Hasil analisis uji t terhadap BRK2 malam vs BTR2 malam ternyata T-Value = -1.32, P-Value = 0.193. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan bubu yang dioperasikan bersama rumpon kecil di lokasi L2 dengan
bubu tanpa rumpon di lokasi L2 pada penangkapan malam hari dengan tingkat kepercayaan 95 . Selanjutnya hasil analisis uji t terhadap BRK2 siang vs BTR2
siang ternyata T-Value = -1.32, P-Value = 0.196. Berdasarkan hasil analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan bubu yang dioperasikan bersama rumpon kecil di lokasi L2
dengan bubu tanpa rumpon di lokasi L2 pada penangkapan siang hari dengan tingkat kepercayaan 95 .
Hasil analisis uji t terhadap BRB2 malam vs BTR2 malam ternyata T-Value = 0.33, P-Value = 0.740. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan bubu yang dioperasikan bersama rumpon besar di lokasi L2 dengan
bubu tanpa rumpon di lokasi L2 pada penangkapan malam hari dengan tingkat kepercayaan 95 . Selanjutnya hasil analisis uji t terhadap BRB2 siang vs BTR2
siang ternyata T-Value = -1.52, P-Value = 0.135. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara hasil tangkapan bubu yang dioperasikan bersama rumpon besar di lokasi L2 dengan bubu tanpa rumpon di lokasi L2 pada penangkapan siang hari dengan
tingkat kepercayaan 95 . Hasil analisis uji “t” dapat dilihat pada Lampiran 18.
5.4 Pembahasan
Kehadiran ikan karang sangat ditentukan oleh kondisi terumbu karang di suatu perairan. Terumbu karang yang sudah rusak akan menurunkan populasi
stok ikan karang. Terumbu karang dapat berkembang dengan baik ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
karang adalah cahaya, suhu, salinitas, kejernihan air, arus, substrat dan kedalaman laut maksimum untuk hewan karang membentuk terumbu pada
kedalaman sekitar 40 m. Cahaya dibutuhkan untuk fotosintesa, suhu dibutuhkan untuk pertumbuhan karang antara 25 – 30
C, salinitas antara 27 – 40 ppm, untuk
pertumbuhan karang dibutuhkan air yang jernih, karena kalau air keruh hewan karang sulit membersihkan diri, arus diperlukan untuk mendatangkan makanan
berupa plankton dan substrat yang keras dan bersih dari lumpur sangat baik untuk peletakan planula larva karang untuk membentuk koloni Nontji, 2005.
Kondisi fisik dan kimia perairan lokasi penelitian juga sangat berpengaruh terhadap kehadiran jenis-jenis ikan karang. Oleh karena itu, sebelum proses
pengangkatan bubu dilakukan terlebih dahulu diukur parameter fisik dan kimia perairan. Pengukuran parameter fisik dan kimia perairan dilakukan pada pagi,
siang dan sore hari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai DO berada pada kisaran 0.1 – 0.2 mll, pH berkisar antara 8.1 – 8.2, suhu berkisar antara
27 – 29 °
C, salinitas rata-rata 33 ppm, kecerahan rata-rata 10 m, sedangkan kecepatan arus berkisar antara 03.00 – 09.00 mdet dengan arah arus pada waktu
pagi hari menuju ke Barat, sedangkan pada siang dan sore hari arah arus berlawanan ke arah Timur dan Barat.
Menurut hasil penelitian Alwi 2004 mengemukakan bahwa kondisi fisik dan kimia perairan lokasi pemasangan rumpon memiliki kecepatan arus berkisar
antara 0,013 mdet – 0,22 mdet, kedalaman pemasangan rumpon sekitar 15 m, suhu perairan antara 29 – 31,83
C dengan salinitas antara 29 – 31,67 ppt. Kecerahan perairan antara 40 – 54,67 , oksigen terlarut 3,87 – 5,2 ppm,
sehingga kondisi ini cukup aman untuk pemasangan rumpon. Bubu yang dioperasikan dalam penelitian ini tidak menggunakan umpan,
namun untuk menarik perhatian ikan untuk mendekati alat tangkap bubu menggunakan rumpon. Pengoperasian bubu di perairan di letakkan bersama
rumpon dan tanpa rumpon. Pada kondisi ini ternyata kemampuan rumpon untuk menarik ikan-ikan datang mendekati alat tangkap bubu sangat baik dan pada bubu
tanpa rumpon walaupun tanpa ada alat bantu untuk menarik ikan berkumpul, ternyata bubu tanpa rumpon juga mempunyai kemampuan untuk menangkap ikan
karang tidak jauh berbeda dari bubu berumpon. Rumpon disini berperan dalam mengumpulkan ikan-ikan sehingga proses kolonisasi terjadi. Adanya ikan-ikan
yang berkumpul di rumpon tentu akan beruaya ke alat tangkap bubu, akhirnya masuk dan terperangkap.
