dan High Mass Consumtion. Tahap model pembangunan ini terlihat dalam tahapan pembangunan Indonesia sejak tahun 1970.
Kenyataan yang terjadi adalah tahapan-tahapan pembangunan yang dipaparkan diatas ternyata tidak berjalan secara kontinu. Tahapan-tahapan itu
terputus oleh krisis ekonomi 1997-1998. Industrialisasi yang sedianya diharapkan menjadi motor tranformasi struktural yang menyerap surplus tenaga kerja di
perdesaan ternyata terpuruk, sehingga justru menimbulkan pengangguran. Sebagian dari para penganggur ini diserap kembali oleh sektor pertanian atau
aktifitas ekonomi perdesaan maupun perkotaan berskala makro dan mikro. Dalam kondisi di mana perekonomian sektor industri belum sepenuhnya
pulih dari krisis, pembangunan kembali sektor pertanian maupun aktivitas- aktivitas ekonomi perdesaan lainnya menjadi semakin penting. Seperti yang
dikemukakan oleh Ghatak dan Ingersent 1987 dalam Yudhoyono 2004, upaya- upaya mewujudkan peran sektor pertanian, yakni antara lain sebagai penyedia
lapangan kerja, pemasok bahan baku industri, sumber devisa ne gara,dan pasar bagi produk-produk industri, secara menyeluruh akan mendorong perkembangan
perekonomian. Pembangunan kembali revitalisasi pertanian dan perdesaan, dengan demikian, perlu dilakukan.
2.6. Pengembangan Wilayah
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintah dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa
memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap
lingkungan, bahkan menghambat pertumbuhan itu sendiri Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2003. Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi
pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan
produktifitas. Rustiadi, 2005 Menurut Akil 2003 dalam Pranoto 2005 pendekatan yang
mengutamakan pertumbuhan tanpa memberikan perhatian pada pemerataan menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan menghambat
pembangunan itu sendiri. Dalam konteks ini mulai dirasakan perlunya pendekatan yang meninjau kota-desa kawasan produktif serta prasarana
pendukungnya sebagai satu kesatuan wilayah. Dalam hubungan ini, kegiatan ekonomi kota dan desa sub urban adalah saling tergantung dalam konteks
perubahan penduduk jangka panjang dan tenaga kerja. Keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan begitu penting di mana keterkaitan ini diekspresikan
dalam bentuk fisik, sosial, ekonomi, politik dan idiologi yang sekaligus untuk mengatasi adanya ketidakseimbangan pembangunan di perkotaan dan perdesaan.
Kesenjangan pelaksanaan program pembangunan di dalam mencapai tujuannya, bukanlah semata-mata kegagalan dalam penyelenggaraannya namun
lebih kepada kebijakan yang diterapkan. Pada waktu lalu, cara pandang pembangunan lebih berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis
peningkatan investasi dan teknologi yang menimbulkan krisis yang sampai saat ini masih dirasakan. Penekanan pembangunan hanya pada pertumbuhan ekonomi
yang menimbulkan masalah disampaikan juga oleh Djajadiningrat 1997. Titik berat pembangunan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan dalam yang tidak dapat diperbaiki. Lingkungan alam juga merupakan unsur penting dari pertumbuhan ekonomi dan apabila lingkungan alam
turun melebihi daya dukungnya, maka ekonomi akan kehilangan daya untuk tumbuh.
Menurut Shukla 2002 dalam Rustiadi 2005, melalui perencanaan wilayah regional planning dapat mencapai kedua-duanya yaitu pembangunan
dan berkelanjutan dengan : 1. Perencanaan wilayah akan membantu pemanfaatan sumberdaya lokal yang
ada, sumberdaya fisik serta teknologi. 2. Perencanaan wilayah akan membantu pembuatan perencanaan di mana
akan mengisi kebutuhan lokal. 3. Perencanaan wilayah membantu mengurangi pembangunan yang kurang
berimbang antar dan dalam wilayah.
Untuk menghindari masalah-masalah pembangunan, perlu kiranya dilakukan perencanaan pembangunan yang berimbang secara spasial karena
secara makro hal ini menjadi prasyarat bagi tumbuhnya perekonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Menurut Rustiadi 2005,
pengembangan wilayah harus mengandung prinsip-prinsip: 1 mengedepankan peran serta masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan
masyarakat. Pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan dari pada sebagai pelaksana. 2 Menekankan aspek proses dibandingkan pendekatan-
pendekatan yang menghasilkan produk-produk perencanaan berupa master plan dan sejenisnya. Pembangunan daerah di era otonomi perlu dilaksanakan dengan
pendekatan pengembangan wilayah yang terkoordinir dan terintegrasi, bukan lagi pendekatan sektoral sebagai mana dilakukan pada masa lalu.
Pendekatan pengembangan wilayah harus dilakukan dengan penetapan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang disusun berdasarkan
karakteristik, potensi, kebutuhan daerah, kepentingan stakeholders, daya dukung daerah serta mempertimbangkan perkembangan dinamika pasar dan dampak arus
globalisasi. Menurut Rondinelli 1985 ada tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: 1 kutub-kutub pertumbuhan growth pole, 2 integrasi fungsi
functional integration, dan 3 pendekatan pedesentralisasian wilayah decentralized territorial approaches
Selanjutnya Chen dan Salih 1978, mengemukakan bahwa mengadopsi pendekatan kutub-kutub pertumbuhan growth pole approach oleh negara-negara
ketiga merefleksikan dua bentuk pemikiran yang bijaksana yaitu: 1 industrialisasi dengan teknologi modern dapat di desentralisasikan manfaatnya pada daerah
perdesaan, 2 keterpaduan pada tingkat nasional melalui strategi kutub-kutub pertumbuhan dapat memecahkan masalah pembangunan regional.
Di Indonesia diberlakukannya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai otonomi daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan
pembangunan di wilayah-wilayah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan
sektoral. Pembangunan berbasis berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antarsektoral, antarspasial keruangan, serta
antarpelaku pembangunan di dalam dan antar daerah. Hal ini penting dilakukan
dalam setiap program pembangunan sektoral dalam kerangka pembangunan wilayah.
Namun demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah juga telah bermunculan ke permukaan. Orientasi untuk mendapatkan
penerimaan daerah PAD sebesar-besarnya cenderung mengakibatkan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam. Sikap ego antarpemegang otoritas daerah
dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan.
Tinjauan spasial menyangkut dimensi sosial ekonomi dalam konteks tata ruang adalah upaya menciptakan keseimbangan spasial. Penataan ruang harus
menjadi bagian dari proses menciptakan keseimbangan antarwilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan. Oleh karenanya perlu dibangun
struktur keterkaitan antarwilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik.
Menurut Rustiadi 2005 pendekatan penataan ruang di era otonomi daerah harus berbasis pada:
1. Sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan
yang tidak diinginkan. 2. Menciptakan keseimbangan pembangunan antarwilayah.
3. Menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang pembangunan berkelanjutan
4. Disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun
2.7. Kerangka Empirik Analisis Pertumbuhan