Metode Istinbath Dalam Berfatwa

Dari segi pemakaian arti, ada lafaz yang menunjuk kepada pengertian asli al-baqiqah dan ada pula yang menunjuk pengertian lain yang bukan makna asli, karena ada satu indikasi yang mengendaki demikian majaz, selain itu pula ada lafadz yang mengaku pada pengertiian yang jelas karena pengertian tersebut lazim dipakai sharih, dan ada pula lafadz yang samar maksudnya karena baru diketahui ketika ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya kinayah. Dari segi terang dan samarnya makan, ada lafadz yang petunjuk maknanya jelas tanpa memerlukan lafadz lain untuk menjelaskanya wadhih ad-dalalah dan ada pula yang tidak jelas petunjuk maknanya kecuali ada lafadz lain yang membantu untuk menjelaskanya khafi ad- dalalah. Dari segi penunjukkan lafadz pada makana menurut maksud pencipta nash, ada lafadz yang petunjuk teksnya mengacu pada makna implisit al-mafhum. Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian dalil-dalil yang secara lahiriah terlihat bertentangan ta’arud al adillah, yang mencakup: kompromi antara nash-nash yang berlawanan al-jamu’u wa al-Taufiq, mengamalkan dalil yang lebih kuat dan menegaskan yang lebih lemah tarjih, mengahapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dulu naskh-mansukh, atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan berpaling kepada dalil lain tawaqquf.

2. Metode Ta’lili

Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya tersurat dalam nash baik secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga dengan ijma’ yang menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Istinbath seperti ini ditujukkan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu terdapat kesamaan illat hukum. Dalam hal ini mufti menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kejadian yang telah ada nashnya, intinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas dan istihsan. Penalaran yang dipakai berusaha malihat apa yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum dalam al-qur’an dan al-hadis. Dengan kata lain apa yang menjadi illat dari suatu peraturan. Menurut ulama semua ketentuan hukum mengandung illat, karena tidak mungkin Tuhan memberikan peraturan tanpa tujuan dan maksud yang baik. Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu illat tasyri’i, illat qiyasi dan illat istihasni. Illat tasyri’i ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum yang dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti apa adanya, atau boleh diubah kepada yang lainya. Dengan kata lain, berhubung diketahui illat penafsiran peraturan tersebut maka para ulama berani mentakwilkan makna sesuai illat yang dipahami tadi, sehingga hukum yang muncul menjadi bergeser