Menurut Iskandar dan Diniah 1996, penggunaan rumpon untuk bubu memberikan manfaat yang sangat besar terutama berkaitan dengan tingkah laku
ikan. Adanya rumpon dapat menarik perhatian ikan untuk berlindung ataupun karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri. Rumpon juga dapat mendatangkan
plankton yang akan mengundang ikan pemakan plankton untuk mendekati rumpon, sehingga di sekitar rumpon akan ditemukan ikan-ikan kecil. Adanya ikan
kecil mengundang ikan besar untuk datang terutama dari ikan predator yang akan membuat ikan besar terjebak masuk ke bubu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan karang yang masuk kedalam bubu berfluktuasi menurut jenis ikan. Ikan dari famili Pomacentridae,
Apogonidae, Labridae dan Chaetodontidae paling banyak masuk kedalam bubu baik yang dioperasikan bersama rumpon maupun tanpa rumpon. Hadirnya kempat
famili dominan ini ada kaitan dengan adapatasi tingkah laku adaptive behaviour terhadap rumpon dan bubu. Menurut Syandri 1988 mengemukan berdasarkan
sifat dan tujuannya, maka tingkah laku ikan dapat dibagi atas 1 forage behaviour yaitu tingkah laku ikan untuk mempertahankan hidupnya lebih ditentukan oleh
tingkah laku makan; 2 reproductif behaviour yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keturunan; dan 3 defence behaviour yaitu tingkah laku ikan
yang bertujuan untuk mempertahankan diri territorial behaviour. Adaptasi tingkah laku ikan di rumpon dan bubu lebih ditekankan pada adaptasi untuk
mencari makan dan untuk mempertahankan diriberlindung. Ikan Chaetodon kleinii secara visual terlihat menggunakan rumpon dan
bubu sebagai tempat mencari makan dan berlindung. Hal ini dapat dibuktikan pada saat pengamatan, ikan tersebut sedang memakan makanan yang menempel
pada daun-daun atraktor rumpon maupun pada dinding bubu. Selain itu, ikan ini selalu terlihat tidak berpindah tempat dan tetap berada di rumpon dan bubu.
Walaupun penelitian ini belum sampai pada analisis isi lambung ikan yang di amati, namun Edrus dan Syam, 1998 telah membukti bahwa makanan
kesukaan ikan Chaetodon kleinii adalah polip coral, algae dan zooplankton. Diduga perifiton yang menempel pada daun-daun atraktor rumpon dimanfaatkan
oleh ikan Cahetodon kleinii sebagai sumber makanannya. Hal ini terlihat juga pada famili Pomacentridae, Apogonidae, dan Labridae dimana keempat jenis ikan
ini memiliki kesukaan jenis makanan hampir mirip. Kehadiran keempat famili ikan karang ini karena saling kompetisi dalam mencari makan serta mencari
tempat perlindungan di rumpon dan bubu. Menurut Kuiter 1992 mengemukakan bahwa makanan yang dimakan oleh beberapa famili ikan karang dapat dilihat
pada Tabel 36. Tabel 36 Jenis makanan yang dimakan beberapa famili ikan karang
Famili ikan Jenis makanan
Gobiidae Amblygobius sp Invertebrata, coral dan spongs
Scraidae Algae Scorpaenidae Ikan,
crustacea Siganidae
Filter feeder, grazing, weeds dan algae Plesiopidae Plankton
Nemipteridae Invertebrata kecil
Malacanthidae Zooplankton yang
mengapung Lutjanidae
Ikan, crustacea dan plankton Caesionidae Zooplankton
Lethrinidae Hewan-hewan yang hidup di pasir dan
pecahan-pecahan karang Chaetodontidae
Polip coral, algae, cacing, invertebrata dan zooplankton
Pomacanthidae Algae dan spongs
Pomacentridae Invertebrata, algae dan zooplankton
Labridae •
Cheilinus sp •
Labroides sp Invertebrata, crustacea dan cacing
Polip coral
Ikan yang tertangkap pada alat tangkap bubu dioperasikan bersama rumpon dan tanpa rumpon memiliki ukuran tubuh berbeda-beda. Perbedaan ini karena
ukuran panjang tubuh ikan karang yang tertangkap bervariasi. Ukuran yang berbeda menandakan bahwa ikan karang memiliki keunikan tersendiri dengan
ikan-ikan dari kelompok lain terutama dari segi ukuran tubuh karena ikan karang memiliki variasi ukuran dalam kelompok. Dari hasil penelitian terlihat bahwa
ikan dari kelompok famili utama mayor ukuran tubuhnya kecil tapi ada beberapa jenis yang berukuran besar seperti famili Scaridae, Caesionidae, Aulostomidae,
dan lain-lain, kelompok target umumnya berukuran lebih besar, sedangkan untuk kelompok indikator umumnya ikan-ikannya berukuran kecil.
