BAB II Fatwa dan Produk Bank Syariah
A. Fatwa 1. Pengertian Fatwa
Secara pengertian kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa. Dalam bahasa Indonesia fatwa dimaknai sebagai petuah, nasihat atau jawaban atas
pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan fatwa dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih
sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bersifat pribadi, kelompok
atau masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau mufti tersebut tidak mempunyai daya ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh dan ushul
fiqh disebut mufti sedangkan pihak yang menerima fatwa disebut mustafti.
15
Sedangkan secara
terminologis, sebagaimana
dikemukakan oleh
Zamakhsyari: w. 538 H fatwa adalah penjelasan hukum syara tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa
dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti. Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah
menerangkan hukum syara dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas
15
Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,” Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h.41
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa mustafti baik secara perorangan atau kolektif.
16
Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Amir Syarifudin memberikan hakikat dan ciri-ciri tertentu dari berfatwa, yaitu:
1. Berfatwa adalah usaha memberikan jawaban. 2. Jawaban yang diberikan adalah tentang hukum syara melalui proses ijtiihad.
3. Yang menjawab adalah yang ahli dalam bidang yang dijawab. 4. Jawaban diberikan pada yang belum tahu jawabanya.
17
Dan dari beberapa pendapat mengenai fatwa, Ma’ruf Amin juga menyimpulkan dalam bukunya “Fatwa dalam Hukum Islam” bahwa, fatwa
memiliki dua sifat utama. Pertama, fatwa bersifat responsif. Fatwa merupakan penjelasan tentang hukum syara yang diperoleh melalui hasil ijtihad yang
dilakukan setelah muncul suatu pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Kedua, fatwa bersifat opsional ‘ikhtiariyah’ pilihan yang tidak mengikat secara
legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti pihak yang meminta fatwa, sedangkan bagi selain mustafti bersifat ‘i’lamiyah’ atau informatif yang
lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai
suatu masalah yang sama maka umat boleh memilih mana yang lebih
16
Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam Jakarta: Elsas, 2008, h. 20
17
Amir Syarifudin, ushul fiqh jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001 Jil.2 h. 429 Dalam Tesis Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyya,” Tesis S2
Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h.41