Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
dapat memiliki anak down syndrome dan menjadi orang tua hebat karena memiliki anak down syndrome.
Selain itu juga penulis menemukan 60 orang tua menganggap kebahagiaan dalam mengasuh anak yang tidak normal adalah sebagai hal yang
luar biasa karena diberikan kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengasuh dan merawat anak down syndrome. Semua responden berasumsi bahwa tingkat
keimanan mereka mempengaruhi kebahagiaan mereka dalam menjalankan peran sebagai orang tua yang memiliki anak down syndrome.
Healthday, Minggu 2102011, merawat anak down syndrome bukanlah hal yang mudah. Meski begitu, keluarga penyandang down syndrome mengaku
lebih bahagia punya anak down syndrome karena lebih memperkaya pengalaman. Survei yang dilakukan Dr Brian Skotko dari Childrens Hospital Boston
menunjukkan hal yang luar biasa; keluarga penderita down syndrome tidak merasa minder, putus asa atau takut melainkan sangat bahagia. Alasannya memiliki anak
down syndrome membuat keluarga harus meningkatkan kualitas hidup dengan mengajarkan kesabaran, penerimaan dan keluwesan. Anak down syndrome telah
membuat keluarganya menjadi lebih kuat. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 96 orangtua penyandang
down syndrome menyatakan tidak menyesal telah memiliki anak dengan down syndrome. Hampir delapan dari sepuluh orang tua tersebut mengatakan bahwa
justru gangguan anaknya itu telah meningkatkan kualitas hidup mereka dengan mengajarkan kesabaran, penerimaan, dan keluwesan. Tak hanya orang tua,
saudara-saudara kandung mereka juga memiliki perasaan yang sama. Sembilan
puluh empat persen di antaranya mengatakan bahwa mereka merasa bangga akan saudara mereka yang menyandang down syndrome. Sebanyak 88 di antaranya
mengatakan bahwa saudara mereka yang menyandang down syndrome itu telah membuat mereka menjadi orang yang lebih baik; Hampir semua penderita down
syndrome mengatakan senang dengan kehidupannya saat ini dan menyukai keadaan mereka.
Menurut Sarasvati dalam Rachmayanti, 2007 faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang memiliki anak autis diantaranya
adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan
suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang. Nishinaga 2004 mengatakan bahwa faktor
penerimaan diri orang tua yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual diantaranya adalah subjective wellbeing, dukungan sosial, dan perceived
behavioral control. Ajzen 1991 menyatakan bahwa perceived behavioral control mengacu
pada persepsi individu tentang kemampuan atau ketidakmampuan untuk menampilkan sebuah perilaku, atau persepsi seseorang mengenai seberapa mudah
atau seberapa sulit untuk menampilkan perilaku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga 2004 ditemukan
bahwa kebanyakan dari partisipan menjawab mereka telah mengalami stres oleh rendahnya perceived behavioral control mereka pada awal-awal mengasuh anak
dengan keterbelakangan intelektual. Partisipan menyebutkan bahwa perasaaan
mereka yang awalnya merasa direpotkan oleh anak-anak mereka berubah seketika ketika fitur-fitur penerimaan acceptance mereka tentang diri mereka dan anak-
anak mereka berubah. Jadi mereka mengatakan sangat dibutuhkan sekali dukungan untuk mengajarkan para ibu cara yang sangat penting atau perlu untuk
mengambil gambaran dari anak-anak mereka yang mengalami keterbelakangan intelektual. Partisipan lain menyatakan bahwa para ibu harus bisa menegaskan diri
mereka kalau mereka itu didukung untuk melakukan apapun untuk anak-anak mereka.
Dengan alasan yang disebutkan di atas, perceived behavioral control dapat dipandang sebagai faktor penting bagi penerimaan diri para ibu yang memiliki
anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan bahwa mengajarkan para ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang memiliki keterbelakangan
intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan meningkatkan perceived behavioral control mereka.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh perceived
behavioral control terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua yang memiliki anak down syndrome.
Selain perceived behavioral control, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri adalah dukungan sosial. Seseorang yang mendapatkan support
dari lingkungan dan sosial akan membuat orang tersebut lebih merasa diterima keadaan dirinya oleh lingkungan. Perlakuan lingkungan sosial terhadap seseorang
membentuk tingkah laku orang tersebut. Hal ini membuat seseorang yang
mendapatkan perlakuan dari lingkungan sosial yang mendukung akan dapat menerima dirinya sendiri dengan lebih baik. Ismail, 2008
Menurut Sarafino 2011 dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, kepedulian, harga diri, atau bantuan yang tersedia untuk orang dari orang-orang
atau kelompok lain. Aspek-aspeknya adalah dukungan emosional, dukungan nyata atau instrumental, dukungan informasi, dan dukungan kelompok.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nishinaga 2004 ditemukan bahwa setengah dari partisipan 6 orang yang mengikuti penelitiannya
mengatakan bahwa mereka membutuhkan konseling publik untuk para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Partisipan menyatakan bahwa
seorang ibu perlu diterima oleh orang lain misalnya seorang profesional dokter, konselor selain keluarga mereka sendiri ketika mereka mengetahui tentang
keterbelakangan dari anak – anak mereka. Partisipan yang lain mengatakan bahwa
merupakan ujian yang sangat sulit bagi seorang ibu untuk menerima anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual, jadi sangat dibutuhkan dukungan
secara psikologis bagi para ibu tersebut bukan untuk menyangkal diri mereka bahwa mereka tidak bisa menerima anak mereka.
Lima partisipan lain Nishinaga, 2004 menyebutkan bahwa persatuan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus dapat mendukung seorang ibu
yang memiliki anak-anak dengan keterbelakangan intelektual secara mental. Partisipan menyatakan sangat terkesan oleh kata-
kata “anakmu terlihat sangat cantik atau tampan” yang dikatakan oleh ibu yang lebih tua yang memiliki anak
dengan keterbelakangan intelektual dan merupakan anggota dari persatuan orang
tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus karena tidak ada satupun orangtua yang memandang anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual sebagai
anak yang lucu-lucu. Partisipan yang lain menyatakan bahwa berbicara dengan anggota dari para persatuan anak berkebutuhan khusus, dia seakan diberi support
secara mental karena dia tidak mampu berbicara dengan teman biasa tentang keterbelakangan anaknya itu. Hasil ini menyimpulkan bahwa dukungan sosial itu
sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan intelektual.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kembali tentang pengaruh dukungan
sosial terhadap penerimaan diri dengan mengambil subjek orang tua yang memiliki anak down syndrome.
Selain perceived behavioral control dan dukungan sosial, hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri adalah kedekatan dengan Tuhan Yang Maha
Esa, sebagai salah satu indikator religiusitas seseorang. Glock dan Stark 1968 mengartikan religiusitas yang berasal dari kata religi yaitu simbol sistem, sistem
keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling
maknawi. Glock dan Stark mengidentifikasikan lima dimensi dari religiusitas: belief, practice, knowledge, experience, dan consequences. Dimensi religiusitas
menurut Huber dan Huber 2012 mengacu pada teori Glock dan Stark 1968: pengetahuan keagamaan, keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok,
kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Handadari dalam Ulina, 2013 menunjukkan ada hubungan antara religiusitas dengan penerimaan diri pada orang
tua yang memiliki anak retardasi mental berat. Artinya semakin tinggi religiusitas maka akan semakin tinggi penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi
mental berat. Begitu pula sebaliknya semakin rendah religiusitas maka akan semakin rendah penerimaan diri orangtua yang memiliki anak retardasi mental
berat. Penelitian senada yang dilakukan oleh Badaria dan Astuti dalam Ulina, 2013 juga menunjukan adanya hubungan antara religiusitas dan penerimaan diri
pada penderita diabetes melitus. Tetapi berdasarkan hasil penelitian lainnya menunjukkan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan penerimaan diri. Hal tersebut dapat terjadi karena religiusitas bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
penerimaan diri Ulina, et al, 2013 Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik
untuk meneliti lebih jauh tentang pengaruh perceived behavioral control, dukungan sosial, dan religiusitas terhadap penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini melalui penelitian berjudul
“Pengaruh Perceived Behavioral Control, Dukungan Sosial, dan Religiusitas terhadap Penerimaan Diri Orang Tua yang Memiliki Anak
Down Syndrome ”