besar dan tanpa rumpon di lokasi L1 pada penangkapan malam maupun siang hari dengan tingkat kepercayaan 95 .
Hasil analisis uji t antara BRK2m vs BRB2m, BRK2s vs BRB2s, BRK2m vs BTR2m, BRK2s vs BTR2s, BRBB2m vs BTR2m, BRBB2s vs BTR2s ternyata
tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu diantara ketiga jenis metode penangkapan dengan rumpon kecil, rumpon besar dan tanpa rumpon di
lokasi L2 pada penangkapan malam maupun siang hari dengan tingkat kepercayaan 95 .
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa data dari sampel yang diuji tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu diantara ketiga
metode penangkapan dengan rumpon kecil, rumpon besar dan tanpa rumpon baik pada penangkapan malam maupun siang hari. Namun secara visual rumpon
mampu mengumpulkan ikan terlihat dari adanya proses akumulasi berbagai jenis ikan di sekitarnya. Tidak ada pengaruh karena lama waktu pemasangan rumpon
dan waktu operasi penangkapan relatif pendek sehingga tidak memberikan kesempatan untuk ikan-ikan lebih lama berkumpul di rumpon dan akhirnya masuk
ke bubu. Menurut Martasuganda 2003, waktu pemasangan setting
dan pengangkatan hauling bubu dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari dan sore
hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya
direndam beberapa jam, satu malam, tiga malam bahkan ada yang sampai seminggu.
5.5 Kesimpulan dan Saran
5.5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
Hasil tangkapan bubu terdiri atas 107 spesies 54 genus dan 22 famili. Di lokasi yang didominasi oleh karang lunak L2, bubu tanpa rumpon
mempunyai hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan dengan hasil tangkapan
dari bubu rumpon kecil. Ikan-ikan yang tertangkap umumnya tergolong masih muda. Jenis ikan karang terpanjang yang tertangkap adalah Cephalopolis miniata.
Tiga jenis ikan yang paling banyak tertangkap adalah Chaetodon kleinii, Ctenochaetus striatus dan Scarus ghobban. Di lokasi yang didominasi karang
keras L1, dua genus ikan karang yang banyak tertangkap pada malam hari oleh bubu, baik dengan rumpon maupun tanpa rumpon, adalah Ctenochaetus dan
Chaetodon, sedangkan jenis ikan yang banyak tertangkap pada siang hari adalah Chaetodon dan Cheilinus. Di lokasi yang didominasi karang lunak L2, genus
ikan karang yang banyak tertangkap pada malam hari adalah Chaetodon dan Cheilinus, sedangkan siang hari adalah Chaetodon, Cheilinus dan Siganus.
Data dari sampel tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan bubu di antara ketiga jenis metode penangkapan dengan rumpon kecil, rumpon
besar, dan tanpa rumpon karena lama waktu pemasangan rumpon dan waktu operasi penangkapan relatif pendek sehingga tidak memberikan kesempatan untuk
ikan-ikan lebih lama berkumpul dan masuk ke bubu .
5.5.2 Saran
Informasi yang diperoleh melalui penelitian ini masih terbatas, maka disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh bentuk, jarak
dan jumlah rumpon dan bubu serta posisi penempatan di perairan terhadap hasil tangkapan bubu.
