sadar mengingat bahwa kesemua perbuatan akan mendapatkan balasannya.
Pada kutipan berikut ini, tokoh Aku menceritakan pula konsep keadilan yang ditawarkan Islam kepada umatnya. Ia mencoba
membandingkan dengan konsep yang pernah akan dipakai oleh bangsa Indonesia, yaitu komunis. Dia sangat menentang sekali konsep sama rata
sama rasa yang tidak berkeadilan menurutnya, dan belum lagi ketika berbicara akidah yaitu agama.
Begitu pula perbedaan antara orang pandai dan orang bodoh, majikan, dan buruh, serta pemimpin dan bawahan. Tentu
dalam batasan tanpa menganiaya hak orang lain.
59
Opera Van Gontor, h. 28.
Konsep keadilan yang ditawarkan Islam kepada umatnya jelas memiliki porsi adil. Kekayaan dan kemiskinan merupakan sebuah
perbedaan, dan jangan dijadikan sebuah tingkatan yang nantinya akan menjadikan sebuah konflik. Akan tetapi, jadikan kesemua perbedaan
yang ada di dunia ini menjadi sebuah keindahan kehidupan yang harmonis, serasi, selaras, dan seimbang sesuai dengan apa yang dicita-
citakan. Begitu pun keadilan kepada orang yang bekerja. Islam
mengajarkan untuk tidak menunda apalagi sampai tidak membayar orang yang bekerja. Aku mengingat sabda Nabi Muhammad Saw untuk
membayarkan upah kepada orang yang bekerja. seperti tercermin dalam pesan Nabi Muhammad
saw,‖Bayarlah upahmu sebelum keringatnya kering.‖
60
Rasa menghargai sesama, perasaan takut dan berdosa yang terekam lewat kutipan di atas, menggambarkan sosok Aku yang selalu
menjalankan perintah rasulnya agar tidak berbuat dosa dengan tidak membayarkan upahnya sama saja dengan menganiaya sesama manusia.
59
Ibid., h. 28.
60
Ibid.
5. Mengakui kebesaran Tuhan
Setelah masuk kelas selama enam hari, yang menjadi kegiatan rutin di pondok modern Gontor ini diselenggarakan kegiatan Khutbatul
Arsy atau diartikan pidato dari langit. Sebuah kegiatan pidato yang berisi tentang perkenalan kepada siswa baru, penyegaran kepada siswa lama
dan tak lupa motivasi untuk seluruh para siswa. Ketika itu, aku menganalogikan dirinya dan para santri
berada di langit ketujuh. Ia coba memikirkan kebesaran Tuhan yang tak terfikirkan dan tak terjangkau bila dipaksakan untuk
memikirkannya. ―Perihal
nama, Khutbatul
‘Arsy kuanalogikan
keberadaanku dan para santri lainnya seolah ditempatkan di atas langit ketujuh, suatu tempat di mana manusia tak bisa
mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung pada kesimpulan yang mempertontonkan
kemahabodohan sang penanya sendiri. Maka jangkauan akal telah
berakhir di langit ketujuh ini.‖
61
Aku sangat sadar, begitu besarnya kuasa Tuhan terhadap segala apa-apa yang diciptkannya. Zat-zat yang dimiliki Tuhan pun tak dapat
disangkal lagi olehnya suatu kebesaran yang tak terhingga yang dimiliki oleh sang pencipta. Aku menganggap langit ketujuh adalah suatu puncak
yang tidak dapat terjangkau oleh akal dan fikiran seseorang untuk memikirkan segala tentang-Nya.
Bukan hanya memikirkan segala yang ada di langit saja, akan tetapi manusia harus juga dapat menyayangi segala yang ada di bumi.
Seperti dikisahkan oleh tokoh Aku ketika para santri dengan brutal menyiksa ciptaan Tuhan.
Ia mengingat perkataan nabi, sebagai umat seorang hamba yang cinta akan nabinya ia selalu mengingatnya. Ketika nabi bersabda kepada
manusia untuk dapat berhemat menggunakan air ketika di tepi sungai. Perkataan nabi yang Aku kisahkan mencerminkan sosok religius yaitu
mengakui kebesaran Tuhan dengan cara menjaga segala apa yang Tuhan telah berikan kepada manusia.
61
Ibid., h. 55.
―Begitu cintanya nabi pada ciptaan Tuhan, sampai-sampai beliau dengan prihatin berkata; ―Seandainya kamu berada dan
tinggal di tepi sungai, kamu pun wajib berhemat dalam menggunakan air‖ Dalam rangka menganjurkan agar umatnya
senantiasa mengasihi ciptaan tuhan‖
62
Aku begitu mengingat perkataan nabi untuk mengasihi segala apa yang ada di langit maupun di bumi. Jelas tergambar pesan yang
diamanatkan nabi kepada manusia untuk saling menjaga sesama makhluk hidup. Atas dasar itu, ia mengutuk perbuatan yang dilakukan para santri
menyiksa binatang. Secara tidak langsung para santri tidak mengakui akan kebesaran Tuhan yang telah menciptakannya.
Selain menjaga dan menyayangi sesama, manusia juga harus dapat mengakui kebesaran Tuhan. Ketika siang hari setelah keluar dari
kelas, Pak Muchsin menghadirkan dai’ah cilik asal Medan. Didampingi ibunya ia mendemonstrasikan kepiawaiannya berpidato dakwah di
hadapan masyarakat luas. Aku seketika itu pun terkejut melihat kehebatan anak sekecil itu
yang sudah pandai berdakwah dihadapan orang banyak. ―Ini Pasti mukjizat. Allah Maha besar dan Maha kuasa
atas segala sesuatu.‖
63
Pada kutipan di atas, Aku menyebut mukjizat begitu ia melihat kefasihan anak itu berpidato apabila dibandingkan dengan dirinya. Tak
habis pikir, dan ia pun mengatakan ajaib. Aku dalam kutipan ini, menggambarkan sosok yang mengakui atas kebesaran Tuhan dengan
menunjukkan kepadanya anak kecil yang tak tahu mulai dari kapan ia berpidato tetapi sudah fasih. Kekagumannya tak terlepas dari sisi religius
yang men ggambarkan begitu kagumnya sosok Aku pada dai’ah cilik
tersebut.
62
Ibid., h. 142.
63
Ibid., h. 167.