaknai diri dan kondisi kesehatan sebagai ujian hidup yang sedang dihadapi, dan menjadi lebih optimis dalam menjalani hari - Memahami keterbatasan yang dimiliki berkaitan dengan kondisi kesehatan yang pada akhirnya mereduksi kekecewaan, kegelisahan, dan ketakutan akan apa yang terjadi di masa depan - Memahami kelebihan, kualitas diri, dan potensi diri sebagai - Mengalami hambatan untuk memandang positif terhadap diri dan kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh emosi-emosi negatif yang sangat dominan - Merasa resah, gelisah, merasa tidak nyaman, tidak puas, kecewa terhadap diri sendiri dan hal yang telah terjadi berkaitan dengan kondisi kesehatan - Menganggap diri tidak sempurna, lemah, dan memiliki banyak keterbatasan dalam menjalani peran sebagai istri, ibu, - Terus menyangkal dan tidak memberi kesempatan diri untuk berpikir dan bersikap positif, meski ia cukup terbuka mengemukakan hal yang menjadi permasalahan, sehingga ia butuh waktu lama untuk memiliki penilaian dan pandangan positif terhadap diri dan kondisi kesehatannya - Butuh waktu, kenyamanan, keyakinan dan kepercayaan diri untuk memulai dan kemudian belajar memahami apa yang terjadi dalam - Sudah lebih mudah menyampaikan emosi-emosi positif sehingga merasa lebih positif memaknai diri dan kondisi kesehatan yang membuatnya menjadi lebih optimis dalam menjalani hari- harinya - Sudah mulai memahami keterbatasan yang dimiliki berkaitan dengan kondisi kesehatan yang pada akhirnya meminimalisir kekecewaan, kegelisahan, dan Universitas Sumatera Utara - Merasa tidak memiliki kekuatan dan keyakinan untuk dapat kembali menjalani hari-hari ke depan seperti ketika kondisi kesehatan masih baik. - Bersedia untuk melihat hal positif berupa kelebihan, kualitas diri, dan potensi diri yang patut disyukuri - Mau berusaha untuk menerima kelemahan dan keterbatasan berkaitan dengan kondisi kesehatannya. sesuatu hal yang berbeda dibandingkan kebanyakan orang lain yang sehat maupun orang lain yang memiliki penyakit yang sama - Meningkatkan keimanan dan spiritual, dalam bentuk rasa syukur dan lebih menghargai makna kesehatan. dan wanita yang bekerja - Merasa tidak memiliki kekuatan dan keyakinan untuk dapat kembali menjalani hari-hari ke depan seperti ketika kondisi kesehatan masih baik. dirinya berkaitan dengan munculnya perasaan-perasaan negatif dan menggantinya menjadi perasaan- perasaan yang lebih positif - Butuh waktu untuk kemudian bersedia melihat hal-hal positif berupa kelebihan, kualitas diri, dan potensi diri yang patut disyukuri - Ada keinginan untuk kemudian berupaya menerima kelemahan dan keterbatasan berkaitan dengan kondisi kesehatannya ketakutan akan apa yang terjadi di masa-masa mendatang - Memahami dan mengakui adanya kelebihan, kualitas diri, dan potensi diri sebagai sesuatu hal yang berbeda dibandingkan kebanyakan orang lain yang sehat maupun orang lain yang memiliki penyakit yang sama - Meningkatkan keimanan dan spiritual, dalam bentuk rasa syukur dan lebih menghargai makna kesehatan dan keberadaan keluarga yang selalu mendampingi Universitas Sumatera Utara Hubungan positif dengan orang lain positive relational with others - Sensitif dalam keseharian yang kemudian memicu penilaian negatif pada diri sendiri dan orang lain - Merasa orang-orang terdekat dan orang- orang di sekitar menilai buruk tentang diri dan memberi labelling negatif berkaitan dengan kondisi kesehatannya. - Bersedia untuk meredam sensitivitas sebagai upaya menjaga perasaan diri sendiri dan orang lain - Memberikan kesempatan pada dirinya untuk menilai positif orang lain dan menghargaimeneri ma hal baik dari orang lain. - Mulai terbiasa untuk bersikap tenang, dan memahami perasaan orang lain tidak jauh berbeda dengan perasaan diri sendiri - Mulai menikmati indahnya hidup ketika diri menilai positif dan menghargaimeneri ma hal baik yang diberikan oleh orang lain. - Penilaian negatif pada diri sendiri dan orang lain yang muncul dari sensitivitas yang tinggi dalam keseharian - Merasa orang- orang terdekat dan orang-orang di sekitar tidak memahami dan tidak ingin peduli dengan kondisi kesehatannya. - Bersedia