6 PEMBAHASAN UMUM
Terumbu karang termasuk salah satu ekosistem di daerah tropis yang mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, salah satunya adalah ikan karang. Ikan
karang berinteraksi dengan ekosistem terumbu karang dan menghabiskan masa hidupnya hanya pada ekosistem tersebut. Sifat dan tingkah laku ikan karang
berbeda-beda tergantung dari jenis ikannya. Agar ikan karang mudah tertangkap pada alat tangkap yang dikehendaki, maka pengetahuan tentang tingkah laku ikan
karang perlu dipahami. Tingkah laku adalah suatu orientasi reaksi sebagai keseimbangan bilateral
yang terpenting dari suatu reaksi Fraenkel and Gunn, 1961 diacu oleh Zhou dan Shirley, 1997. Tingkah laku ikan merupakan salah satu informasi yang sangat
mendasar dibutuhkan dalam perencanaan kegiatan penangkapan ikan. Pemahaman tentang tingkah laku ikan terutama ikan yang menjadi target penangkapan dapat
membantu dan mempermudah untuk memilih alat tangkap yang tepat, sehingga proses penangkapan ikan dapat memberikan hasil yang optimal. Selama ini
terlihat banyak kekurangan dalam usaha penangkapan ikan karang karena keterbatasan pengetahuan nelayan dalam pemahaman teknologi penangkapan
ikan. Beberapa alat tangkap yang digunakan dalam penangkapan ikan karang
seperti pancing ulur, bubu, pancing rawai, gill net, sero dan pukat. Dari sekian banyak alat tangkap di atas, pemilihan bubu sebagai alat penangkapan ikan dasar
dan ikan karang sangat tepat, terutama jika dilihat dari segi mutu hasil tangkapan. Selain itu, ada juga para nelayan yang ingin mendapat hasil tangkapan secara
cepat dan dalam jumlah banyak biasanya menangkap dengan menggunakan bahan peledak blast fishing dan racun.
Untuk memikat ikan datang pada alat tangkap bubu, selama ini nelayan menggunakan umpan. Namun penangkapan ikan karang dengan bubu juga dapat
dilakukan tanpa umpan atau dengan menggunakan pikatan lain. Salah satu pikatan yang digunakan untuk membantu proses penangkapan ikan karang dengan alat
tangkap bubu menggunakan rumpon.
Penggunaan rumpon dalam penangkapan ikan karang masih sangat jarang dan hanya masih pada taraf uji coba penangkapan melalui penelitian. Walaupun
hasil penelitian tentang penggunaan bubu bersama rumpon dalam penangkapan ikan karang masih sangat minim, namun dari beberapa hasil penelitian yang sudah
dilakukan ternyata teknologi rumpon ini sangat membantu dalam penangkapan ikan karang. Bahkan keuntungan yang diperoleh lebih besar dari bubu yang
dioperasikan tanpa rumpon. Berhasil tidaknya trip usaha penangkapan ikan di laut pada dasarnya
bagaimana mendapatkan daerah penangkapan fishing ground, gerombolan ikan dan keadaan potensinya, untuk kemudian dilakukan operasi penangkapan.
Beberapa cara untuk mendapatkan mengumpulkan kawanan ikan sebelum penangkapan dilakukan dengan menggunakan alat bantu penangkapan fish
aggregating devices atau lure atau disebut rumpon. Kedudukan rumpon dalam usaha penangkapan ikan di Indonesia sangat penting ditinjau dari segala segi baik
biologis maupun ekonomi Subani dan Barus, 1988. Pengetahuan tentang reaksi ikan terhadap berbagai rangsangan lingkungan
sangat penting untuk mendeteksi konsentrasi ikan dan merupakan faktor penentu untuk memperbaiki alat tangkap dan metode penangkapan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebaran dan tingkah laku ikan antara lain : suhu , arus, cahaya, spawning dan survival larva, migrasi diurnal dan vertikal serta perubahan diurnal
lainnya. Faktor lain yang berpengaruh juga terhadap tingkah laku ikan seperti salinitas, upwelling, musim, gelombang, makanan dan faktor meteorologi Hela
dan Laevastu, 1970. Selanjutnya menurut Mckeown 1985, ikan melakukan migrasi dipengaruhi oleh suhu, intensitas cahaya, polarisasi cahaya, kualitas
cahaya, predator, makanan dan parameter lain termasuk kedalaman perairan dan karakteristik ruang yang bervariasi bagi ikan.
Pengetahuan tentang tingkah laku ikan merupakan salah satu faktor dalam mendisain alat tangkap yang memberikan rangsangan stimulus untuk menarik
ikan-ikan. Rangsangan untuk menarik ikan seperti rangsangan optik, kimia, bunyi akustik atau taktik alami. Ide untuk menarik ikan dapat dilakukan dengan
menyediakan tempat persembunyian heding place. Salah satu cara yang
digunakan dengan menyediakan tempat sehingga ikan terkonsentrasi, dan dapat digunakan pada beberapa alat tangkap seperti perangkap traps Brandt, 1964.
