7
D. MAIZENA
Pati  jagung  merupakan  ingredien  penting  yang  digunakan  secara  luas  pada  industri pangan  sebagai  pengental,  penstabil  koloid,  gelling  agent,  bulking  agent,  dan  water  retention
agent Singh et al. 2003. Dilihat dari perbandingan amilosa dan amilopektin. pati jagung dapat digolongkan  menjadi  pati  jagung  biasa,  pati  jagung  berlilin  waxy  glutinous  corn,  dan  pati
jagung tinggi amilosa high-amylose corn. Tabel 5 berikut memperlihatkan komposisi kimia dari
berbagai  tipe  pati  jagung.  Pati  jagung  diperoleh  dari  ekstraksi  biji  jagung  dengan  metode penggilingan  basah.  Contoh  diagram  alir  yang  memperlihatkan  proses  penggelingan  basah  pati
jagung dapat dilihat pada Lampiran 1. Tabel 5
. Komposisi kimia pati jagung
Pati Amilosa
Amilopektin Lipid
Protein Fosfat
Normal maizena 25
75 0.80
0.35 0.090
Waxy maizena 100
0.20 0.25
0.024 Amilomaize - V
53 47
0.70 0.30
0.090 Sumber: Robyt 2008
E. PATI
1. Morfologi Granula
Pati  merupakan  cadangan  makanan  tanaman  berupa  polisakarida  yang  tersimpan  pada akar  dan  biji-bijian  serta  dalam  endosperma  kernel  biji-bijian.  Pati  disintesis  dalam  bentuk
granula yang tersimpan dalam organel selular amiloplas Jacobs dan Delcour 1998. Menurut Tester et al. 2004. granula pati yang disintesis dengan susunan yang bervariasi
pada  setiap  jaringan  dan  jenis  tanaman.  Variasi  granula  diantaranya  adalah  diameter  ukuran, bentuk, distribusi ukuran, model asosiasi, dan komposisi  dipengaruhi asal tanaman Tester et al.
2004. Variasi  granula  yang  dimiliki  pada  setiap  sumber  pati  mempunyai  pengaruh  terhadap
gelatinisasi. Misalnya pada pati dengan ukuran granula yang lebih besar memiliki ikatan hidrogen intermolekuler  yang  lebih  mudah  putus  bila  dibandingkan  dengan  pati  yang  memiliki  granula
yang lebih kecil Wattanachant et al. 2002. Tabel 6 menunjukkan keanekaragaman granula pati
dari beberapa jenis tanaman.
8
Tabel 6 . Karakteristik granula pati dari sumber tanaman berbeda
Pati Tipe
Bentuk Distribusi
Ukuran µm
Maizena waxy dan normal
Serealia Spherical
polihedral Unimodal
2-30 Amylomaize
Serealia Tidak beraturan
Unimodal 2-30
Kentang Umbi
Lentikular Unimodal
5-100 Beras
Serealia Polihedral
Unimodal 3-8 tunggal
150 kumpulan Tapioka
Akar Spherical lentikular
Unimodal 5-45
Sagu Palem
Oval Unimodal
20-40 Gandum
Serealia Lentikular tipe A
Spherical tipe B Bimodal
15-35 2-10
Sumber:  Tester dan Karkalas 2002
2. Struktur Granula
Pati  disintesis  dalam  bentuk  granula  yang  tersusun  atas  lapisan  konsentris  yang menunjukkan  perbedaan  kecenderungan  indeks  refraksi,  densitas,  kristalinisasi,  ketahanan
terhadap hidrolisis asam maupun enzim, serta pertumbuhan lapisan cincin granula French 1984. Pertumbuhan  lapisan  cincin  tersebut  muncul  pada  periode  biosintesis  dan  dipengaruhi  fluktuasi
dari  rata-rata  dan  atau  mode  penyimpanan  pada  periode  tersebut.  Model  struktur  granula
ditunjukkan pada Gambar 3.
