penting bagi sejarah kebudayaan Eropa Barat. Di dalam lirik pengungkapan perasaan pribadi dipandang sebagai tema terpenting.
Dalam drama perbuatan yang memuncak dalam sebuah konflik dianggap pokok, sedangkan dalam epik perbuatan dahsyat seorang
leluhur yang menentukan nasib tokoh remaja keturunannya.
32
Jadi, secara eksplisit, tema bisa dikatakan berfungsi atau berhubungan sebagai fungsi kultural yang berbeda-beda sesuai
dengan perkembangan budaya yang berlangsung di dalam suatu peradaban tertentu. Tematik dari berbagai jenis sastra ini, pasti
berubah dari zaman ke zaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam fungsi, keadaan, publik, dan medium.
Tema dalam banyak hal bersifat ―mengikat‖ kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik situasi tertentu, termasuk berbagai
unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.
33
Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak.
2. Alur Plot
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, alur adalah struktur cerita.
34
Selain itu, alur adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab akibat. Artinya,
peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan terjadinya peristiwa ketiga, dan demikian selanjutnya
hingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan terjadinya peristiwa pertama.
35
32
Van Jan Luxemburg, 1992. Pengantar Ilmu Sastra diindonesiakan oleh Dick Hartoko, Jakarta: PT Gramedia, 1992, h. 113-114.
33
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 68.
34
Rene Wellek dan Austin Warren, op.cit., h. 280.
35
Yakob Sumarjo dan Saini KM., op.cit., h. 139.
Kenny mengatakan bahwa alur merupakan peristiwa yang tidak bersifat sederhana, berdasarkan hubungan sebab-akibat yang
ditampilkan pengarang dalam cerita.
36
Berdasarkan beberapa pendapat tentang alur yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa alur terbentuk dari
susunan gerak peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat interaksi antartokoh. Peristiwa-peristiwa yang dapat membentuk alur itu ada
dalam satu jalinan atau rangkaian yang berhubungan secara kausalitas dan berurutan secara logis dan kronologis menurut urutan waktu.
Cerita dalam sebuah karya sastra apa pun, berkembang berdasarkan pengaturan alur yang dikembangkan oleh si pengarang. Pengaturan
alur tersebut dimaksudkan sebagai pembangun dari cerita tersebut, artinya penahapan alur dapat memberikan efek estetik tertentu dalam
sebuah cerita. Alur sebuah cerita bagaimana pun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik dikemukakan secara eksplisit
maupun implisit. Oleh karena itu, dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif,
tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya.
37
Dengan demikian, tahapan-tahapan peristiwa tersebut tidak harus secara beraturan ditempatkan
melainkan dapat terletak di bagian mana pun. Berdasarkan deskripsi penahapan plot di atas, Nurgiyantoro
membagi alur menjadi tiga bagian dalam penahapan plot:
38
pertama,
Tahap Awal , tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai
tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan
dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal atau: pembukaan sebuah cerita adalah untuk memberikan
informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan
36
W. Kenny, How to Analyze Fiction, New York: Monarch Press, 1966, h. 14.
37
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 141.
38
Ibid.
pelataran dan penokohan; kedua, Tahap Tengah, tahap tengah cerita
yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan
pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada
tahap sebelumnya,
menjadi semakin
meningkat, semakin
menegangkan. Konflik yang dikisahkan, dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik
eksternal, konflik yang terjadi antartokoh cerita. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik utama telah
mencapai titik intensitas tertinggi; dan ketiga, Tahap Akhir, tahap
akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut sebagai tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini
berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita.
Di samping beberapa penjelasan mengenai penahapan alur di atas, Aminuddin dalam Siswanto menjelaskan bahwa tahapan alur
berawal dari pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan penyelesaian.