Operasi penangkapan ikan dengan alat tangkap bubu erat hubungannya dengan tingkah laku ikan sebagai faktor penentu keberhasilan operasi
penangkapan ikan. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan dapat memperbaiki serta merubah alat maupun metode penangkapan yang memungkinkan untuk
meningkatkan efisiensi penangkapan dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan .
Penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu pikatan digunakan alat berbentuk perangkap. Bubu merupakan
alat tangkap termasuk ke dalam perangkap atau penghadang. Alat ini berupa jebakan. Penangkapan dengan alat tangkap bubu memberikan kemungkinan untuk
ikan mudah masuk dan tidak bisa meloloskan diri dan akhirnya terperangkap. Bubu pada umumnya digunakan untuk menangkap crustacea, juga
digunakan untuk menangkap ikan predator dan moluska. Disain bubu umumnya sama, bubu dibuat dari bingkai yang ditutupi dengan mata jaring, memiliki satu
atau dua pintu masuk. Pintu masuk didisain mencegah hewan-hewan meloloskan diri Jennings et al. 2001. Menurut Sainsbury 1996, bubu dapat di konstruksi
dari kayu, kawat baja tahan karat, kawat mata jaring, plastik, atau kawat plastik, dan ukuran dan disainnya tergantung pada yang menggunakan baik di daerah
dekat pantai maupun laut lepas. Bubu dapat ditempatkan di dasar perairan tergantung dari spesies atau pada berbagai kedalaman perairan.
Pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : bubu dasar ground fishpot, bubu apung floating fishpot dan bubu hanyut drifting fishpot.
Menurut cara pengoperasiannya bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu dipasang secara terpisah dimana satu bubu dipasang dengan satu pelampung
single trap dan beberapa bubu dirangkai menjadi satu dengan menggunakan satu tali utama long line traps.
Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu di pasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak
hidup ikan ikan dasar, kepiting, udang, keong, dan lain-lain yang akan dijadikan
target penangkapan. Waktu pemasangan setting dan pengangkatan hauling ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari dan sore hari, sebelum matahari
terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya di rendam beberapa jam, ada
yang dalam semalam, ada juga sampai tiga hari, bahkan ada yang sampai 7 hari Martasuganda, 2003.
Bubu merupakan alat tangkap pasif, sehingga agar ikan masuk ke bubu perlu dilakukan hal-hal yang dapat menarik perhatian ikan, selain umpan sebagai alat
pemikat ikan, tetapi dapat pula dikombinasikan dengan rumpon. Fish Aggregating Devices FADs banyak digunakan dalam operasi penangkapan ikan terutama
dalam penangkapan ikan pelagis yang dikumpulkan dengan menggunakan objek yang mengapung, itu juga sama pada ikan karang yang dikumpulkan dengan
habitat dasar buatan Uda, 1933; Kimura, 1954; Kojima, 1956; Inoue et al. 1963, 1968; Gooding, 1965; Gooding dan Magnuson, 1967; Greeblatt, 1979, diacu oleh
Ibrahim et al. 1996. Menurut Kuperan et al. 1997, Artificial Reefs ARs yang digunakan
sebagai alat pengumpul untuk menarik ikan dan menyediakan tempat berlindung bagi ikan disebut Fish Aggregating Devices FADs. Rumpon disebut sebagai alat
bantu penangkapan karena alat ini hanya bersifat membantu untuk mengumpulkan ikan pada suatu tempat titik , kemudian dilakukan operasi penangkapan Subani,
1986 diacu oleh Prakoso, 2005. Penggunaan rumpon bersama bubu memberikan manfaat yang sangat besar
terutama yang berkaitan dengan tingkah laku ikan. Adanya rumpon dapat menarik perhatian ikan untuk berlindung ataupun karena sifat thigmotaxis dari ikan itu
sendiri. Rumpon juga dapat mendatangkan plankton yang akan mengundang ikan pemakan plankton untuk mendekati rumpon, sehingga di sekitar rumpon akan
ditemukan ikan-ikan kecil. Adanya ikan kecil mengundang ikan besar untuk datang terutama dari ikan predator yang akan membuat ikan besar terjebak masuk
ke bubu. Mikroorganisme yang menempel pada atraktor rumpon penting sebagai
makanan ikan karang dikenal dengan sebutan perifiton. Biomassa perifiton yang
terbentuk merupakan sumber makanan alami biota air yang lebih tinggi yaitu zooplankton, juvenil udang, moluska dan ikan Klumpp et al. 1992 diacu oleh
Zulkifli, 2000. Perifiton sebagai bagian dari plankton merupakan salah satu organisme
perairan yang sangat penting dan mempunyai peranan utama dalam siklus kehidupan di laut. Dalam kedudukannya sebagai rantai awal siklus kehidupan
dalam air, plankton berfungsi sebagai produsen primer serta mampu menyediakan energi bagi organisme lain yang hidup di lingkungannya termasuk ikan Sachlan,
1982 diacu oleh Suprato, et al. 1991. Dengan mengetahui kondisi plankton baik secara kuantitas maupun kualitas akan sangat membantu dalam penentuan
populasi ikan atau biota lain yang dapat dipakai sebagai petunjuk daerah penangkapan.
