yang berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang
miskin yang menjelaskan tingkat keparahan. Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga
yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatanpengeluaran. Umumnya hal ini memerlukan informasi baik tentang rata-rata pendapatan pengeluarannya
maupun distribusinya pada posisi terendah. Ketimpangan, di lain pihak merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan
didefinisikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak
bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang disenangi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran
ketimpangan dapat dihitung untuk setiap distribusi, tidak hanya konsumsi, pendapatan atau variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel
kontinyu lainnya. Pengukuran kemiskinan tidak lagi dihitung berdasarkan level rumah tangga
tetapi pada level kabupaten. Hal ini tetap dapat dilakukan sebab dalam formula
FGT di atas,
∑
−
α
z y
z
i
merupakan nilai agregasi untuk level kabupaten.
2.5. Tinjauan Kritis atas Pendekatan Pembangunan
Upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran, secara umum, membutuhkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tersebut tidak saja perlu
memadai besarannya, namun juga tidak bias ke arah golongan masyarakat dan
wilayah tertentu. Hal ini memerlukan adanya model pembangunan yang cocok dengan kondisi aktual.
Model pembangunan ekonomi banyak diterapkan di negara-negara berkembang adalah model pengembangan sektor rangkap dual sector, yang
pertama sekali diusulkan Lewis 1954. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa banyak negara berkembang yang memiliki perekonomian rangkap, yakni sektor
pertanian yang bersifat tradisional dan sektor industrimanufaktur yang bersifat modern. Sektor pertanian tradisional diasumsikan sebagai bersifat subsistence dan
dikarakteristikkan dengan produktivitas rendah, pendapatan rendah, tabungan rendah dan underemployment atau surplus tenaga kerja yang cukup besar dan
berada dikawasan perdesaan. Sektor manufaktur diasumsikan memiliki teknologi maju, investasi tinggi, dan berada dikawasan perkotaan.
Dalam model ini, sektor manufaktur akan menarik surplus tenagakerja dari pertanian di perdesaan. Perusahaan manufaktur, apakah milik probadi atau
BHMN, bisa menawarkan gaji yang akan menjamin mutu hidup yang lebih tinggi dibanding upah yang didapatkannya di perdesaan. Tingkat produktivitas buruh
sangat rendah di area pertanian tradisional, sehingga pekerja yang meninggalkan area perdesaan hampir tidak memberikan dampak pada output pertanian
sebelumnya. Tanpa disadari, jumlah pangan yang tersedia untuk orang desa akan meningkat akibat penduduk yang lebih sedikit karena sudah bekerja, diserap oleh
sektor manufaktur di perkotaan. Surplus produksi pangan yang diperoleh bisa sebagian mereka jual untuk menambah pendapatan.
Orang yang berpindah dari desa ke kota akan mendapat peningkatan pendapatan yang pada gilirannya meningkatkan tabungan. Kunci untuk
membangun menurut model Lewis ialah meningkatkan tabungan yang pada gilirannya diikuti dengan peningkatan investasi, yakni pada sektor manufaktur
modern. Migrasi dari perdesaan yang miskin ke wilayah perkotaanmanufaktur yang lebih kaya akan memberi para pekerja peluang untuk mendapat pendapatan
yang lebih tinggi dan mengalokasikannya untuk tabungan dan investasi. Pertumbuhan di sektor industri akan dengan sendirinya menghasilkan permintaan
tenagakerja dan juga akan menyediakan dana untuk investasi. Pendapatan yang dihasilkan oleh sektor industri memberikan trickle down ke setiap aktivitas
ekonomi. Schelkle 1996 mengkritik asumsi ekonomi tertutup yang digunakan
dalam model pembangunan dualistic Lewis. Menurutnya, suatu ekonomi yang bersifat tertutup akan menghalangi berbagai transaksi terutama karena adanya
proteksi dan perfect capital controls. Dalam ekonomi tertutup, Capital flight akan menyebabkan tidak produktif atau pemakaian lahan berkurang. Hal ini akan
mengurangi pendapatan petani ke depan. Bila kemudian terjadi inflasi, pemerintah akan memakai tabungan rumah tangga sebagai alternatif aset keuangan domestik.
Pengurangan tabungan selanjutnya mengurangi investasi, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan. Disamping model dual, terdapat model-model
pembangunan ekonomi lain di mana intinya ialah memberikan peran pada pemerintah untuk mengarahkan jalannya pertumbuhan ekonomi. Diantaranya
planned economy dengan pola Growth First than Distribution. Rostow 1980
menyatakan bahwa setiap negara yang akan melakukan pembangunan ekonomi dengan baik disarankan melewati lima tahap pembangunan ekonomi, yang
meliputi, : Tahap Traditional Society, Transitional, Take off, Drive to Maturity,
dan High Mass Consumtion. Tahap model pembangunan ini terlihat dalam tahapan pembangunan Indonesia sejak tahun 1970.
Kenyataan yang terjadi adalah tahapan-tahapan pembangunan yang dipaparkan diatas ternyata tidak berjalan secara kontinu. Tahapan-tahapan itu
terputus oleh krisis ekonomi 1997-1998. Industrialisasi yang sedianya diharapkan menjadi motor tranformasi struktural yang menyerap surplus tenaga kerja di
perdesaan ternyata terpuruk, sehingga justru menimbulkan pengangguran. Sebagian dari para penganggur ini diserap kembali oleh sektor pertanian atau
aktifitas ekonomi perdesaan maupun perkotaan berskala makro dan mikro. Dalam kondisi di mana perekonomian sektor industri belum sepenuhnya
pulih dari krisis, pembangunan kembali sektor pertanian maupun aktivitas- aktivitas ekonomi perdesaan lainnya menjadi semakin penting. Seperti yang
dikemukakan oleh Ghatak dan Ingersent 1987 dalam Yudhoyono 2004, upaya- upaya mewujudkan peran sektor pertanian, yakni antara lain sebagai penyedia
lapangan kerja, pemasok bahan baku industri, sumber devisa ne gara,dan pasar bagi produk-produk industri, secara menyeluruh akan mendorong perkembangan
perekonomian. Pembangunan kembali revitalisasi pertanian dan perdesaan, dengan demikian, perlu dilakukan.
2.6. Pengembangan Wilayah