belum genap satu tahun, ikut pula mengangis, merasakan suasana syahdu dalam dekapan Wakka, pengasuhnya, yang juga berlinang
air mata.
6
Konflik muncul ketika tokoh Aku melanggar peraturan pondok, tokoh Aku disidang dan dihukum dengan diplontos rambutnya lantaran
terlambat kembali setelah pulang ke desa. ...Aku mencukurnya dengan perasaan sedih karena aku
akan kehilangan rambut indah, mahkotaku. Aku pun merasa malu karena digundul menandakan aku tidak taat pada aturan Gontor.
7
Dalam sidang aku tidak berkelit sedikit pun sehingga sidang yang aku jalani berjalan mulus sampai dilahirkan
keputusan... Kami disidang karena kami berdua terlambat kembali
setelah pulang ke desa...
8
Klimaks pun muncul tatkala tokoh Aku merasa tidak mempunyai sahabat untuk berkeluh kesah, sehingga hanya Allah lah tempat dia
berkeluh kesah. Tidak adanya sahabat penampung keluh kesah, tidak
menghalangiku untuk terus betah menempuh hidup di Gontor. Aku salat dan berdoa kepada Allah sebagai sarana pelepasan
uneg-uneg sekaligus sebagai sarana berharap. Dialah yang Mahakuasa dalam segala sesuatu. Dia Maha Segala-galanya.
9
Pada akhir cerita berkat kesabaran tokoh Aku dalam menjalankan kehidupan di Gontor, akhirnya ia berhasil menyelesaikan studinya. Hal
ini dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut: Seperti bayanganku dahulu, setelah masa peluh pada
perjuangan, akan muncul masa keemasan. Kini terwujud nyata bahwa aku akan segera dapat meninggalkan medan perjuangan
belajar ini. Masa ini adalah masa faktual atas kepercayaanku dahulu, bahwa usaha dan kesabaran yang telah aku lalui tidaklah
jadi percuma, dan bahwa kapal kehidupanku yang pernah terombang-ambing dulu itu tenfah menuju pelabuhan yang
aman.
10
6
Amroeh Adiwijaya, op. cit., h. 17.
7
Ibid., h. 92.
8
Ibid., h. 93.
9
Ibid., h. 137.
10
Ibid., h. 262.
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya fiksi. Melalui tokohlah seorang pengarang menyampaikan pesan,
amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pengarang.
Tokoh yang dianggap penting dan paling menonjol dalam novel Opera Van Gontor adalah Aku Amroeh, Najib, Ayah, Ibu, Pak Zar, Pak
Sahal, Mboke dan Pake. Di samping itu, ada banyak tokoh lain seperti Mas Ghozi, Dik Muhdi, Pak H. Achwan, A. Zein, Karsidi, dan Fadholi.
Dalam penelitian ini, penulis akan menguraikan beberapa tokoh yang dianggap penting dan menguasai keseluruhan isi cerita seperti
Amroeh sebagai tokoh utama, Najib, Ayah, Ibu, Pak Zar, Pak Sahal, Mboke dan Pake. Berikut akan diuraikan karakter dari masing-masing
tokoh. Tokoh utama dalam novel ini adalah Amroeh. Amroeh adalah
adalah seorang tokoh yang berusaha untuk patuh pada orang tua. Ia berusaha untuk mengikuti keinginan kedua orang tuanya.
Kloplah sudah lobi-lobi itu menghasilkan keputusan memberangkatkan aku ke Gontor dan aku pun tanpa
pertimbangan macam-macam menyatakan bersedia memenuhi kehendak orang tua.
11
Kepatuhan terhadap orang tuanya membuat Amroeh selalu berusaha menjalankan kehidupan di Gontor dengan selalu berikhtiar
kepada Allah. Dalam menempuh segala cita-cita, aku harus berusaha
segigih mungkin dibarengi dengan berdoa kepada yang kuasa. Mengenai keberhasilan, bukan urusanku lagi.
12
11
Ibid., h. 13,
12
Ibid., h. 126.
Selain itu, tokoh Amroeh dalam menjalankan masa-masa di pesantren selalu menanamkan buih-buih kesabaran, sehingga ia mampu
menyelesaikan studinya sampai selesai. Apa pun yang aku alami, aku bersyukur dapat keluar dari
saat-saat kritis itu. Aku mampu menyerap segala yang ada di Gontor, positif maupun negatif dengan apa adanya. Aku mampu
mengikuti arus dengan penuh ketabahan. Semua yang aku alami, kuyakini akan bermanfaat untuk kehidupan nanti.
13
Tokoh lain dalam cerita ini adalah Najib, ia merupakan teman seperjuangan Amroeh, lain halnya dengan tokoh Amroeh, karakter Najib
di novel ini cenderung cengeng, hal ini dapat dilihat dari tuturan langsung ketika tokoh Amroeh dan Najib ingin berangkat ke Gontor.
Menurutku aneh, Najib menangis terisak. Dik Muhdi bertanya, ―Lho, kok nangis Jib, ada apa? yang ditanya tidak
menjawab, hanya Mas Ghozi yang menimpali, ―dia sedih berpisah dengan rumah.‖ Semua tertawa.
14
Selanjutnya adalah tokoh Ayah dan Ibu. Seperti kebanyakan di kehidupan sehari-hari, tokoh Ayah cenderung mempunyai sifat bijaksana.
Hal ini dapat dilihat ketika tokoh Amroeh tidak dapat menjual kalender yang telah ditugaskan oleh pihak pondok untuk dijual ketika liburan di
kampung halaman. Namun beberapa hari kemudian Bapak mengatakan, ―Ya
sudah, kalau kamu tidak mampu menjualkan kalender, tidak usah dipaksak
an. Nanti Bapak yang akan membayar.‖
15
Seperti halnya seorang ayah, tokoh ibu pun mempunyai sifat bijaksana dan penuh kasih sayang, hal ini dapat dilihat ketika teman-
teman Amroeh berkunjung ke rumah Amroeh. ―Sudahlah, Bapak dan Ibu tidak merasa keberatan dan
tidak merasa direpoti dengan bermalam, dan berbuka, bersahurnya mereka di sini Biarkan mereka di berada di sini,
13
Ibid., h. 229.
14
Ibid., h. 16-17.
15
Ibid., h. 117-118.