Rantai  polimer  glukosa  pada  granula  pati  bergabung  satu  sama  lain  melalui  ikatan hidrogen  yang  kuat  membentuk  kristal  atau  misela  Swinkels  1985.  Misela  merupakan  bagian
molekul linier yang berikatan dengan rantai terluar molekul cabang Pomeranz 1991. Ikatan ini terjadi  apabila  bagian-bagian  linier  molekul  pati  berada  pararel  satu  sama  lain.  sehingga  gaya
ikatan hidrogen akan menarik rantai ini bersatu Swinkels 1985. Di antara misela terdapat daerah yang renggang atau amorphous Pomeranz 1985. Menurut Kaletunç dan Breslauer  2003. zona
amorphous lebih mudah dimasuki oleh air karena strukturnya tidak beraturan. Amilosa  sebagian  besar  berada  pada  bagian  amorphous  dari  granula  pati  dan  sebagian
kecil  menyusun  bagian  kristalin.  Lamella  kristalin  disusun  atas  rantai  ganda  amilopektin  yang membentuk  jaringan  pararel  sedangkan  titik  percabangan  amilopektin  berada  pada  zona
amorphous.  Zona  kristalin  lebih  resisten  terhadap  reaksi  enzimatis.  reaksi  kimia  dan  penetrasi oleh  air  daripada  daerah  amorphous  pada  granula  pati.  Menurut  Hoseney  1998  granula  pati
terdiri  dari  ±  30  daerah  kristalin.  Senada  dengan  yang  disampaikan  Swinkels  1985  bahwa daerah kristalin berbagai varietas pati ± 25-50 dari total granula pati.
Menurut  Taggart  2004  di  bawah  mikroskop  granula  pati  akan  merefleksikan  cahaya terpolarisasi dan memperlihatkan pola „maltose cross’  pola silang yang dikenal dengan nama
sifat  birefringence.  Intensitas  birefringence  pati  sangat  tergantung  dari  derajat  dan  orientasi kristal.  Pati  yang  mempunyai  kadar  amilosa  tinggi  intensitas  birefringence-nya  lemah  jika
dibandingkan  dengan  pati  dengan  kadar  amilopektin  tinggi  Hoseney  1998.  Kehilangan  sifat birefringence  disebabkan  pecahnya  molekul  pati  yang  dipengaruhi  oleh  panas.  Penetrasi  panas
menyebabkan  peningkatan  derajat  ketidakteraturan  meningkatnya  molekul  pati  yang  terpisah serta penurunan sifat kristal Hoseney 1998.
9
Gambar 3 . Struktur granula pati Tester et al. 2004
A Penyusunan mikrokristalin granula yang terpisah oleh pertumbuhan cincin amorphous
B Perbesaran tampilan daerah amorphous dan kristalin C Struktur heliks ganda yang dibentuk dari cabang amilopektin yang meningkatkan lamella kristalin di mana titik percabangan berada
pada daerah amorphous. Difraksi sinar X telah digunakan untuk mengungkap karakteristik dari struktur kristalin
granula  pati  Hoover  2001.  Tiga  pola  sinar  X  yang  berbeda  yaitu  tipe  A,  B,  dan  C.  Tipe  A- merupakan karakteristik utama dari granula pati serealia. tipe B- terdapat pada umbi-umbian dan
pati dengan kadar amilosa tnggi. dan tipe C ditemukan pada umbi polong-polongan.umbi-umbian. dan  beberapa  pati  yang  berasal  dari  buah  maupun  batang.  Tipe  C  merupakan  intermedit  antara
pola A dan B Tester et al. 2004. Tipe kristal pada kristalin umumnya dipengaruhi oleh panjang rantai CL [tipe A CL  19.7;
tipe B CL ≥ 21.6; dan beberapa pati dengan panjang rantai CL antara  20.3  hingga  21.3  menunjukkan  tipe  A,  B,  atau  C]  Hoover  2001.  Faktor  yang
mempengaruhi  pertumbuhan  kristalin  adalah  suhu  pertumbuhan.  alkohol  dan  asam  lemak
Hoover 2001. Struktur kristal tipe A- dan tipe B- ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 . Struktur kristal tipe A dan tipe B Tester et al. 2004
Hoover  2001  mengungkapkan  bahwa  heliks  ganda  pada  tipe  A  dan  tipe  B  memiliki kesamaan  ditinjau  dari  struktur  heliksnya.  tapi  keduanya  memiliki  perbedaan  jika  dilihat  dari
model  pengepakan  heliks  dan  air  pada  kristal.  Pengepakan  heliks  ganda  pada  kristal  tipe  A cenderung  lebih  kompak  dengan  kandungan  air  yang  lebih  sedikit.  sementara  tipe  B  memiliki
struktur yang lebih terbuka dengan memiliki inti heliks terhidrasi sebagaimana yang ditunjukkan
pada  Gambar  4.  Penyusunan  granula  pati  dapat  bervariasi  yang  dikarenakan  oleh  letak  hilum
Tester  et  al.  2004.  Tipe  kristal  pada  granula  pati  dapat  berubah  yang  sebagaimana  pada  pati
10
maizena yang berubah dari tipe A ke tipe B.  Perubahan ini disebabkan adanya penurunan pada kristalinitas yang diikuti dengan kenaikan kandungan amilosa Cheetam dan Tao 1998.
