4.3.3 Produktivitas Lingkungan
Nilai indeks lingkungan berkaitan dengan tingkat produktivitas suatu lingkungan. Indeks lingkungan positif dinilai sebagai lingkungan yang produktif
dan indeks lingkungan negatif sebagai lingkungan yang marjinal. Indeks lingkungan dapat dijadikan penduga tingkat kesesuaian suatu genotipe pada
lingkungan uji. Lingkungan dengan nilai indeks lingkungan besar cocok untuk pertumbuhan tanaman uji Elberhart dan Russel 1966. Indeks lingkungan
merupakan hasil rata-rata semua genotipe di suatu lingkungan di kurangi dengan hasil rata-rata genotipe di semua lingkungan. lingkungan merupakan faktor non
genetik yang mempengaruhi penampilan fenotipik suatu tanaman . Produktivitas pada lingkungan optimal ditandai oleh nilai indeks 1.0.
Tabel 4.8 Nilai indeks lingkungan pada empat lingkungan
Genotipe Bobot biji kering ton.ha-1
Rata-rata Bogor
Sumedang Sukabumi Kiningan
GWS-18A1 1.08
0.66 2.09
1.06 1.22
GWS-39D 0.92
0.74 2.80
1.16 1.41
GWS-72A 0.87
0.81 2.62
2.83 1.78
GWS-73D 0.95
0.76 2.16
1.15 1.26
GWS-74A1 0.88
0.88 2.08
1.75 1.40
GWS-110A1 1.15
0.96 2.38
2.49 1.74
GWS-110A2 0.94
0.89 2.22
2.14 1.55
GWS-134A 1.07
0.96 2.28
2.17 1.62
GWS-134D 0.68
0.70 2.09
1.55 1.25
GWS-138A 0.74
1.50 1.89
1.60 1.43
Gajah 0.87
0.80 3.80
1.99 1.87
Jerapah 0.88
0.73 2.11
1.09 1.20
Zebra 0.86
0.81 1.44
2.03 1.28
Sima 1.03
0.64 2.54
1.23 1.36
Rata-rata 0.92
0.85 2.32
1.73 1.46
KK 30.08
53.64 31.57
14.38 Ij
-0.53 -0.61
0.87 0.28
Keterangan : KK = koefisien korelasi, Ij = indeks lingkungan
Lingkungan yang terbaik untuk penelitian multilokasi ditandai dengan besarnya nilai indeks lingkungan. Nilai indeks lingkungan dari empat lingkungan
uji beragam dari -0.53 hingga 0.87 Tabel 4.8. Lingkungan Bogor dan Sumedang sebagai lingkungan marjinal dengan nilai -0.53 dan -0.61, sedangkan lingkungan
Sukabumi dan Kuningan sebagai lingkungan produktif dengan nilai 0.87 dan 0.28. lingkungan Sukabumi menunjukkan produktivitas lingkungan yang paling
optimal. Lingkungan terbaik untuk penelitian multilingkungan yang diuji ditandai dengan besarnya nilai indeks lingkungan seperti Sukabumi 0.87 dan rataan hasil
2.32 ton.ha
-1
dan Kuningan 028 dan rataaan hasil 1.73 ton.ha
-1
lebih tinggi dari rataan hasil lingkungan Bogor dan Sumedang berturut-turut yaitu 0.92 dan 0.84
ton.ha
-1
. Hal ini disebabkan respon yang berbeda dari tiap genotipe pada tiap lingkungan akibat adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan. Dengan
demikian bobot biji kering yang diperoleh pada lingkungan yang satu belum tentu sama dengan bobot biji kering di lingkungan lainnya.
