Tokoh dan Penokohan Unsur Intrinsik Novel Opera Van Gontor

langsung pengarang. Perhatikan bagaimana pengarang menggambarkan tokoh Pak Sahal. Sewaktu Pak Abdullah Syukri menjadi imam salat Jumat, beliau sempat khilaf melafalkan ayat Alquran, kemudian dibetulkan Pak Sahal yang bermakmum di belakang beliau – yang dapat menjadi contoh kongkret bagi segenap jamaah khususnya santri bagaimana cara makmun membetulkan kekhilafan imam yang bisa terjadi pada imam mana pun dan siapa pun. 19 Berikutnya adalah tokoh Mboke dan Pake. Tokoh ini mempunyai peranan yang cukup penting dalam melayani urusan makan selama tokoh Amroeh berada di pesantren. Mereka mempunyai sifat kasih sayang dan lemah lembut yang membuat tokoh Amroeh merasa nyaman. Penggambaran watak kedua tokoh tersebut diungkapkan melalui tuturan langsung pengarang. Perhatikan bagaimana pengarang menggambarkan tokoh Mboke dan Pake. ―Aku merasa begitu keras hidup di sini. Sikap Mboke dan Pake yang begitu lembut, sungguh sangat membantuku dalam mendapatkan keseimbangan batin.‖ 20 4. Latar Pada dasarnya, latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa yang sedang berlangsung. 21 Latar berkaitan dengan tempat, waktu, dan situasi sosial suatu cerita. Penggambaran latar dalam novel Opera Van Gontor adalah sebagai berikut: a. Latar Tempat Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar tempat dalam novel Opera Van Gontor adalah sebagai berikut: 1 Kampus Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo 19 Ibid., h. 79. 20 Ibid., h. 265. 21 Stanton., op.cit., h. 35. ―Selamat datang, Ahlan wa sahlan, welcome di Kampus Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo‖. Begitu kata-kata spanduk di pintu gerbang desa. Awal memasuki kampus, aku terkesan Pondok ini antusias menyambut tamu, cukup bersih, dan asri meski kelihatan baru saja diguyur hujan. 22 Kutipan di atas dapat kita temukan pada pembukaan novel ini. Novel ini dibuka dengan suasana pondok pesantren Gontor, tempat Amroeh menuntut ilmu dan juga turut mempengaruhi pembentukan watak Amroeh. 2 Bangunan dan Ruang Kelas Bangunan dan ruang kelas para santri terlihat cukup bersih dan bagus, representatif untuk pondokan dan tempat belajar. 23 Kutipan di atas menggambarkan pemaparan mengenai gedung yang nantinya akan digunakan oleh para santri khususnya Amroeh dalam menjalankan tugasnya sebagai santri. 3 Perahu Penggambaran lokasi di atas perahu dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut: Perahu yang kami naiki terdiri dari rangkaian tiga perahu yang berukuran sedang ditempelkan sisi-sisinya dan di atasnya dibentangkan kayu penghubung sehingga menyatukan ketiga perahu menjadi satu. Dengan rangkaian perahu-perahu itu dokar sampai truk bisa diangkut menyeberang Bengawan Solo. 24 Penggambaran di atas dapat kita temukan ketika Amroeh dan Najib hendak diantar oleh Mas Ghozi ke pondok pesantren Gontor. 22 Amroeh Adiwijaya, op. cit., h. 6. 23 Ibid., h. 6. 24 Ibid., h. 18. 4 Kamar Penggambaran kamar ini dapat terlihat di dalam pesantren. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan sbagai berikut: Aku ditempatkan di kamar nomor lima dari keseluruhan dua belas kamar. Dalam satu kamar, jumlah santri sekitar empat puluhan ditambah dua senior sebagai pengawas. Kondisi kamar sangat terjaga kebersihannya karena memang bangunan dan lantainya sudah dalam keadaan bersih ditambah dengan kebersihan yang harus kami jaga bersama. 25 5 Dapur Waktu mengambil makanan tentu harus mengantre panjang, karena dalam waktu bersamaan dapur ini membagikan makanan untuk sekian ratus siswa. Untung saja ada siswa yang diperkenankan makan apgi pada jam istirahat sekolah nanti. kalau tidak, ―betapa lama mengantre‖ 26 Kutipan di atas memperlihatkan bahwa dalam hal makan pun di tempat ini harus teratur, beda halnya ketika di rumah. Santri harus mengantre dalam mengambil jatah makanan. 6 Sumur ..., memasukkan timba ke dalam sumur ada kalanya lebih berat dibanding sewaktu mengangkat timba berisi air. Setelah sepuluh sampai lima belas kali timba, cukup membuat diri sedikit berkeringat dan bak air sudah penuh karena kapasitas bak hanya sebanyak itu. Aku mandi bukan dengan gayung, melainkan dari pancuran yang memancar dari lubang air yang tersedia di dalam kamar mandi, yang berdiameter sebesar mulut botol kecap... 27 Kutipan di atas memperlihatkan sumur menjadi hal yang penting bagi Amroeh dan para santri. Hal ini dikarenakan di pondok sarana mandi dan cuci sangat terbatas, sehingga santri harus pergi ke sumur. 25 Ibid., h. 33. 26 Ibid., h. 42. 