3. Amilosa dan Amilopektin
Granula  pati  terdiri atas  dua  molekul  yang  dapat  dipisahkan dengan air  panas.  amilosa dan  amilopektin.  yang  dihubungkan  oleh  ikatan  glikosidik.  Fraksi  terlarut  disebut  amilosa  dan
fraksi  tidak  larut  disebut  amilopektin  Winarno  2002.  Gambar  5  memperlihatkan  struktur
amilosa  dan  amilopektin.  Perbedaan  antara  kedua  makromolekul  tersebut  terletak  pada pembentukan  percabangan  pada  struktur  liniernya,  ukuran derajat  polimerisasi,  ukuran molekul,
dan pengaturan posisi pada granula pati.
Gambar 5 . Struktur amilosa dan amilopektin Robyt 2008
Amilosa  tersusun  atas  molekul  D- glukopiranosa yang berikatan α-1,4 dalam struktur
rantai  lurus.  Molekul  amilosa  lengkap  dapat  terdiri  atas  3000  unit  D-glukopiranosa.  Menurut Taggart  2004.  amilosa  memiliki  kemampuan  membentuk  kristal  karena  struktur  rantai
polimernya  yang  sederhana.  Strukturnya  yang  sederhana  dapat  membentuk  interaksi  molekular yang  kuat  pada  gugus  hidroksil.  Pembentukan  ikatan  hidrogen  ini  lebih  mudah  terjadi  pada
amilosa daripada amilopektin. Interaksi antar gugus hidroksil tersebut akan membentuk jaringan tiga  dimensi  ketika  molekul  berasosiasi  ketika  pendinginan.  karakteristik  inilah  yang  berperan
dalam pembentukan gel pada pemasakan dan pendinginan pasta pati. Pati  alami  biasanya  mengandung  amilopektin  lebih  banyak  daripada  amilosa  sehingga
amilopektin  biasanya  menjadi  komponen  utama  dari  pati.  Rasio  amilosa  dan  amilopektin  dari berbagai  jenis  sumber  pati  sangat  bervariasi.  berkisar  antara  17-70  amilosa  dan  30-83
amilopektin  seperti  yang  dinyatakan  Robyt  2008.  Rasio  amilosa  dan  amilopektin  tersebut berpengaruh terhadap sifat dan derajat gelatinisasi pati. Selain itu. menurut Robyt 2008 molekul
amilopektin  memiliki  rantai  distribusi  yang  berbeda-beda  A,  B,  dan  C  yang  ditentukan  oleh panjang rantai pada molekul amilopektin. Rasio molar dari panjang pendeknya rantai amilopektin
dipengaruhi sumber pati dan varietasnya. Amilopektin  terdiri  atas  molekul  D-
glukosa  yang  berikatan  α-1,4  dan  mengandung ikatan  α-1,6  pada  percabangan  rantainya.  Amilopektin  juga  dapat  membentuk  kristal.  tetapi
tidak  sereaktif  amilosa.  Hal  ini  terjadi  karena  adanya  rantai  percabangan  yang  menghalangi terbentuknya kristal Taggart 2004. Pati yang memiliki persentase amilopektin yang tinggi akan
11
mengentalkan suspensi tetapi tidak membentuk gel. hal ini karena molekul tidak berasosiasi dan membentuk  ikatan  kimia  seperti  molekul  amilosa.  Sehingga  dapat  dikatakan  semakin  banyak
amilopektin. maka akan semakin kental pasta pati yang dihasilkan dan semakin banyak amilosa maka akan semakin kokoh gel yang terbentuk.
F. GELATINISASI PATI
Pomeranz  1991  menyatakan  bahwa  gelatinisasi  merupakan  proses  pembengkakan granula  pati  ketika  dipanaskan  dalam  media  air.  Gelatinisasi  diawali  dengan  pembengkakan
granula  bersifat  tidak  dapat  balik  irreversible  yang  dipengaruhi  oleh  suhu  dan  kadar  air, menghasilkan peningkatan viskositas, serta kondisi pemanasan dan tipe granula pati Huang dan
Rooney  2001.  Pembengkakan  granula  disebabkan  difusi  air  ke  dalam  granula  yang  diikuti dengan  masuknya  air  ke  daerah  amorphous.  yang  akhirnya  mengakibatkan  pembengkakan
granula  secara  menyeluruh.  Pelunakan  struktur  pada  zona  amorphous  diperlukan  sebelum peleburan struktur pada zona kristalin pada granula terjadi Jacobs dan Delcour 1998.
