Kerangka Pemikiran Study for Development of Conventional Salt Pond Center in the South Coast Region of Sampang Regency, East Java Province

9 maduris disamping karena sudah dilakukan secara turun temurun, dan caranya lebih mudah. Produksi garam rakyat tersedia dalam bentuk KP1 kualitas 1, KP2 kualitas 2, maupun garam dengan kualitas di bawahnya KP3 Disperindagtam Sampang 2010. Pemerintah beberapa kali melakukan upaya pengaturan tata niaga garam untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani garam. Selama Periode 2004-2011 sudah digulirkan Harga Penetapan Pemerintah HPP sebanyak 5 lima kali Tabel 1. Untuk garam KP1 dan KP2 ditetapkan selalu meningkat setiap kali terbit ketentuan, terakhir masing-masing ditetapkan seharga 750 ribu dan 550 ribu per ton pada tahun 2011, sedangkan untuk KP3 sejak tahun 2007 tidak diatur lagi karena diharapkan agar petani tidak memproduksinya lagi. Tabel 1 Penetapan harga garam oleh pemerintah 2004-2011 Jenis garam Harga pada tahun Rpton 2004 a 2005 b 2007 c 2008 d 2011 e KP1 Nacl 94.7 145 000 200 000 250 000 325 000 750 000 KP2 85 NaCl 94.7 100 000 150 000 190 000 250 000 550 000 KP3 NaCl 85 70 000 80 000 - - - a Kepmenperindag No. 376MPPKep62004; b Permendag No.20M-DAGPER92005; c Perdirjen Perdagangan Luar Negeri No.8DAGLUTER102007; d Kepdirjen Perdagangan Luar Negeri No:07DAGLUPER72008; e Perdirjen Perdagangan Luar Negeri No:02DAGLU PER52011.