untuk terus berupaya meredam sensitivitas sebagai upaya menjaga perasaan diri sendiri dan orang lain - Bersedia untuk memberikan kesempatan pada dirinya untuk menilai positif orang lain dan menerima hal baik dari orang lain di sekitarnya terutama orang-orang terdekat keluarga - Mulai terbiasa untuk bersikap tenang, lebih bersabar, dan bersyukur dengan kepedulian, perhatian dan dukungan dari orang-orang sekitar - Mulai menikmati indahnya kebersamaan dan kehidupan ketika diri menilai positif, menghargai dan menerima dengan baik apa yang yang diberikan oleh orang lain terhadapnya Universitas Sumatera Utara

B. Pembahasan

Berdasarkan data hasil yang diperoleh pada penelitian ini ditemukan bahwa kedua partisipan mengalami peningkatan psychological well-being terutama untuk dimensi self- acceptance dan dimensi positive relational with others, setelah melakukan serangkaian kegiatan well-being therapy. Peningkatan pada kedua dimensi tersebut, telah mengubah dimensi yang lainnya menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Linley Joseph 2004, bahwa well-being therapy merupakan salah satu terapi yang dapat meningkatkan level psychological well-being pada individu, sesuai dengan enam dimensi yang dikemukakan oleh Ryff 1989. Dalam hal ini kesejahteraan wellness dan hidup yang sehat dapat dicapai dengan membantu individu menyadari potensi diri yang sesungguhnya, memiliki keterlibatan secara penuh dengan orang lain, dan meraih potensi yang optimal. Menurut Ryff 1989, teknik yang digunakan dalam well-being therapy menekankan pada pemikiran dan kepercayaan yang mengarah pada interupsi premature. Selama proses pelaksanaannya, terapis menemukan defense pada salah satu partisipan penelitian, yakni Rheina. Rheina yang meski memiliki motivasi yang cukup kuat untuk menyelesaikan masalahnya, ia terus saja menyangkal dan menghindar untuk mengungkapkan hal yang menjadi sumber masalah yang terkait dengan kondisi kesehatannya. Berbeda dengan Aulia yang sejak awal sudah cukup terbuka untuk mengungkapkan apa yang menjadi masalahnya dan memiliki motivasi yang cukup kuat untuk menyelesaikan masalah yang muncul terkait kondisi kesehatannya. Kondisi ini membuat Rheina butuh waktu lebih lama untuk menyadari dan mengenali emosi-emosi positif dan emosi-emosi negatif yang ia miliki dibandingkan Aulia. Seperti yang diungkapkan oleh Sarafino 1994, bahwa terapi bertujuan untuk membuat perubahan dan biasanya diiringi dengan rasa sakit. Jika sesuatu terlalu menyakitkan untuk dihadapi, Universitas Sumatera Utara individu mungkin menyangkal bahwa hal tersebut ada. Hal ini merupakan suatu sistem pertahan diri yang disebut denial atau penyangkalan. Individu akan melakukan tindakan menghindar dari hal-hal yang menimbulkan rasa sakit. Ada tidaknya defense yang dilakukan oleh kedua partisipan mempengaruhi proses sebelum, saat dan setelah pelaksanaan terapi. Dalam penelitian ini, terapis berusaha untuk lebih memahami kondisi Aulia yang tidak melakukan defense dalam bentuk denial dan kondisi Rheina yang melakukan defense dalam bentuk denial dengan memberikan perlakuan yang berbeda pada keduanya. Pada Aulia, terapis sering melakukan konfrontasi yang membuatnya lebih mudah insight terhadap permasalahan. Sedangkan pada Rheina, terapis lebih fokus pada unsur-unsur subjektif dari apa yang disampaikan Rheina dengan melakukan refleksi dari apa yang ia sampaikan dan rasakan, dan melakukan konfrontasi seperlunya. Pertimbangan ini diambil terapis didasarkan pada apa yang diungkapkan Corey 1997, bahwa ada saatnya terapis harus melakukan konfrontasi terhadap tingkah laku menyangkal dan menghindar Corey, 1997. Walau demikian, terlalu memusatkan perhatian terhadap konfrontasi dapat menjadi batasan yang tidak perlu dalam terapi. Pada penelitian ini, hal yang dilakukan terapis cukup berhasil dalam menghadapi Aulia dan Rheina. Ketika kedua partisipan terbuka terhadap masalahnya, kemudian menyadari dan memahami emosi-emosi yang muncul dalam diri mereka, maka proses terapi pun lebih mudah untuk dilaksanakan dan keberhasilan tujuan terapi pun berpeluang besar untuk dicapai. Selain