Fenomena tersebut diikuti dengan hilangnya formasi silang birefrigence  yang diamati pada mikroskop  dengan  cahaya  terpolarisasi  Robyt  2008.  Winarno  2004  menyatakan  bahwa
suhu  di  mana  sifat  birefringence  granula  pati  mulai  menghilang  dihitung  sebagai  suhu  awal
gelatinisasi.  Terlihat  pada  Tabel  7  bahwa  suhu  gelatinisasi  pada  suatu  suspensi  dari  berbagai
sumber  pati  merupakan  kisaran.  Perbedaan  suhu  gelatinisasi  ini  berkaitan  dengan  perbedaan karakteristik  granula  yang  bervariasi  yaitu  ukuran,  bentuk,  dan  energi  yang  diperlukan  untuk
pengembangan.
Tabel 7 . Suhu gelatinisasi beberapa sumber pati
Sumber pati Suhu gelatinisasi
o
C
a
Normal maizena 62-80
Waxy maize 63-72
Amylomaize
b
66-170 Kentang
58-65 Tapioka
52-65 Gandum
52-85
a
Diukur dari suhu gelatinisasi awal untuk menyempurnakan pemastaan
b
Di  bawah  kondisi  umum  pemasakan.  larutan  dipanaskan  mencapai  95-100
o
C.  tetapi  pati amylomaize  belum  membentuk  kekentalan.  Pemastaan  pasting  tidak  terjadi  hingga  suhu
mencapai 160-170
o
C
Sumber: Fennema 1996 Selain  itu.  suhu  gelatinisasi  dipengaruhi  oleh  ukuran  amilosa  dan  amilopektin  serta
keadaan  media  pemanasan.  Perubahan  struktural  yang  terjadi  selama  gelatinisasi  meliputi perubahan  bentuk  dan  ukuran  granula,  absorpsi  air  dan  pembengkakan  granula,    peleburan
struktur kristalin,  keluarnya amilosa dari granula, dan perusakan struktur granula ~85
o
C Jacobs dan  Delcour  1998  yang  diakibatkan  meningkatnya  pergerakan  molekul  dalam  granula  pati
sehingga  dapat  memecah  ikatan  hidrogen  dan  hidrofobik  antar  molekul  dalam  daerah  kristalin
12
granula  pati.  Perubahan  struktural  yang  terjadi  demikian  merupakan  peristiwa  pemastaan pasting yang merupakan kelanjutan dari gelatinisasi.
1. Faktor yang Mempengaruhi Gelatinisasi
Gelatinisasi  merupakan  fenomena  kompleks  yang  bergantung  pada  jenis  pati. konsentrasi  pati  yang  digunakan,  suhu  pemastaan  pasting,  atau  suhu  awal  terjadinya
gelatinisasi, ukuran granula pati, presentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari molekul  pati  di  dalam  granula,  tipe  granula,  prosedur  pemasakan  suhu,  pH,  waktu,  agitasi,
metode, dan keberadaan komponen lain Pomeranz 1985; Moorthy 2004; Swinkels 1985. Menurut  Winarno  1992.  suhu  gelatinisasi  tergantung  pada  konsentrasi  pati.  Makin
kental larutan. suhu tersebut akan semakin lambat  tercapai. sampai suhu tertentu kekentalan tidak berubah.  bahkan  kadang-kadang  menurun.  Selanjutnya  menurut  Winarno  1992.  Pati  dengan
butir yang lebih besar akan mengembang pada suhu yang lebih rendah daripada butir pati berbutir kecil.  Hal  ini  dikarenakan  granula  pati  yang  lebih  besar  mempunyai  ikatan  hidrogen
intermolekuler yang lebih lemah. Menurut  Wurzburg  1968  pemasakan  di  bawah  pH  5  atau  di  atas  pH  7  cenderung
menurunkan suhu gelatinisasi dan mempercepat proses pemasakan. Menurut Franco et al. 2002 kondisi asam yang tinggi menyebabkan hidrolisis ikatan glukosida pada zona amorphous granula
pati.  Hidrolisis  ikatan  glukosida  menyebabkan  fragmentasi  dan  pembentukan  dekstrin  atau polimer  berantai  pendek.  Hidrolisis  molekul  pati  terjadi  pada  absorpsi  air  yang  minim  pada
granula yang mengakibatkan pengenceran pada pasta yang dipanaskan maupun ketidakkompakan struktur pada gel yang dikarenakan pemutusan ikatan hidrogen. Hal ini senada dengan pernyataan
Charley  1982  bahwa  asam  organik  seperti  asam  sitrat,  asam  malat,  dan  asam  tartarat  yang ditambahkan  dalam  proses  dapat  membantu  pemutusan  ikatan hidrogen  sehingga  menyebabkan
menurunnya  kekentalan  pasta  pati.  breakdown  yang  lebih  cepat  dan  menurunnya  kekuatan  gel. Sementara pada pH yang sangat tinggi seperti yang diutarakan Eliasson dan Gudmundsson 2006
akan  terjadi  cold  gelatinization  di  mana  granula  pati  akan  mengembang  pada  suhu  ruang  dan amilosa akan larut.
Penambahan  sejumlah  gula  terutama  disakarida  sukrosa  dan  laktosa  dari  susu  akan menurunkan  viskositas  pasta  dan  firmness  dari  produk  pati  yang  dipanaskan  maupun  yang
didinginkan. Gula turut menghambat absorpsi air oleh granula sehingga pembengkakan menjadi tidak  sempurna.  Seperti  juga  garam.  gula  akan  meningkatkan  temperatur  gelatinisasi  secara
signifikan pada konsentrasi di atas 60. Komposisi  kimia  lain  pada  granula  pati  seperti  lemak  dan  protein  juga  dapat
mempengaruhi proses gelatinisasi.  Adanya lemak dan protein yang menutupi  atau mengadsorpsi pada  permukaan  granula  pati  dapat  menyebabkan  gangguan  pada  hidrasi  dan  viskositas  pati.
Lemak  merupakan  penahan  air  sehingga  air  tidak  dapat  mudah  berpenetrasi  selama  proses gelatinisasi.  Akibatnya  granula  pati  tidak  membengkak  sempurna  dan  amilosa  yang  keluar
menjadi  lebih  sedikit,  sehingga  menyebabkan  penurunan  viskositas  pasta  pati  dan  menurunnya kekuatan gel. Sedangkan protein dapat menyelimuti granula pati membentuk kompleks dengan
amilosa  sehingga  dapat  menghambat  pengembangan  dan  pati  menjadi  sukar  tergelatinisasi Kilara 2006.
Pengaruh  kondisi  pemasakan  seperti  agitasi  dan  temperatur  juga  turut  mempengaruhi proses  gelatinisasi.  Agitasi  atau  stirring  yang  diberikan  pada  awal  maupun  selama  proses
gelatinisasi  memberikan  pengembangan  granula  dan  memberikan  suspensi  yang  lebih  seragam.
13
Namun. pengadukan berlebih setelah gelatinisasi dapat merusak granula sehingga menyebabkan suspensi menjadi encer. Gelatinisasi sempurna terjadi pada suhu hingga 203
o
F 95
o
C. walaupun pati  memiliki  suhu  gelatinisasi  yang  beragam  tergantung  sumber  dan  varietas  patinya.  Lama
pemanasan yang berlebihan akan menyebabkan pati menjadi encer yang dikarenakan pergerakan berlebih granula pati yang menyebabkan kerusakan. Jenis panas yang diaplikasikan seperti panas
lembab  dibutuhkan  untuk  terjadinya  gelatinisasi.  Sedangkan  panas  kering  dapat  menyebabkan pati  terhidrolisis.  pembentukan  dekstrin.  warna  coklat.
dan  aroma  „panggang‟.  Walaupun demikian,  efek  pencoklatan  tersebut  diinginkan  dalam  produk  tertentu  Vaclavik  dan  Christian
2008.
2. Profil Gelatinisasi
Karena  gelatinisasi  pati  merupakan  proses  endotermik.  Differential  Scanning Calorimetry DSC dapat mengukur baik temperatur maupun entalpi gelatinisasi. DSC telah lama
digunakan untuk mempelajari temperatur gelatinisasi pati. DSC mengukur perubahan temperatur gelatinisasi  [onset  [T
o
],  midpoint  [T
p
],  conclusion  [T
c
], dan  entalpi  ∆H].  Noda  et  al.  1996
mempostulasikan parameter DSC T
o
, T
p
, T
c
, dan ∆H yang dipengaruhi arsitektur molekul pada
daerah  kristalin  yang  berhubungan  pada  distribusi  amilopektin  rantai  pendek  DP  6-11  dan bukan oleh proporsi daerah kristalin yang berhubungan pada rasio amilosa-amilopektin.
Jane et al. 1999  menambahkan bahwa T
o
rendah merupakan ciri pati dengan proporsi rantai  cabang  amilopektin  pendek  yang  lebih  besar.  T
p
mengindikasikan  arsitektur  granula kualitas zona kristalin yang mana pati dengan suhu puncak tinggi menunjukkan proporsi rantai
panjang  yang  lebih  besar  pada  molekul  amilopektin  sehingga  membutuhkan  suhu  yang  lebih tinggi untuk mendisosiasi  granula secara menyeluruh Karim  et al. 2007. Sementara perubahan
entalpi  ∆H  yang  terjadi  selama  gelatinisasi  umumnya  dikarenakan  hilangnya  susunan  heliks ganda  dan  bukan  dikarenakan  hilangnya  kristalinitas.  Namun  demikian.  Hoover  2001
menyatakan  bahwa  ∆H  menggambarkan  keseluruhan  kristalinitas  kualitas  dan  jumlah  kristalit pati dari amilopektin.  Moorthy 2004 menambahkan bahwa
∆H berkaitan dengan kristalinitas. ikatan intermolekuler. kecepatan pemanasan pada suspensi. dan komposisi kimia pati.
Gernat  et  al.  1993  menyatakan  bahwa  jumlah  heliks  ganda  pada  pati  native  sangat berhubungan  kuat  dengan  kandungan  amilopektin.  dan  kristalinitas  granula  meningkat  dengan
adanya  amilopektin.  Gelatinisasi  dan  pengembangan  granula  dipengaruhi  oleh  struktur  molekul amilopektin  panjang  rantai,  percabangan,  berat  molekul,  dan  polidispersitas,  komposisi  pati
rasio amilosa-amilopektin, komplek amilosa-lipid, dan kandungan fosfor, dan arsitektur granula rasio daerah kristalin-amorphous sebagaimana yang dinyatakan Tester 1997.
3. Profil Amilografi
Ditinjau dari sifat reologinya. pati yang tergelatinisasi memiliki sifat mengalir sehingga dapat  diukur nilai  kekentalannya.  Tetapi  setelah proses  gelatinisasi  selesai. maka  sifatnya  dapat
menjadi  lebih  elastis  gel  sehingga  yang  dapat  diukur  adalah  nilai  kekuatan  gelnya.  Dalam beberapa kondisi, pati yang tergelatinisasi juga dapat bersifat viskoelastik. Viskositas merupakan
karakteristik  pati  yang  membuatnya  aplikatif  di  banyak  industri,  seperti  pengental.  Meski demikian.  sifat  fungsional  granula  pati  sangat  beragam  tergantung  jenis  pati  yang  digunakan.
Oleh  karena  itu,  sangat  penting  untuk  mempelajari  karakteristik  fungsional  pati  untuk
14
menentukan  pati  mana  yang  akan  digunakan  dalam  pengolahan.  Tabel  8  menunjukan
karakteristik pasta dari berbagai jenis pati.
Tabel 8 . Karakteristik pasta berbagai jenis pati
Karakteristik Normal
maize Waxy
maize Amylomaize
Kentang Tapioka
Gandum
Viskositas relatif
Medium  Medium- tinggi
Sangat rendah Sangat
tinggi Tinggi
Rendah Reologi pasta
a
Pendek Panjang
kohesif Pendek
Sangat panjang
Panjang kohesif
Pendek Kejernihan
pasta Opak
Sedikit keruh
Opak Jernih
Jernih Opak
Retrogradasi Tinggi
Sangat rendah
Sangat tinggi Medium
hingga rendah
Medium Tinggi
a
“Aliran pendek short flow” dimiliki pati dengan sifat pseudoplastic dan menunjukkan shear-thinning dan larutan  yang  kental.  Sementara  pati  dengan  “aliran  panjang  long  flow”  hampir  menunjukkan  shear-
thinning yang sangat kecil dan cenderung tidak ada.
Sumber : Fennema 1996 Berdasarkan  profil  yang  terbentuk.  tipe  gelatinisasi  pati  menurut  Collado  et  al.  2001
dapat  digolongkan  menjadi  empat  tipe  yaitu  A,  B,  C, dan D.  Tipe  A  memiliki  ciri kemampuan pengembangan  yang  tinggi  yang  ditunjukkan  dengan  tingginya  viskositas  puncak.  namun  akan
mengalami  penurunan  viskositas  yang  tajam  selama  pemanasan.  Tipe  B  memiliki  kemampuan pengembangan  sedang  yang  ditunjukkan  dengan  lebih  rendahnya  viskositas  puncak  dan
viskositas  mengalami  penurunan  yang  tidak  terlalu  tajam  selama  pemanasan.  Tipe  C  memiliki kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan
viskositas mengalami penurunan bahkan dapat meningkat selama pemanasan. Tipe D cenderung tidak  memiliki  kemampuan  untuk  mengembang  sehingga  tidak  dapat  membentuk  pasta  apabila
dipanaskan. Pati dengan profil gelatinisasi tipe A sebagaimana yang dinyatakan oleh Herawati 2009
umumnya  mempunyai  kandungan  amilosa  yang rendah.  Pati  dengan  kandungan amilosa rendah amilopektin tinggi akan mengalami pengembangan yang tinggi saat tergelatinisasi yang ditandai
dengan tingginya  viskositas  pasta.  Namun  apabila  pemanasan  dilanjutkan.  viskositas  pasta  akan turun  dengan tajam.  Menurut  Wattanachant  et  al.  2002  pati  dengan kandungan  amilosa  tinggi
akan  mengalami  pengembangan  terbatas  karena  keberadaan  amilosa  akan  mencegah pengembangan granula pati selama pemanasan. Hal ini ditandai dengan viskositas pasta pati yang
cenderung rendah. Apabila pemanasan dilanjutkan maka viskositas pasta pati tersebut cenderung stabil  bahkan  dapat  mengalami  peningkatan  sehingga  pati  tersebut  dapat  dikategorikan  pati
dengan profil gelatinisasi tipe C Collado et al. 2001. Pati yang memiliki profil gelatinisasi tipe C  adalah  kacang  hijau,  navy  bean,  dan  pinto  bean  Kim  et  al.  1996  dan  pati  yang  telah
mengalami modifikasi ikatan silang Wattanachant et al. 2003. Pati dengan kandungan amilosa moderat  umumnya  mempunyai  viskositas  puncak  yang  lebih  rendah  dari  pati  dengan  profil
gelatinisasi  tipe  A  namun  lebih  tinggi  dari  pati  dengan  profil  gelatinisasi  tipe  C  sehingga digolongkan sebagai pati dengan profil gelatinisasi tipe B.
15
Perilaku  gelatinisasi  dan  profil  pemastaan  dari  campuran  tepung-air  dan  pati-air  dapat dimonitor  menggunakan  Rapid  Visco  Analyzer  RVA  yang  merupakan  viskometer  dengan
pemanasan  dan  pendinginan  sekaligus  untuk  mengukur  resistansi  sampel  terhadap  penanganan dengan  pengadukan  terkontrol.  Prinsip  pengukuran  RVA  sama  dengan  Brabender  Amilograf
hanya saja  waktu pengukurannya lebih singkat 15-20 menit. RVA dapat memberikan simulasi proses  pengolahan  pangan  dan  digunakan  untuk  mengetahui  pengaruh  proses  tersebut  terhadap
karakteristik fungsional dan struktural dari campuran tersebut. sebagaimana dinyatakan Copeland et al. 2009.
Gambar 6 . Profil RVA pada pati beras Copeland et al. 2009
Gambar 7 . Perubahan granula pati selama pengukuran Fennema 1996
Ketika  suspensi  pati  diaduk  dan  dipanaskan.  granula  pati  akan  menyerap  air  sehingga terjadi  pembengkakan  granula  yang  menyebabkan  suspensi  pati  menjadi  mengental.  Pati  yang
membengkak tersebut akan mudah dipecah oleh pengadukan sehingga viskositas menurun. Pada granula  yang  membengkak  amilosa  yang  terhidrasi  akan  berdifusi  keluar  dari  granula  dan
bercampur dengan air, fenomena ini akan bertanggung jawab pada beberapa aspek dari perilaku pasta  pati.  Pada  waktu  pendinginan,  beberapa  molekul  pati  secara  parsial  akan  berasosiasi
kembali  untuk  membentuk  gel.  Proses  ini  dinamakan  retrogradasi.  Firmness  dari  gel  yang terbentuk  tergantung  pada  pembentukan  junction  zone.  Pembentukan  junction  zone  dipengaruhi
oleh adanya lemak, protein, gula, asam, dan kandungan air Fennema. 1996.
16
G. RETROGRADASI
Sebagaimana  yang  telah  dikemukakan  sebelumnya  bahwa  pada  saat  pendinginan beberapa molekul pati yang telah tergelatinisasi akan berasosiasi kembali untuk membentuk gel.
