Faktor pertimbangan DSN-MUI dalam proses penetapan fatwa produk perbankkan internasional

(1)

FAKTOR PERTIMBANGAN DSN-MUI DALAM

PROSES PENETAPAN FATWA PRODUK PERBANKAN

SYARIAH INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)

Oleh:

DARTO_

_

NIM. 107046100379

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011


(2)

(3)

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 September 2011


(5)

KATA PENGANTAR

ﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ ﻢﯿﺣ ﺮﻟا ﻦﻤﺣ ﺮ

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, meskipun masih terdapat kekurangan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya menuju kehidupan bahagia

fiddun yaa wal aakhirat.

Banyak kendala yang dihadapai penulis dalam penulisan skripsi ini, dan tidak akan terselesaikan tanpa banyak tangan yang terulur memberikan bantuan. Ucapan rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang setulus-tulusnya atas segala kepedulian mereka yang telah memberikan berbagai bentuk bantuan baik berupa sapaan moril, kritik, masukan, dorongan semangat, maupun sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag dan Bapak Mu’min Rauf, M.Ag, sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam).

3. Bapak Prof. Dr.H. Hasanuddin. AF. MA sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan waktu luang, motivasi serta pikiran untuk memberikan ilmu, dan


(6)

bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, semoga Allah membalas kebaikan bapak.

4. Bapak Drs. Noryamin Aini, M.A sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan waktu luang untuk membimbing, mendidik, memberi ilmu serta saran dan kritik terhadap penulis, yang sangat berarti bagi penulis dan Pak Hendra Kholid yang telah memberikan ilmu dan membantu dalam pembuatan skripsi ini. Semoga Allah mebalas kebaikan bapak-bapak.

5. Seluruh dosen serta segenap Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan ilmunya kepada penulis, yang telah memberikan pemikirannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

6. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pinjaman buku kepada penulis, sehingga dapat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak Kanny Hidaya Y, SE, MA sebagai wakil sekretaris BPH/Deputy Secretary-Executive Commite, dan Pak Supri sebagai staf Dewan Syariah Nasional serta seluruh jajaran staf lainya yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

8. Kedua orang tua saya, Bapak Mukmin (ALM), Ibu Emi (engkau adalah yang paling aku sayangi) serta kakak-kakak saya tercinta Samani, Thamrin, Yati, dan


(7)

mba-mba saya yang cantik mba Eno, mba Uul, serta Kang Udin yang telah memberikan motifasi dan dukungannya baik dalam bentuk materil dan immateril, 9. Keponakan-keponakanku yang sangat lucu-lucu, cantik dan ganteng Nabila

Nurul Izmi, M. Habibi Khairul Azzam, dan Syaiful Amri. Yang memberikan keceriaan tersendiri disaat kegalauan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Orang-orang terdekat Ella, Denok Agustina, Agung, Bambang, Umar KH

Munaji, Abdul Basit (Maslani), Nurokhman, Ayip, Kholid, Barok, Mu Lutfi, Khaeron, Sarnadi, yang telah memberikan dukungan kepada penulis baik dalam bentuk motivasi, saran dan kritik yang berarti bagi penulis.

11. Teman-teman KKN E-Babuy, momen saat kita KKN di Baduy, sebagai kenangan yang takkan terlupakan bagi penulis. Kalian adalah orang-orang hebat. 12. Teman-teman seperjungan di UIN khususnya anak-anak PS07 (Efull, Syafik,

Fery, Gufron, Neily, Citra) Serta kepada seluruh pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas semua bantuan yang tak akan penulis lupakan, semoga silaturahmi kita dapat terus terjalin.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Jakarta, 11 September 2011


(8)

DAFTAR SKEMA

1. Skema 1 Produk Deposito – Mudharabah Muqayyadah (Murabahah) 57

2. Skema 2 Produk Deposito dan Reksadana – Mudharabah 60

3. Skema 3 Produk Tabungan dan Giro Authomatic Transfer – Mudharabah –

Wadhiah 64

4. Skema 4 Produk Car Financing – Al-Ijarah Thumma Al Bai (AITAB) 69

5. Skema 5 Produk Personal Financing – Bai Al inah 73

6. Skema 6 Produk Revolving Finance – Bai Bithaman Ajil (BBA) 78

7. Skema 7 Produk Revolving Financing – Mudharabah 81

8. Skema 8 Produk Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai 84

9. Skema 9 Produk Export Credit Refinancing – Murabahah 88

10. Skema 10 Produk Pembiayaan Dengan Penjaminan-Semua Akad


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN iii

LEMBAR PERNYATAAN iv

KATA PENGANTAR v

DAFTAR SKEMA viii

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 6

D. Kerangka Pemikiran 7

E. Review Studi Terdahulu 10

F. Metode Penelitian 13

G. Metode Penulisan 15

H. Sistematika Penulisan 15

BAB II FATWA DAN PRODUK BANK SYARIAH

A. Fatwa 18

1. Pengertian Fatwa 18

2. Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam 21

3. Metode Istinbath Dalam Berfatwa 26

B. Produk Bank Syariah 32

1. Pengertian Produk Bank Syariah 32

2. Proses Penerbitan Produk 38


(10)

BAB III DEWAN SYARIAH NASIONAL DALAM PENETAPAN FATWA PRODUK BANK SYARIAH

A. Pengertian Dewan Syariah Nasional 43

B. Sejarah Pembentukan Dewan Syariah Nasional 44

C. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional 45

D. Mekanisme Kerja Operasional Penetapan Fatwa DSN-MUI 48

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan DSN-MUI Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank

Syariah 51

B. Kendala Dewan Syariah Nasional Dalam Berfatwa 53 C. Produk Perbankan Syariah Internasional dan Pertimbangan Dalam

Proses Penetapan Fatwa di Indonesia 54

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 96

B. Saran 98

DAFTAR PUSTAKA 99


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia perbankan saat ini, kian semarak dengan hadirnya sistem perbankan yang berbasiskan syariah, dan dikenal dengan nama perbankan syariah. Perbankan syariah sendiri adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, serta kegiatan lainya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.1

Aktivitas perbankan syariah di Indonesia sendiri di mulai sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama dengan intitusi lain terutama Bank Indonesia, memberikan respon positif dan bersikap proaktif terhadap ekonomi Islam. Salah satu hasilnya antara lain ialah kelahiran Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 sebagai bank pertama di Indonesia yang berlandaskan pada prinsip syariah dalam kegiatan transaksinya.2

Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syariah dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 23 Tahun 1999 tentang perbankan, undang-undang tersebut memberikan landasan

1

Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. Kata pengantar.

2 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional.


(12)

hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalankan tugasnya berdasarkan prinsip syariah3.

Undang-undang tersebut semakin mempertegas perbankan syariah sebagai lembaga keuangan, dan menjadikan perkembangan perbankan syariah kian menunjukkan eksistensinya. Karena semenjak undang-undang tersebut lahir, sistem perbankan di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system), sehingga ruang gerak perbankan syariah semakin luas, yaitu seperti dalam bentuk bank umum syariah (full fledged Islamic bank), unit usaha syariah (bank konvensional yang membuka cabang syariah), dan office channeling (gerai syariah di kantor bank konvensional).4

Pesatnya perkembangan perbankan syariah sendiri juga didukung dengan produk-produk perbankan syariah yang menawarkan kemaslahatan, karena tidak menggunakan sistem riba didalamnnya seperti yang dilakukan oleh perbankan konvensional. Pengakajian setiap produk yang terdapat pada pebankan syariah penting dilakukan, karena sebelum dipasarkan kemasyarakat produk-produk tersebut harus benar-benar murni sesuai syariat Islam yang sudah terbukti kebenaranya,

3Adrian Sutedi. Perbankan Syariah; Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum (Bogor: Ghalia

Indonesia 2009), h. v

4 Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. Kata


(13)

disamping bersumber langsung dari Al-Qur’an juga ketetapan Nabi SAW, yang mencerminkan penerapan aturan, prinsip, dan perintah Allah dalam Alquran.5

Pada tahun 1999 MUI membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN), lembaga ini beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha) dan praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan baik bank maupun non bank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat disamping itu lembaga ini pun bertugas menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari’ah, serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya6.

Produk dan jasa keuangan syariah yang ditawarkan bank syariah di Indonesia cukup bervariasi, namun hal tersebut perlu adanya inovasi maupun pengembangan produk-produk bank syariah, agar bank syariah lebih maju lagi. Sejalan dengan ini menurut M. Nur Rianto Al Arif dalam bukunya “Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah” menyebutkan bahwa strategi pengembangan produk perbankan merupakan usaha meningkatkan jumlah nasabah dengan cara mengembangkan atau memperkenalkan produk-produk baru perbankan.7

Namun produk bank syariah yang ada di Indonesia masih minim, hal ini diungkapkan oleh Direktur Direktorat Perbankan Syariah Mulya E. Siregar Bahwa sebanyak 46 produk bank syariah masih terganjal di Dewan Syariah Nasional, produk

5Mervyn K. Lewis & Latifa M. Algaoud. Perbankan Syariah (Prinsip, praktik & prospek).

