I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi lingkungan kadang diabaikan dalam mencapai kemajuan pembangunan suatu wilayah. Jumlah penduduk yang semakin meningkat,
kemajuan tekhnologi, pertumbuhan ekonomi dan faktor-faktor kebijakan mendorong terjadinya degradasi lingkungan. Terdegradasinya kondisi lingkungan
ini tentu saja akhirnya akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi manusia. Terjadinya banjir, longsor dan puting beliung pada suatu wilayah di
Indonesia sudah menjadi berita rutin yang sering kita dengar sebagai salah satu dampak terdegradasinya kondisi lingkungan terlepas dari faktor cuaca ekstrim
yang terjadi. Begitu juga halnya dengan apa yang terjadi pada DAS Kali Bekasi. Tutupan lahan pada DAS Kali Bekasi telah mengalami perubahan, keberadaan
lahan yang tertutupi oleh vegetasi pohon pada kawasan DAS ini telah mengalami pengurangan. Taman Wisata Alam Gunung Pancar yang merupakan kawasan
hutan yang terdapat di DAS Kali Bekasi sebagian dari kawasannya telah berupa lahan terbuka dan ladang pertanian masyarakat, selain itu perkebunan karet di
bagian hulu telah hilang menjadi daerah permukiman dan lapangan golf, luas kawasan DAS yang berupa penutupan hutan hanya tersisa 4. Kondisi ini tentu
saja memberikan dampak pada berubahnya aliran sungai dan naiknya debit air pada aliran sungai di DAS Kali Bekasi BPDAS Citarum - Ciliwung, 2009.
Kali Bekasi merupakan salah satu dari tiga sungai utama yang berperan menimbulkan banjir di Jakarta selain Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2007 sehingga DAS Kali Bekasi menjadi prioritas pengelolaan DAS I bersama 7 DAS lainnya
Citarum, Ciliwung, Cisadane, Cipunagara, Ciujung, Kali Angke-Pesanggrahan, Sunter dari 24 DAS yang menjadi wilayah kerja BPDAS Citarum-Ciliwung
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka sangat diperlukan penerapan prinsip-prinsip manajemen lanskap yang berawawasan lingkungan dalam
mencapai pembangunan yang berkelanjutan pada kawasan DAS Kali Bekasi. Pembangunan berkelanjutan akan dapat dicapai dengan memperhatikan 3 prinsip
yaitu kesejahteraan masyarakat, lingkungan dan ekonomi. Pembangunan
berkelanjutan harus memperhatikan tatanan lanskap yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta pada saat yang sama juga menjaga kondisi
ekologis yang ada atau meningkatkan kualitas lingkungan. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau RTH dengan luasan yang mencukupi pada suatu tatanan lanskap
menjadi salah satu faktor kunci terjaganya kualitas lingkungan suatu lanskap. RTH pada suatu lanskap dapat berupa RTH permanen yaitu taman, pekarangan,
kebun campuran dan hutan yang dominan ditumbuhi tanaman tahunan serta RTH non permanen berupa sawah, tegalan yang dominan ditumbuhi tanaman semusim.
Secara ekologis, vegetasi yang ada pada RTH juga berfungsi sebagai pengendali iklim. Tanaman seluas 1 ha dapat menyerap karbondioksida sebanyak
900 kghari, menyaring debu sampai 85, memproduksi oksigen sebanyak 600kghari serta dapat menurunkan suhu sampai 4
o
C Joachim et al. yang diacu oleh Frick Suskiyatno, 1998. Peran vegetasi sebagai penyerap karbondioksida
menjadi bagian penting saat ini dalam rangka mengatasi pemanasan global yang disebabkan meningkatnya kadar gas rumah kaca terutama karbondioksida di
atmosfer. Sehingga keberadaan vegetasi yang mampu menyerap karbondioksida dalam suatu lanskap ini diperlukan untuk menciptakan masyarakat rendah karbon
low carbon society serta perlu mendapat apresiasi sebagai salah satu jasa lingkungan. Penghargaan harus diberikan kepada masyarakat atas kearifannya
menjaga keberadaan vegetasi di lingkungan tersebut. Praktek jasa lingkungan ini merupakan salah satu realisasi ekonomi yang dapat dikembangkan untuk
menciptakan harmonisasi pembangunan yang berbasis DAS. Dikemukakan bahwa harmonisasi pembangunan yang berbasis DAS pada lanskap perdesaan dapat
dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni lingkungan, ekonomi dan masyarakat Arifin et al., 2008.
Guna mengaplikasikan penyimpanan karbon Carbon stock sebagai salah satu jasa lingkungan dan mendorong terciptanya masyarakat rendah karbon
tersebut maka diperlukan kajian cadangan karbon yang tersimpan pada lanskap tersebut, yaitu menganaliasa perubahan RTH yang terjadi, mengetahui cadangan
karbon yang ada saat ini dan melihat korelasi cadangan karbon dengan struktur komunitas vegetasi yang ada. Pada penelitian ini analisis cadangan karbon pohon
dilakukan pada RTH permanen mengingat bahwa jumlah cadangan karbon pada
lahan pertanian RTH non permanen jauh lebih kecil daripada hutan Rahayu, dkk, 2004. Pendugaan Cadangan Karbon C pada Pohon dapat dilakukan secara
tidak langsung menggunakan persamaan alometrik dan teknologi pengindraan jauh. Teknologi pengindraan jauh telah banyak digunakan dalam bidang tata
lingkungan karena mempunyai data yang unik, mempermudah pekerjaan di lapangan dan biaya yang relatif murah serta waktu yang lebih singkat. Pendugaan
cadangan karbon C pada pohon menggunakan teknologi penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan data lapangan merupakan salah satu metode yang akan
semakin berkembang untuk monitoring cadangan karbon pada suatu kawasan.
1.2 Rumusan Masalah