27 Ibid., h. 9. Di pondok, sarana mandi dan cuci para santri sangat terbatas. Di samping karena jumlah kamar mandi yang terbatas, hanya di belakang gedung baru. Airnya pun kadang telat dialirkan dari pompa diesel. Sehingga bila tiba waktunya mandi, para santri diperbolehkan untuk mandi dan mencuci baju di sumur-sumur milik warga tersebut. 28 7 Rumah Bapak, Ibu, Mbah Putri, Mbak, adik-adik, dan famili dekat telah berada di halaman belakang rumah bersiap melepas kepergianku. Kami terbiasa keluar masuk rumah melalui halaman belakang yang dulunya merupakan halaman depan rumah. 29 Kutipan di atas memperlihatkan keadaan di rumah sebelum keberangkatan Amroeh. Semua keluarga bersiap melepas kepergian Amroeh. 8 Jalan Untuk menuju Bungah, sepeda motor harus pandai- pandai memilih jalan karena jalan sepanjang dua belas kilometer ini rusaknya cukup parah, banyak lubang dan licin karena tidak beraspal. 30 Kutipan di atas memperlihatkan gambaran jalan ketika Amroeh dan Najib diantar untuk menuju Gontor, jalanan yang rusak parah mengharuskan pengendara untuk berhati-hati. b. Latar Waktu Latar waktu merujuk pada kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar waktu dalam novel Opera Van Gontor adalah sebagai berikut: 1 Pagi Pukul empat pagi, beberapa saat setelah listrik dinyalakan, terdengar suara gedebug-gedebug berurutan di 28 Ibid., h. 7. 29 Ibid., h. 11. 30 Ibid., h. 17. kamarku, bersahut-sahutan dengan suara yang sama di kanan kiri kamar sebelah. 31 Setelah mandi, hanya beberapa saat setelah sampai kembali di kamar, bel kembali dibunyikan tepat pukul enam lewat tiga puluh, pertanda harus sudah kegiatan olahraga dan bersiap untuk makan pagi. 32 2 Siang Salat Zuhur sudah aku tunaikan, makan siang pun telah aku nikmati. Koper besar bewarna cokelat tua berisi pakaian, kue, lauk-pauk ala kadarnya buatan Ibu, dan beberapa buku pun telah dipersiapkan dengan baik. 33 3 Sore Jam olah raga usai dengan dibunyikan bel pukul 16.30. Setalah mandi sore di kamar mandi belakang Gedung Baru, aku bersiap diri berangkat ke masjid. 34 4 Malam Saat tengah mlam sunyi sepi, aku amati ada santri senior bertugas sebagai bulis di rayon yang diatur pengurus rayon masing-masing dengan perlengkapan jaga antara lain lampu tempel, lampu senter, minuman hangat, camilan juga makanan besar, terdiri dari nasi dan lauk. 35 Pada intinya, penggambaran latar waktu dari pagi, siang, sore, dan malam tersebut merupakan penggambaran Amroeh ketika di pesantren sampai akhirnya ia mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan di dalam pesantren tersebut. Selain itu, latar waktu yang terjadi dalam novel Opera Van Gontor adalah sekitar tahun 1970-an, hal ini dapat telihat dalam kutipan sebagai berikut: 31 Ibid., h. 35. 32 Ibid., h. 41. 33 Ibid., h. 11. 34 Ibid., h. 51. 35 Ibid., h. 39. Pada pemilihan umum atau Pemilu tahun 1971 ini pun, tidak ada bau kampanye parpol di pondok ini. Tanggal 5 Juli 1971 ini adalah Pemilu pertama yang diselenggarakan oleh pemerintah Orde Baru... 36 c. Latar Sosial Latar sosial dalam novel ini menggambarkan bagaimana suasana kehidupan di Pondok Modern Gontor. Kebanyakan dari kami mengisi waktu istirahat ini dengan latihan membaca dan menghafal lagu Indonesia Raya dan Oh Pondokku, juga syair Abu Nawas dengan lembaran tertulis dan terjemahannya yang dibagikan kepada kami. Syair Abu Nawas ini selalu dibacakan setelah adzan dikumandangkan. 37 Kutipan di atas memperlihatkan bahwa Amroeh beserta para santri dengan keseriusannya selalu memanfaatkan waktu luang dengan belajar baik itu menghafal atau membaca. Tentang perpolitikan di Gontor, ada sebuah gerakan yang terbentuk karena ketidakpuasan para santri terhadap sarana, prasarana dan akomodasi yang mereka terima dari Pondok Gontor Tidak hanya di dunia perpolitikan negara, di Gontor ini pernah muncul pula sebuah gerakan mengarah pada perusakan nama baik Pak Kyai. 38 Kutipan di atas memperlihatkan adanya sekelompok yang memang sengaja ingin merusak nama baik petinggi Gontor. Dengan terlibatnya tokoh-tokoh bergolongan tertentu maka diasumsikan Gontor akan dikuasai dan dibawa ke arah golongannya. Akibat dari gerakan tersebut akhirnya Pak Kyai selaku pimpinan Gontor memulangkan santri yang ikut terlibat. ...,kemudian kabarnya Pak Kyai selaku pimpinan Gontor memulangkan seluruh santri. Mereka yang dinyatakan tidak terlibat dalam aksi tersebut dipanggil secara 36 Ibid., h. 39. 37 Ibid., h. 51. 38 Ibid., h. 79. resmi lewat surat, sedangkan bagi yang terlibat tidak diperbolehkan datang lagi ke gontor... 39