keterbukaan terhadap masalah, motivasi dan kedisiplinan juga menjadi hal yang penting dalam proses pelaksanaan well-being therapy pada penelitian ini. Sama halnya ketika membuat partisipan terbuka terhadap masalahnya, untuk membuat mereka tetap termotivasi dan disiplin juga bukanlah hal yang mudah. Perlu upaya dari terapis untuk meyakinkan mereka lebih jauh bahwa motivasi dan kedisiplinan sangat penting Universitas Sumatera Utara dalam keberhasilan pencapaian tujuan terapi untuk membantu masalah psikologis mereka, seperti ketika terapis meminta kesediaan mereka untuk mengisi lembar self-report untuk episodes of well-being yang mereka alami. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Ryff 1989, bahwa individu sering menolak mengerjakan pekerjaan rumah tersebut, karena bagi mereka tidak ada situasi sejahtera dalam hidup mereka. Dalam hal ini terapis dapat membantu dengan meyakinkan bahwa saat-saat tersebut sebenarnya terjadi, namun terlewatkan tanpa diperhatikan. Untuk itu, perlu memonitornya dengan baik sehingga identifikasi terhadap situasi-situasi psychological well-being untuk saat-saat dan perasaan well-being dapat terus ditingkatkan. Ketika motivasi telah mampu dipertahankan oleh kedua partisipan, dan kedisiplinan juga sudah diterapkan, maka dukungan dari orang-orang terdekat yang mengetahui kondisi kedua partisipan yang tengah dalam proses terapi sangat diperlukan untuk mengingatkan mereka akan tugas-tugas yang harus dikerjakan, keberhasilan- keberhasilan yang sudah susah payah didapatkan, dan ketika mereka harus mempertahankan bahkan harus meningkatkan apa yang mereka telah dapatkan selama sesi terapi ketika sesi terapi berakhir. Hal menarik lainnya adalah tingkat religiusitas yang mereka miliki sangat membantu untuk lebih mudah dan cepat memahami peranan well- being pada setiap situasi dari pengalaman hidup yang dihadapi berkaitan dengan kondisi kesehatan mereka. Pemanfaatan kekuatan-kekuatan yang dimiliki kedua partisipan telah mendukung keberhasilan terapi dalam penelitian ini. Kekuatan tersebut diantaranya adalah motivasi, kedisiplinan, dukungan dari orang-orang terdekat dan tingkat religiusitas dari kedua partisipan yang telah diuraikan sebelumnya. Kekuatan yang dimiliki Aulia dan Rheina telah menuntun mereka untuk mengalami perubahan dan peningkatan psychological well- being selama proses well-being therapy. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Universitas Sumatera Utara Rogers dalam Corey, 1997 bahwa prasyarat dasar bagi terapi adalah individu mempersepsi bahwa dirinya memiliki suatu masalah sehingga menimbulkan motivasi untuk berubah. Individu yang kemudian berhasil mendapatkan manfaat dalam terapi biasanya memperlihatkan kesediaan yang tinggi untuk berubah dan memiliki pengharapan yang positif atas perbaikan pribadi. Mereka juga bisa terlibat dalam eksplorasi diri yang dalam dan ekstensif. Kondisi ini tentu saja membuat individu disiplin dalam proses terapi, dan tetap mempertahankan hal yang sudah berhasil didapatkan selama terapi. Pada kegiatan follow-up pertama dan kedua yang dilakukan terapis, ditemukan bahwa kedua partisipan tetap mempertahankan apa yang sudah mereka dapatkan selama proses terapi, yakni emosi-emosi positif yang muncul dari pikiran dan perasaan positif mereka yang membuat mereka bersikap dan berperilaku positif juga dalam keseharian. Hal tersebut mereka lakukan dengan terus memanfaatkan hal-hal dan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan selama proses terapi hingga selesai, bahkan hingga peneliti menemui mereka kembali. Universitas Sumatera Utara 132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Well-being therapy dapat meningkatkan psychological well-being pada wanita penderita kanker payudara. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan dimensi self acceptance dan dimensi positive relational with others pada kedua partisipan. Kesimpulan ini menunjukkan bahwa hipotesa alternatif penelitian ini diterima yaitu well-being therapy dapat meningkatkan psychological well-being untuk dimensi self acceptance dan dimensi positive relational with others pada partisipan penelitian yang menderita kanker payudara. Peningkatan kedua dimensi tersebut, juga telah mengubah dimensi-dimensi psychological well-being lainnya menjadi lebih baik. 2. Terapis perlu mengantisipasi defense-defense yang muncul selama proses well-being therapy. Pada penelitian ini terapis melakukan metode refleksi dan konfrontasi untuk mengahadapi partisipan dengan defense dalam bentuk denial. 3. Rapport, motivasi, dukungan dari orang-orang terdekat, dan pemanfaatan aspek religiusitas sebagai salah satu cara dalam pendekatan eudomanic pada well-being therapy merupakan faktor-faktor yang mendukung proses pelaksanaan well-being therapy. Universitas Sumatera Utara

B. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Saran Metodologis a. Pelaksanaan well-being therapy pada wanita penderita kanker payudara akan lebih mudah jika menggunakan contoh-contoh sederhana dan konkrit berdasarkan situasi dan pengalaman yang dialami partisipan dalam hidupnya untuk kemudian mengaitkannya dengan aspek religi yang mereka miliki. Hal ini disesuaikan dengan kondisi religiusitas yang dimiliki partisipan. b. Melihat kekuatan dan kelemahan partisipan akan memudahkan proses pelaksanaan well-being therapy pada partisipan penderita kanker payudara. 2. Saran Praktis a. Partisipan Mempertahankan dan meningkatkan motivasi, serta memanfaatkan hal-hal dan kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan untuk terus meningkatkan dan mengoptimalkan psychological well-being. b. Keluarga Partisipan Untuk terus memberikan dukungan dalam bentuk dukungan sosial dan moral kepada kedua partisipan dalam upaya mengoptimalkan psychological well-being di masa mendatang setelah kegiatan terapi berakhir. c. Profesi Lain Memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber informasi intervensi yang dapat diberikan kepada penderita kanker payudara yang mengalami gangguan-gangguan psikologis terkait permasalahan kesehatannya sehingga dapat Universitas Sumatera Utara mencegah gangguan yang lebih berat, dan sekaligus juga untuk meningkatkan psychological well-being mereka. d. Masyarakat Memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai salah satu sumber bacaan untuk menambah wawasan dalam memahami dan mensejahterakan para penderita kanker payudara yang memiliki masalah yang kurang lebih sama dengan kedua partisipan Universitas Sumatera Utara xiv DAFTAR PUSTAKA Ade, F.R., dan Erlina, L.W. 2011. Post Traumatic Growth Pada Penderita Kanker Payudara. Yogyakarta Andrews, F. M, dan Robinson, J. P. 1991. Measures of Subjective Well-Being. In J. P. Robinson, P. R. Shaver, L. S. Wrightsman Eds., Measures of Personality and Social Psychological Attitudes. Volume 1. San Diego: Academic Press Anis, S.T., Ayu, P.,Urip, P. 2011. Hubungan Koping dan Dukungan Sosial dengan Body Image Pasien Kanker Payudara Post Mastektomy di Poli Bedah Onkologi RSHS Bandung. Jurnal Psikologi, 1-14 Baradero, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pada Klien Kanker. Jakarta: EGC Bargai, N. Hochhauser, C. 2009. Medical resilience. [on-line] www. Israel Center for the Treatment of Psychotrauma.com. [8 September 2012] Bellenir, K. 2009. Breast Cancer Sourcebook. USA: Springer Publishing Company, Inc Chyntia, E. 2009. Akhirnya Aku Sembuh dari Kanker Payudara. Yogyakarta: Maximus Corey, G. 1996. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Fifth edition: BrooksCole Publishing Company Diananda, R. 2009. Mengenal Seluk-Beluk Kanker. Yogyakarta: KATAHATI Dixon, M. dan Leonard, R. 2002. Seri Kesehatan: Kelainan Payudara. Jakarta: Dian Rakyat Drageset, S., Lindstrom, T., Underlid, K. 2010. Coping with Breast Cancer: Between Diagnosis and Surgery. Journal of Advance Nursing, 66, 149-158 Fava, G. A. 1999. Well-Being Therapy: Conceptual and Technical Issues. Psychoterapy Psychosom, 68: 171-179 Fava, G.A. dan Ruini, C. 2003 Development and Characteristic of Well Being Enhancing Psychoterapeutic Strategy: Well-Being Therapy. Journal of Behavior Therapy and Experimental, 34, 45-63 Universitas Sumatera Utara xv Fava, G.A., Ruini, C., Rafanelli, C., Finos, L., Salmaso, L., Mangelli, L., Sirigantti, S. 2005. Well-Being Therapy of Generalized Anxiety Disorder. Psychoterapy Psychosom, 74; 26-30 Feuerstein, M. 2007. Handbook of Cancer Survivorship. USA: Springer Publishing Company, Inc. Franco. 