Jenis dan Kedalaman Efektif Tanah

35 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi Areal untuk Ekstensifikasi Tambak Garam

Proses identifikasi areal untuk ekstensifikasi tambak garam didahului dengan analisis kesesuaian lahan. Pada analisis ini salah satu peubah yang digunakan adalah tutupan lahan yang dibuat dari hasil interpretasi citra ikonos tahun 2010 seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil analisis menunjukkan bahwa hampir setengah tutupan lahan di lokasi penelitian berupa sawah Tabel 11. Tambak garam merupakan tutupan lahan dengan luas areal terbesar kedua yaitu 6 191.76 ha atau 16.70 dari luas keseluruhan lokasi penelitian 37 084.49 ha. Diketahui pula terdapat tambak yang hanya digunakan untuk budidaya ikan bandeng dan udang seluas 181.03 ha 0.49. Selebihnya tutupan lahan berupa ladangtegalan 13.36, kebun campuran 2.91, permukiman 15.35, hutan 2.70, mangrove 0.74, rawa 0.59, semak belukar 0.23, sungai 1.66, dan lainnya 0.05. Pada kriteria kesesuaian lahan tambak garam, tutupan lahan berupa tambak garam, tegalan dan semak belukar masuk dalam kelas sangat sesuai S1. Sawah dan kebun campuran masuk dalam kelas cukup sesuai S2. Tutupan lahan berupa rawa dan tambak budidaya masuk dalam kelas sesuai marjinal S3. Permukiman, hutan, dan mangrove masuk dalam kelas tidak sesuai N. Kelas tutupan lahan lainnya hasil ground chek berupa alun-alun kabupaten dan pasir pantai sehingga juga dimasukkan dalam kelas tidak sesuai N. Gambar 9 Tutupan lahan 36 Tabel 11 Luas tutupan lahan No. Tutupan lahan Luas ha Persentase 1. Tambak garam 6 191.76 16.70 2. Tambak budidaya 181.03 0.49 3. Sawah 16 770.75 45.22 4. Ladangtegalan 4 956.01 13.36 5. Kebun campuran 1 079.65 2.91 6. Permukiman 5 691.08 15.35 7. Hutan 1 000.97 2.70 8. Mangrove 273.74 0.74 9. Rawa 219.12 0.59 10. Semak belukar 85.93 0.23 11. Sungai 616.01 1.66 12. Lainnya 18.46 0.05 Jumlah 37 084.49 100.00 Perbedaan tingkat kesesuaian lahan untuk suatu kategori tutupan lahan menunjukkan besarnya waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati jenis dan tutupan lahan tersebut serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan Giap et al. 2005. Kategori kesesuaian lahan tinggi menunjukkan waktu dan biaya investasi yang dibutuhkan minimum untuk mengembangkan sistem pertambakan tersebut dan menguntungkan secara berkelanjutan. Sebaliknya untuk kesesuaian lahan rendah menunjukkan investasi atau waktu yang tinggi untuk mengkonversi lahan eksisting tersebut. Tambak garam di pesisir selatan Kabupaten Sampang dimanfaatkan untuk pengusahaan garam pada musim kemarau sedangkan pada musim penghujan dimanfaatkan untuk budidaya ikan. Berbeda dengan tambak garam, tambak budidaya diusahakan sepanjang tahun untuk budidaya ikan danatau udang. Konstruksinya berbeda dan memiliki dasar lebih dalam 1.2−1.5 m dibandingkan dengan tambak garam yang hanya dibutuhkan kedalaman 5−15 cm untuk meja kristalisasi pada tambak garam. Meskipun secara teknis memungkinkan namun demikian dibutuhkan biaya yang tinggi untuk pengurugan tanah dalam mengkonversi lahan ini menjadi tambak garam sehingga dalam penelitian ini ditetapkan masuk dalam kelas sesuai marjinal S3. Menurut Panjara et al. 2008 mangrove merupakan salah satu tutupan lahan yang sesuai S3 untuk tambak, akan tetapi dalam penelitian ini mangrove ditetapkan tidak sesuai N mengingat kelas tutupan lahan tersebut masuk dalam kawasan suaka alam yang dilindungi sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Perlindungan terhadap mangrove ini bertujuan untuk melestarian hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat berkembangnya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung pantai dan pengikisan air laut serta pelindung usaha budidaya di belakangnya. Laporan Tarunamulia et al. 2008 juga menunjukkan bahwa mangrove lebih menguntungkan jika dibiarkan sesuai dengan peruntukan yang sekarang atau sebagai lahan konservasi. 37 Proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 10. Dalam proses identifikasi tersebut, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah: kesesuiaan lahan, penggunaan lahan eksisting, perijinanhak pengelolaan lahan, dan berbagai regulasi agar lokasi yang teridentifikasi berada dalam area yang memungkinkan untuk dilakukan aktivitas pertambakan. Namun demikian, pada tahap ini pertimbangan perijinanhak pengelolaan lahan tidak dilakukan karena keterbatasan data. Gambar 10 Skema proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam

5.1.1 Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Tambak Garam

Operasi tumpang susun untuk memperoleh kelas kesesuaian lahan tambak garam diadaptasi dari Pantjara et al. 2008 yang menggunakan peubah kelerengan lahan t, tekstur tanah s, curah hujan e, jarak dari garis pantai p, jarak dari sungai r, dan tutupan lahan c. Kelerengan lahan berkaitan dengan kemudahan pengelolaan tata aliran air dan minimalisasi biaya konstruksi. Tekstur tanah berkaitan dengan porositas tanah agar air tidak merembes. Curah hujan berkaitan dengan kemampuan dan kesempatan faktor klimat dalam menguapkan air laut di atas tambak dalam proses kristalisasi garam. Jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut sebagai bahan baku dalam pengusahaan garam. Tutupan lahan berkaitan dengan waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan. Peubah curah hujan diadaptasi dari BRKP dan BMG 2005 yang mensyaratkan curah hujan tahunan yang rendah yaitu dibawah 1300 mmtahun agar suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi tambak garam. Penentuan kelas kesesuaian lahan juga mempertimbangkan perlindungan atas sempadan pantai sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007. Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis spasial lebih lanjut telah dilakukan proses buffer sepanjang garis pantai dengan lebar 100 meter ke arah darat yang bertujuan untuk memberi ruang space yang akan berfungsi sebagai jalur hijau green belt. Sehubungan dengan penggunaan peubah jarak dari garis pantai atau jarak dari sungai dalam kaitan pertimbangan jarak dari sumber air, pelaksanaan operasi tumpang susun disesuaikan dengan karakteristik jenis zona seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Pada zona I terdapat sungai besar yang lebarnya mencapai 300 meter dan didukung dengan tingkat kelerengan yang sangat rendah. Pada zona I ini air laut dapat masuk ke daratan pada saat pasang hingga melebihi jarak 4 000 meter dari garis pantai. Untuk itu berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas Operasi Tumpang Susun Peta Kesesuaian Lahan Tambak garam Penggunaan Lahan Eksisting - Berbagai Regulasi - Perijinanhak Pengelolaan Lahan Potensi Ekstensifikasi Lahan Tambak Garam