39
Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita rekaan yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau latar cerita. Konflik
atau tikaian adalah ketegangan atau pertentangan antara dua kepentingan atau kekuatan dalam cerita rekaan. Pertentangan ini bisa
terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, tokoh dan masyarakat, tokoh dan lingkungan alam, serta tokoh dan Tuhan. Bisa juga
berbentuk konflik lahir dan batin. Komplikasi atau rumitan adalah bagian tengah alur cerita rekaan yang mengembangkan tikaian.
Dalam tahap ini, konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh. Klimaks
adalah bagian alur cerita rekaan yang melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi tanggapan emosional pembaca. Klimaks
merupakan puncak rumitan, yang diikuti oleh krisis atau titik balik.
39
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra Jakarta: Grasindo, 2008, h. 159-160.
Peleraian adalah tahap peristiwa peristiwa yang terjadi menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian. Selesaian adalah tahap akhir
suatu cerita. Dalam tahap ini semua masalah dapat diuraikan, kesalahpahaman dapat dijelaskan; rahasia dibuka.
Ada dua jenis selesaian, yaitu terbuka dan tertutup. Selesaian terbuka adalah bentuk selesaian yang diserahkan kepada pembaca,
dan selesaian tertutup adalah bentuk selesaian yang diberikan oleh pengarangsastrawan.
Keterangan mengenai penahapan plot di atas, merupakan perkembangan plot yang runtut dan kronologis. Penjelasan di atas
sesuai dengan tahap-tahap pemplotan yang secara teoretis- konvensional. Namun pada kenyataannya, alur cerita sebuah karya,
terutama novel, urutan kejadian yang ditampilkan pada umumnya tidak secara linear-kronologis. Di dalam karya novel, pada umumnya
menampilkan cerita yang relatif panjang, klimaks yang dimunculkan mungkin saja lebih dari satu klimaks. Hal itu sejalan dengan
kenyataan bahwa dalam sebuah novel sering dimunculkan lebih dari satu konflik. Masing-masing konflik tentunya membangun alur
sendiri sehingga mereka akan sampai pada klimaks dan pelarian sendiri pula. Bahkan dengan hanya sebuah konflik utama dan dengan
satu tokoh utama pun mungkin saja dapat dimunculkan lebih dari satu klimaks.
40
3. Tokoh dan Penokohan
Tokoh atau penokohan adalah salah satu unsur yang terpenting dalam cerita. Kehadiran tokoh ikut menentukan apakah ia
mempunyai peran baik atau buruk, yaitu sebagai tokoh yang dipuja atau dipuji protagonis. Konflik yang mendasari plot cerita
merupakan konflik jiwa protagonisnya. Kejadian cerita berpusat pada konflik watak tokoh utamanya.
40
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 151-152.
Di dalam sebuah karya fiksi, istilah tokoh merujuk pada pelaku yang ada dalam cerita tersebut. Istilah tokoh dalam sebuah
cerita, menunjuk pada penempatan atau pelukisan gambaran tokoh- tokoh tertentu dengan watak tertentu. Tokoh cerita adalah orang-
orang yang ditampilkan dalam karya sastra yang sifatnya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan tindakan.
41
Dari pendapat Abrams tersebut sudah sangat jelas bagi kita bahwa pengertian ‗Tokoh’ merujuk pada orangnya pelaku
cerita. Istilah ‗penokohan’ mempunyai pengertian yang lebih luas
daripada pengertian ‗tokoh’. Nurgiyantoro mengatakan bahwa penokohan menyangkut masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakannya, bagaimana penempatan dan pelukisnya dalam cerita sehingga mampu memberikan gambaran yang jelas bagi pembaca.
42
Dengan demikian, Nurgiyantoro lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa ’penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ’tokoh’ dan
’perwatakan’ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan
gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh cerita dalam sebuah cerita menempati posisi strategis
sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh kalau dilihat
secara gamblang, merupakan gambaran umum dari kehidupan manusia itu sendiri yang terdiri atas darah dan daging, yang
mempunyai pikiran dan perasaan.
41
M. H. Abrams, A Glosaary of Literaty Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981, h. 20.
42
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 166.
Nurgiyantoro membedakan tokoh ke dalam beberapa kriteria.
43
Dilihat dari fungsi penampilan, tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Tokoh protagonis
Tokoh ini merupakan tokoh yang menampilkan sesuatu yang sesuai dengan padangan pembaca.
b. Tokoh antagonis
Tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab terjadinya konflik. Biasanya beroposisi dengan tokoh protagonis, secara
langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan perwatakannya, tokoh dapat dibedakan ke dalam
dua bagian, yaitu: a.
Tokoh sederhana Tokoh sederhana merupakan tokoh yang hanya memiliki
satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar,
monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. b.
Tokoh bulat Tokoh bulat adalah tokoh yang menampilkan watak lebih
dari satu. Tokoh bulat mudah dibedakan dengan tokoh lain dalam sebuah cerita. Selain itu, tokoh bulat sering memberikan kejutan-
kejutan karena muncul watak tidak terduga secara mendadak. Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan,
tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a.
Tokoh statis Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tidak
berpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh statis
memiliki sifat dan watak yang relatif tetap, tidak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita.
43
Ibid., h. 178.
b. Tokoh berkembang
Tokoh berkembang merupakan tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan
dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan alur yang dikisahkan.
4. Latar
Latar dapat berarti sebagai landas tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
44
Nurgiyantoro mengatakan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas yang
sangat penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada
dan terjadi.
45
Rusyana mengatakan bahwa latar berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan untuk memberikan kemiripan
kenyataan dalam hal menimbulkan kesungguhan.
46
Dengan demikian dapat disimpulkan latar adalah tempat atau waktu terjadinya
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokkan latar bersama
dengan tokoh dan plot ke dalam fakta cerita, sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara
faktual jika membaca cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku
dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab-akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.
47
Menurut Nurgiyantoro latar dalam cerita dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
48
44
M. H. Abrams, op. cit., h. 175.
45
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 217.
46
Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, Bandung: Gunung Larang, 1982, h. 48.
47
Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 216
48
Ibid., h. 227.
Dijelaskan bahwa latar tempat adalah latar menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Unsur
tempat yang digunakan mungkin berupa tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, atau mungkin lokasi tertentu tanpa nama
yang jelas. Latar waktu berhubungan dengan ‗kapan’ terjadinya peristiwa-
peristiwa di dalam cerita. Malahan ‗kapan’ tersebut bisaanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada
kaitannya dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal- hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam cerita.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil oleh pengarang untuk melihat suatu
kejadian cerita.
49
Menurut Sudjiman dalam Jauhari, sudut pandang point of view adalah posisi pencerita dalam membawakan kisahan.
Posisi pengarang dalam mengisahkan cerita tidak terpaku dalam satu sudut saja tetapi boleh jadi berada di luarnya sebagai dia.
50
Aminuddin menjelaskan bahwa titik pandang adalah cara pengarang
menampilkan para
pelaku dalam
cerita yang
dipaparkannya.
51
Sudut pandang point of view dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita dikisahkan. Abrams dalam Nurginatoro
mengemukakan: Sudut pandang merupakan cara atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana menampilkan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah teks fiksi kepada pembaca. Jadi, sudut pandang pada hakikatnya adalah sebuah cara, strategi, atau
siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan cerita dan gagasannya. Pemilihan sudut
pandang dalam sebuah cerita fiksi dalam banyak hal akan
49
Hari Jauhari, op. cit., h. 54.
50
Ibid.
51
Aminuddin, op. cit., h. 90.
mempengaruhi kebebasan, ketajaman, dan keobjektifan dalam bercerita, dan itu juga berarti mempengaruhi kadar
plausibilitas dan atau kemasukalakan cerita.
52
Menurut Tarigan ada beberapa jenis sudut pandang atau pusat narasi, yaitu:
53
pertama, tokoh utama dapat menceritakan ceritanya sendiri. Dalam hal ini pusat tokoh identik dengan pusat narasi.
