Oseanografi Kondisi Fisik Lokasi Penelitian .1 Topografi

37 Proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 10. Dalam proses identifikasi tersebut, beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah: kesesuiaan lahan, penggunaan lahan eksisting, perijinanhak pengelolaan lahan, dan berbagai regulasi agar lokasi yang teridentifikasi berada dalam area yang memungkinkan untuk dilakukan aktivitas pertambakan. Namun demikian, pada tahap ini pertimbangan perijinanhak pengelolaan lahan tidak dilakukan karena keterbatasan data. Gambar 10 Skema proses identifikasi ekstensifikasi lahan tambak garam

5.1.1 Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Tambak Garam

Operasi tumpang susun untuk memperoleh kelas kesesuaian lahan tambak garam diadaptasi dari Pantjara et al. 2008 yang menggunakan peubah kelerengan lahan t, tekstur tanah s, curah hujan e, jarak dari garis pantai p, jarak dari sungai r, dan tutupan lahan c. Kelerengan lahan berkaitan dengan kemudahan pengelolaan tata aliran air dan minimalisasi biaya konstruksi. Tekstur tanah berkaitan dengan porositas tanah agar air tidak merembes. Curah hujan berkaitan dengan kemampuan dan kesempatan faktor klimat dalam menguapkan air laut di atas tambak dalam proses kristalisasi garam. Jarak dari garis pantai dan jarak dari sungai berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut sebagai bahan baku dalam pengusahaan garam. Tutupan lahan berkaitan dengan waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan. Peubah curah hujan diadaptasi dari BRKP dan BMG 2005 yang mensyaratkan curah hujan tahunan yang rendah yaitu dibawah 1300 mmtahun agar suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi tambak garam. Penentuan kelas kesesuaian lahan juga mempertimbangkan perlindungan atas sempadan pantai sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007. Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis spasial lebih lanjut telah dilakukan proses buffer sepanjang garis pantai dengan lebar 100 meter ke arah darat yang bertujuan untuk memberi ruang space yang akan berfungsi sebagai jalur hijau green belt. Sehubungan dengan penggunaan peubah jarak dari garis pantai atau jarak dari sungai dalam kaitan pertimbangan jarak dari sumber air, pelaksanaan operasi tumpang susun disesuaikan dengan karakteristik jenis zona seperti ditunjukkan pada Lampiran 1. Pada zona I terdapat sungai besar yang lebarnya mencapai 300 meter dan didukung dengan tingkat kelerengan yang sangat rendah. Pada zona I ini air laut dapat masuk ke daratan pada saat pasang hingga melebihi jarak 4 000 meter dari garis pantai. Untuk itu berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas Operasi Tumpang Susun Peta Kesesuaian Lahan Tambak garam Penggunaan Lahan Eksisting - Berbagai Regulasi - Perijinanhak Pengelolaan Lahan Potensi Ekstensifikasi Lahan Tambak Garam 38 air laut pada zona I ini tidak menggunakan peubah jarak dari garis pantai p, melainkan hanya menggunakan peubah jarak dari sungai r. Sebaliknya pada zona II tidak terdapat sungai besar. Seluruh tambak garam eksisting pada zona ini hanya berada dalam jarak 4 000 meter dari garis pantai. Pada zona II ini keberadaan tambak garam sangat bergantung dengan dekatnya jarak dari pantai. Akses air dari laut ke darat pada saat pasang dapat melalui sungai-sungai kecil atau kanal-kanal yang dibuat masyarakat setempat. Untuk itu, berkaitan dengan ketersediaan dan aksesibilitas air laut pada zona II ini hanya menggunakan peubah jarak dari garis pantai p. Hasil analisis spasial terhadap kesesuaian lahan tambak garam diperlihatkan pada Gambar 11. Diketahui terdapat 8 949.91 ha lahan sesuai untuk dikembangkan menjadi lahan tambak garam, meliputi 4 826.95 ha sangat sesuai S1, 3 293.45 ha cukup sesuai S2 dan 829.52 ha sesuai marjinal S3 yang tersebar pada enam kelas tutupan lahan berupa tambak garam, tambak budidaya, sawah, ladangtegalan, kebun campuran, semak belukar, dan rawa Tabel 12. Pada