c.2. Pembahasan Masalahisu
Pada bagian pembahasan masalahisu ini peneliti mengajukan dua pertanyaan :
1. Apakah sering terjadi kendala dalam pembahasan masalahisu untuk
menjadi kebijakan dengan Badan Permusyawaratan Desa BPD? Jawab : Sering terjadi kendala untuk mengahsilkan kebijakan, misalnya metode
tegang otot yang mereka BPD sebut demokrasi. Tetapi bagi saya bukan seperti itu, demokrasi artinya bebas dan bertanggung jawab bukan asal ngomong dengan
suara keras. 2.
Saat UU No. 5 tahun 1979, masalahisu dibawa oleh Kepala Desa untuk dibahas di LMD tetapi setelah UU No. 32 tahun 2004 lahir, masalahisu
dibawa oleh kedua belah pihak baik BPD maupun Kepala Desa. Bagaimana Bapak melihat keuntungan dan kerugian dari UU tersebut?
Jawab : Tergantung dari cara melihat, jika memang dengan niat baik untuk membangun desa saya kira hal ini sangat positif karena disuatu sisi Kepala Desa
memiliki kekurangan dan tugas Badan Permusyawaratan Desa berusaha menutupi persoalan yang dilupakan oleh Kepala Desa.
d. Formulasi Kebijakan
Pada indikator ini terdiri dari :
d.1. Pemecahan Masalahisu
Pada bagian pemecahan masalahisu ini peneliti mengajukan dua pertanyaan kepada Kepala Desa sebagai berikut :
1. Bagaimana metode pemecahan masalahisu yang Bapak kembangkan
bersama BPD?
Universitas Sumatera Utara
Jawab : Metode yang dikembangkan adalah musyawarah untuk mufakat. Di sini dalam mencari solusi atas persoalan yang ada di desa diperlukan saling tukar
pikiran, musyawarah, dialog dengan BPD, Kepala Desa sebagai pelaksanaan pemerintahan dengan masyarakat yang merupakan objek dari pembangunan desa.
Metode pemecahan masalah yang demikian merupakan simbol-simbol demokrasi yang terwujud di desa dan merupakan embrio demi pelaksanaan demokrasi dalam
skala nasional. 2.
Apakah Bapak sebagai Kepala Desa mencari alternatifsaran dari lembaga lain selain BPD untuk memecahkan persoalan yang ada?
Jawab : Ya, sebagai individu saya sering berkonsultasi kepada orang-orang tua, pemuka agama, ketua adat, yang lebih bijak memahami persoalan yang ada. hal
ini saya lakukan untuk memberikan wacana alternatif ketika ada kebuntuan antara Kepala Desa dengan BPD untuk memecahkan persoalan-persoalan di desa.
d.2. Proses Pengambilan Kebijakan
Pada bagian proeses pengambilan kebijakan ini peneliti mengajukan tiga pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah sering terjadi kebuntuan deadlock dalam proses pengambilan
kebijakan dengan BPD? Jawab : Sering terjadi, dan hal ini mengakibatkan suatu masalah yang ada tidak
terselesaikan. 2.
Bagaimana Bapak melihat proses pengambilan kebijakan sesuai perda No. 17 tahun 2003, apakah memang hal ini sudah cukup ideal?
Jawab : Cukup ideal, asal diimplementasikan secara benar. 3.
Adakah kendala dalam proses pengambilan kebijakan di desa Malasin ini?
Universitas Sumatera Utara
Jawab : Ada, kendala non teknis yakni komunikasi dan jarang berjumpa.
d.3. Mekanisme Pengambilan Kebijakan
Pada bagian mekanisme pengambilan kebijakan ini peneliti mengajukan dua pertanyaan sebagai berikut :
1. Mekanisme pengambilan kebijakan sesuai Perda No. 17 tahun 2003
menyebabkan dualisme kekuasaan, bagaimana Bapak menyikapi sebagai eksekutif desa?
Jawab : Kami tidak pernah membedakan dan mempermasalahkan persoalan dualisme tersebut karena hanya membuat masalah bagi kami dalam membangun
desa ini. 2.
Apakah sudah ada suatu formula untuk membangun kemitraan yang baik antara BPD dengan Kepala Desa dalam menyikapi persoalan yang ada?
Jawab : Formula menjalin hubungan dengan individu Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa adalah perasaan ingin bersatu, pertemuan yang sifatnya
informal atau silaturahmi karena kami putra asli desa ini, sikap profesional yang tinggi mungkin suatu formula sehingga tidak membawa sentimen pribadi kepada
sikap lembaga yang diambil.
Universitas Sumatera Utara
BAB V ANALISA DATA
A. Persepsi dan Definisi
Dalam indikator ini peneliti melihat bahwa Lembaga Musyawarah Desa LMD Desa Malasin Periode 1996-2001 mengetahui secara intens persoalan yang
terjadi di desa. Dalam kuesioner dapat kita lihat bahwa LMD Periode 1996-2001 lebih mengetahui masalahisu yang berkembang di desa Malasin. Hal ini juga
dibuktikan peneliti dengan pernyataan beberapa orang tokoh masyarakat yang ada di desa Malasin yang menyatakan bahwa LMD Periode 1996-2001 memiliki
pengetahuan yang kuat terhadap masalahisu yang ada di desa Malasin ini pada saat itu karena alasan latar belakang ketertarikan terhadap isu-isu yang rawan
sehingga mereka intens mengikuti. Tokoh masyarakat lain yaitu Bapak M. Basan juga menambahkan bahwa kebanyakan anggota LMD Periode 1996-2001
memiliki rasa tanggung jawab moral dengan mengikuti perkembangan masalah yang terjadi karena mereka anggota LMD yang merupakan representasi
masyarakat. Sedangkan pada Badan Permusyawaratan Desa BPD Desa Malasin Periode 2004-2010 peneliti melihat masih banyaknya anggota BPD yang tidak
mengetahui secara intens persoalan yang terjadi di desa Malasin. Berdasarkan kuesioner dapat kita lihat bahwa BPD Periode 2004-2010 tidak mengetahui
masalahisu yang berkembang di desa Malasin. Kemudian hal ini didukung oleh pernyataan dalam wawancara dengan Kepala Desa bahwa sebenarnya BPD masih
kurang jeli melihat persoalan yang ada di desa Malasin misalnya : masalah pengangguran, masalah hak milik tanah masyarakat, masalah kecemburuan sosial,
masalah pelaksanaan adat istiadat, masalah partisisipasi masyarakat yang kurang
Universitas Sumatera Utara