(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 33

6 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional,

h. xiv

7M. Nur Rianto Al Arif, S.E., M.Si. Dasar-dasar Pemasaran Bank Syariah (Bandung:


(14)

tersebut belum mendapatkan fatwa halal untuk diperdagangkan di industri perbankan syariah.8

“Hal itu menghambat bank-bank syariah untuk memasarkan inovasi produk perbankan syariah kepada masyarakat masyarat,” papar Mulya E. Siregar di Gedung Bank Indonesia. Pihaknya, sudah mengajukan produk-produk tersebut sejak akhir 2009 ke DSN. Namun belum juga dibahas, ia menuturkan, DSN mempunyai wewenang untuk menetapkan fatwa, sehingga produk-produk yang akan dipasarkan di perbankan syariah harus mendapatkan fatwa. “Selama ini, perbankan syariah sulit tumbuh karena belum ada inovasi produk-produk baru,” timpalnya.9

Produk yang diajukan oleh Lembaga Keuangan Syariah melalui BI tersebut merupakan produk-produk perbankan syariah yang termasuk pada produk perbankan syariah international. Dimana produk-produk tersebut berasal dari negara-negara yang menerapkan bank syariah, seperti Malaysia, Yordania, Sudan, Pakistan dan lain sebagainya, untuk dikaji dan diterapkan di perbankan syariah Indonesia.

DSN-MUI selaku pihak yang mempunyai otoritas untuk menfatwakan produk bank syariah tentu saja mempunyai alasan tersendiri, kenapa produk-produk bank syariah belum difatwakan. latar belakang atau faktor apa yang menyebabkan produk

8

Herdaru Purnomo, BI: 46 Produk Bank Syariah Belum Dihalalkan DSN, artikel diakses pada tanggal 24 Juli 2011 dari http://finance.detik.com/read/2010/12/03/140514/1508445/5/bi-46-produk-bank-syariah-belum-dihalalkan-dsn

9Dewan Syariah Nasional (DSN) membantah 54 produk perbankan syariah belum mendapatkan

fatwa. Artikel diakses pada tanggal 25 Mei 2011 dari http://obrolanbisnis.com/dsn-bantak-54-produk-perbankan-syariah-balum-dapat-fatwa/


(15)

bank syariah Internasional belum difatwakan oleh Dewan Syariah ini, akan penulis tuangkan dalam penelitian skripsi yang berjudul Faktor Pertimbangan DSN-MUI

Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah International

.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar permasalahan dalam penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka penulis akan membatasi pembahasan hanya dalam ruang lingkup Faktor Pertimbangan

DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah International

.

Dari produk perbankan syariah internasional tersebut, hanya sepuluh produk dari Malaysia saja yang penulis angkat untuk dianalisis. Produk tersebut terdiri dari tiga produk penghimpunan dana dan tujuh produk penyaluran dana.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mencermati persoalan-persoalan diatas dengan merumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa Dasar Pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank syariah?

2. Apakah Terdapat Kendala Dalam Proses Pelaksanaan Fatwa Produk Bank Syariah?

3. Bagaimanakah Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa


(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, maka skripsi ini bertujuan untuk menjawab perumusan masalah berikut ini:

1. Apa Dasar Pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank syariah?

2. Apakah Terdapat Kendala Dalam Proses Pelaksanaan Fatwa Produk Bank Syariah?

3. Bagaimanakah Pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Bank Syariah Internasional?

Adapun manfaat dari penelitian skripsi ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis, memperoleh pengetahuan yang bersifat fakta yang terjadi dalam praktek proses pengambilan keputusan atau proses penetapan fatwa di DSN-MUI yang ada saat ini, serta menambah pengetahuan dan motifasi penulis untuk terus mengembangkan pengetahuan tentang produk perbankan syariah.

2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan pengetahuan dan sebagai partisipasi serta dukungan dalam pengembangan ekonomi syariah.

3. Bagi DSN-MUI, dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi untuk mengembangkan ekonomi syariah yang lebih baik lagi. 4. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah khususnya fakultas syariah


(17)

kepustakaan fakultas syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

D. Kerangka Pemikiran

Istilah “bank” berasal dari kata Italia banco yang berarti “kepingan papan tempat duduk”, sejenis “meja”. Kemudian penggunanya diperluas untuk menunjukkan “meja” tempat penukaran uang, yang digunakan oleh para pemberi pinjaman dan para pedagang valuta di Eropa, pada abad pertengahan itu memamerkan uang mereka, dari sinilah awal mula timbulnya perkataan bank.10

Sistem perbankan Islam berbeda dengan sistem perbankan konvensional, karena sistem keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan subsistem dari suatu sistem ekonomi yang cakupanya lebih luas. Oleh karena itu, perbankan Islam tidak hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun dituntut secara sungguh-sungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syariah.11

Setiap lembaga perbankan terutama perbankan syariah memiliki produk-produk untuk setiap transaksi, baik berupa produk pendanaan, penghimpunan maupun produk dalam bidang jasa. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan tetapi tidak sama dengan produk perbankan konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar dan maysir. Oleh karena itu, produk-produk penghimpunan, pembiayaan, maupun

10 Dr. Muhammad Muslehuddin,Ph.d. Sitem Perbankan Dalam Islam (jakarta: PT Asdi

Mahasatya), h.1

11 Wirdyaningsih, SH., MH., et.al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada


(18)

jasa pada bank syariah harus menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut. Didalam perbankan konvensional mengenal adanya riba, sedangkan riba secara fiqh dikategorikan sebagai bunga dan bunga itu haram12.

Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah merupakan lembaga yang beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha) serta ahli dan praktisi ekonomi, terutama sektor keuangan baik bank maupun non bank, berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas MUI dalam mendorong dan memajukan ekonomi umat disamping itu lembaga ini pun bertugas menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari’ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari’ah, serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.13

Produk-probuk bank syariah diajukkan oleh Lembaga Keuangan Syariah melalui Bank Indonesia, Kemudian Bank Indonesia mengajukkan fatwa kepada Dewan Syariah Nasional, setelah produk tersebut diterima dan ditetapkan fatwa, maka produk tersebut siap untuk dipasarkan di perbankan syariah di Indonesia. Tapi jika belum mendapatkan fatwa dari DSN, maka produk tersebut tidak dapat dipasarkan di perbankan syariah Indonesia. Produk bank bisa saja mengadopsi dari beberapa negara yang telah menerapkan perbankan syariah. Namun produk yang diterapkan di suatu

12 Adiwarman A Karim. Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada , 2007), h. 22

13Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Himpunan FatwaDewan Syari’ah Nasional.


(19)

negara belum tentu bisa diterapkan pada negara lain. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, agar produk-p Penggalian

Produk bank syariah tersebut tidak hanya sesuai syariah saja melainkan harus sesuai juga dengan kondisi pada suatu negara tersebut. Hal ini bertujuan agar produk-produk bank syariah bisa diterapkan dan tidak bertentangan dengan norma/aturan yang sudah ada sebelumnya. Secara sederhana, alur produk perbankan syariah untuk diterapkan di Indonesia, digambarkan dalam skema sebagai berikut:

Mengajukkan Produk

Produk Dipasarkan Mengajukkan Fatwa

Pertimbangan & Penetapan fatwa Lembaga

Keuangan Syariah Bank Indonesia

DSN-MUI Produk Perbankan

Syariah Internasional

Penelitian Penggalian Pengkajian


(20)

E. Review Studi Terdahulu

Berdasarkan telaah yang dilakukan, penulis mendapatkan beberapa kepustakaan. sebagai bahan acuan dalam penulisan skripsi ini. Adapun hasil kajian kepustakaan terdahulu, penulis mendapatkan beberapa kepustakaan yang akan memaparkan penelitian yang sudah dilakukan, sehingga menjadi jelas bagaimana penelitian ini relevan dan penting untuk dilakukan, dan berikut pemaparanya:

No Aspek Perbandingan Studi Terdahulu

1. a.Nama/Judul/bentuk

b. pendekatan teori

c. Fokus

d. Jenis Penelitian

Novita Ekayanti “Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah Dalam Pengembangan Produk ” Skripsi.

Pengembangan produk menurut george dalam judulnya adalah pengembangan sistematik sebuah produk untuk tidak terlambat oleh perusahaan citarasa konsumen, lewat pengembangan produk perusahaan mampu menawarkan produk

Penelitian ini fokus membahas tentang peran dewan pengawas syariah dalam pengembangan produk.

Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan jenis data kualitatif


(21)

e. Waktu/Tempat Penelitian skripsi ini dilakukan pada tahun 2009 dengan studi kasus di bank DKI Syariah

2. a.Nama/Judul/bentuk

b. Pendekatan Teori

c. Fokus

d. Metode Penelitian

e. Tempat/tahun

Fitri Barkah “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam Menentukan Produk Baru Bank Syariah” Skripsi.

Pelaksanaan sistem ekonomi syariah di Indonesia memerlukan sosialisasi, dan ulama memiliki peran utama dalam sosialisasi tersebut, disamping kualitas keilmuan juga sebagai penggerak dan motivator masyarakat.

Fokus membahas DPS dalam mementukan roduk baru bank syariah, juga jasa atau kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank Permata syariah.

Metode yang digunanakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

Penelitian ini dilakukan di Bank Permata syariag cabang arteri pondok indah pada tahun 2006


(22)

3. a.Nama/Judul/Bentuk

b.pendekatan Teori

c. Fokus

d. Metode Penelitian

e. Waktu/Tempat

Rahmani Timorita Yulianti, “Pola Ijtihad Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang Produk Perbankan Syariah” Jurnal ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia.

Fatwa sebagai salah satu produk pemikiran hukum Islam, erat sekali hubungannya dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Oleh karena itu fatwa Dewan Syari’ah Nasioanl MUI pada dasarnya adalah hasil interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungannya

Jurnal ini fokus membahas mengenai pola ijtihad fatwa DSN-MUI tentang produk perbankan syraiah dan faktor yang melatarbelakangi penetapan fatwa DSN-MUI tentang produk perbankan syariah

Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan jenis data kualitatif.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2007 dan di tempat Studi Ekonomi Islam FIAI UII dan Reseacher pada PusatStudi Islam (PSI) UII Yogyakarta.


(23)

Berdasarkan review studi terdahulu di atas, Novita Ekayanti “Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah Dalam Pengembangan Produk ” dalam Skripsinya membahas mengenai Dewan Pengawas Syariah dalam Pengembangan Produk, Fitri Barkah “Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah (DPS) Dalam Menentukan Produk Baru Bank Syariah” dalam skripsinya membahas bagaimana mekanisme dari Dewan Pengawas Syariah dalam menentukan produk baru yang akan diterapakan pada bank syariah, dan Rahmani Timorita Yulianti, “Pola Ijtihad Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Tentang Produk Perbankan Syariah” dalam jurnalnya membahas tentang pola ijtihad dalam berfatwa dan latarbelakang penetapan fatwa.

Yang menjadi pembeda dari skripsi ini adalah penulis mengangkat faktor pertimbangan DSN-MUI Dalam Proses Penetapan Fatwa Produk Perbankan Syariah Internasional. Judul tersebut layak diangkat sebagai skripsi karena menganalisis produk-produk baru yang diperoleh dari negara lain seperti Malaysia, Yordania, Pakistan, UEA. Untuk diterapkan di perbankan syariah Indonesia.

F. METODE PENELITIAN

1. Metode Pengumpulan Data

a. Penelitian Kepustakaan (library Research)

Tehnik pengumpulan data dimana peneliti melakukan kunjungan langsung ke beberapa perpustakaan untuk mendapatkan beberapa sumber tertulis, baik dari buku-buku, media massa maupun media elektronik dan sumber tertulis lainya yang ada hubunganya dengan masalah yang sedang dibahas.


(24)

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

1. Interview: agar mendapatkan hasil yang valid, maka penulis melakukan suatu metode penelitian berupa wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian.

2. Dokumentasi: dalam hal ini, penulis mendapatkan dan mengumpulkan data berdasarkan laporan yang didapat dari lembaga yang diteliti dan laporan lainya yang berkaitan dengan masalah yang diangkat.

2. Metode Penyajian Data dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan cara dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang didukung dari data-data kepustakaan yang berkaitan dengan analisis faktor-faktor Keputusan DSN-MUI dalam menfatwakan produk bank syariah, karya ilmiah, majalah, artikel atau data-data tertulis lainya. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif analisis yaitu dengan pola pikir dedukatif yang menjelaskan tentang hal-hal yang bersifat umum berkaitan dengan tema yang diangkat. Menurut whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interprestasi yang tepat.14

Adapun sumber data yang diperoleh oleh peneliti dalam skripsi ini, melalui:

14


(25)

a. Data primer

Untuk mendapatkan data dan hasil yang valid, maka dalam penulisan skripsi ini, penulis terjun kelapangan dan melakukan wawancara langsung dengan narasumber.

b. Data sekunder

Adapun data yang digunakan diperoleh dari program studi muamalat mengenai tema-tema skripsi, serta literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku dan sumber lainya yang berkaitan dengan materi penulisan skripsi ini.

G. Metode Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan, penulis merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah jakarta, yang telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan hasil penulisan yang terstruktur dan sesuai dengan kaidah penulisan yang benar, maka sistematika tulisan ini disusun sebagai berikut:


(26)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangkan pemikiran, revieuw studi terdahulu, metode penelitian, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN TEORITIS

Pada bab ini merupakan tinjauan teoritis yang menjadi dasar pemikiran penelitian ini. Secara rinci bab ini menjelaskan tentang fatwa dan produk bak syariah, fatwa (pengertian fatwa, kedudukan fatwa dalam hukum Islam, dan metode istinbath dalam berfatwa), produk bank syariah (pengertian produk bank syariah, proses penerbitan produk dan macam-macam produk bank syariah).

BAB III : GAMBARAN UMUM MENGENAI OBJEK PENELITIAN

Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang gambaran umum Dewan Syariah Nasional yaitu pengertian Dewan Syariah Nasional, sejarah pembetukan Dewan Syariah Nasional, tugas dan wewenang Dewan Syariah Nasional serta mekanisme kerja operasioanl penetapan fatwa DSN-MUI.


(27)

BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis membahas mengenai dasar pertimbangan DSN-MUI dalam penetapan fatwa produk bank syariah, kendala DSN-MUI dalam berfatwa, produk perbankan syariah internasional dan pertimbangan fatwa di Indonesia.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini penulis membuat kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan memberikan

saran-saran yang kiranya bermanfaat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dan terkait dalam dengan permasalahan yang penulis angkat.


(28)

BAB II

Fatwa dan Produk Bank Syariah

A. Fatwa

1. Pengertian Fatwa

Secara pengertian kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa. Dalam bahasa Indonesia fatwa dimaknai sebagai petuah, nasihat atau jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan fatwa dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bersifat pribadi, kelompok atau masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau mufti tersebut tidak mempunyai daya ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh dan ushul fiqh disebut mufti sedangkan pihak yang menerima fatwa disebut mustafti.15

Sedangkan secara terminologis, sebagaimana dikemukakan oleh

Zamakhsyari: (w. 538 H) fatwa adalah penjelasan hukum syara tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa dalam arti al-iftaa berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti. Menurut Yusuf Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara dalam suatu persoalan sebagai jawaban atas

15Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,”


(29)

pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau kolektif.16

Berdasarkan beberapa keterangan diatas, Amir Syarifudin memberikan hakikat dan ciri-ciri tertentu dari berfatwa, yaitu:

1. Berfatwa adalah usaha memberikan jawaban.

2. Jawaban yang diberikan adalah tentang hukum syara melalui proses ijtiihad. 3. Yang menjawab adalah yang ahli dalam bidang yang dijawab.

4. Jawaban diberikan pada yang belum tahu jawabanya.17

Dan dari beberapa pendapat mengenai fatwa, Ma’ruf Amin juga menyimpulkan dalam bukunya “Fatwa dalam Hukum Islam” bahwa, fatwa memiliki dua sifat utama. Pertama, fatwa bersifat responsif. Fatwa merupakan penjelasan tentang hukum syara yang diperoleh melalui hasil ijtihad yang dilakukan setelah muncul suatu pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa.