zona I, kelas kesesuaian lahan S1 lebih banyak berada pada lahan yang relatif dekat dengan sungai. Ini menunjukkan bahwa lahan kelas S1 relatif akan lebih mudah dalam pengelolaan pemanfaatan air laut sebagai bahan baku pembuatan garam. Keadaan ini juga didukung dengan kelas lereng yang datar ≤ 2 sehingga memudahkan air laut bisa masuk ke daratan pada saat air pasang. Kemudahan dalam memperoleh air laut ini menjadi faktor yang sangat penting guna meminimalkan biaya karena pengusahaan garam membutuhkan pasokan air laut dalam jumlah yang sangat besar. Keadaan ini harus didukung juga dengan tekstur tanah yang tidak porous sehingga air laut yang ditampung di atas tambak garam tidak mudah merembes ke dalam tanah. Gambar 11 Kesesuaian lahan tambak garam 39 Tabel 12 Hasil analisis kesesuaian lahan tambak garam Tutupan lahan eksisting Kelas kesesuaian lahan ha Persentase S1 S2 S3 Jumlah Tambak garam 4 798.41 1 185.40 161.46 6 145.28 68.66 Tambak budidaya - - 181.03 181.03 2.02 Sawah - 2 069.17 266.26 2 335.43 26.09 Ladangtegalan 28.54 31.09 0.00 59.63 0.67 Kebun campuran - 0.74 - 0.74 0.01 Semak belukar - 7.05 - 7.05 0.08 Rawa - - 220.76 220.76 2.47 Jumlah 4 826.95 3 293.45 829.52 8 949.91 100.00 Lahan kelas S2 dan S3 berada lebih jauh dari sungai yang dapat mengakibatkan produktivitasnya akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lahan kelas S1. Dalam hal ini, lahan kelas S2 dan S3 pada zona I ini tergolong ke dalam sub-kelas S2r dan S3r yang artinya lahan tersebut masuk ke dalam kelas cukup sesuai dan sesuai marjinal dengan faktor pembatas jarak dari sungai r. Dengan mengetahui faktor pembatas tersebut, maka selanjutnya dapat diantisipasi dengan upaya perbaikan seperti pembuatan kanal baru atau revitalisasi kanal yang sudah ada sebagai akses masuknya air laut yang melalui sungai ke areal pegaraman. Penggunaan kincir angin yang dioperasikan pada saat air pasang sebagaimana banyak ditemui di pesisir selatan Kabupaten Sampang juga dapat melengkapi upaya perbaikan tersebut guna mempercepat pemindahan air laut di kanal menuju tambak garam sehingga kanal bisa segera diisi dengan air laut yang baru. Upaya ini juga harus didukung dengan pembuatan tambak reservoir yang memadai untuk menampung air laut sebanyak-banyaknya mengingat pengusahaan garam membutuhkan bahan baku berupa air laut dalam jumlah besar. Pada zona II, lahan kelas S1 berada dekat dengan pantai sedangkan lahan kelas S2 dan S3 berada lebih jauh ke arah darat. Dalam hal ini, lahan kelas S2 dan S3 pada zona II ini tergolong ke dalam sub-kelas S2p dan S3p yang artinya lahan tersebut masuk ke dalam kelas cukup sesuai dan sesuai marjinal dengan faktor pembatas jarak dari garis pantai p. Upaya perbaikan yang perlu dilakukan pada tiap-tiap kelas di zona II ini kurang lebih sama dengan upaya perbaikan dalam kelas S2r dan S3r pada zona I yaitu secara prinsip mengusahakan agar air laut bisa masuk sebanyak-banyaknya ke arah lahan kelas S2 dan S3 baik melalui sungai- sungai kecil maupun kanal-kanal buatan. Hal ini diperlukan karena pemanfaatan air laut pada saat pasang oleh lahan kelas S2 dan S3 akan berkompetisi dengan lahan kelas S1 yang notabene berada lebih dekat dengan pantai. Lahan kelas N pada zona II ini pada umumnya disebabkan oleh kelerengan t lahan yang lebih besar dari 4 sehingga digolongkan sebagai sub-kelas Nt. Selama peubah kriteria lainnya memenuhi dan secara teknis memungkinkan maka upaya perbaikan dapat dilakukan asalkan tingkat kemiringannya masih landai ≤ 8 sehingga lahan bisa masuk ke dalam kelas sesuai. Upaya perbaikan yang dapat dilakukan berupa pekerjaan pemapasan dan pengurugan tanah. Namun demikian, pertimbangan ekonomi dalam hal ini harus menjadi perhatian utama karena upaya perbaikan tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit disamping harus berhadapan dengan faktor pembatas yang akan dijumpai selanjutnya. Untuk lahan kelas N pada kelerengan bergelombang atau berbukit kelerengan 8