Kedua, cerita itu dapat disalurkan oleh seorang peninjau yang merupakan seorang partisipan dalam cerita itu. Ketiga, observer
author, di mana pengarang cerita bertindak sebagai peninjau saja. Keempat, cerita itu dapat dituturkan oleh pengarang sebagai orang
ketiga atau omniscient outhor. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
adalah cara yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh dalam mengisahkan sebuah cerita.
6. Gaya Bahasa
Sudjiman menyatakan bahwa sesungguhnya gaya bahasa dapat digunakan dalam segala ragam bahasa baik ragam lisan, tulis,
nonsastra, dan ragam sastra, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks
tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu.
54
Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang
sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Jorgense dan Phillips dalam Ratna mengatakan bahwa gaya
bahasa bukan sekadar saluran, tetapi alat yang menggerakkan
52
Nurgiantoro, op. cit., h. 269.
53
Henry Guntur Tarigan, op. cit., h. 138-139.
54
Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993, h. 13.
sekaligus menyusun kembali dunia sosial itu sendiri.
55
Lebih jauh menurut Simpson dalam Ratna gaya bahasa baik bagi penulis maupun
pembaca berfungsi untuk mengeksplorasi kemampuan bahasa khususnya bahasa yang digunakan.
56
Stilistika dengan demikian memperkaya cara berpikir, cara pemahaman, dan cara perolehan
terhadap substansi kultural pada umumnya. Retorika merupakan penggunaan bahasa untuk memperoleh
efek estetis yang diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana seorang pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana
untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra mencerminkan sikap dan perasaan pengarang yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca. Untuk itu, bentuk pengungkapan bahasa harus efektif dan mampu
mendukung gagasan secara tepat yang memiliki segi estetis sebagai sebuah karya. Kekhasan, ketepatan, dan kebaruan pemilihan bentuk-
bentuk pengungkapan yang berasal dari imajinasi dan kreatifitas pengarang dalam pengungkapan bahasa dan gagasan sangat
menentukan keefektifan wacana atau karya yang dihasilkan. Hal ini bisa dikatakan bahwa bahasa akan menentukan nilai kesastraan yang
akan diciptakan. Karya sastra adalah sebuah wacana yang memiliki kekhasan
tersendiri. Seorang pengarang dengan kreativitasnya mampu mengekspresikan gagasannya dengan menggunakan bahasa dengan
memanfaatkan semua media yang ada dalam bahasa. Gaya berbahasa dan cara pandang seorang pegarang dalam memanfaatkan dan
menggunakan bahasa tidak akan sama satu sama lain dan tidak dapat ditiru oleh pengarang lain karena hal ini sudah menjadi bagian dari
pribadi seorang pengarang. Kalaupun ada yang meniru pasti akan dapat ditelusuri sejauh mana persamaan atau perbedaan antara karya
55
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 84.
56
Ibid.
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat diketahui mana karya yang hanya sebuah jiplakan atau imitasi.
7. Amanat
Setiap orang yang melakukan kegiatan pasti mempunyai tujuan tertentu. Begitu juga dengan pengarang yang mencurahkan
ide, perasaan, pikiran, dan emosinya dalam membuat suatu karya sastra. Pengarang membuat cerita biasanya karena dia mempunyai
sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sesuatu itu ada yang disampaikan secara langsung tersurat atau secara eksplisit, dan
ada yang secara tidak langssung tersirat atau secara implicit. Sesuatu itu yakni pesan yang dinamakan amanat.
57
Dalam hal ini Rusyana dalam Jauhari berpendapat bahwa amanat merupakan endapan renungan yang disajikan kembali oleh
pembaca. Endapan renungan tersebut merupakan hasil pikiran pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dituangkan dalam
bentuk karya sastra.