Pendapat lain juga dikemukan Reppie et al. 2006 bahwa ada terjadi peningkatan ukuran panjang dan berat individu ikan yang hadir pada terumbu
buatan menunjukkan bahwa beberapa spesies cenderung mengalami recruitment, tetapi beberapa spesies hanya muncul pada awal pengamatan dan menghilang
pada bulan berikutnya. Menurut Tiyoso 1979 diacu oleh Suci 1993 mengemukakan bahwa
fluktuasi hasil tangkapan dari jenis alat tangkap bubu terjadi karena 1 migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan; 2
keragaman ukuran ikan dalam populasi; dan 3 tepat tidaknya penentuan pemasangan bubu, karena alat tangkap ini bersifat pasif dan menetap.
Menurut FAO 1968 diacu oleh Pramono 2006, metode pengoperasian bubu terdiri dari 1 Tali temali rigging berupa pemasangan tali temali terutama
untuk pelampung tanda; 2 Pemasangan umpan; 3 Pemasangan bubu setting : keberhasilan penangkapan ikan sangat tergantung pada lokasi penempatan bubu
dan posisi penempatan bergantung pada jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan; 4 Lama perendaman soaking time : bergantung pada tingkah
laku dari ikan sasaran penangkapan dan daya tahan umpan. Pada saat ikan sangat aktif mencari makan, lama perendaman hanya butuh beberapa menit; dan 5
Pengangkatan haulling dilakukan secara manual maupun dengan bantuan mesin line hauler. Setelah bubu diangkat, hasil tangkapan dipindahkan ke palkah atau
keranjang yang telah disiapkan sebelumnya. Dari data tersebut terlihat bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap
hasil tangkapan bubu ditentukan dari aktivitas ikan diurnal dan nokturnal dalam mencari makan, serta pola renang dan pola gerak ikan di sekitar dan di dalam
bubu. Menurut High and Beardskey 1970 diacu oleh Baskoro dan Effendie 2005, faktor yang mempengaruhi laju tangkapan adalah efek penyebaran. Pada
saat sejumlah ikan berenang banyak di dalam bubu mencoba untuk melepaskan diri, ikan lain di luar bubu yang pada mulanya terangsang dapat menjadi takut dan
menjauhi. Efek penyebaran ini selalu diamati volume ikan yang tertangkap mendekati volume bubu.
Hasil analisis uji t antara hasil tangkapan bubu pada BRK1m vs BRB1 m, BRK1s vs BRB1s, BRK1m vs BTR1m, BRK1s vs BTR1s, BRB1m vs BTR1m
dan BRB1s dan BTR1s ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu diantara ketiga jenis metode penangkapan dengan rumpon kecil, rumpon
besar dan tanpa rumpon di lokasi L1 pada penangkapan malam maupun siang hari dengan tingkat kepercayaan 95 .
Hasil analisis uji t antara BRK2m vs BRB2m, BRK2s vs BRB2s, BRK2m vs BTR2m, BRK2s vs BTR2s, BRBB2m vs BTR2m, BRBB2s vs BTR2s ternyata
tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu diantara ketiga jenis metode penangkapan dengan rumpon kecil, rumpon besar dan tanpa rumpon di
lokasi L2 pada penangkapan malam maupun siang hari dengan tingkat kepercayaan 95 .
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa data dari sampel yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu diantara ketiga
metode penangkapan dengan rumpon kecil, rumpon besar dan tanpa rumpon baik pada penangkapan malam maupun siang hari. Namun secara visual rumpon
mampu mengumpulkan ikan terlihat dari adanya proses akumulasi berbagai jenis ikan di sekitarnya. Tidak ada pengaruh karena lama waktu pemasangan rumpon
dan waktu operasi penangkapan relatif pendek sehingga tidak memberikan kesempatan untuk ikan-ikan lebih lama berkumpul di rumpon dan akhirnya masuk
ke bubu. Menurut Martasuganda 2003, waktu pemasangan setting
dan pengangkatan hauling bubu dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari dan sore
hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya
direndam beberapa jam, satu malam, tiga malam bahkan ada yang sampai seminggu.
5.5 Kesimpulan dan Saran