Pelaksanaan Otonomi Daerah TINJAUAN PUSTAKA

mendahului desentralisasi fiskal should precede fiscal decentralization. Dengan kata lain, untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang lebih efektif dan memihak kaum miskin, maka desentralisasi politik dan administratif merupakan prakondisi yang harus dipenuhi, dan desentralisasi fiskal tidak dapat secara otomatis membawa pada pengeluaran yang lebih memihak pada pengeluaran yang lebih memihak kaum miskin. Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan peranan transfer fiskal antar tingkat pemerintahan dalam pengurangan kemiskinan, Rao et al 1998 menekankan perlunya dilakukan peninjauan kembali reorienting dalam pengaturan fiskal antar tingkat pemerintahan untuk menjamin penyediaan layanan publik public services yang lebih responsif untuk mempercepat peningkatan standar konsumsi dari kaum miskin dan sekaligus untuk merespon preferensi yang beragam dari berbagai daerah atau wilayah. Keefektifan pemerintahan desentralisasi desentralized goverment di dalam penyediaan layanan publik yang efisien dapat ditingkatkan dengan melakukan reorientasi dalam pengaturan fiskal antar tingkat pemerintahan untuk menyediakan insentif dan meningkatkan akuntabilitas. Salah satu cara untuk menjamin insentif dan akuntabilitas di dalam penyediaan layanan publik adalah melalui pengaitan linking peningkatan penerimaan dengan keputusan pengeluaran dari pemerintah daerah pada batas- batas tertentu at the margin.

2.10. Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula kewenangan dan sekaligus tanggung jawab untuk secara proaktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif, dan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu upaya penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata. Dipandang dari sudut tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan accountable dalam menjalankan “good governance”. Sekarang pemerintah daerah tidak lagi sekedar pelaksana operasional kebijakan yang ditentukan oleh pusat. Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat menjadikan pelaksanaan otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan pena nggulangan kemiskinan adalah : 1. DAU diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block Grant, sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menggunakan dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah, termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain kini pemerintah daerah dapat betindak lebih tanggap dan pro-aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa harus menunggu instruksi dari pemerintah di atasnya provinsi atau pusat. Hal ini penting dikemukakan karena dalam formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin. Ini artinya agenda penganggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah. 2. Izin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan biaya lebih murah. Bila iklim usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka investor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kotakabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal untuk menuju proses perizinan yang cepat, transparan, dan murah. 3. Daerah yang kaya dengan sumberdaya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah untuk pembangunan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatan- kegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun. Saefudin, 2005

2.11. Penelitian Terdahulu tentang Desentralisasi Fiskal dan Kemiskinan