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara atau pandangan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dalam novel Opera Van Gontor sudut pandang yang digunakan orang pertama sentral atau akuan sertaan, karena pengarang menampilkan kisah dengan tokoh ―aku‖ sebagai pusat pengisahan, sebagai yang empunya cerita. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut: Aku juga sempat terharu menanggapi tangisan mereka, tapi syukur hanya sebentar karena aku akan bertamasya, tidak pergi berat, begitu batinku mempertahankan. 40 Supaya tidak terlalu tegang aku netralkan diri bergaya ala filsuf, ―Aku pasrah, lulus ya alhamdulillah, tidak lulus ya tidak apa- apa, pulang ke desa sekolah di sana lagi.‖ 41 Tokoh ―aku‖ lazimnya menjadi tokoh yang mengisahkan apa yang dialami dan disikapi, baik hanya terjadi dalam batin maupun yang secara nyata dilakukan secara verbal dan nonverbal. Cerita yang menampilkan sudut pandang dengan cara ini seolah-olah terlihat sebagai kisah biografis; tokoh aku itulah yang menjadi pusat pengisahan yang dikisahkan jalan hidupnya.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan cara khas pengungkapan seorang pengarang dalam karya. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana pengarang memilih kata-kata dan mengolahnya menjadi rangkaian kalimat. Dalam novel ini pengarang menggunakan bahasa yang lugas, jernih, mudah dipahami oleh pembaca. Pengarang juga menyelipkan 39 Ibid., h. 80. 40 Ibid., h. 17. 41 Ibid., h. 29. kata-kata jawa guna menambah wawasan pembaca. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini: Aku dan kawan-kawan kecilku tidak takut melihat itu semua, malah kami melemparinya dengan batu-batu kecil dan kereweng yang kami dapatkan dari kiri dan kanan injakkan kaki- kaki kami... 42 Di sisi lain, apabila novel Opera Van Gontor ini dilihat dari segi retorikanya, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya, terlihat bahwa pengarang menggunakan majas personifikasi. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini: Aku melihat hamparan sawah menghijau amat luas membentang hingga menyentuh kaki langit, hijau merona dan menarik. Nampak pula nun jauh di sana petani dengan gerombolan ternaknya muncul bagaikan boneka yang tertelan di padang luas. 43

7. Amanat

Setiap karya sastra mempunyai amanat atau pesan yang ingin disampaikan. Pesan yang ingin disampaikan dalam novel ini adalah kita harus patuh dan taat atas apa yang diperintahkan orang tua kepada kita, karena pada dasarnya keinginan orang tua adalah yang terbaik untuk kita. Selain itu, dalam menuntut ilmu kita harus sabar, tawadhu, tabah, ikhlas dan tawakal. Dengan demikian segala yang kita jalankan nanti akan terasa mudah. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan sebagai berikut: Apa pun yang aku alami aku bersyukur dapat keluar dari saat-saat kritis itu, aku mampu menyerap segala yang ada di Gontor, positif maupun negatif dengan apa adanya. Aku mampu mengikuti arus dengan penuh ketabahan. Semua yang aku alami, kuyakini akan bermanfaat untuk kehidupan nanti. Aku akan menerapkan keikhlasan dalam hidupku, sebuah kata sederhana tapi merupakan kata-kata kunci dalam perjuangan hidup yang telah ditanamkan begitu kuat oleh Pak Sahal dan Pak Zar kepada kami, anak didiknya. 44 42 Ibid., h. 27. 43 Ibid., h. 18. 44 Ibid., h. 267.

D. Analisis Nilai Religius dalam Novel Opera Van Gontor

Berdasarkan data-data yang penulis, dalam novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya mempunyai nilai-nilai religius yaitu, penyerahan diri, tunduk, dan taat, kehidupan yang penuh kemuliaan, perasaan batin yang ada hubungannya dengan Tuhan, perasaan takut dan berdosa, dan mengakui kebesaran Tuhan.