Kedua, fatwa bersifat opsional ‘ikhtiariyah’ (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral bagi mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedangkan bagi selain mustafti bersifat ‘i’lamiyah’ atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti yang lain. Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai suatu masalah yang sama maka umat boleh memilih mana yang lebih

16 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Elsas, 2008), h. 20

17Amir Syarifudin, ushul fiqh (jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2001) Jil.2 h. 429 Dalam Tesis

Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyya,” (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h.41


(30)

memberikan qana’ah (penerima/kepuasan) secara argumentatif atau secara batin. Hal ini disebabkan bahwa fatwa tidaklah mengikat sebagaimana putusan pengadilan (qadha).18

Pada umumnya fatwa dikeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan permasalahan atau kasus yang telah terjadi. Dalam kaitan ini, seorang

mufti boleh menolak memberikan fatwa atas pertanyaan tentang peristiwa yang belum terjadi. Namun demikian seorang mufti tetap disunnahkan untuk menjawab pertanyaan seperti itu, sebagai langkah hati-hati agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu.19

Penjelasan tentang pengertian fatwa tersebut, sekaligus menjelaskan rukun dari fatwa, yaitu: pertama, usaha memberikan penjelasan yang disebut ifta. Kedua, orang yang menyampaikan jawaban hukum kepada yang telah mufti;

ketiga, orang yang meminta penjelasan hukum kepada yang telah mengetahuinya disebabkan oleh ketidaktahuanya tentang hukum suatu kejadian (kasus) yang telah terjadi, orang disini disebut mustafti; keempat, materi jawaban hukum syara

yang disampaikan oleh mufti yang disebut fatwa.20

18 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 20 19Ibid., h.20

20Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Murabahah; Suatu Analisis Metode

Hukum dan Pelaksanaanya di BII Syariah,” (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.21.


(31)

2. Kedudukan Fatwa Dalam Hukum Islam

Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena ia merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul dikalangan masyarakat. Ketika muncul masalah, suatu masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka fatwa merupakan satu-satunya institusi normatif yang berkompeten menjawab atau menetapkan kedudukan hukum masalah tersebut.

Mengingat betapa penting keberadaan fatwa bagi orang awam dalam menjalankan amal ibadahnya, maka setiap orang yang telah memenuhi syarat untuk mengeluarkan fatwa tidak boleh menolak bila dimintai fatwa. Dalam hal ini al-Imam an-Nawawi menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan kaitanya dengan hukum berfatwa:21

Pertama, berfatwa hukumnya adalah fardhu kifayah. Dimana jika ada seseorang atau pihak yang menanyakan hukum suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunyai kompetensi berfatwa untuk menjawabnya. Jika ada orang lain yang juga mempunyai kemampuan berfatwa, maka menjawab hukum suatu masalah yang dipertanyakan hukumnya fardhu kifayah.


(32)

Kedua, jika suatu fatwa telah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa (mufti) harus memberitahukan orang yang meminta fatwa (mustafti) bahwa fatwa yang dileluarkan terdahulu tidak sesuai.

Ketiga, haram hukumnya bagi seorang mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa, dan jika diketahui seperti itu maka haram bagi mustafti

untuk meminta fatwa kepadanya. Kedudukan fatwa bagi peminta fatwa adalah merupakan penuntun dalam menjalankan amal ibadahnya.

Keempat, seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralanya dalam menetapkan hukum suatu masalah.

Kelima, seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber penghasilan untuk kepentingan dirinya.

Keenam, bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk pendapat ulama mazhab tertentu, maka harus didasarkan atas pendapat ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih yang diakui.

Ketujuh, jika seorang mufti telah menetapkan fatwa tentang hukum suatu maslalah kemudian dilain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka dalam hal ini apabila mufti mengingat keputusan fatwa beserta


(33)

dalil-dalil dan argumentasinya, maka boleh baginya mengeluarkan fatwa seperti fatwa yang pertama.

Kedelapan, ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa (mustafti), karena hal seperti itulah yang dibutuhkan oleh

mustafti dengan meminta fatwa.

Dan Ulama ushul fiqh mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggung jawabkan. Persyaratan tersebut adalah: (1) Bligh, Berakal dan Merdeka; (2) Adil dan (3) memenuhi persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini, seorang mufti tidak harus seorang laki-laki. Wanitapun boleh menjadi nufti asal memenuhi persyaratan diatas. Adapun yang dimaksudkan dengan adil menurut Imam al-Ghazali ahli ushul dari kalangan ulama Syafi’i adalah seseorang yang istiqamah dalam agamanya yang memelihara kehormatan pribadiinya. Syarat ini sangat diperlukan karena mufti merupakan panutan bagi masyarakat, bak dari segi fatwa yang dikeluarkanya maupun dari segi kepribadianya.

Terkait dengan sarat adil bagi mufti, ulama uhul fiqh juga mengemukakan implikasi dari syarat ini. Menurut mereka, ada tiga hal yang harus diperhatikan para mufti dalam kaitanya dengan syarat adil ini:


(34)

Pertama, Setiap fatwanya harus senantiasa dilandasi dalil. Apabila fatwanya itu diambil dari pendapat para mujtahid terdahulu, maka ia harus memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan lebih pada berorientasi pada kemaslahatan.

Kedua, apabila mufti tersebut memiliki apasitas ilmiah untuk mengistibath hukum maka ia harus menggali hukum dari nash dengan mempertimbangkan berbagai realitas yang ada. Ketiga, fatwa itu tidak mengikuti kehendak al-Mustafti tetapi memprtimbangkan umat manusia.22

a. Fatwa Sahabat

Sahabat adalah orang yang selalu berada dalam majelis Rasulullah SAW dan selalu mengikutinya juga meriwayatkan hadis dari beliau. Yang termasuk golongan ini seperti al-Khulafa al-Rasyidun, Abdullah ibn Mas’ud Anas ibn Malik, zaid ibn Tsabit, Abu Hurairah. Setelah Nabi SAW wafat, banyak timbul peristiwa baru dan kejadian yang memerlukan adanya petunjuk atau fatwa syara’ dari para sahabat yang mengetahui sumber-sumber hukum Islam. Fatwa-fatwa yang mereka berikan itu, oleh sebagian ulama dijadikan hujjah

dan sebagai sumber hukum karena fatwa-fatwa mereka tidak keluar dari sunnah Nabi.

Para sahabat sebagai pengganti rasulullah SAW dalam menangani dan menyelesaikan seluruh problematika umat Islam, memberi fatwa tentang suatu yang belum ada ketetapan hukumnya karena keistimewaan dan kredibilitas

22Ica Purba Nur Hendra, “Konsep Elastisitas Fatwa Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyya,”


(35)

pribadi yang dimilikinya. Mereka telah lama bergaul dengan Nabi Muhammad SAW, menghafal al-Qur’an dan sunnah dari beliau, mereka turut menyaksikan kejadian-kejadian yang melatarbelakangi turun ayat-ayat al-Qur’an dan mengetahui sebab-sebab proses lahirnya sunnah. Untuk itu fatwa sahabat mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum Islam, yaitu: pertama,

sahabat melakukan penelaahan terhadap al-Qur’an dan sunnah dalam menyelesaikan suatu kasus, apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah, mereka melakukan ijtihad. Ijtihad dalam melakukan penyelesaian kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Kedua, sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath

(metode penelitian) dalam menyelasaikan kasus yang dihadapi.23

b. Fatwa Para Imam Mujtahid

Dalam penetapan hukum para imam mujtahid memiliki pendapat yang berbeda-beda hingga akhirnya mereka mempunyai mazhab-mazhab fiqh tertentu. Perbedaan pengetahuan tentang sumber hukum khususnya sunnah sangat berpengaruh terhadap hasil ijtihad (fatwa) seorang mujtahid. Pada masa ini, ijtihad banyak digunakan dalam mengistinbath hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya.

23Jaih Mubarok, sejarah dan Perkembangan Hukum Isalm, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2000), h.40, dalam Tesis Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional entang Murabahah (Suatu Analisa Metode Istinbath Hukum dan Pelaksanaanya di BII syariah)”, (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h.26


(36)

Fatwa para imam mujtahid berpengaruh dalam penetapan hukum Islam karena membantu umat Islam dalam memahami al-Qur’an dan tafsirnya, sunnah atau hadits dan fiqh sebab mereka mengambil dan menerima pelajaran dari para tabi’in, tabi’u al tabi’in dan sahabat. Selain itu, para imam mujtahid menggunakan metode istinath yang dapat diakui dan diteruskan oleh generasi selanjutnya dalam mengistinbath hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya. Di samping juga fatwa para imam mujtahid dapat dijadikan sebagai pedoman dalam beribadah dan beramal khususnya bagi mereka yang tidak mampu berijtihad.24

3. Metode Istinbath Dalam Berfatwa

Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang dihasilkanya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya, implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan.