Perkembangan perifiton menuju kemantapan komunitasnya sangat ditentukan oleh kemantapan keberadaan substrat. Substrat dengan benda hidup
sering bersifat sementara karena adanya proses pertumbuhan dan kematian. Setiap saat pada substrat hidup akan terjadi perubahan lingkungan sebagai akibat dari
respirasi dan asimilasi, sehingga mempengaruhi komunitas perifiton. Pada substrat benda mati akan lebih menetap permanen meskipun pembentukan
komunitas lamban maupun lebih mantap tidak mengalami perubahan, rusak atau mati Ruttner,1974, diacu oleh Zulkifli, 2000.
Tipe substrat sangat menentukan proses kolonisasi dan komposisi perifiton. Hal ini berkaitan erat dengan kemampuan dan alat penempelnya. Kemampuan
menempel pada substrat menentukan eksistensinya terhadap pencucian oleh arus atau gelombang yang dapat memusnahnya. Untuk menempel pada substrat,
perifiton mempunyai alat penempel yaitu 1 rhizoid, seperti pada Oedogonium dan Ulothrix; 2 tangkai gelatin panjang atau pendek, seperti Cymbella,
Gomphonema dan Achnanthes; 3 bantalan gelatin berbetuk setengah bulatan sphaerical yang diperkuat dengan kapur atau tidak, seperti Rivularia,
Chaethopora dan Ophyrydium Osborn, 1993 diacu oleh Zulkifli, 2000. Jenis perifiton yang menempel pada atraktor rumpon lontar dan gewang
secara keseluruhan berjumlah 85 spesies, 70 genus, 36 famili dan 15 kelas. Dari
data tersebut terlihat bahwa kelas Bacillariophyceae yang mendominasi komposisi perifiton dengan jumlah spesiesjenis, genus maupun famili lebih banyak
dibandingkan dengan kelas perifiton lainnya. Melimpahnya kelas Bacillariophyceae karena mempunyai alat berupa tangkai gelatin untuk
melekatkan diri pada substrat tertentu ada yang bercabang atau panjang. Dengan alat ini, kelas Bacillariophyceae mempunyai kemampuan untuk menahan arus
yang relatif deras Erliana 1988 diacu oleh Arnofa, 1997. Kemampuan organisme yang menempel pada FADs spesiesnya bervariasi
tergantung dari ketahanan FADs dan kondisi tekstur substrat. Hasil penelitian Ibrahim, et al. 1996 menunjukkan bahwa kepadatan organisme yang menempel
pada FADs tergantung dari substrat di perairan. Ketahanan FADs dari daun kelapa relatif lebih pendek. Kepadatan organisme bertambah dalam periode
tertentu tergantung dari kualitas substrat dan tidak dapat meningkatkan kepadatan organisme.
Menurut Seaman dan Spraque 1991, FADs termasuk habitat buatan dapat menyediakan sumber makanan, sebagai tempat berlindung dan tempat asuhan dan
tempat berpijah. Kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap habitat buatan seperti tipe substrat di sekitarnya, jumlah, isolasi habitat-habitat yang mirip,
kedalaman, lintang, musim dan temperatur, kualitas air salinitas, kecerahan dan bahan pencemar arus dan produktivitas perairan.
