17 citra berada pada sistem koordinat yang benar dan memiliki nilai piksel yang
sesuai dengan yang sebenarnya Barus dan Wiradisastra 2000. Pada proses interpretasi, citra didigitasi secara manual dengan skala tampilan 1:10 000 pada
peta dasar berupa peta RBI tahun 1999 skala 1:25 000. Proses digitasi ini menghasilkan peta tutupan lahan yang selanjutnya digunakan pada operasi
tumpang susun dalam pembuatan peta kesesuaian lahan tambak garam. Kesesuaian lahan merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang
lahan untuk suatu penggunaan tertentu Sitorus 2004. Untuk menilai tingkat kesesuaian lahan dalam rangka ekstensifikasi tambak digunakan teknik operasi
tumpang susun overlay operation melalui sistem informasi geografis SIG. Klasifikasi kesesuaian lahan dalam penelitian ini menggunakan kategori tingkat
kelas. Kelas yang digunakan terdiri dari 3 tiga kelas dalam ordo S sesuai dan 1 satu kelas dalam ordo N tidak sesuai. Menurut Sitorus 2004 dan
Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007, sistem FAO menjabarkan kelas kesesuaian lahan sebagai berikut:
Kelas S1 : sangat sesuai highly suitable. Lahan ini tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan
yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan
masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 : cukup sesuai moderately suitable
Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas
atau keuntungan dan meningkatkan masukan input yang diperlukan. Kelas S3 : sesuai marjinal marginally suitable
Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas sangat berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas
atau keuntungan dan perlu menaikkan input yang diperlukan. Kelas N : tidak sesuai not suitable
Lahan ini mempunyai pembatas sedemikian rupa sehingga mencegah suatu penggunaan secara lestari.
Faktor pembatas dari tiap kelas kesesuaian dalam penelitian ini diulas secara deskriptif untuk menunjukkan sub-kelas kesesuaiannya. Sub-kelas lahan
menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan di dalam tiap kelas kesesuaian Sitorus 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007
3.4.1.1 Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan Tambak Garam
Sebelum dimulai operasi tumpang susun, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kriteria kesesuaian lahan tambak garam sebagaimana ditunjukkan pada
Tabel 4. Kriteria kesesuaian tambak garam dalam penelitian ini menggunakan 6 enam peubah relevan yang diadaptasi dari kriteria kesesuaian lahan tambak
budidaya udang yang disusun Pantjara et al. 2008. Peubah-peubah tersebut yaitu: kelerengan lahan t, tekstur tanah s, curah hujan e, jarak dari garis
pantai p, jarak dari sungai r, dan tutupan lahan c. Penggunaan kriteria tambak budidaya ini dipandang masih koheren dengan kriteria tambak garam. Di pesisir
selatan Kabupaten Sampang, tambak yang digunakan untuk memproduksi garam pada musim kemarau juga dimanfaatkan sebagai untuk budidaya udangbandeng
18 pada musim penghujan. Namun demikian, penggunaan peubah pada kriteria
kesesuaian lahan tambak garam perlu dilakukan penyesuaian sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan teknis maupun yuridis.
Tabel 4 Kriteria kesesuaian lahan tambak garam
Peubah Kelas Kesesuaian Lahan
S1 S2
S3 N
Kelerengan lahan t
a
0 – 2 2 – 3
3 – 4 4
Tekstur tanah s
a
lempung liat berpasir
sandy clay loam liat berpasir
sandy clay liat berdebu
silty clay debu, pasir
silt, sand Curah hujan e mmthn
b
1 300 1 300
1 300 1 300
Jarak dari garis pantai p m
a
100 – 1 000 1 000 –
2 000 2 000 –
4 000 0 − 100
c
, 4 000
Jarak dari sungai r m
a
0 − 500 500 –
1 000 1 000 –
2 000 2 000
Tutupan lahan c
a
tambak garam, tegalan, belukar
sawah, kebun
rawa, tambak
budidaya permukiman,
hutan, mangrove
d
Sumber:
a
Pantjara et al. 2008.
b
BRKP dan BMG 2005.
c
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang menetapkan sempadan pantai 100 m
dari titik pasang tertinggi ke arah darat sebagai kawasan lindung.
d
Tarunamulia et al. 2008.
Peubah curah hujan disesuaikan kembali mengacu pada BRKP dan BMG 2005 yang menyebutkan bahwa curah hujan tahunan yang sesuai untuk tambak
garam di bawah 1 300 mmtahun. Penyesuaian ini perlu dilakukan karena curah hujan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan feseabiltas suatu
kawasan untuk pengusahaan garam dengan solar evaporation. Peubah jarak dari garis pantai 0−100 meter dan kelas tutupan lahan berupa mangrove juga
disesuaikan berkaitan dengan pengelolaan kawasan lindung sesuai Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990.
Menurut Poernomo 1992, dua faktor yang juga mempengaruhi pemasokan air dalam mengoperasikan tambak adalah elevasi lahan dan sifat pasang surut.
Kedua faktor tersebut menjadi tolok ukur daya dukung lahan pantai untuk pertambakan yang penilaiannya dilakukan terlebih dahulu untuk menetapkan
apakah suatu daerah layak untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dalam penelitian ini, kedua faktor tersebut tidak dimasukkan sebagai peubah dalam
kriteria kesesuaian lahan tambak garam karena kondisi eksisting sudah menunjukkan bahwa di lokasi penelitian sudah banyak aktivitas pertambakan
yang dikelola secara tradisional-ekstensif. Di lokasi penelitian, air laut bisa masuk ke areal pertambakan pada saat pasang tanpa bantuan pompa air. Hal ini
menunjukkan bahwa daya dukung lahan pantai memungkinkan untuk dikembangkan usaha pertambakan. Dengan demikian kaitannya dengan aspek
topografi, penggunaan peubah kelerengan saja sudah bisa digunakan untuk mengidentifikasi potensi ekstensifikasi tambak garam di lokasi penelitian.