Metode/kaidah istinbath yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa adalah sebagai berikut:

24Tesis Fahruroji, “Fatwa Dewan Syariah Nasional entang Murabahah (Suatu Analisa Metode Istinbath Hukum dan Pelaksanaanya di BII syariah)”, (Tesis S2 Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 27


(37)

1. Metode Bayani (Analisa Kebahasaan)

Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Qur’an dan as-sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis kebahasaan. Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh para ulama ushul untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafadz

sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahasaan bangsa Arab sendiri. Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup: a. Analisa berdasarkan segi makna lafaz (bi i’tibar al-lafdz lil-ma’na). b. Analisa berdasarkan segi pemakaian makna (bi i’tibar isti’mal al-lafdz

lil-ma’na).

c. Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna (bi i’tibar dalalah al-lafz ala al-ma’na bi hasab zuhur al-ma’n wal khafaih).

d. Analisa berdasarkan segi penunjukan lafaz kepada makna menurut maksud pencipta nash (bi i’tibar kaifiyah dalalah lafz ala al-ma’na).25

Dari segi makna lafaz, ada suatu lafaz yang ditempatkan untuk menunjukkan suatu makna tertentu (khas) dan umum (‘am), ada lafaz yang mengacu pada satu makna (muradif), dan ada pula lafaz jama’ yang mecakup satuan-satuan yang banyak akan tetapi tidak mencakup seluruh satuan yang dimasukkan kedalamnya (jama’ munakkar).


(38)

Dari segi pemakaian arti, ada lafaz yang menunjuk kepada pengertian asli (al-baqiqah) dan ada pula yang menunjuk pengertian lain yang bukan makna asli, karena ada satu indikasi yang mengendaki demikian (majaz), selain itu pula ada lafadz yang mengaku pada pengertiian yang jelas karena pengertian tersebut lazim dipakai (sharih), dan ada pula lafadz yang samar maksudnya karena baru diketahui ketika ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya (kinayah).

Dari segi terang dan samarnya makan, ada lafadz yang petunjuk maknanya jelas tanpa memerlukan lafadz lain untuk menjelaskanya (wadhih ad-dalalah) dan ada pula yang tidak jelas petunjuk maknanya kecuali ada lafadz lain yang membantu untuk menjelaskanya (khafi ad-dalalah). Dari segi penunjukkan lafadz pada makana menurut maksud pencipta nash, ada lafadz yang petunjuk teksnya mengacu pada makna implisit (al-mafhum).

Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian dalil-dalil yang secara lahiriah terlihat bertentangan (ta’arud al adillah), yang mencakup: kompromi antara nash-nash yang berlawanan (al-jamu’u wa al-Taufiq), mengamalkan dalil yang lebih kuat dan menegaskan yang lebih lemah (tarjih), mengahapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dulu (naskh-mansukh), atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan berpaling kepada dalil lain (tawaqquf).


(39)

2. Metode Ta’lili

Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya tersurat dalam nash

baik secara qath’i maupun dzanni, dan tidak juga dengan ijma’ yang menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada.

Istinbath seperti ini ditujukkan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu terdapat kesamaan illat hukum. Dalam hal ini mufti menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kejadian yang telah ada nashnya, intinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas dan istihsan.

Penalaran yang dipakai berusaha malihat apa yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum dalam al-qur’an dan al-hadis. Dengan kata lain apa yang menjadi illat dari suatu peraturan. Menurut ulama semua ketentuan hukum mengandung illat, karena tidak mungkin Tuhan memberikan peraturan tanpa tujuan dan maksud yang baik.

Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu illat tasyri’i, illat qiyasi dan illat istihasni. Illat tasyri’i ialah

illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum yang dipahami dari

nash tersebut memang harus tetap seperti apa adanya, atau boleh diubah kepada yang lainya. Dengan kata lain, berhubung diketahui illat penafsiran peraturan tersebut maka para ulama berani mentakwilkan makna sesuai


(40)

dari pemahaman sebelumnya atau berbeda dengan arti harfiyahnya. Dalam

illat tasyri’i ini tidak dipersoalkan ada qiyas atau tidak, karena penekanan kajianya adalah pada masalah itu sendiri. Kalau illat tersebut ingin diberlakukan pada masalah lain, maka fungsinya berubah menjadi illat qiyasi.

Illat qiyasi ialah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya. Dengan kata lain, illat ini dipergunakan untuk menjawab pertanyaan apakah nash yang mengatur masalah x juga berlaku unuk masalah y (yang secara harfiyah tidak dicakupnya, namun diantara kedua masalah tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat.

Illat istihsani yaitu illat pengecualian maksudnya mungkin saja ada pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri’i tadi tidak dapat berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang menyebabkan dikecualikan. Dengan demikian illat kategori ini mungkin ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaimana mungkin juga pengecualian dari kategori kedua.

yang membedakan ketiga pengelompokkan illat ini hanyalah kegunaanya dan intensitas persyaratanya.


(41)

3. Metode Istishlahi

Metode ini digunakan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qathi’ maupun zhanni,

dan tidak memungkinkan mencari kaitanya dengan nash yang ada, belum diputuskan dengan ijma’, dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau istihsan.

Jadi dasar pegangan ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik dalam bentuk mendatangkan manfaat (jalb al-manfa’at) ataupun menolak kerusakan (dar u al-mafasid) dalam rangka memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta.

Lebih jauh para ulama telah membuat tiga kategori kemaslahatan yang menjadi sarana semua perintah dan larangan Allah SWT, yaitu dharuriyyat, hajiyat, tahsiniyat.

Penalaran yang dipakai menggunakan ayat-ayat atau hadis-hadis yang mengandung konsep umum sebagai dalil atau sandaranya. Misalnya ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil, tidak boleh mencelakakan diri sendiri maupun orang lain dsb. Biasanya penalaran ini dilakukan kalau masalah yang akan diidentifikasi tersebut tidak dapat dikembalikan kepada sesuatu ayat atau hadis tertentu secara khusus. Dengan kata lain tidak ada bandingan yang tepat dari zaman nabi yang bisa digunakan. Misalnya


(42)

aturan untuk membuat SIM (surat ijin mengemudi) tidak ada bandinganya dengan sunnah nabi. Tetapi mengatur masalah baru tersebut, baik menerima atau menolaknya adalah perlu karena menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak.

Cara kerjanya, ayat dan hadis tersebut diganbungkan satu sama lain, sehingga kesimpulanya adalah merupakan sebuah “prinsip umum”. Prinsip umum ini didedukasikan pada persoalan-persoalan yang ingin diselesaikan tadi.

B. Produk Bank Syariah

Kegiatan usaha Perbankan Syariah lalu diterjemahkan menjadi Produk Perbankan Syariah. berkaitan dengan hal diatas, maka bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No. 10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,26 yang mengatur proses kelahiran produk Perbankan Syariah.

1. Pengertian Produk Bank Syariah

Mulyadi dan Jonny Setyawan menyatakan bahwa istilah “produk” sering sekali diidentikan dengan sebuah produk yang sifatnya nyata, tetapi pada sesungguhnya jasa dan ide juga termasuk bagian dari produk itu sendiri. Dipandang dari sudut customer, produk yang dihasilkan oleh produsen tidak lebih dari sekedar alat berwujud untuk mendapatkan jasa yang dapat

26 HM. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h.104 dalam

Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah- Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (jakarta: Rajawali Pers 2009), h.88


(43)

menghasilkan value bagi customer setelah melalui use proses (yang secara keseluruhan melalui tahap-tahap lengkap: fire, acquire, transport, store, use, dispose of, stop). Dengan demikian, dipandang dari sudut customer. Suatu produk merupakan “a bundle of service” yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan dan harapan customer.27

Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh operasionalisasi fungsi bank syariah (Baraba, 2000). Dalam menjalankan operasinya bank syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut:28

a. Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank;

b. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik dana/shahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana; c. Sebagai penyedia jasa lau lintas pembayaran dan jasa-jasa lainya sepanjang

tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan d. Sebagai pengelola fungsi sosial.

Dari keempat fungsi operasional tersebut kemudian diturunkan menjadi produk-produk bank syariah, yang secara garis besar dapat dikelompokkan kedalam produk pendanaan, produk pembiayaan, produk jasa perbankan, dan

27

Mulyadi & Jonny Setiyawan, Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen,

(Jakarta: Salemba Empat, 2001), h.272

28


(44)

produk kegiatan sosial dan produk-produk perbankan syariah terkodifikasi menjadi dua yaitu kodifikasi produk bank syariah domestik dan kodifikasi produk perbankan syariah internasional, dan produk domestik adalah produk-produk perbankan syariah yang selama ini digunakan, seperti digambarkan pada gambar berikut:29

Akad dan Produk Bank Syariah

Pendanaan Pembiayaan Jasa Perbankan Sosial

Pola titipan

- Wadiah yad dhamanah

(Giro, Tabungan)

Pola Bagi Hasil

Mudharabah Musyarakah

(Invesment Financing)

Pola Lainya

Wakala, Kafala, Hawalah, Rahn, Ujr, Shar f(jasa Keuangan)

Pola Pinjaman Qardhul Hasan (Pijaman Kebajikan) Pola Pinjaman Qardh (Giro, Tabungan)

Pola Jual beli

Murabahah Salam Istishna

(Trade Financing)

Pola Titipan

Wadhi’ah yad Amanah

(Jasa Nonkeuangan)

Pola Bagi Hasil -Mudharabah Mutlaqah Mudharabah Muqayadah (executing) (Tabungan, Deposito. Investasi, Obligasi) Pola sewa Ijarah

Ijarah wa Iqtina

(Trade Financing)

Pola Bagi hasil

Mudharabah Muqayyadah (channeling) (Jasa Keuangan) Pola sewa Ijarah (Obligasi) Pola Pinjaman Qardh (talangan)

Tabel 1. Akad dan Produk Bank Syariah

29


(45)

Dan sedangkan produk internasional adalah produk-produk perbankan syariah yang diambil dari berbagai negara yang menerapkan perbankan syariah/Islam dalam sistem perbankan di negaranya, seperti Malaysia, Yordania, Sudan, Bahrain, Pakistan dan lain sebagainya. Produk perbankan syariah internasional ini terdiri dari produk penghimpunan dana, produk penyaluan dana dan produk jasa, dan berikut produk-produknya:

A. Produk Penghimpunan dana terdiri dari 8 (delapan) produk:

1. Deposito - mudharabah muqayyadah – murabahah dari Malaysia; 2. Deposito - mudharabah muqayyadah - komoditi murabahah dari

Malaysia;

3. Deposito dan reksadana - mudharabah, Deposito – musyarakah dari Malaysia;

4. Deposito Unrestricted Recurring Investment – mudharabah Uni Emirat Arab (UEA);

5. Deposito – Wakalah bil Ujrah dari Uni Emirat Arab (UEA);

6. Giro – Wadhiah dan Qard dari Uni Emirat Arab, Pakistan, Inggris, dan Bahrain;

7. Tabungan dan Giro Automatic Transfer – Mudharabah dan wadhiah} dari Malaysia.

B. Produk Penyaluran Dana terdiri dari 30 (tiga puluh) produk:


(46)

2. Home Financing – BBA (Ba’i Bithaman Ajil) dari Malaysia;

3. Home Financing – Musyarakah Mutanaqishah dan Ijara dari UEA, Inggris, dan Pakistan;

4. Islamic Card – Bai Al Inah dari Malaysia; 5. Islamic Card – Tawaruq dari Saudi Arabia; 6. Personal Financing – Ba’i Al Inah dari Malaysia;

7. Personal Financing – Murabahah dari Bahrain. Inggris, UEA, Saudi Arabia;

8. Personal Financing – Tawaruq dari UEA, Saudi Arabia;

9. Agriculture Implements Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i) dari Bangladesh;

10.Micro Industries Investment – Shirkatul Melk (Ijarah, Ba’i); 11.Islamic Overdraft (Cash Line facility) – BBA dan Ba’i Al Inah; 12.Cash Line Facility – Ba’i Bithaman Ajil dari Bahrain;

13.Revolviing Financing – Ba’i Bithaman Ajil (BBA) dai Malaysia; 14.Revolving Financing – Mudharabah dari Malaysia;

15.Term Financing Fixed and Variable Rate – Ba’i Bithaman Ajil (BBA) dari Malaysia;

16.Industrial Hire Purchase – Al Ijarah Thumma Al Bai’ dari Malaysia; 17.Hire Purchase – Shirkatul Melk dari Bangladesh;


(47)

19.Working Capital and erm Financing – Tawaruq dari Inggris, Bahrain, dan saudi Arabia;

20.Export Credit Refinancing – Bai’ Dayn dari Malaysia; 21.Export Credit Refinancing – Murabahah dari Malaysia;

22.Export Credit Refinancing – Murabahah dan Bai’ Dayn dari Malaysia; 23.Export Refinancing – Musyarakah dari Uni Emirat Arab;

24.Forward Rate Agreement – Murabahah dari Malaysia; 25.Islamic Profit Rate Swap – Murabahah dari Malaysia;

26.Islamic Treasurry Instrument – Salam Pararel dari Saudi Arabia; 27.Sukuk Investment – Wakalah Bil Ujrah dari Arab Saudi;

28.Pembiayaan dengan penjaminan – semua akad pembiayaan syariah dari Malaysia;

29.Share Financing – Murabahah (Trading) dari Malaysia dan UEA; 30.Share Financing – Murabahah (Investment) dari UEA.

C. Produk Jasa terdiri dari 8 (delapan) produk:

1. Escrow Account – Wakalah Bil Ujrah dari UEA; 2. Shipping Guarantee – Kafalah dari Malaysia;

3. Documentary Credit – wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 4. Bill Collection Outward – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 5. Bill Collection Inward – Wakalah Bil Ujrrah dari Malaysia; 6. Islamic Will (surat wasiat) – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 7. Administrasi Asset – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia;


(48)

8. Islamic Trust – Wakalah Bil Ujrah dari malaysia.

2. Proses Penerbitan Produk30

Bank wajib melaporkan rencana pengeluaran produk baru kepada Bank Indonesia (Pasal 2 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Laporan rencana pengeluaran produk baru harus disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum produk baru dimaksud dikeluarkan (pasal 3 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank Indonesia memberikan penegasan atas laporan itu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap (pasal 3 ayat 2 PBI No. 10/17/PBI/2008).

Bank dilarang mengeluarkan produk baru dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari itu, apabila belum memperoleh penegasan tidak keberatan dari Bank Indonesia (pasal 3 ayat 3 PBI No. 10/17/PBI/2008). Apabila dalam jangka waktu 15 (lia belas) hari setelah seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap. Bank Indonesia tidak memberikan penegasan, maka bank dapat mengeluarkan produk baru dimaksud (pasal 3 ayat 4 PBI No. 10/17/PBI/2008).

Bank Indonesia memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan rencana pengeluaran produk baru paling lamabat 15 (lima belas) hari sejak seluruh persyaratan dipenuhi dan dokumen pelaporan diterima secara lengkap (pasal 4 PBI No. 10/17/PBI/2008).

30 Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah- Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (jakarta: Rajawali Pers 2009), h.89


(49)

Bank wajib melaporkan realisasi pengeluaran produk baru paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah produk baru dimaksud dikeluarkan (pasal 5 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank wajib memberikan penjelasan kepada Bank Indonesia atas produk baru yang wajib mendapatkan persetujuan Bank Indonesia (pasal 6 ayat 1 PBI No. 10/17/PBI/2008). Bank Indonesia dapat meminta kepada bank untuk memberikan penjelasan atas: a. Produk baru wajib dilaporkan kepada bank Indonesia; b. Produk yang telah dikeluarkan; c. Produk non bank yang dipasarkan oleh bank pasal 6 ayat 2 PBI No. 10/17/PBI/2008.

3. Macam-macam Produk Bank Syariah

Tidak dipungkiri lagi, bahwa produk perbankan syariah berperan dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Karena produk perbankan syariah ini menjadi pembeda antara bank syariah dengan bank konvensiaonal, karena produk bank syariah menawarkan kemaslahatan bagi setiap orang, karena tidak tidak ada unsur gharar, maysir dan riba. Contohnya bunga yang diterapkan oleh bank konvensional.

Sejalan dengan itu, seperti Peraturan Bank Indonesia tentang produk bank syariah adalah bahwasanya transaksi dalam bank syariah tidak boleh mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim, risywah, barang haram dan maksiat. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang


(50)

melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dijelaskan sebagai berikut;31

1. Gharar adalah transaksi dengan objek yang tidak jelas, mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak lain dirugikan.

2. Maysir adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan, atau spekulatif yang tinggi.

3. Riba adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun simpan pinjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam.

4. Zalim adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak lain.

5. Risywah adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau betuk lainya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam bertransaksi.

6. Barang haram dan maksiat adalah barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.

Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, prinsip-prinsip dalam dunia bank syariah ruang lingkup usaha perbankan syariah yaitu:

31 Dr. Abd. Shomad, Hukum Islam (panorama prinsip syariah dalam hukum Islam. (Jakarta:


(51)

1. Prinsip bagi hasil

Secara umum dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaiutu:

a. Al-Musyarakah (partnership, project fianancing participation) b. Al-Mudharabah (trust financing, trust investment)

c. Al-Muzara’ah (harvest-yield profit sharing)

d. Al-Musaqah (plantation management fee based on certain portion of yield)

Tetapi prinsip yang paling sering dipakai adalah musyarakah dan mudharabah

2. Prinsip jual beli

Ada tiga jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan dalam perbankan syariah dari sekian banyak jenis jual beli, yaitu:

a. Al-muarabah (deffered payment sale) b. As-salam (in-front payment sale)

c. Al-istishna (purchase by order of manufacture) 3. Prinsip sewa


(52)

a. Al-ijarah (operational lease) seperti halnya bank menyewakan traktordan alat produk lainya kepada nasabah

b. Al-ijarah muntahia bit-tamlik (financial lease with purchase option) 4. Prinsip jasa (fee based services)


(53)

BAB III

Dewan Syariah Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank Syariah

A. Pengertian Dewan Syariah Nasional

Berdasarkan surat keputusan dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tentang susunan Pengurus Dewan Syariah Nasional MUI No: Kep-98/MUI/III/2001, maka pengertian, kedudukan, tugas dan wewenang DSN-MUI sudah tercantum dan diatur didalamnya.

Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh MUI yang bertugas menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah. DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas mengembangakan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana. DSN merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan fatwa atau jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.32

Sedangkan Kedudukan Dewan Syariah Nasional adalah otoritas syariah tertinggi, yang merupakan lembaga independen dalam mengeluarkan fatwa yang berhubungan dengan semua masalah Syariah agama Islam, baik masalah ibadah maupun

32Firdauz NH DR. Muhammad, Ghufron Sofiniyah, Aziz Hakim Muhammad, Alshodiq Mukhtar,


(54)

muamalah, termasuk masalah ekonomi, keuangan dan perbankan.33. Statusnya membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan lain-lain dalam menyususn peraturan/ketentuan untuk lembaga keuangan syariah. dan anggota DSN terdiri dari para Ulama, praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah, serta anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti sama dengan periode masa bakti pengurus MUI pusat yakni lima tahun.34

Visi Dewan Syariah Nasional adalah “memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariatkan ekonomi masyarakat” sedangkan misi Dewan Syariah Nasional adalah “menumbuhkembangkan ekonomi syariah dan lembaga keuangan atau bisnis syariah untuk kesejahteraan umat dan bangsa”.

B. Sejarah Pembentukan Dewan Syariah Nasional

Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas Syariah pada setiap lembaga keuangan, dipandang perlu didirikan lembaga Dewan syariah Nasional yang akan menampung berbagai masalah/kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penangananya dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah yang ada dilembaga keuangan syariah.

33Ascarya. Akad & Produk Bank Syariah. (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 206 34Firdauz NH Dr. Muhammad, Ghufron Sofiniyah, Aziz Hakim Muhammad, Alshodiq Mukhtar,


(55)

Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Dewan Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.

DSN-MUI dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1998 dan dikukuhkan oleh SK Dewan Pimpinan MUI No. Kep-754/MUI/II/1999. Dewan ini bertugas dan memiliki kewenangan untuk memastikan kesesuaian antara produk, jasa dan kegiatan usaha lembaga keuangan syariah dengan prinsip syariah.35

Adapun latar belakang pembentukan DSN antara lain:

1. Untuk mewujudkan aspirasi umat Islam dalam mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian keuangan;

2. Terciptanya koordinasi dan langkah yang efisien para ulama dalam mengahdapi isu-isu yang berkaitan dengan masalah ekonomi/keuangan; 3. Menanggapi munculnnya kasus-kasus di bank syariah sehingga diperoleh

dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing bank syariah.

C. Tugas dan Wewenang Dewan Syariah Nasional

Dewan syariah, mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan ekistensi atau menjamian ke-Islaman keuangan syariah diseluruh dunia. Di Indonesia, tugas ini dijalankan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN).

35 Dr. Firdauz NH Muhamammad, Ghufron Sofiniyah, Aziz Hakim Muhammad, Alshodiq


(56)

Dalam pedoman dasar DSN-MUI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk memenuhi masalah-masalah yang berhubungan denagn aktifitas lembaga keuangan syariah. menurut MUI (SK MUI No, Kep.754/II/1999) dewan ini bertugas sebagai berikut: pertama Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya, kedua

mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan, ketiga mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah, keempat mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.36

Selain itu DSN-MUI mempunyai tugas untuk mempublikasikan penerapan ekonomi Islam kepada masyarakat melalui fatwa-fatwanya sebagai pedoman pelaksanaan bagi para pelaku ekonomi Islam serta mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan Syariah yang bersumber dari hukum-hukum Islam yang menjadi dasar dalam pengawasan dan pengembangan produk-produk yang akan dikeluarkan oleh lembaga keuangan syariah.37

Selain itu Dewan Syariah Nasional berwenang: pertama, mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan

36 Adrian Sutedi, S.H., M.H. Perbankan Syariah-Tinjauan dan Beberapapa Segi Hukum, (Ghalia

Indonesia, 2009), h.147.

37Dr. Muhamammad Firdauz NH, Sofiniyah Ghufron, Muhammad Aziz Hakim, Mukhtar


(57)

syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait, kedua, mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, ketiga, memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah, keempat,

mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri, kelima, memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, keenam, mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.

Disamping itu, Dewan Stariah Nasional juga mempunyai kewenangan untuk:

1. Memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah pada satu lembaga keuangan syariah;

2. Mengekuarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait;38 3. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan

oleh instansi yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM;

38 Adrian Sutedi, S.H., M.H. Perbankan Syariah (Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum),(Ghalia Indonesia, 2009), h.148


(58)

4. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpanan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional; 5. Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila

peringatan tidak diindahkan.

D. Mekanisme Kerja Operasional Penetapan Fatwa DSN-MUI

Sejak dibentuk, DSN telah bekerja keras dan berusaha secara optimal untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Agar lebih efektif, pelaksanaan tugas ini dibantu dan ditangani secara langsung oleh Badan Pelaksana Harian DSN (BPH-DSN). BPH melakukan penelitian, penggalian dan pengkajian. Kemudian setelah dianggap cukup memadai, hasil pengkajian tersebut dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN. rancangan ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno Pengurus DSN untuk dibahas (nama-nama pengurus DSN-MUI terlampir). Kemudian diputuskan menjadi fatwa DSN. finalisasi fatwa ini, terutama dari aspek redaksional, ditangani lagi oleh tim peyusun dari BPH-DSN.39

Dewan Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN, dan berikut adalah mekanisme kerja Penetapan Fatwa DSN-MUI:

39Dewan Syariah Nasional MUI, himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, (Jakarta:


(59)

 Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan.

 Setiap tahunya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan (annual reprt) bahwa lembaga keuangan syariah yang bersangkutan teah/tidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkanoleh Dewan Syariah Nasional.

Badan Pelaksana Harian

a. Badan pelaksana harian menerima usulan atau pernyataan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah, usulan atau pernyataan ditujukan kepada sekretariat Badan Pelaksana Harian.

b. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada sekretariat Badan Pelaksana Harian.

c. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah menerima usulan /pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada Ketua.

d. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat-lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.


(60)

e. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan. f. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh

Ketua dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional.40

40DSN-MUI, artikel tentang Dewan Syariah Nasional Diakses pada tanggal 20 mei dari

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:tentang-dewan-syariah-nasional&catid=39:dewan-syariah-nasional&Itemid=58


(61)

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan DSN-MUI Dalam Penetapan Fatwa Produk Bank

Syariah

Ekonomi merupakan salah satu bidang yang sangat dibutuhkan dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kehidupan masyarkat. Seiring perkembangan zaman, ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam atau syariah, memberikan solusi bagi masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara.

Pada awalnya perekonomian syariah hanya terbatas pada bidang perbankan, kegiatan ini terus berkembang semakin meluas kebidang asuransi, pasar modal dan pembiayaan. Sehingga tersebut perlu adanya aturan yang dapat mengatur perekonomian syariah, dan salah satunya adalah dengan adanya DSN-MUI yang mengkaji dan menetapkan fatwa.

Memberikan fatwa (al-ifta) bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung resiko berat yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan fatwa adalah menjelaskan hukum agama kepada masyarakat yang kemudian menjadikanya pedoman dalam mengamalkan agama. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam masalah fatwa, para ulama menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik),


(62)

persyaratan sangat ketat yang harus dipegang teguh oleh setiap orang atau lembaga yang akan memberikan fatwa.41

Selain itu, penetapan fatwa harus didasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat. Tidak dibenarkan penetapan fatwa hanya didasarkan pada keinginan dan kepentingan tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa didasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat. Tegasnya, setiap menyatakan hukum suatu masalah haruslah didasarkan atas dalil, baik dari al-Quran maupun hadits Nabi.42

Dalam menetapkan fatwa, pertimbangan yang mendasar bagi Dewan Syariah Nasional sebelum dilaksanakanya penetapan fatwa adalah dengan melihat mafsadat (keburukan) dan maslahat (kebaikan) bagi masyarakat dari setiap produk yang diajukan oleh lembaga keuangan syariah. Sehingga dengan hal tersebut dapat dipastikan apakah produk dapat di tetapkan fatwa dan atau tidak.

Jika dalam setiap produk banyak mengandung mafsadat (keburukan) maka Dewan Syariah Nasional tidak dapat menetapkan fatwa pada produk tersebut. Dan begitu juga sebaliknya, jika dalam produk tersebut maslahat maka Dewan Syariah Nasional dapat menetapkan fatwa dan juga dapat diterapkan di perbankan syariah di Indonesia. Sehingga diharapkan dari setiap pengkajian produk perbankan syariah internasional dapat memberikan maslahat bagi masyarakat banyak.

41Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 53

42


(63)

B. Kendala Dewan Syariah Nasional Dalam Berfatwa

Dewan Syariah Nasional adalah merupakan lembaga fatwa atas produk-produk yang diajukkan oleh lembaga keuangan syariah seperti perbankan, asuransi maupun pasar modal untuk diminta fatwa. Sebelum produk diluncurkan atau dipasarkan kepada masyarakat, lembaga keuangan syariah ini harus meminta fatwa kepada DSN terlebih dahulu, sehingga DSN akan merealisasikan dengan ditetapkanya fatwa atas produk yang telah diajukkan

Fatwa sifatnya tidak melekat, artinya fatwa itu merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, sehingga dalam fatwa itu ada dua hal yang penting, yang pertama ada yang bertanya yang disebut dengan mustafti, dan yang kedua adalah yang membuat fatwa dinamakan mufti. Dalam hal ini kedudukan Mustafti adalah lembaga keuangan, sedangkan Mufti adalah Dewan Syariah Nasional. DSN melihat produk yang ditawarkan oleh LKS tersebut hanya dari aspek syariah saja. Dan dari hal tersebut juga dapat dilihat dari mafsadat dan maslahat dari produk yang ditawarkan, selain itu juga produk bank diatur dalam Peraturan bank Indonesia (PBI). Jadi jelas bahwa dalam memasarkan sebuah produk di Indonesia bukanlah hal yang mudah, perlu ada aturan dan mekanisme yang harus terpenuhi. Hal ini di lakukan agar produk bank syariah benar-benar sesuai syariah yang memberikan maslahat bagi masyarakat yang menggunakan.43

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Dewan Syariah Nasional. Bahwa dalam setiap penetapan fatwa tidaklah mudah, karena banyak aturan dan kode etik


(64)

yang harus dilewati. Namun begitu, dengan sumber-sumber hukum yang terpercaya seperti Al-Quran, Hadits yang banyak mengatur dan membahas mengenai muamalat. Sehingga dalam penetapan hukum atau berfatwa pada setiap produk InsyaAllah dengan sumber yang terpercaya dapat direalisasikan.

Kendala lain seperti pada suatu kejadian dimana belum terjadi dan belum terdapat hukum pada masa lampau (masa Nabi) sedangkan pada masa sekarang ini terjadi. Seperti produk L/C, letter Of Credit. Dimana produk L/C ini belum terdapat pada masa lampau, dan terjadi dalam masa sekarang. Sehingga para ulama-ulama harus menggali hukum baru pada produk tersebut dan harus dengan prinsip kehati-hatian, karena sebuah hukum harus dipertanggungjawabkan, baik didunia dan juga di akhirat kelak dengan Allah SWT. Karena sebuah hukum merupakan pedoman bagi orang-orang dalam hidupnya.

C. Produk Perbankan Syariah Internasional dan Pertimbangan Dalam Proses

Penetapan Fatwa di Indonesia

Bank syariah dari suatu negara ke negara lain, selain memiliki persamaan prinsip secara umum, juga memiliki perbedaan-perbedaan karena lingkunganya juga berbeda. Perbedaan ini juga dapat tercermin pada variasi penggunaan akad yang


(1)

15. Administrasi Asset – Wakalah Bil Ujrah dari Malaysia; 16. Islamic Trust – Wakalah Bil Ujrah dari malaysia. 4. Apakah semua produk tersebut sudah mendapatkan fatwa?

Jawab : Semua produk yang diusulkan tersebut semuanya belum ditetapkan fatwa baru oleh DSN. pertimbangan DSN belum menetapkan semua produk tersebut adalah karena terdapat produk yang bisa diterapkan di Indonesia dan tidak diterapkan di Indonesia. Untuk yang dapat diterapkan di Indonesia belum difatwakan karena semua produk tersebut menggunakan akad yang sudah ada dan sudah terdapat fatwa sebelumnya di Indonesia, sehingga tidak perlu memerlukan fatwa produk lagi. Dan bagi produk yang tidak bisa diterapkan di Indonesia memang karena bertentangan dengan aturan syariat-syariat atau birokrasi di negara Indonesia ini.

5. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan DSN dalam penetapan fatwa terhadap produk bank syariah?

Jawab : Sebenarnya dalam menetapkan sebuah produk perbakan syariah adalah dengan melihat dari produk tersebut apakah terdapat maslahat dan mafsadatnya. Jika lebih banyak mafsadat (keburukan) dari maslahatnya (kebaikan) maka tentu saja produk tersebut tidak dapat ditetapkan fatwa dan diterapkan di Indoneisa.


(2)

6. Bagaimana realisasi terhadap kodifikasi produk perbankan syariah internasional ini?

Jawab : untuk merealisasikan kodifikasi produk perbankan syariah internasional ini ada beberapa pihak yang ikut andil didalamnya yaitu pertama Bank Indonesia yang menerima dan mengumpulkan produk bank syariah dari bank-bank syariah untuk dilihat secara peraturan bank Indonesia, kedua DSN-MUI selaku pihak yang melihat dari sisi syariatnya dan yang menetapkan fatwa dari produk tersebut dan yang ketiga DSAS-IAI (Dewan Standar Akutansi syariah-Ikatan Akuntan Indonesia) yang melihat dari sisi akuntasi dari setiap produk.

7. Apakah dalam setiap pemberian fatwa produk bank syariah Internasional terdapat kendala atau hambatan?

Jawab : Kendala dalam penetapan fatwa produk kodifikasi perbankan syariah internasional ini sebenarnya tidaklah menemui kendala yang berarti. sumber-sumber hukum yang terpercaya seperti Al-Quran, Hadits yang banyak mengatur dan membahas mengenai muamalat. Sehingga dalam penetapan hukum cukup mudah untuk mencarinya. Namun begitu kendala juga ada dalam penetapan sebuah fatwa, dimana bisa dicontohkan pada suatu kejadian yang memang belum terjadi dimasa lampau, dan belum ada hukumnya seperti yang sekarang terjadi ialah L/C, letter Of Credit. Dimana L/C ini belum ada pada masa lampu, sehingga para ulama-ulama menggali lebih dalam lagi untuk mencari sebuah hukum ini dengan beristinbath.


(3)

8. Apakah dari sekian produk bank syariah Internnasional yang diusulkan oleh Bank Indonesia terdapat produk Syariah yang tidak bisa diberi fatwa oleh DSN? kenapa?

Jawab : seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwasanya roduk yang tidak memperoleh fatwa dan tidak dapat diterapkan di Indonesia karena memang produk tersebut bertentangan dengan syariat-syariat, aturan maupun birokrasi yang ada di Indonesia.

9. Apakah dari sekian produk bank syariah yang ditetapkan fatwa Internasional tersebut terdapat kemiripan dari produk syariah nasional atau domestik? Jawab: ada produk yang diajukan mirip dengan produk yang sudah ada di Indonesia seperti produk Revolving Financing dari Malaysia yang memnag dari segi akad dan mekanismenya sama dengan akad atau produk Murabahah yaitu Jula beli yang pembayranaya dapat dilakaukan secara tunai maupuan kredit dengan modal dan keuntungan diketahui anata penjual dan pembeli. 10. Apakah di Indonesia sudah terdapat Bank yang menerapkan produk

Internasioanal tersebut? Sebutkan!

Jawab : kedudukan DSN-MUI bisa dikatakan sangat tinggi, dimana produk tersebut belum mendapatkan fatwa dari DSN-MUI maka produk tersebut tidak dapat diterapkan di Indonesia, walaupun bersifat mendesak bagi Bank-bank syariah di Indonesia, saat ini produk bank internasional tersebut belum ada yang di terapkan di bank-bank syariah di Indonesia.


(4)

11. Seperti apakah mekanisme penetapan fatwa DSN terhadap produk bank syariah?

Jawab : dalam menetapkan sebuah fatwa terhadap produk yang akan diberi fatwa, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan melihat apakah produk tersebut sesuai syariat atau tidak. Selaku Dewan yang mempunyai kewenangan dalam memberikan fatwa harus melakukan proses atau prosedur dalam menetapkan sebuah hukum begitu juga dalam menetapkan produk bank syariah. Dalam proses tersebut seperti penggalian, pengkajian, dan perumusan dari masing-masing produk, sehingga diharapkan produk-produk bank syariah dapat terfilter dengan baik.

Jakarta, 10 September 2011


(5)

(6)