58
Menurut Harimurti dalam Jauhari bahwa amanat adalah keseluruhan makna atau isi wacana, konsep, dan
perasaan yang hendak disampaikan pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar.
59
Amanat yang disampaikan oleh pengarang lewat karyanya bergantung pada pandangan hidup, filsafat, pekerjaan, dan cita-cita
pengarang tersebut. Karena menurut Sumardjo dan Saini karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini
menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain.
60
Dengan demikian amanat dapat disimpulkan sebagai makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra yang dapat memberikan
57
Hari Jauhari, op. cit., h. 55.
58
Ibid.
59
Ibid.
60
Yakob Sumarjo dan Saini KM, Apresiasi Kesusastraan Jakarta: Gramedia, 1986, h. 5.
tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup.
C. Hakikat Pembelajaran Sastra
Pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu objek atau sebuah keterampilan dengan belajar, pengalaman,
atau instruksi. Pengajaran tidak bisa didefinisikan terpisah dari pembelajaran. Pengajaran adalah memandu dan memfasilitasi pembelajaran, memungkinkan
pembelajar untuk belajar, menetapkan kondisi-kondisi pembelajaran. Dengan adanya pengajaran sastra diharapkan dapat membantu pendidikan secara utuh
yang meliputi empat manfaat, yaitu membantu dalam keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,mengembangkan cipta dan
rasa, dan menunjang pembentukan watak.
61
Dalam kurikulum 2004, tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra terbagi menjadi dua, yaitu: 1 agar peserta
didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadiannya, memperluas wawasan di dalam kehidupan,
serta untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; 2 agar peserta didik dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pembelajaran sastra yang dilaksanakan dengan baik, niscaya akan
memberikan kontribusi yang bermakna bagi proses pendidikan dalam keseluruhannya, yang juga dapat berarti bahwa dalam bahasa positivisme,
terdapat korelasi positif antara pembelajaran sastra dan pembelajaran bidang studi lainnya.
Ada sejumlah hal yang dapat diidentifikasikan agar pembelajaran sastra benar-
benar dapat membuktikan ―korelasi positif‖-nya dengan bidang studi lain.
62
Pertama, pembelajaran sastra harus dilaksanakan secara kreatif. Kedua, bahan-bahan yang diberikan kepada siswa hendaknya merupakan
61
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius, 1988, h. 16.
62
Riris K. Toha Sarumpaet ed., Sastra Masuk Sekolah, Magelang: Indonesia Tera, 2002, h. 46-47.
karya-karya yang dipradugakan dapat membuat mereka menjadi lebih kritis, menjadi lebih peka terhadap beragam situasi kehidupan. Di samping kedua
hal tersebut, guru hendaknya selalu menyadari bahwa sastra sebagai bahan pembelajaran hanyalah sekadar sarana untuk mengantarkan para siswa meniti
jenjang kedewasaan. Pembelajaran sastra ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa
dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra serta mengambil hikmat atas nilai-nilai luhur yang terselubung di dalamnya. Pengetahuan
tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra. Kalau pembelajaran sastra sudah dilakukan sesuai dengan pedoman yang ada
dalam kurikulum, diharapkan keluhan-keluhan tentang kurang berhasilnya pembelajaran sastra di sekolah dapat berkurang. Namun demikian, walaupun
telah beberapa kali berganti kurikulum baru, pembelajaran sastra di sekolah menengah sampai sekarang masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal
sehingga lulusan yang dihasilkan belum sepenuhnya mencerminkan tujuan pembelajaran tersebut.
Pembelajaran sastra yang dilakukan di sekolah-sekolah kita saat ini sebagian besar baru pada pengembangan pengetahuan tentang sastra, belum
sampai pada pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra. Karya sastra belum dibaca dan dibahas secara tuntas, belum menjadi bahan diskusi
dan pembahasan bagi siswa dan guru sehingga belum terjadi pentransferan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra tersebut.
Oleh karena itu, perlu dicari cara mengatasi dan mereaktualisasikan pembelajaran sastra di sekolah menengah agar tercapai tujuan yang
diinginkan, yaitu dengan memposisikan pembelajaran sastra secara proporsional. Paling tidak, ada dua hal yang dapat dilakukan untuk
mereaktualisasikan dan mengoptimalkan, serta memperbaiki pembelajaran sastra di sekolah menengah, yaitu: 1 peningkatan peran dan kreativitas guru
sastra dalam pembelajaran sastra di sekolah, dan 2 perubahan orientasi pembelajaran, dari pembelajaran sastra yang berorientasi kepada materi
menuju pembelajaran sastra yang berorientasi kepada siswa atau peserta didik.
D. Penelitian yang Relevan
Adapun novel Opera Van Gontor ini sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Imron Sukanto mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada
tahun 2012 dengan judul ―Nilai-Nilai Edukatif dalam Novel Opera Van Gontor Karya Amroeh Adiwijaya
‖ yang mengambil fokus nilai edukatif
dalam novel Opera Van Gontor karya Amroeh Adiwijaya. Imron Sukanto lebih menekankan kepada nilai-nilai edukatif yang tergambar dalam novel
Opera Van Gontor ini meliputi nilai kejujuran, disiplin, suka menolong, bekerja keras tanggung jawab, optimis, berbakti pada orang tua, suka
memberi nasihat dan dermawan.
Selain itu, penelitian yang sesuai dengan penelitian sebelumnya yakni penelitian yang ditulis oleh Helliyatun mahasiswa UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 2009 dengan judul ―Nilai-Nilai Religius dalam Novel Hafalan Sholat Delisa Karya Tere-Liye dan Relevansinya terhadap
Pendidikan Agama Islam”. Dalam hal ini peneliti mengungkapkan tentang isi atau nilai-nilai religius yang ada dalam novel Hafalan Shalat Delisa,
kemudian menafsirkan relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam. Hasil penelitiannya menunjukkan: Nilai-nilai religius yang terkandung dalam novel
Hafalan Shalat Delisa adalah nilai pendidikan aqidah keimanan yang meliputi iman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab, iman
kepada rosul, dan iman kepada takdir. Pendidikan syariah ibadah yang meliputi perintah shalat, menuntut ilmu, beramal dengan tulus ikhlas,
berdzikir dan berdoa kepada Allah. Pendidikan akhlak budi pekerti meliputi akhlak terhadap diri sendiri sabar, taubat, optimis, bersyukur, menerima
hidayah dan menghindarkan diri dari sikap marah, akhlak terhadap orang tua larangan durhaka terhadap kedua orang tua dan berbakti kepada kedua
orang, akhlak terhadap keluarga, akhlak terhadap saudara, akhlak terhadap
sesama memberi salam dan saling tolong menolong dan akhlak terhadap anak yatim.
Penelitian selanjutnya, penelitian yang ditulis oleh Hildawati mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012 dengan judul
―Nilai Religiusitas Islam dalam Novel Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra‖. Penelitian ini bertujuan
mengungkapkan tentang isi atau nilai-nilai religiusitas yang ada dalam novel Atheis, kemudian menafsirkan implikasinya terhadap pembelajaran sastra.
Nilai-nilai religiusitas yang terkandung dalam novel Atheis, terdiri dari aspek aqidah tauhid, aspek ibadah ritual, aspek ihsan penghayatan, aspek ilmu
pengetahuan, dan aspek amal akhlak. Dari ketiga penelitian di atas pada dasarnya meneliti nilai-nilai yang
terkandung dalam sebuah novel, khusus untuk novel Opera Van Gontor ini penulis mencoba mengkaji nilai religius yang terdapat dalam novel Opera
Van Gontor, tidak hanya nilai religius saja, penelitian ini lebih mengarah kepada bagaimana nilai religius yang terdapat dalam novel Opera Van Gontor
berimplikasi terhadap pembelajaran sastra di sekolah.