III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
daerah seluas-luasnya, dalam arti bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat
yang ditetapkan dalam Undang Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, peran serta,
prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip
otonomi yang nyata, yakni suatu prinsip bahwa untuk penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi
bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Konsep otonomi yang diajukan memberikan keleluasaan yang sangat besar
terutama kepada tingkat kabupatenkota dalam menjalankan fungsi pelayanan kepada masyarakat daerah setempat. Undang Undang telah menggarisbawahi
bahwa kabupatenkota akan memiliki 11 fungsi pelayanan utama yang wajib
dilaksanakan di daerah, antara lain: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, transportasi, dan lain-lain LPEM, 2002.
Kewenangan daerah dalam hal pelaksanaan tugas otonomi dan desentralisasi sangat luas, hal ini tercermin dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang
diatur dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Dalam tinjauan ekonomi publik, APBD merupakan alat untuk menyelenggarakan
aktivitas kepemerintahan dan pengadaan barang publik seperti jalan, jembatan, pertahanan dan keamanan, serta jasa-jasa pemerintahan lainnya. APBD
merupakan belanja publik public expenditure yang berfungsi untuk mengatasi kegagalan pasar market failure dalam penyediaan barang dan jasa publik
Stiglitz, 2000. Dalam teori keuangan publik disebutkan bahwa fungsi pemerintah terdiri
dari fungsi alokasi, stabilisasi dan distribusi. Berkaitan dengan fungsi alokasi, pemerintah ikut serta dalam perekonomian dengan melakukan alokasi anggaran
yang tercermin dalam pengeluaran pemerintah. Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, fungsi distribusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan dari
upaya tersebut yang tercermin dalam alokasi pengeluaran pemerintah. Di era desentralisasi, konsep pengembangan kapasitas daerah diwujudkan
dengan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat melalui pengentasan kemiskinan. Seiring dengan hal itu peningkatan tanggung jawab pemerintah
terhadap kebutuhan dan kondisi daerah sangat diperlukan untuk proses pengambilan keputusan guna mengurangi kemiskinan di daerah. Pelaksanaan
program pengurangan kemiskinan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi produktif penduduk miskin, penyediaan prasarana dasar perdesaan, serta
penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dalam bidang kesehatan dan pendidikan, diharapkan berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan.
Desentralisasi lebih memberikan ruang space dan peluang bagi masyarakat di daerah untuk menyalurkan aspirasi pembangunan dalam rangka
menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kondisi obyektif dan kebutuhan daerahnya. Karena itu, untuk mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin,
diperlukan komitmen bersama dari semua stakeholders pembangunan, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga swadaya masyarakat NGO, dunia
usaha, maupun perguruan tinggi serta masyarakat untuk bersama-sama melakukan upaya penanggulangan kemiskinan.
Kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah mempunyai hubungan erat dengan kondisi wilayah dan pembangunan ekonominya. Ada wilayah yang mempunyai
sumberdaya alam yang melimpah sehingga penduduk di sekitarnya dapat memperoleh peningkatan pendapatan dan kesejahteraaan. Sebaliknya, ada
wilayah yang sedikit sumberdaya alamnya sehingga penduduknya kesulitan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Tetapi kemiskinan bisa terjadi di wilayah yang
mempunyai sumberdaya alam yang melimpah, hal ini menurut Utomo 1995 bisa terjadi karena:
a. Sumberdaya alam di wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal.
b. Penduduk setempat tidak mempunyai kemampuan yang cukup keterampilan, modal, akses untuk dapat mengolah sumberdaya alam
untuk menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraannya.
c. Sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocoran
regional regional leakages. Di sisi lain pembangunan wilayah dihadapkan pada tidak meratanya
distribusi pendapatan dan ketimpangan pembangunan antardaerah. Wilayah yang berkembang bisa menjadi sangat berkembang dan maju, sedang berkembang dan
bahkan tertinggal. Selain itu kesenjangan di dalam wilayah pun rentan sekali terjadi seperti antara kelompok lapisan masyarakat aparat dan pengusaha antara
penduduk asli dengan pendatang dan penguasaan jabatan oleh etnis atau suku tertentu tidak hanya memperlebar kesenjangan tetapi akan menimbulkan konflik,
yang telah banyak terjadi di berbagai daerah di tanah air. Penanganan kemiskinan di era otonomi daerah sangat tergantung dengan
keberpihakan pemerintah daerah kepada masyarakat miskin. Dengan otonomi daerah seharusnya pemerintah semakin cepat dan tanggap terhadap permasalahan
yang dihadapi masyarakatnya dan partisipasi masyarakat pun meningkat untuk melakukan pembelaan terhadap hajat hidupnya. Oleh sebab itu kemiskinan
sebagai permasalahan besar baik nasional maupun lokal diharapkan menjadi perhatian lebih bagi pelaksana pemerintahan. Dengan program penanganan
kemiskinan pemerintah pusat, prakarsa pemerintah daerah, prakarsa kelembagaan masyarakat yang diiringi dengan partisipasi masyarakat akan memperbaiki tingkat
kesejahteraan dan pemerataan pendapatan dan studi ini menfokuskan pada efektifitas alokasi fiskal pemerintah terhadap pengurangan kemiskinan.
Cukup banyak ukuran yang dipakai untuk menilai jumlah penduduk miskin. Salah satunya ukuran garis kemiskinan poverty line, kemiskinan absolut
dan relatif. Ukuran-ukuran ini diperlukan untuk menetapkan sasaran-sasaran program pengentasan kemiskinan, membantu pendudukdaerah miskin atau
program-program yang berupaya mengurangi kemiskinan agar tepat sasaran.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Analisis Dampak Otonomi Daerah terhadap Pengurangan Kemiskinan
DANA PERIMBANGAN
BAGI HASIL SDA
LAIN-LAIN PENERIMAAN
PENERIMAAN ASLI DAERAH
PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN PERKOTAAN DAN
PERDESAAN PENGELUARAN
DAERAH
PERBAIKAN MAKRO EKONOMI INVESTASI, PDRB,
EKSPOR IMPOR
PENERIMAAN DAERAH
OTONOMI DAERAH
Ket : = hubungan rincian = hubungan kausalitas
PENGELUARAN RUTIN
PENGELUARAN PEMBANGUNAN
SEKT. INFRASTRUKTUR
SEKT. SOSIAL PELAYANAN UMUM
SEKT PERTANIAN NON PERTANIAN
PEN INGKATAN AKTIVITAS EKONOMI, PENINGKATAN PENDAPATAN, PERLUASAN
LAPANGAN KERJA PENYERAPAN TENAGA KERJA
3.2 Metode Penelitian 3.2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian