7
D. MAIZENA
Pati jagung merupakan ingredien penting yang digunakan secara luas pada industri pangan sebagai pengental, penstabil koloid, gelling agent, bulking agent, dan water retention
agent Singh et al. 2003. Dilihat dari perbandingan amilosa dan amilopektin. pati jagung dapat digolongkan menjadi pati jagung biasa, pati jagung berlilin waxy glutinous corn, dan pati
jagung tinggi amilosa high-amylose corn. Tabel 5 berikut memperlihatkan komposisi kimia dari
berbagai tipe pati jagung. Pati jagung diperoleh dari ekstraksi biji jagung dengan metode penggilingan basah. Contoh diagram alir yang memperlihatkan proses penggelingan basah pati
jagung dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 5
. Komposisi kimia pati jagung
Pati Amilosa
Amilopektin Lipid
Protein Fosfat
Normal maizena 25
75 0.80
0.35 0.090
Waxy maizena 100
0.20 0.25
0.024 Amilomaize - V
53 47
0.70 0.30
0.090 Sumber: Robyt 2008
E. PATI
1. Morfologi Granula
Pati merupakan cadangan makanan tanaman berupa polisakarida yang tersimpan pada akar dan biji-bijian serta dalam endosperma kernel biji-bijian. Pati disintesis dalam bentuk
granula yang tersimpan dalam organel selular amiloplas Jacobs dan Delcour 1998. Menurut Tester et al. 2004. granula pati yang disintesis dengan susunan yang bervariasi
pada setiap jaringan dan jenis tanaman. Variasi granula diantaranya adalah diameter ukuran, bentuk, distribusi ukuran, model asosiasi, dan komposisi dipengaruhi asal tanaman Tester et al.
2004. Variasi granula yang dimiliki pada setiap sumber pati mempunyai pengaruh terhadap
gelatinisasi. Misalnya pada pati dengan ukuran granula yang lebih besar memiliki ikatan hidrogen intermolekuler yang lebih mudah putus bila dibandingkan dengan pati yang memiliki granula
yang lebih kecil Wattanachant et al. 2002. Tabel 6 menunjukkan keanekaragaman granula pati
dari beberapa jenis tanaman.
8
Tabel 6 . Karakteristik granula pati dari sumber tanaman berbeda
Pati Tipe
Bentuk Distribusi
Ukuran µm
Maizena waxy dan normal
Serealia Spherical
polihedral Unimodal
2-30 Amylomaize
Serealia Tidak beraturan
Unimodal 2-30
Kentang Umbi
Lentikular Unimodal
5-100 Beras
Serealia Polihedral
Unimodal 3-8 tunggal
150 kumpulan Tapioka
Akar Spherical lentikular
Unimodal 5-45
Sagu Palem
Oval Unimodal
20-40 Gandum
Serealia Lentikular tipe A
Spherical tipe B Bimodal
15-35 2-10
Sumber: Tester dan Karkalas 2002
2. Struktur Granula
Pati disintesis dalam bentuk granula yang tersusun atas lapisan konsentris yang menunjukkan perbedaan kecenderungan indeks refraksi, densitas, kristalinisasi, ketahanan
terhadap hidrolisis asam maupun enzim, serta pertumbuhan lapisan cincin granula French 1984. Pertumbuhan lapisan cincin tersebut muncul pada periode biosintesis dan dipengaruhi fluktuasi
dari rata-rata dan atau mode penyimpanan pada periode tersebut. Model struktur granula
ditunjukkan pada Gambar 3.
Rantai polimer glukosa pada granula pati bergabung satu sama lain melalui ikatan hidrogen yang kuat membentuk kristal atau misela Swinkels 1985. Misela merupakan bagian
molekul linier yang berikatan dengan rantai terluar molekul cabang Pomeranz 1991. Ikatan ini terjadi apabila bagian-bagian linier molekul pati berada pararel satu sama lain. sehingga gaya
ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu Swinkels 1985. Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorphous Pomeranz 1985. Menurut Kaletunç dan Breslauer 2003. zona
amorphous lebih mudah dimasuki oleh air karena strukturnya tidak beraturan. Amilosa sebagian besar berada pada bagian amorphous dari granula pati dan sebagian
kecil menyusun bagian kristalin. Lamella kristalin disusun atas rantai ganda amilopektin yang membentuk jaringan pararel sedangkan titik percabangan amilopektin berada pada zona
amorphous. Zona kristalin lebih resisten terhadap reaksi enzimatis. reaksi kimia dan penetrasi oleh air daripada daerah amorphous pada granula pati. Menurut Hoseney 1998 granula pati
terdiri dari ± 30 daerah kristalin. Senada dengan yang disampaikan Swinkels 1985 bahwa daerah kristalin berbagai varietas pati ± 25-50 dari total granula pati.
Menurut Taggart 2004 di bawah mikroskop granula pati akan merefleksikan cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola „maltose cross’ pola silang yang dikenal dengan nama
sifat birefringence. Intensitas birefringence pati sangat tergantung dari derajat dan orientasi kristal. Pati yang mempunyai kadar amilosa tinggi intensitas birefringence-nya lemah jika
dibandingkan dengan pati dengan kadar amilopektin tinggi Hoseney 1998. Kehilangan sifat birefringence disebabkan pecahnya molekul pati yang dipengaruhi oleh panas. Penetrasi panas
menyebabkan peningkatan derajat ketidakteraturan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta penurunan sifat kristal Hoseney 1998.
9
Gambar 3 . Struktur granula pati Tester et al. 2004
A Penyusunan mikrokristalin granula yang terpisah oleh pertumbuhan cincin amorphous
B Perbesaran tampilan daerah amorphous dan kristalin C Struktur heliks ganda yang dibentuk dari cabang amilopektin yang meningkatkan lamella kristalin di mana titik percabangan berada
pada daerah amorphous. Difraksi sinar X telah digunakan untuk mengungkap karakteristik dari struktur kristalin
granula pati Hoover 2001. Tiga pola sinar X yang berbeda yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A- merupakan karakteristik utama dari granula pati serealia. tipe B- terdapat pada umbi-umbian dan
pati dengan kadar amilosa tnggi. dan tipe C ditemukan pada umbi polong-polongan.umbi-umbian. dan beberapa pati yang berasal dari buah maupun batang. Tipe C merupakan intermedit antara
pola A dan B Tester et al. 2004. Tipe kristal pada kristalin umumnya dipengaruhi oleh panjang rantai CL [tipe A CL 19.7;
tipe B CL ≥ 21.6; dan beberapa pati dengan panjang rantai CL antara 20.3 hingga 21.3 menunjukkan tipe A, B, atau C] Hoover 2001. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan kristalin adalah suhu pertumbuhan. alkohol dan asam lemak
Hoover 2001. Struktur kristal tipe A- dan tipe B- ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 . Struktur kristal tipe A dan tipe B Tester et al. 2004
Hoover 2001 mengungkapkan bahwa heliks ganda pada tipe A dan tipe B memiliki kesamaan ditinjau dari struktur heliksnya. tapi keduanya memiliki perbedaan jika dilihat dari
model pengepakan heliks dan air pada kristal. Pengepakan heliks ganda pada kristal tipe A cenderung lebih kompak dengan kandungan air yang lebih sedikit. sementara tipe B memiliki
struktur yang lebih terbuka dengan memiliki inti heliks terhidrasi sebagaimana yang ditunjukkan
pada Gambar 4. Penyusunan granula pati dapat bervariasi yang dikarenakan oleh letak hilum
Tester et al. 2004. Tipe kristal pada granula pati dapat berubah yang sebagaimana pada pati
10
maizena yang berubah dari tipe A ke tipe B. Perubahan ini disebabkan adanya penurunan pada kristalinitas yang diikuti dengan kenaikan kandungan amilosa Cheetam dan Tao 1998.
3. Amilosa dan Amilopektin
Granula pati terdiri atas dua molekul yang dapat dipisahkan dengan air panas. amilosa dan amilopektin. yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Fraksi terlarut disebut amilosa dan
fraksi tidak larut disebut amilopektin Winarno 2002. Gambar 5 memperlihatkan struktur
amilosa dan amilopektin. Perbedaan antara kedua makromolekul tersebut terletak pada pembentukan percabangan pada struktur liniernya, ukuran derajat polimerisasi, ukuran molekul,
dan pengaturan posisi pada granula pati.
Gambar 5 . Struktur amilosa dan amilopektin Robyt 2008
Amilosa tersusun atas molekul D- glukopiranosa yang berikatan α-1,4 dalam struktur
rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri atas 3000 unit D-glukopiranosa. Menurut Taggart 2004. amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai
polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana dapat membentuk interaksi molekular yang kuat pada gugus hidroksil. Pembentukan ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada
amilosa daripada amilopektin. Interaksi antar gugus hidroksil tersebut akan membentuk jaringan tiga dimensi ketika molekul berasosiasi ketika pendinginan. karakteristik inilah yang berperan
dalam pembentukan gel pada pemasakan dan pendinginan pasta pati. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa sehingga
amilopektin biasanya menjadi komponen utama dari pati. Rasio amilosa dan amilopektin dari berbagai jenis sumber pati sangat bervariasi. berkisar antara 17-70 amilosa dan 30-83
amilopektin seperti yang dinyatakan Robyt 2008. Rasio amilosa dan amilopektin tersebut berpengaruh terhadap sifat dan derajat gelatinisasi pati. Selain itu. menurut Robyt 2008 molekul
amilopektin memiliki rantai distribusi yang berbeda-beda A, B, dan C yang ditentukan oleh panjang rantai pada molekul amilopektin. Rasio molar dari panjang pendeknya rantai amilopektin
dipengaruhi sumber pati dan varietasnya. Amilopektin terdiri atas molekul D-
glukosa yang berikatan α-1,4 dan mengandung ikatan α-1,6 pada percabangan rantainya. Amilopektin juga dapat membentuk kristal. tetapi
tidak sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal Taggart 2004. Pati yang memiliki persentase amilopektin yang tinggi akan
11
mengentalkan suspensi tetapi tidak membentuk gel. hal ini karena molekul tidak berasosiasi dan membentuk ikatan kimia seperti molekul amilosa. Sehingga dapat dikatakan semakin banyak
amilopektin. maka akan semakin kental pasta pati yang dihasilkan dan semakin banyak amilosa maka akan semakin kokoh gel yang terbentuk.
F. GELATINISASI PATI
Pomeranz 1991 menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Gelatinisasi diawali dengan pembengkakan
granula bersifat tidak dapat balik irreversible yang dipengaruhi oleh suhu dan kadar air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta kondisi pemanasan dan tipe granula pati Huang dan
Rooney 2001. Pembengkakan granula disebabkan difusi air ke dalam granula yang diikuti dengan masuknya air ke daerah amorphous. yang akhirnya mengakibatkan pembengkakan
granula secara menyeluruh. Pelunakan struktur pada zona amorphous diperlukan sebelum peleburan struktur pada zona kristalin pada granula terjadi Jacobs dan Delcour 1998.
Fenomena tersebut diikuti dengan hilangnya formasi silang birefrigence yang diamati pada mikroskop dengan cahaya terpolarisasi Robyt 2008. Winarno 2004 menyatakan bahwa
suhu di mana sifat birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal
gelatinisasi. Terlihat pada Tabel 7 bahwa suhu gelatinisasi pada suatu suspensi dari berbagai
sumber pati merupakan kisaran. Perbedaan suhu gelatinisasi ini berkaitan dengan perbedaan karakteristik granula yang bervariasi yaitu ukuran, bentuk, dan energi yang diperlukan untuk
pengembangan.
Tabel 7 . Suhu gelatinisasi beberapa sumber pati
Sumber pati Suhu gelatinisasi
o
C
a
Normal maizena 62-80
Waxy maize 63-72
Amylomaize
b
66-170 Kentang
58-65 Tapioka
52-65 Gandum
52-85
a
Diukur dari suhu gelatinisasi awal untuk menyempurnakan pemastaan
b
Di bawah kondisi umum pemasakan. larutan dipanaskan mencapai 95-100
o
C. tetapi pati amylomaize belum membentuk kekentalan. Pemastaan pasting tidak terjadi hingga suhu
mencapai 160-170
o
C
Sumber: Fennema 1996 Selain itu. suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh ukuran amilosa dan amilopektin serta
keadaan media pemanasan. Perubahan struktural yang terjadi selama gelatinisasi meliputi perubahan bentuk dan ukuran granula, absorpsi air dan pembengkakan granula, peleburan
struktur kristalin, keluarnya amilosa dari granula, dan perusakan struktur granula ~85
o
C Jacobs dan Delcour 1998 yang diakibatkan meningkatnya pergerakan molekul dalam granula pati
sehingga dapat memecah ikatan hidrogen dan hidrofobik antar molekul dalam daerah kristalin
12
granula pati. Perubahan struktural yang terjadi demikian merupakan peristiwa pemastaan pasting yang merupakan kelanjutan dari gelatinisasi.
1. Faktor yang Mempengaruhi Gelatinisasi
Gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang bergantung pada jenis pati. konsentrasi pati yang digunakan, suhu pemastaan pasting, atau suhu awal terjadinya
gelatinisasi, ukuran granula pati, presentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul pati di dalam granula, tipe granula, prosedur pemasakan suhu, pH, waktu, agitasi,
metode, dan keberadaan komponen lain Pomeranz 1985; Moorthy 2004; Swinkels 1985. Menurut Winarno 1992. suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin
kental larutan. suhu tersebut akan semakin lambat tercapai. sampai suhu tertentu kekentalan tidak berubah. bahkan kadang-kadang menurun. Selanjutnya menurut Winarno 1992. Pati dengan
butir yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang lebih rendah daripada butir pati berbutir kecil. Hal ini dikarenakan granula pati yang lebih besar mempunyai ikatan hidrogen
intermolekuler yang lebih lemah. Menurut Wurzburg 1968 pemasakan di bawah pH 5 atau di atas pH 7 cenderung
menurunkan suhu gelatinisasi dan mempercepat proses pemasakan. Menurut Franco et al. 2002 kondisi asam yang tinggi menyebabkan hidrolisis ikatan glukosida pada zona amorphous granula
pati. Hidrolisis ikatan glukosida menyebabkan fragmentasi dan pembentukan dekstrin atau polimer berantai pendek. Hidrolisis molekul pati terjadi pada absorpsi air yang minim pada
granula yang mengakibatkan pengenceran pada pasta yang dipanaskan maupun ketidakkompakan struktur pada gel yang dikarenakan pemutusan ikatan hidrogen. Hal ini senada dengan pernyataan
Charley 1982 bahwa asam organik seperti asam sitrat, asam malat, dan asam tartarat yang ditambahkan dalam proses dapat membantu pemutusan ikatan hidrogen sehingga menyebabkan
menurunnya kekentalan pasta pati. breakdown yang lebih cepat dan menurunnya kekuatan gel. Sementara pada pH yang sangat tinggi seperti yang diutarakan Eliasson dan Gudmundsson 2006
akan terjadi cold gelatinization di mana granula pati akan mengembang pada suhu ruang dan amilosa akan larut.
Penambahan sejumlah gula terutama disakarida sukrosa dan laktosa dari susu akan menurunkan viskositas pasta dan firmness dari produk pati yang dipanaskan maupun yang
didinginkan. Gula turut menghambat absorpsi air oleh granula sehingga pembengkakan menjadi tidak sempurna. Seperti juga garam. gula akan meningkatkan temperatur gelatinisasi secara
signifikan pada konsentrasi di atas 60. Komposisi kimia lain pada granula pati seperti lemak dan protein juga dapat
mempengaruhi proses gelatinisasi. Adanya lemak dan protein yang menutupi atau mengadsorpsi pada permukaan granula pati dapat menyebabkan gangguan pada hidrasi dan viskositas pati.
Lemak merupakan penahan air sehingga air tidak dapat mudah berpenetrasi selama proses gelatinisasi. Akibatnya granula pati tidak membengkak sempurna dan amilosa yang keluar
menjadi lebih sedikit, sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta pati dan menurunnya kekuatan gel. Sedangkan protein dapat menyelimuti granula pati membentuk kompleks dengan
amilosa sehingga dapat menghambat pengembangan dan pati menjadi sukar tergelatinisasi Kilara 2006.
Pengaruh kondisi pemasakan seperti agitasi dan temperatur juga turut mempengaruhi proses gelatinisasi. Agitasi atau stirring yang diberikan pada awal maupun selama proses
gelatinisasi memberikan pengembangan granula dan memberikan suspensi yang lebih seragam.
13
Namun. pengadukan berlebih setelah gelatinisasi dapat merusak granula sehingga menyebabkan suspensi menjadi encer. Gelatinisasi sempurna terjadi pada suhu hingga 203
o
F 95
o
C. walaupun pati memiliki suhu gelatinisasi yang beragam tergantung sumber dan varietas patinya. Lama
pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan pati menjadi encer yang dikarenakan pergerakan berlebih granula pati yang menyebabkan kerusakan. Jenis panas yang diaplikasikan seperti panas
lembab dibutuhkan untuk terjadinya gelatinisasi. Sedangkan panas kering dapat menyebabkan pati terhidrolisis. pembentukan dekstrin. warna coklat.
dan aroma „panggang‟. Walaupun demikian, efek pencoklatan tersebut diinginkan dalam produk tertentu Vaclavik dan Christian
2008.
2. Profil Gelatinisasi
Karena gelatinisasi pati merupakan proses endotermik. Differential Scanning Calorimetry DSC dapat mengukur baik temperatur maupun entalpi gelatinisasi. DSC telah lama
digunakan untuk mempelajari temperatur gelatinisasi pati. DSC mengukur perubahan temperatur gelatinisasi [onset [T
o
], midpoint [T
p
], conclusion [T
c
], dan entalpi ∆H]. Noda et al. 1996
mempostulasikan parameter DSC T
o
, T
p
, T
c
, dan ∆H yang dipengaruhi arsitektur molekul pada
daerah kristalin yang berhubungan pada distribusi amilopektin rantai pendek DP 6-11 dan bukan oleh proporsi daerah kristalin yang berhubungan pada rasio amilosa-amilopektin.
Jane et al. 1999 menambahkan bahwa T
o
rendah merupakan ciri pati dengan proporsi rantai cabang amilopektin pendek yang lebih besar. T
p
mengindikasikan arsitektur granula kualitas zona kristalin yang mana pati dengan suhu puncak tinggi menunjukkan proporsi rantai
panjang yang lebih besar pada molekul amilopektin sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk mendisosiasi granula secara menyeluruh Karim et al. 2007. Sementara perubahan
entalpi ∆H yang terjadi selama gelatinisasi umumnya dikarenakan hilangnya susunan heliks ganda dan bukan dikarenakan hilangnya kristalinitas. Namun demikian. Hoover 2001
menyatakan bahwa ∆H menggambarkan keseluruhan kristalinitas kualitas dan jumlah kristalit pati dari amilopektin. Moorthy 2004 menambahkan bahwa
∆H berkaitan dengan kristalinitas. ikatan intermolekuler. kecepatan pemanasan pada suspensi. dan komposisi kimia pati.
Gernat et al. 1993 menyatakan bahwa jumlah heliks ganda pada pati native sangat berhubungan kuat dengan kandungan amilopektin. dan kristalinitas granula meningkat dengan
adanya amilopektin. Gelatinisasi dan pengembangan granula dipengaruhi oleh struktur molekul amilopektin panjang rantai, percabangan, berat molekul, dan polidispersitas, komposisi pati
rasio amilosa-amilopektin, komplek amilosa-lipid, dan kandungan fosfor, dan arsitektur granula rasio daerah kristalin-amorphous sebagaimana yang dinyatakan Tester 1997.
3. Profil Amilografi
Ditinjau dari sifat reologinya. pati yang tergelatinisasi memiliki sifat mengalir sehingga dapat diukur nilai kekentalannya. Tetapi setelah proses gelatinisasi selesai. maka sifatnya dapat
menjadi lebih elastis gel sehingga yang dapat diukur adalah nilai kekuatan gelnya. Dalam beberapa kondisi, pati yang tergelatinisasi juga dapat bersifat viskoelastik. Viskositas merupakan
karakteristik pati yang membuatnya aplikatif di banyak industri, seperti pengental. Meski demikian. sifat fungsional granula pati sangat beragam tergantung jenis pati yang digunakan.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari karakteristik fungsional pati untuk
14
menentukan pati mana yang akan digunakan dalam pengolahan. Tabel 8 menunjukan
karakteristik pasta dari berbagai jenis pati.
Tabel 8 . Karakteristik pasta berbagai jenis pati
Karakteristik Normal
maize Waxy
maize Amylomaize
Kentang Tapioka
Gandum
Viskositas relatif
Medium Medium- tinggi
Sangat rendah Sangat
tinggi Tinggi
Rendah Reologi pasta
a
Pendek Panjang
kohesif Pendek
Sangat panjang
Panjang kohesif
Pendek Kejernihan
pasta Opak
Sedikit keruh
Opak Jernih
Jernih Opak
Retrogradasi Tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi Medium
hingga rendah
Medium Tinggi
a
“Aliran pendek short flow” dimiliki pati dengan sifat pseudoplastic dan menunjukkan shear-thinning dan larutan yang kental. Sementara pati dengan “aliran panjang long flow” hampir menunjukkan shear-
thinning yang sangat kecil dan cenderung tidak ada.
Sumber : Fennema 1996 Berdasarkan profil yang terbentuk. tipe gelatinisasi pati menurut Collado et al. 2001
dapat digolongkan menjadi empat tipe yaitu A, B, C, dan D. Tipe A memiliki ciri kemampuan pengembangan yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak. namun akan
mengalami penurunan viskositas yang tajam selama pemanasan. Tipe B memiliki kemampuan pengembangan sedang yang ditunjukkan dengan lebih rendahnya viskositas puncak dan
viskositas mengalami penurunan yang tidak terlalu tajam selama pemanasan. Tipe C memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan
viskositas mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mengembang sehingga tidak dapat membentuk pasta apabila
dipanaskan. Pati dengan profil gelatinisasi tipe A sebagaimana yang dinyatakan oleh Herawati 2009
umumnya mempunyai kandungan amilosa yang rendah. Pati dengan kandungan amilosa rendah amilopektin tinggi akan mengalami pengembangan yang tinggi saat tergelatinisasi yang ditandai
dengan tingginya viskositas pasta. Namun apabila pemanasan dilanjutkan. viskositas pasta akan turun dengan tajam. Menurut Wattanachant et al. 2002 pati dengan kandungan amilosa tinggi
akan mengalami pengembangan terbatas karena keberadaan amilosa akan mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang
cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil bahkan dapat mengalami peningkatan sehingga pati tersebut dapat dikategorikan pati
dengan profil gelatinisasi tipe C Collado et al. 2001. Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C adalah kacang hijau, navy bean, dan pinto bean Kim et al. 1996 dan pati yang telah
mengalami modifikasi ikatan silang Wattanachant et al. 2003. Pati dengan kandungan amilosa moderat umumnya mempunyai viskositas puncak yang lebih rendah dari pati dengan profil
gelatinisasi tipe A namun lebih tinggi dari pati dengan profil gelatinisasi tipe C sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B.
15
Perilaku gelatinisasi dan profil pemastaan dari campuran tepung-air dan pati-air dapat dimonitor menggunakan Rapid Visco Analyzer RVA yang merupakan viskometer dengan
pemanasan dan pendinginan sekaligus untuk mengukur resistansi sampel terhadap penanganan dengan pengadukan terkontrol. Prinsip pengukuran RVA sama dengan Brabender Amilograf
hanya saja waktu pengukurannya lebih singkat 15-20 menit. RVA dapat memberikan simulasi proses pengolahan pangan dan digunakan untuk mengetahui pengaruh proses tersebut terhadap
karakteristik fungsional dan struktural dari campuran tersebut. sebagaimana dinyatakan Copeland et al. 2009.
Gambar 6 . Profil RVA pada pati beras Copeland et al. 2009
Gambar 7 . Perubahan granula pati selama pengukuran Fennema 1996
Ketika suspensi pati diaduk dan dipanaskan. granula pati akan menyerap air sehingga terjadi pembengkakan granula yang menyebabkan suspensi pati menjadi mengental. Pati yang
membengkak tersebut akan mudah dipecah oleh pengadukan sehingga viskositas menurun. Pada granula yang membengkak amilosa yang terhidrasi akan berdifusi keluar dari granula dan
bercampur dengan air, fenomena ini akan bertanggung jawab pada beberapa aspek dari perilaku pasta pati. Pada waktu pendinginan, beberapa molekul pati secara parsial akan berasosiasi
kembali untuk membentuk gel. Proses ini dinamakan retrogradasi. Firmness dari gel yang terbentuk tergantung pada pembentukan junction zone. Pembentukan junction zone dipengaruhi
oleh adanya lemak, protein, gula, asam, dan kandungan air Fennema. 1996.
16
G. RETROGRADASI
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pada saat pendinginan beberapa molekul pati yang telah tergelatinisasi akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel.
Gel merupakan sistem cairan yang memiliki sifat seperti solid Hoseney 1998. Interaksi molekular terutama ikatan hidrogen antar rantai pati akan terjadi setelah pendinginan dan
disebut sebagai fenomena retrogradasi. Percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan intermolekuler yang diperlukan untuk pembentukan gel. Sedangkan pati yang mengandung
amilosa. pembentukan ikatan molekulernya akan lebih mudah sehingga terbentuklah struktur jaringan tiga dimensi yang disebut gel pada konsentrasi pati yang lebih rendah Hodge dan Osman
1976 yang disitasi Pangestuti 2010. Dengan terbentuknya struktur jaringan tiga dimensi itu maka air yang tadinya bebas akan terperangkap dalam jaringan itu seperti yang terlihat pada
Gambar 8 . Tipe struktur yang terlihat pada Gambar 8 dikenal dengan struktur misel berumbai
fringed micelle. Rantai pararel yang terbentuk dari sisi ke sisi mengindikasikan pengaturan struktur kristalin dari junction zone. Daerah yang berada diantara junction zone mengandung air
yang terperangkap dalam rantai polimer.
Gambar 8 . Struktur gel Fennema 1996
Kemampuan pati untuk membentuk tekstur pasta atau gel yang kental ketika dipanaskan dalam air merupakan karakter yang penting untuk aplikasi dalam produk. Selain itu. konsentrasi
pembentukan gel juga dipengaruhi oleh pH larutan. Winarno 1992 menyatakan bahwa pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi. pembentukan gel makin cepat
tercapai tapi cepat turun kembali. sedangkan pada pH yang terlalu rendah pembentukan gel akan terjadi lebih lambat dari pH 10, dan jika pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah.
Menurut Hoover 2001 pembentukan awal firmness gel selama retrogradasi terkait dengan formasi matriks gel amilosa dan berikut penurunan firmness gel yang diakibatkan oleh
kristalisasi dapat balik pada molekul amilopektin. Selama retrogradasi, amilosa membentuk asosiasi heliks ganda dari 40-70 unit glukosa Singh dan Singh 2007. sedangkan kristalisasi
amilopektin terjadi akibat asosiasi cabang pendek terluar DP = 15 Singh dan Singh 2007. Pati teretrogradasi menunjukan pola difraksi sinar X tipe B Zobel 1988 yang terdapat zona kristalin
dan amorphous.
17
Firmness gel disebabkan oleh retrogradasi yang berhubungan dengan sineresis dan kristalisasi amilopektin yang menyebabkan terbentuknya gel yang keras Miles et al. 1985. Pati
yang menunjukkan gel yang lebih keras cenderung memiliki kandungan amilosa tinggi dan rantai amilopektin yang lebih panjang Mua dan Jackson 1997. Karakteristik mekanis gel tergantung
pada beberapa hal yaitu karakteristik reologi matriks amilosa, fraksi volume, dan rigiditas dari granula pati yang tergelatinisasi. maupun interaksi antara fase gel yang terdispersi dan kontinu
Hoover 2001. Faktor-faktor tersebut juga tergantung pada kandungan amilosa dan struktur amilopektin Yamin et al. 1999.
Gel pati merupakan sistem yang tidak stabil dan akan mengalami perubahan struktur selama penyimpanan Ferrero et al. 1994. Jika gel dibiarkan selama beberapa hari. air tersebut
dapat keluar dari bahan. Keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut sebagai sineresis Winarno 1992. Sehingga jumlah air yang keluar sineresis dapat digunakan sebagai indikator
kecenderungan terjadinya retrogradasi pada pati Karim et al. 2000. Kecenderungan retrogradasi yang tinggi disebabkan kristalisasi yang terjadi pada molekul amilosa rantai pendek dan
amilopektin rantai panjang Peroni et al. 2006.
H. MODIFIKASI PATI