Fish Aggregating Devices FADs di Malaysia disebut “Unjam”, dibuat dari daun kelapa, tali pemberat dihubungkan dengan pelampung bambu dan
jangkarnya terbuat dari pasir yang diisi dalam karung. Unjam ditempatkan di perairan pada kedalaman antara 5 – 60 km dari garis pantai yang dibagi antara
5 – 20 kelompok, tergantung kekayaan daerah penangkapan Ibrahim et al. 1990 diacu oleh Ibrahim et al. 1996.
Berkumpulnya ikan pada FADs dan bubu sangat tergantung dari daya penglihatannya. Menurut Moyle 1993 diacu oleh Mubarok 2003,
berkumpulnya ikan sangat tergantung pada daya penglihatan, di mana setiap anggota kawanan mengikuti ciri-ciri kunci dari ikan di sekitarnya. Ketergantungan
terhadap penglihatan inilah yang menyebabkan kawanan ikan biasanya akan bubar.
Struktur kawanan ikan dapat dibagi menjadi empat kelompok 1 bergerak semua anggota kawanan bergerak ke suatu arah; 2 bergerombol ikan
melakukan sedikit pergerakan dan menghadap ke berbagai arah; 3 bertahan kawanan sebagai satu unit melakukan pergerakan untuk menghindari pemangsa;
dan 4 makan dalam suatu kawanan, ikan merubah posisi dan arah secara cepat untuk mengejar mangsa. Bentuk, ukuran, kepadatan dan struktur kawanan ikan
dalam suatu waktu sangat bervariasi walaupun kawanan tersebut terbentuk dari jenis ikan yang sama . Hal ini terjadi karena karakter kawanan ikan labil
adaptasinya terhadap perubahan kondisi perairan Radakov, 1972, diacu oleh Mubarok, 2003.
Tingkah laku berkumpulnya ikan berkembang sebagai adaptasi dan sebagaimana bentuk tingkah laku lainnya dari suatu jenis ikan. Selain itu, tingkah
laku berkumpulnya ikan juga menjamin keselarasan antara suatu jenis ikan dengan lingkungannya. Karakteristik tingkah laku berkumpulnya ikan merupakan
salah satu faktor biologis yang penting untuk menentukan kebijakan dalam dunia perikanan tangkap Radakov, 1972, diacu oleh Mubarok, 2003.
Tingkah laku ikan karang yang hadir di rumpon dan bubu beranekaragam terutama menyangkut jarak radius ikan terhadap rumpon dan bubu, lama waktu,
pola renang, pola gerak, interaksi ikan karang terhadap zone of influence alat tangkap bubu, serta cara ikan masuk dan meloloskan diri dari dalam bubu. Jarak
setiap jenis ikan karang terhadap rumpon dan bubu berbeda-beda umumnya berada antara 0 – 2 m. Lama waktu ikan karang hadir di rumpon dan bubu
umumnya 30 menit. Pola renang umumnya beragam dan dominan bersifat soliter, sedangkan pola gerak yang ditampilkan beranekaragam tergantung pada
jenis ikan. Begitu juga cara ikan masuk dan meloloskan diri berbeda tergantung pada jenis ikan.
Ikan karang berinteraksi terhadap zona pengaruh zone of influence alat tangkap bubu berbeda-beda sangat dipengaruhi oleh jarak, lapisan renang
swimming layer, batas pandang visbility ikan terhadap benda-benda yang
berada di perairan, kecepatan renang, pola renang dan pola gerak ikan di sekitar alat tangkap. Setiap alat tangkap mempunyai zona pengaruh yang berbeda-beda
terhadap tingkah laku ikan. Menurut Nikonorov 1975, dalam menguji zona pengaruh dari suatu alat tangkap diasumsikan bahwa zona pengaruh alami
terhadap tingkah laku ikan yang di determinasi tergantung dari disain suatu alat tangkap. Zona pengaruh mempunyai efek yang berbeda terhadap tingkah laku
ikan tergantung dari disain suatu alat tangkap. Penggunaan bubu bersama rumpon sangat berperan dalam proses
penangkapan ikan karang. Hal tersebut bisa dilihat dari kemampuan rumpon untuk mengumpulkan ikan-ikan untuk mempermudah proses penangkapan bubu. Dari
hasil penelitian terlihat bahwa tingkah laku ikan karang yang hadir di sekitar rumpon dan bubu ternyata berbeda-beda menurut jenis ikan. Jarak ikan terhadap
bubu dan rumpon, pola renang dan pola gerak berbeda-beda menurut jenis ikan. Informasi ini penting dibutuhkan untuk menentukan posisi penempatan bubu dan
rumpon di perairan dalam penangkapan ikan karang. Jarak ikan karang terhadap rumpon dan bubu serta pola geraknya menentukan pola interaksi ikan karang
terhadap zona pengaruh zone of influence alat tangkap bubu dan peranan rumpon dalam memperbesar zona pengaruh field of influence alat tangkap bubu.