2.2 Kesesuaian Lahan Tambak

Evaluasi kesesuaian lahan sangat penting untuk mengidentifikasi daerah- daerah yang mempunyai potensi untuk penggunaan tertentu sehingga dapat dikembangkan secara intensif. Dalam penentuan kesesuaian lahan diperlukan kriteria untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Persyaratan tersebut dapat berhubungan dengan penggunaan lahan itu sendiri biofisik, kondisi sosial ekonomi, budaya dan lingkungan kelembagaan Conant et al. 1983. Menurut Poernomo 1988, identifikasi kelayakan sumberdaya lahan untuk pengembangan budidaya penting artinya dalam rangka penataan ruang daerah yang sesuai dengan peruntukannya. Hal ini untuk menghindari konflik kepentingan baik antar sektor kelautanperikanan maupun dengan sektor lain. Pemilihan lokasi untuk budidaya lautpantai yang tepat dapat digunakan sebagai indikator awal keberhasilan budidaya sesuai dengan jenis komoditas dan teknologi budidaya yang akan diterapkan. Budidaya tambak di Indonesia sudah mulai dikembangkan semenjak ratusan tahun yang lalu. Sstudi tentang kesesuaian lahan untuk tambak telah banyak dilakukan diantaranya oleh Jamil 2005, Alaudin 2004 dan Mustafa et al. 2008 di Sulawesi Selatan; Pantjara et al. 2008 di Sulawesi Tenggara; Rudiastuti 2011 di Indramayu; dan Yulianto 2011 di Kalimantan Selatan. Studi ini untuk pengembangan budidaya perikanan tambak, tetapi beberapa karakteristik fisiknya masih relevan digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan tambak garam. Pengembangan lahan untuk tambak harus memperhatikan beberapa faktor fisik utama, yaitu: topografi, hidrologi, kondisi tanah, kualitas air, dan iklim Poernomo 1992; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007; Mustafa et al. 2008. 10 Selain kelima faktor fisik tersebut, Tarunamulia et al. 2008 dan Pantjara et al. 2008 mempertimbangkan tipe penutup dan penggunaan lahan sehubungan dengan status kesesuaian pengembangan pertambakan. Kaitannya dengan topografi, kemiringan lereng dapat mempengaruhi kemampuan suatu lahan dalam pengisian air tambak, terutama tambak yang dikelola secara tradisional. Chanratchakool et al. 1995 menyarankan kemiringan lereng lahan yang baik untuk pertambakan adalah yang relatif datar. Tanah yang relatif datar akan mempermudah pengaturan tata aliran air sekaligus meminimalkan biaya konstruksi Soegianto dan Suwatmono 2002. Menurut Pantjara et al. 2008 lahan dengan kemiringan lereng di atas 4 sudah tidak sesuai dikembangkan untuk aktivitas pertambakan. Sehubungan dengan aspek hidrologi, jarak dari sumber air berpengaruh terhadap jumlah air yang bisa dikelola. Jarak tambak dari sungai danatau laut sebagai sumber air mempengaruhi tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya tambak Poernomo 1992; Rudiastuti 2011. Hidrologi juga berkenaan dengan amplitudo pasang surut yang dikaitkan dengan elevasi lahan. Kisaran pasang surut perlu diketahui lebih dulu untuk menetapkan apakah suatu daerah berada dalam batas air pasang surut sehingga bisa ditentukan kelayakannya. Menurut Poernomo 1992, pada pertambakan semi intensif dan terutama ekstensif, elevasi lahan harus berada di antara atau sedikit lebih tinggi dari rataan surut rendahmean low water level MLWL dan lebih rendah dari rataan pasang tinggimean high water level MHWL. Rentang amplitudo pasang surut yang sesuai untuk pengembangan lahan tambak tambak berkisar 0.5–3.5 Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. Kondisi tanah yang perlu dievaluasi dalam penentuan kesesuaian untuk aktivitas pertambakan meliputi kedalaman tanah, tekstur tanah, ketebalan gambut, kedalaman pirit serta kualitas tanah Mustafa et al. 2008. Menurut Purbani 2011 kaitannya dengan karakteristik tanah, dalam pengusahaan tambak garam porositas merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan produksi garam. Karena itu dalam memilih lahan untuk tambak, tekstur tanah sangat penting untuk diperhatikan. Makin kasar tanah berarti porositas semakin tinggi sehingga kurang cocok untuk tambak Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007. Menurut Pantjara et al. 2008 tekstur tanah berupa lempung liat berpasir sandy clay loam sangat cocok untuk aktivitas pertambakan. Selain kedap tidak bocor, tanah bertekstur lempung liat berpasir dapat mendukung konstruksi tambak yang kokoh Taslihan et al. 2003. Kualitas air juga menentukan keberhasilan aktivitas pertambakan. Dalam pengusahaan garam faktor penting yang mempengaruhi produksi garam adalah mutu air laut. Purbani 2001. Menurut Hernanto dan Kwartatmono 2001 air laut yang baik adalah yang memiliki kandungan garam relatif tinggi dan tidak tercampur aliran muara sungai tawar. Akan lebih baik jika air laut jernih, tidak tercampur dengan lumpur dan limbah buangan. Air laut juga harus diwaspadai dari pencemaran logam berat seperti timbal Pb, tembaga Cu, dan raksa Hg, serta cemaran arsen As DIKA Deperindag 2001. Aspek kualitas air ini harus diketahui kelayakannya sebelum mengarahkan pengembangan pertambakan di suatu kawasan. Faktor iklim merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan pengusahaan garam. Kondisi cuaca ideal yang diharapkan di wilayah ladang 11 garam adalah kecepatan angin lebih dari 5 mdetik dan arah angin tidak berubah- ubah, suhu udara lebih dari 32 °C, kelembaban udara kurang dari 50, curah hujan rendah, hari hujan rendah, serta penyinaran matahari 100 yang memungkinkan untuk tingginya proses evaporasi. Panjang musim kemarau juga berpengaruh langsung kepada kesempatan yang diberikan untuk membuat garam dengan bantuan sinar matahari. Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara mempengaruhi kecepatan penguapan air, makin besar penguapan maka makin besar jumlah kristal garam yang mengendap. Curah hujan intensitas dan pola hujan distribusinya dalam setahun rata-rata merupakan indikator yang berkaitan erat dengan panjang kemarau yang kesemuanya mempengaruhi daya penguapan air laut Purbani 2001. Mengingat kondisi tambak garam yang dilakukan di sentra-sentra garam yang masih bersifat tradisional, maka menurut BRKP dan BMG 2005 berbagai parameter iklim berikut ini sangat menentukan keberhasilan produksi garam. Secara garis besar kondisi iklim yang menjadi persyaratan agar suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi tambak garam adalah: 1. Curah hujan tahunan yang kecil, curah hujan tahunan daerah garam dibawah 1300 mmtahun. 2. Mempunyai sifat kemarau panjang yang kering yaitu selama musim kemarau tidak pernah terjadi hujan. Lama kemarau kering ini minimal 4 bulan 120 hari. 3. Mempunyai suhu atau penyinaran matahari yang cukup. Makin panas suatu daerah, penguapan air laut akan semakin cepat. 4. Mempunyai kelembaban rendahkering. Makin kering udara di daerah tersebut, peguapan akan makin cepat. Berkaitan dengan tutupan lahan yang juga menjadi pertimbangan dalam kriteria kesesuaian lahan, Giap et al. 2005 menjelaskan bahwa perbedaan tingkat kesesuaian lahan untuk suatu kategori tutupan lahan menunjukkan besarnya waktu dan investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem tambak pada wilayah yang ditempati tutupan lahan tersebut serta pertimbangan untung rugi dalam dimensi ekonomi atau lingkungan. Tarunamulia et al. 2008 dan Pantjara et al. 2008 membagi beberapa jenis penutup lahan menurut tingkat kesesuaiannya. Berbagai jenis penutupan lahan dikategorikan ke dalam kelas sesuai, dari kesesuaian rendahsesuai marjinal hingga kesesuaian tinggisangat sesuai. Beberapa jenis penutupan lahan lainnya dikategorikan tidak sesuai seperti mangrove primer, permukiman, hutan, dan fasilitas umum.