2010. Body Image and Quality of Life in Patients Who Underwent Breast Surgery. The American Surgeon, 76, 1000-1005 Halim, M. S. 2003. Quality of Life and Breast Cancer: A General Concept. Journal of Psychology, 12 2, 13-24 Hawari, D. 2004. Kanker Payudara: Dimensi Psikoreligi. Jakarta: FKUI Jemal, A. 2003. Cancer Statistic. CA. Cancer J Clin ; 53:5 Linley, P.A dan Joseph, S. 2004. Positive Psychology in Practice. New Jersey: John Wiley dan Sons, Inc Luwia, M. 2003.Problematika dan Keperawatan Payudara. Cetakan I. Jakarta: Kawan Pustaka Macleod, A. K., Moore, 2000. Positive Thinking Revisited: Positive Cognitions, Well- Being, and Mental Health. Clinical Psychology and Psychoterapy, 7, 1-10 Matthew, E dan Cook, P. 2005. Relationship Among Optimism, Well-Being, Self- Transcendence, Coping and Social Support in Women During Treatment for Breast Cancer. Psycho-Oncology, 18, 716-726 Moleong, J. L. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Odgen, J. 2004. Understanding Breast Cancer. England: John Willey Sons, Ltd Odgen, J. 2007. Health Psychology. New York: McGraw-Hill International Osborn, Kathlen, S., Watson. 2010. Medical Surgical Nursing: Preparation for Practice. Volume 2. USA: Pearson Papalia, D. E., Old, S. W., Feldman. 2001. Human Development. Six Edition. New York: McGraw-Hill International Universitas Sumatera Utara xvi Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rahardjo, M. 2010. Triangulasi Pada Penelitian Kualitatif. Malang: UIM Rahayu, T. A. 1991. Kanker Payudara. Surabaya: Yayasan Kanker Wisnuwardhana Ramli, M. 2003. Management of Breast Cancer: Kumpulan Naskah Ilmiah Muktamar VI PERABOI. Semarang Ramli, M. 2005. Deteksi Dini Kanker. Jakarta: FKUI Reich, M. C., Lesur, Chevallier, P. 2008. Depresion, Quality of Life and Breast Cancer: A Review of The Literature. Breast Cancer Res Treat, 110, 9-17 Ricks, D. 2005. Breast cancer, Basics and Beyond: Treatment, Resources, Self-Help, Good News, Updates. USA: Hunter House Inc., Publishers Smeltzer, S dan Bare, B. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3 Edisi 8 alih bahasa oleh Kuncara, dkk Jakarta: EGC Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo Tavistock dan Routledge. 2002. The Experience of Illness Series. USA: Springer Publishing Company, Inc Ryan, R. M dan Deci, E. L. 2001. On Happiness and Human Potensials: A Review of Research on Hedonic and Eudomanic Well-Being. Annual Reviews: University of Illinois, 52: 141-166 Ryff, C. D. 1989. Happiness Is Everything or Is It? Exploration on The Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 6: 1069-1081 Ryff, C. D dan Keyes, C. L. 1995. The Structure of Psychology Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727 Ryff, C. D., Singer, B. 2000. Biopsychosocial Challenges of The New Millenium. Psychoterapy and Psychosomatics, 69, 170-177 Universitas Sumatera Utara xvii Ryff, C. D., Keyes, C. L., M. Smotkin, D. 2002. Optimizing Well-Being: The Empirical of Two Traditions. Journal of Personality and Social Psychology, 82: 6, 1007-1002 Ryff. C. D 2005. Psychological Well-Being in Adult Life. Current Directions in Psychological Science, 4,99-104 Sarafino, E. P. 1994. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. Second Edition. New York: John Wiley Sons, Inc Seniati, L., Yulianto, A., Setiadi, B.N 2005. Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks Strauses, D. R., Lustig, D. C Ciptci, A. 2008. Psychological Well-Being: Its Relation to Work Personality, Vocational Identity, and Cancer Thoughts. The Journal of Psychology Provincetown, Vol.142, 155 World Health Organization. 2008. Breast Cancer: Prevention and Control. [Online]. http:www.who.intcancerdetectionbreastcancerenindexl.htm [8 September 2012] Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN I DATA RESUME PARTISIPAN I Universitas Sumatera Utara DATA RESUME PARTISIPAN 1

1. IDENTITAS