Penggunaan bubu bersama rumpon dalam penangkapan ikan karang merupakan suatu inovasi yang baru dicobakan di lokasi penelitian. Menurut
Mardikanto 1993 mengemukakan bahwa inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui,
diterima dan digunakanditerapkandilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, atau dapat mendorong terjadinya perubahan-
perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat
yang bersangkutan. Pengertian inovasi sendiri merupakan perpaduan antara alat dan cara, teknik
atau metode yang diterapkan dalam bidang tertentu. Perpaduan antara alat dan cara, teknik atau metode disebut teknologi. Teknologi terdiri dari dua dimensi
yaitu ilmu pengetahuan science dan rekayasa engineering, dimana keduanya
saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Teknologi dapat berupa teknik, metode atau cara serta peralatan yang dipergunakan untuk menyelenggarakan pelaksanaan
suatu rancangan transformasi input menjadi output, dengan sasaran tertentu yang didasarkan atas science dan engineering tercapai Sewoyo, 2001 diacu oleh Bugis,
2006. Ditinjau dari dimensi teknologi tersebut makan defenisi teknologi
penangkapan ikan adalah seluruh teknik, metode, cara serta peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan khusus ikan karang Teknologi penangkapan
ikan karang dibagi dalam dua kategori berdasarkan dampak negatif yang diakibatkan oleh pengoperasian alat tangkap yaitu legal fishing dan destructive
fishing Sewoyo, 2001 diacu oleh Bugis, 2006. Akibat dari pengembangan metode penangkapan ikan karang yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan,
mengakibat terjadinya degradasi terhadap sumberdaya terumbu karang. Pengaturan posisi penempatan bubu dan rumpon di perairan merupakan
suatu penyempurnaan terhadap teknologi penangkapan ikan karang. Pengaturan posisi penempatan bubu dan rumpon di perairan diharapkan ikan-ikan yang
tertangkap akan terseleksi sehingga peluang ikan yang tertangkap akan berkurang serta mengurangi laju degradasi sumberdaya ikan di terumbu karang. Penggunaan
bubu bersama rumpon dalam penangkapan ikan karang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu
karang. Upaya ini perlu dilakukan dalam mewujudkan tujuan pengelolaan perikanan yang diamanatkan dalam UU No. 31 Tahun 2004.
Pengertian pengelolaan perikanan menurut UU No. 31 Tahun 2004 adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati dan
tujuan yang disepakati.
Menurut Soekarno 2000, mengelola perikanan terumbu karang adalah suatu usaha memanfaatkan komoditi perikanan di terumbu karang secara optimal
dan berkelanjutan. Ada empat aspek yang perlu diperhatikan sebagai indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan khususnya
pengelolaan perikanan karang yang berkaitan dengan penggunaan bubu dan rumpon dalam penangkapan ikan karang antara lain :
1 Ekologi Pemasangan rumpon bersama bubu dalam penangkapan ikan karang
merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kerusakan terumbu karang, dimana para nelayan tidak saja menangkap ikan pada terumbu karang yang masih
baik, tetapi dapat juga pada terumbu karang yang sudah mengalami degradasi. Penempatan rumpon di perairan karang di maksud untuk melindungi ekosistem
karang yang masih baik sehingga laju penangkapan ikan karang di terumbu karang yang masih baik dapat ditekan agar ikan karang terus berkembangbiak dan
menjadikannya sebagai bank ikan. Upaya ini perlu dilakukan untuk melindungi sumberdaya terumbu karang sebagai salah satu tujuan konservasi.