4.3.4 Analisis AMMI 1988
Novianti et al. 2010 menyatakan bahwa analisis AMMI dilakukan untuk mengetahui interaksi antara genotipe dan lingkungan serta kestabilan suatu
genotipe. Analisis AMMI sebagai salah satu analisis statistik yang biasa digunakan dalam percobaan lingkungan ganda merupakan gabungan dari analisis
ragam pada pengaruh aditif dan analisis komponen utama pada pengaruh interaksi. Menurut Crossa 1990, salah satu tujuan utama penggunaan analisis
AMMI adalah menjelaskan interaksi perlakuan dengan lingkungan. Sebelum dilakukan analisis interaksi, terlebih dahulu dilakukan analisis ragam untuk
melihat pengaruh aditif genotipe dan lingkungan. Selanjutnya, pengaruh multiplikatif diperoleh dari penguraian interaksi genotipe dengan lingkungan
menjadi komponen utama interaksi IAKU. Tabel 4.9 Analisis ragam AMMI bobot biji kering ton.ha
-1
dari empat belas genotipe kacang tanah pada empat lingkungan
Sumber keragaman Derajat
bebas Jumlah
kuadrat Kuadrat
tengah F-Hit
Prob Kontribusi
terhadap keragaman
Lingkungan L 3
62.36 20.79
20.76 0.000
UlanganLingkungan 8
8.01 1.00
4.73 0.000
Genotipe G 13
7.66 0.59
2.79 0.002
Interaksi G x L 39
18.45 0.47
2.24 0.001
IAKU1 15
10.46 0.70
3.29 0.000
56.67 IAKU2
13 6.71
0.52 2.44
0.006 36.38
IAKU3 11
1.28 0.12
0.55
tn
0.864 6.95
Galat 104
22.01 0.21
Total 167
118.49
Keterangan: berpengaruh nyata pada α 0.01;
tn
Tidak nyata.
Penguraian bilinear terhadap matriks pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan diperoleh nilai singular yaitu 1.867, 1.496 dan 0.654. Nilai singular
tersebut memperlihatkan, banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan sebagai model IAKU adalah komponen ke-1 sampai ke-3. Berdasarkan kontribusi
keragaman terhadap interakasi genotipe dan lingkungan, maka IAKU1 mampu menjelaskan interaksi sebesar 56.67, IAKU2 sebesar 36.38 dan IAKU3
sebesar 6.95. Nilai ini menunjukkan bahwa ketiga komponen utama sudah mampu menjelaskan 100 keragaman data.
Hasil analisis ragam AMMI Tabel 4.8 menunjukkan IAKU1 berbeda nyata pada taraf 1 dengan peluang 0.000 dan IAKU2 dengan peluang 0.006,
sedangkan IAKU3 menunjukkan tidak ada perbedaan nyata. Dengan demikian, bobot biji kering dapat diterangkan oleh IAKU1 dan IAKU2. Menurut Endang
2003, IAKU yang tidak menunjukkan perbedaan nyata dimasukan dalam sisaan. Berdasakan nilai kontribusi keragaman terlihat bahwa dua komponen pertama
memiliki peranan yang dominan dalam menerangkan keragaman pengaruh yaitu interaksi genotipe dan lingkungan sebesar 93.05, dengan demikian keragaman
yang tidak dapat diterangkan oleh IAKU1 dan IAKU2 sebesar 6.95.
Interakasi genotipe dan lingkungan dengan metode AMMI dapat diperjelas dengan mempolakannya dalam bentuk biplot, apakah genotipe yang di uji
tergolong stabil atau spesifik lingkungan. Biplot menerangkan bahwa semakin dekat titik genotipe dengan titik ordinat 0.0 sebagai sumbu, semakin tinggi
tingkat stabilitas suatu genotipe. Genotipe dikatakan stabil jika berada dekat dengan sumbu, sedangkan genotipe yang spesifik lingkungan adalah genotipe
yang berada jauh dari sumbu utama tapi letaknya berdekatan dengan garis lingkungan Mattjik dan Sumertajaya, 2002. Kedekatan garis lingkungan dan
titik genotipe memperlihatkan keeratan hubungan antara genotipe dengan lingkungan.
Gambar 4.4 Biplot AMMI 14 genotipe kacang tanah pada 4 lingkungan.
1 GWS- 18A1, 2 GWS-39D, 3 GWS-72A, 4GWS-73D, 5 GWS-74A1, 6 GWS-
110A1, 7 GWS-110A2, 8 GWS- 134A, 9 GWS-134D, 10 GWS-138A, 11Gajah, 12 Jerapah, 13 Zebra, 14 Sima. L1 Bogor, L2 Sumedang, L3
Sukabumi, dan L4 Kuningan.