1. Penyerahan diri, tunduk, dan taat

Rasa tunduk dan taat, merupakan bentuk penyerahan diri seorang manusia kepada Tuhan. Pada tokoh Aku penulis coba mengangkat sisi- sisi lain dari manusia. Penulis menyelami sesuatu yang esensi dari perbuatan manusia yaitu niat. Memperbaiki niat dalam diri, yang tokoh Aku lakukan dalam kutipan berikut tergambar bahwa kesadaran perbuatan ialah dimulai dari adanya niat yang baik dari manusia itu sendiri. Kutipan berikut ini menunjukkan pola pikir manusia yang telah memiliki nilai religius. ―Persis sebagaimana konsep kesadaran Ilahi, tidak mengharapkan imbalan. Just give, give, and give. Terbetik di batin bertekad memperbaiki niat-niat yang kurang laduni itu dari diriku.‖ 45 ―Aku ikhlas, mudah-mudahan dia bisa menikmatinya dan tidak keluar uang membeli kue dan lauk. Kalaupun ia menganggapku pelit, medit, kikir, mendekut karena tidak berbagi, ya silakan saja, biarkan saja… Itu haknya dalam berpendapat.‖ 46 Memperbaiki niat dan memiliki rasa ikhlas yang ditunjukkan oleh tokoh Aku merupakan wujud konkret manusia memiliki nilai religius. Tokoh Aku dihadapkan pada suatu peristiwa yang membuat dirinya memiliki sifat penyerahan diri yang menyeluruh dan tergambar lewat perkataannya saat ia merelakan makanan kiriman ibunya dicuri orang. Rasa ikhlas yang tokoh Aku miliki adalah suatu puncak religius seseorang kepada sang pencipta. Ketika rasa ikhlas dan niat baik yang 45 Ibid., h. 99. 46 Ibid., h. 102. dimiliki seseorang seperti yang tergambarkan oleh penulis lewat tokoh Aku. Ia mencoba mengikhlaskan makanan yang telah raib dicuri, ia tetap menjadi sosok yang bijak ketika ia berpikir bahwa ia dianggap pelit yang menurut pikirnya. Akan tetapi, tokoh aku tetap menjadi sosok yang demokratis ketika ia berpikir bahwa itu merupakan hak berpendapat masing-masing orang, yang menurut pikirnya bila ia dikatakan pelit, menurut yang mencuri. Nilai kesadaran yang dimiliki dan terpatri di dalam diri Aku dapat melahirkan sikap ikhlas artinya perilaku dan perbuatan dilaksanakan hanya mengharap ridha Illahi. Tokoh Aku sangat merasakan manfaat ketika ia menimba ilmu di Gontor. Banyak pelajaran yang ia dapatkan misalnya saja ketika tokoh Aku asing mendengar syair Abu Nawas yang berjudul Al- I’thiraaf yang dibaca setelah adzan dikumandangkan. Tokoh Aku begitu meresapi setiap bait syair Abu Nawas yang sangat menggugah hati. Rasa kepasrahan yang tokoh Aku gambarkan saat ia mendengarkan syair Abu Nawas, menjadikan ia sosok yang religius. Ia begitu menikmati segala bait demi bait yang terdapat pada syair Al- I’thiraaf. Ketauhidan yang tinggi, pertobatan manusia terhadap Tuhannya merupakan rasa tunduk dan taat seorang hamba pada sang pencipta. ―Yang diajarkan di sini dan terlihat asing bagiku adalah syair Abu Nawas berjudul Al- I’thiraaf yang dibaca setelah adzan dikumandangkan. Syair ini bagiku sungguh menggugah hati akan kepasrahan kepada Yang Kuasa. Bernuansa kepasrahan, pengakuan dosa, dan pertobatan diri kepada Sang Mahakuasa yang mampu menjadi penawar jiwa dahaga, gersang, panas, dan angkuh. Suatu ungkapan ketauhidan maha tinggi dari seorang manusia, hamba yang hanya berpegang teguh pada pertolongan Allah yang tidak akan pergi ke tukang klenik, dukun, atau sejenisnya bila mengalami musibah walau mungkin menjelang ajal.‖ 47 Syair Abu Nawas Al- I’thiraaf begitu menyentuh tokoh Aku seperti tergambar pada kutipan novel di atas, ia begitu merasakan rasa 47 Ibid., h. 114.

Dokumen yang terkait

NILAI MORAL DALAM NOVEL PESANTREN IMPIAN KARYA ASMA NADIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH

29 264 121

Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA

45 364 133

Nilai moral dalam novel orang miskin dilarang sekolah karya Wiwid Prasetyo dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah

4 58 147

Nilai moral dalam novel orang miskin dilarang sekolah karya Wiwid Prasetyo dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra indonesia di sekolah

2 51 147

Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

19 99 77

NILAI MORAL DALAM NOVEL SANG PENCERAH KARYA AKMAL NASERY BASRAL DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS

23 124 79

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL PAK GURU KARYA AWANG SURYA DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

5 50 56

NILAI-NILAI SOSIAL DALAM NOVEL OPERA INDONESIA KARYA JOKO SANTOSO HP (KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA).

0 7 18

NILAI-NILAI SOSIAL DALAM NOVEL JALA KARYA TITIS BASINO: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Jala Karya Titis Basino: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

1 11 13

NILAI-NILAI SOSIAL DALAM NOVEL JALA KARYA TITIS BASINO: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN IMPLIKASINYA SEBAGAI Nilai-Nilai Sosial Dalam Novel Jala Karya Titis Basino: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implikasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 7 18