Gel  merupakan  sistem  cairan  yang  memiliki  sifat  seperti  solid  Hoseney  1998.  Interaksi molekular  terutama  ikatan  hidrogen  antar  rantai  pati  akan  terjadi  setelah  pendinginan  dan
disebut  sebagai  fenomena  retrogradasi.  Percabangan  amilopektin  akan  mencegah  terjadinya ikatan intermolekuler yang diperlukan untuk pembentukan gel. Sedangkan pati yang mengandung
amilosa.  pembentukan  ikatan  molekulernya  akan  lebih  mudah  sehingga  terbentuklah  struktur jaringan tiga dimensi yang disebut gel pada konsentrasi pati yang lebih rendah Hodge dan Osman
1976  yang  disitasi  Pangestuti  2010.  Dengan  terbentuknya  struktur  jaringan  tiga  dimensi  itu maka  air  yang  tadinya  bebas  akan  terperangkap  dalam  jaringan  itu  seperti  yang  terlihat  pada
Gambar 8 . Tipe struktur yang terlihat pada Gambar 8 dikenal dengan struktur misel berumbai
fringed  micelle.  Rantai  pararel  yang  terbentuk  dari  sisi  ke  sisi  mengindikasikan  pengaturan struktur kristalin dari  junction zone. Daerah yang berada diantara junction zone mengandung air
yang terperangkap dalam rantai polimer.
Gambar 8 . Struktur gel Fennema 1996
Kemampuan pati untuk membentuk tekstur pasta atau gel yang kental ketika dipanaskan dalam air merupakan karakter yang penting untuk aplikasi dalam produk. Selain itu. konsentrasi
pembentukan  gel  juga  dipengaruhi  oleh  pH  larutan.  Winarno  1992  menyatakan  bahwa pembentukan  gel  optimum  pada  pH  4-7.  Bila  pH  terlalu  tinggi.  pembentukan  gel  makin  cepat
tercapai tapi cepat turun kembali. sedangkan pada pH yang terlalu rendah pembentukan gel akan terjadi lebih lambat dari pH 10, dan jika pemanasan diteruskan viskositas tidak berubah.
Menurut  Hoover  2001  pembentukan  awal  firmness  gel  selama  retrogradasi  terkait dengan  formasi  matriks  gel  amilosa  dan  berikut  penurunan  firmness  gel  yang  diakibatkan  oleh
kristalisasi  dapat  balik  pada  molekul  amilopektin.  Selama  retrogradasi,  amilosa  membentuk asosiasi  heliks  ganda  dari  40-70  unit  glukosa  Singh  dan  Singh  2007.  sedangkan  kristalisasi
amilopektin terjadi akibat asosiasi cabang pendek terluar DP = 15 Singh dan Singh 2007. Pati teretrogradasi menunjukan pola difraksi sinar X tipe B Zobel 1988 yang terdapat zona kristalin
dan amorphous.
17
Firmness  gel  disebabkan  oleh  retrogradasi  yang  berhubungan  dengan  sineresis  dan kristalisasi amilopektin yang menyebabkan terbentuknya gel yang keras Miles  et al. 1985. Pati
yang menunjukkan gel yang lebih keras cenderung memiliki kandungan amilosa tinggi dan rantai amilopektin  yang  lebih  panjang  Mua  dan  Jackson  1997. Karakteristik  mekanis  gel  tergantung
pada  beberapa  hal  yaitu  karakteristik  reologi  matriks  amilosa,  fraksi  volume,  dan  rigiditas  dari granula  pati  yang  tergelatinisasi.  maupun  interaksi  antara  fase  gel  yang  terdispersi  dan  kontinu
Hoover  2001.  Faktor-faktor  tersebut  juga  tergantung  pada  kandungan  amilosa  dan  struktur amilopektin Yamin et al. 1999.
Gel  pati  merupakan  sistem  yang  tidak  stabil  dan  akan  mengalami  perubahan  struktur selama penyimpanan Ferrero et al. 1994. Jika gel dibiarkan selama beberapa hari. air tersebut
dapat keluar dari bahan. Keluarnya cairan dari suatu gel pati disebut  sebagai sineresis Winarno 1992.  Sehingga  jumlah  air  yang  keluar  sineresis  dapat  digunakan  sebagai  indikator
kecenderungan terjadinya retrogradasi pada pati Karim et al. 2000. Kecenderungan retrogradasi yang  tinggi  disebabkan  kristalisasi  yang  terjadi  pada  molekul  amilosa  rantai  pendek  dan
amilopektin rantai panjang Peroni et al. 2006.
H. MODIFIKASI PATI