Genotipe yang diuji dapat dikelompokkan dalam genotipe yang stabil dan genotipe yang spesifik lingkungan. Penentuan genotipe yang stabil atau genotipe
spesifik lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis biplot yang merupakan suatu interpretasi model AMMI. Pola interaksi genotipe dan
lingkungan dengan biplot AMMI2 terhadap bobot biji kering menunjukkan bahwa genotipe GWS-73D dan GWS-138A lebih mendekat pusat sumbu. Dengan
demikian kedua genotipe tersebut dikelompokkan sebagai genotipe yang stabil
1 2
3 4
5 6
7
8 9
10
11 12
13 14
Bogor Sumedang
Sukabumi Kuni ngan
- 0. 8 - 0. 6
- 0. 4 - 0. 2
0. 0 0. 2
0. 4 0. 6
0. 8
Di mensi on 1 56. 7 - 1. 0
- 0. 8 - 0. 6
- 0. 4 - 0. 2
0. 0 0. 2
0. 4 0. 6
0. 8 1. 0
1. 2
dan beradaptasi luas. Gauch 1992 menyatakan bahwa, genotipe yang tumbuh di lintas lingkungan pengujian dan mendekati sumbu nol, memberikan indikasi
bahwa genotipe tersebut bersifat stabil. Jika sangat jauh dari sumbu nol menunjukkan genotipe memiliki daya adaptasi yang spesifik. Genotipe yang tidak
stabil menunjukkan respon yang positif jika ditanam di suatu lingkungan yang menguntungkan dan berespon negatif jika ditanam di lingkungan yang berbeda
Aryana 2010.
Genotipe yang berindikasi beradaptasi spesifik terhadap lingkungan tertentu yaitu GWS-110A1, GWS-134D dan Jerapah merupakan genotipe-genotipe yang
spesifik pada lingkungan Bogor. Genotipe GWS-110A2, Gajah dan Zebra merupakan genotie-genotipe yang spesifik pada lingkungan Sukabumi. Genotipe
GWS-18A1, GWS-39D, GWS-72A, GWS-134A dan Sima merupakan genotipe- genotipe yang spesifik pada lingkungan Kuningan. Genotipe GWS-74A1
merupakan genotipe spesifik pada lingkungan Sumedang. Genotipe-genotipe tersebut memperlihatkan kedekatan garis lingkungan dan titik genotipe. Endang
2003 menyatakan bahwa, jika suatu genotipe dan lingkungan jaraknya berdekatan, maka hal ini menunjukkan genotipe tersebut dapat tumbuh dengan
baik di lingkungan terkait. Dengan demikian genotipe-genotipe tersebut dikelompokkan sebagai genotipe yang spesifik dan beradaptasi sempit.
Kesesuaian tempat tumbuh dapat juga diinterpretasikan dari besarnya sudut yang dibentuk oleh garis genotipe dan lingkungan yaitu menginformasikan adanya
korelasi antara gonotipe dan lingkungan tersebut. Semakin kecil sudut yang terbentuk menginformasikan semakin besarnya korelasi yang terjadi diantara
genotipe dan lingkungan. Hal ini memberikan indikasi adaptasi yang bersifat spesifik lingkungan.
Pemulia tanaman dapat memanfaatkan interaksi genotipe dengan lingkungan sehingga dapat diperoleh tanaman dengan sifat yang diinginkan Tai
et al. 1982. Menurut Kasno et al. 1987 terjadinya interaksi genotipe dengan lingkungan akan memperkecil kemajuan seleksi karena lingkungan tertentu belum
tentu memberikan hasil yang baik. Sehubungan dengan hal ini disarankan perlunya spesifikasi varietas yang sesuai dengan agroekosistemnya. Namun akan
lebih baik kalau dapat diperoleh varietas yang beradaptasi pada lingkungan yang lebih luas dengan daya hasil tinggi Baihaki et al.,1976; Nugroho 1989.
Metode stabilitas Finlay dan Wilkinson 1963, Eberhart dan Russell 1966, serta metode AMMI Gauch 1988 merupakan metode yang digunakan untuk
mengukur aspek yang sama. Pemilihan metode didasarkan pada efektifitas model yang dihasilkan. Kekurangan dari penggunaan koefisien regresi diantaranya
adalah tereliminasi genotipe-genotipe yang responsif terhadap lingkungan produktif b
i
1 sedangkan produksi diatas rata-rata. Metode AMMI sangat dapat menjelaskan interaksi genotipe dan lingkungan yang diinterpretasikan
dalam bentuk Biplot AMMI. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar genotipe, antar lingkungan dan antar genotipe dan lingkungan. Biplot AMMI
menyajikan pola tebaran titik-titik genotipe dengan kedudukan relatifnya pada lingkungan secara simultan dan membaginya kedalam genotipe stabil dan
genotipe spesifik lingkungan. Dengan demikian analisis AMMI adalah dapat membedakan varietas stabil dan varietas spesifik. Pada varietas spesifik
langsung ditunjuknan pada lokasi mana varietas tersebut harus ditanam Kasno 2006.