Pemasangan rumpon dan bubu pada lokasi terumbu karang yang sudah rusak diibaratkan mirip terumbu karang alami, dimana rumpon akan berfungsi
sebagai tempat berlindung dan menyediakan makanan bagi ikan-ikan terutama ikan target. Diharapkan proses rekruitmen terhadap populasi ikan karang akan
terus meningkat sehingga ikan-ikan akan beruaya ke lokasi pemasangan rumpon dan mendekati alat tangkap bubu, akhirnya masuk dan tertangkap.
2 Biologi Penangkapan ikan karang dengan alat tangkap bubu bersama rumpon tidak
memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya ikan karang dan lingkungannya asalkan dilakukan dengan metode penangkapan yang tepat. Ikan-ikan yang
tertangkap akan terseleksi berdasarkan kedalaman penempatan bubu dan rumpon. Pengaturan ini akan membuat perimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
di terumbu karang dan sekaligus menekan kerusakan karang. Selama ini salah
satu faktor penyebab kerusakan karang terbesar berasal dari tekanan penangkapan. Dengan demikian ikan-ikan yang menjadi target penangkapan akan mudah
dikontrol serta akan ada kesempatan bagi ikan karang untuk meningkatkan populasinya melalui proses akumulasi. Bila terumbu karang terjaga ikan akan
melimpah sehingga produksi ikan karang terus meningkat . 3 Ekonomi
Penangkapan ikan karang menggunakan bubu bersama rumpon tidak membutuhkan biaya yang besar. Material pembuatan alat tangkap dan alat bantu
penangkapan ini dapat diperoleh dengan mudah di lokasi usaha. Selain itu, pengontrolan dapat dilakukan dengan mudah tanpa harus membuang bahan bakar
dan tenaga untuk mencari daerah penangkapan ikan kemana-mana. Usaha penangkapan dapat dilakukan baik dalam bentuk perorangan maupun kelompok
karena pengoperasian penangkapan tidak sulit. Bila usaha penangkapan ikan karang berkembang dengan baik, maka sumber pendapatan nelayan akan terus
meningkat. 4 Sosial budaya
Penggunaan bubu dalam penangkapan ikan karang bukanlah hal baru bagi para nelayan. Namun usaha penangkapan bubu bersama rumpon merupakan
teknologi penangkapan yang masih jarang dilakukan, sehingga hasil-hasil penelitian yang sudah dilakukan perlu disosialisasikan bagi para nelayan agar
teknologi ini dapat dipahami dan dipraktekan. Bila usaha penangkapan bubu bersama rumpon berkembang dengan baik, niscaya nelayan tidak akan kehilangan
lapangan pekerjaannya. Menurut Cochrane 2002 diacu oleh Mangga Barani 2005 tujuan goal
umum dalam pengelolaan perikanan meliputi 4 empat aspek terdiri atas: 1
Ekologi Meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan fisik serta
sumberdaya non-target by-catch, serta sumberdaya lainnya yang terkait.
2 Biologi
Menjaga sumberdaya ikan pada kondisi atau di atas tingkat yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas.
3 Ekonomi
Memaksimalkan pendapatan nelayan. 4
Sosial Memaksimalkan peluang kerja mata pencaharian nelayan atau masyarakat
yang terlibat. Implikasi dari penelitian ini jika dikaitkan dengan program pengelolaan
terumbu karang yang saat ini sedang dikerjakan oleh proyek COREMAP-II Departemen Kelautan dan Perikanan, diharapkan teknologi penangkapan ikan
karang menggunakan bubu bersama rumpon dapat meminimalisir kerusakan terumbu karang dalam membantu upaya perlindungan terumbu karang. Bila
sumberdaya terumbu karang terjaga dan terpelihara, maka ikan-ikan akan berkembang dan melimpah sehingga para nelayan tetap bisa melanjutkan usaha
dan tidak kehilangan mata pencahariannya.
7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan