Sebaliknya, meditasi terstruktur lebih mendasar dengan mengacu pada diri sendiri dan atau prinsipnya semua-meresap, dan karena itu lebih sesuai
dengan pola partisipatif spiritualitas. Mengingat kedua bentuk kegiatan keagamaan pribadi berarti bahwa kedua pola dasar spiritualitas tertutup.
5. Dimensi pengalaman keagamaan mengacu pada harapan sosial bahwa
orang religius memil iki “semacam kontak langsung kerealitas tertinggi”
yang mempengaruhi mereka secara emosional. Dalam sistem konstruk agama pribadi dimensi ini digambarkan sebagai pola persepsi agama dan
sebagai tubuh pengalaman dan perasaan religius. Analog ke kegiatan keagamaan individu, dua bentuk dasar mengalami transendensi dapat
dibedakan, “satu-ke-satu pengalaman” yang sesuai dengan pola spiritualitas dialogis dan “pengalaman berada di satu” sesuai dengan yang
partisipatif. Oleh karena itu, kami menyarankan penggunaan kedua ekspresi pengalaman religius untuk pengukuran intensitas umum.
2.4.3 Pengukuran religiusitas
Salah satu pengukuran religiusitas dilakukan dengan menggunakan alat ukur yang biasa disebut dengan The Daily Spiritual Experiences Scale. Skala ini terdiri dari
16 item yang disusun menggunakan skala Likert dengan 5 pilihan jawaban. Alat ukur lainnya yang digunakan untuk mengukur religiusitas adalah
Rajmanickam’s Religious Attitude Scales, skala ini digunakan oleh Mojtaba Aghili dan Kumar 2008 untuk diberikan pada sampel orang Iran yang jumlahnya
banyak. Skala ini menggunakan skala Likert dengan pilihan jawaban sangat tidak setuju, tidak setuju, agak setuju, setuju, dan sangat setuju.
Pengukuran religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
model Likert modifikasi alat ukur CRS yang mengacu pada teori Glock dan Stark meliputi lima jenis yaitu intelektual pengetahuan keagamaan, ideologi
keyakinan keagamaan, kegiatan keagamaan kelompok, kegiatan keagamaan individu, dan pengalaman keagamaan.
2.5 Kerangka Berfikir
Kelahiran anak
merupakan saat
yang ditunggu-tunggu
dan sangat
menggembirakan bagi pasangan suami istri. Anak merupakan pertautan cinta suami dan istri, serta merupakan buah hati yang sangat diharapkan kehadirannya.
Kehadirannya bukan saja mempererat tali cinta pasangan suami istri, tetapi juga sebagai penerus generasi yang sangat diharapkan oleh keluarga tersebut.
Saat yang menegangkan dan menggembirakan tersebut dapat berubah menjadi suatu kekecewaan, manakala suami istri menyaksikan anak yang baru
dilahirkan itu mengalami kecacatan, atau mempunyai ketidaksempurnaan pada salah satu atau beberapa organ tubuh maupun bagian tubuhnya. Seperti
mempunyai kaki dan tangan yang tidak lengkap, tidak sempurnanya fungsi jantung, ginjal atau pun otak yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya dan
lain lain. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua yang mengetahui anaknya mengalami kecacatan adalah sedih, kecewa, merasa bersalah, menolak, atau
marah-marah Cartwright, 1984
Memiliki anak down syndrome adalah salah satu pengalaman yang dimiliki oleh beberapa orang tua di dunia. Pengalaman ini pada akhirnya juga
dapat mempengaruhi dan membentuk kebahagiaan orang tua melalui evaluasi dan penghayatan terhadap kehidupannya. Sebagai orang tua yang memiliki anak down
syndrome, orang tua juga memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki kebahagiaan hidup.
Gargiulo 2004 mengemukakan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi dimana seseorang dapat menerima keadaan diri atau orang terdekatnya
yang tidak sesuai dengan harapannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua yang
memiliki anak autis diantaranya adalah dukungan dari keluarga besar, kemampuan keuangan keluarga, latar belakang agama, sikap para ahli yang
mendiagnosa anaknya, tingkat pendidikan suami istri, status perkawinan, sikap masyarakat umum, usia dari masing-masing orang tua, dan sarana penunjang.
sarasvati, 2004. Selain faktor di atas Nishinaga 2004 mengatakan juga bahwa perceived
behavioral control dapat dipandang sebagai faktor penting dari penerimaan diri para ibu yang memiliki anak dengan keterbelakangan intelektual. Bisa dikatakan
bahwa mengajarkan para ibu bagaimana memperlakukan anak-anak mereka yang memiliki keterbelakangan intelektual akan mengurangi kecemasan mereka dan
meningkatkan perceived behavioral control mereka. Unsur-unsur perceived behavioral control yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah control belief yang dimiliki orang tua yang memiliki anak
down syndrome, dan perceived power yang dimiliki orang tua yang memiliki anak down syndrome.
Selain perceived behavioral control hal lain yang dapat meningkatkan penerimaan diri orang tua yang memiliki anak down syndrome adalah dukungan
sosial. Sejalan dengan yang dikatakan oleh Sarasvati 2004 salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan diri orang tua adalah dukungan sosial. Dukungan
sosial membuat orang tua yang memiliki anak down syndrome lebih dapat menerima dirinya dengan keadaan yang di hadapi. Nishinaga 2004 menjelaskan
bahwa dukungan sosial itu sangat penting dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dari penerimaan diri ibu dengan anak yang memiliki keterbelakangan
intelektual. Dukungan emosional yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak
down syndrome dapat membuat orang tua merasa nyaman tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, diberi bantuan dalam
bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta. Dukungan nyata atau instrumental yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak down syndrome
membuat orang tua mendapatkan bantuan nyata dengan merawat anak down syndrome. Dukungan informasi yang diterima oleh orang tua yang memiliki anak
down syndrome membuat orang tua mendapatkan informasi sesuai dengan apa yang dihadapi; dalam penelitian ini contohnya adalah informasi mengenai anak
down syndrome. Dukungan kelompok yang diterima oleh orangtua yang memiliki anak down syndrome sangat membantu orang tua dalam menerima dirinya dengan
dia merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu kelompok dimana