Strategi Terapi Terapi Nefropati Diabetik

19 d. kadar glycated hemoglobin Hb A1c Uji klinis menunjukkan menjaga kadar Hb A1c 7 akan membantu mencegah perkembangan mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria karena kadar Hb A1c 7 berhubungan dengan penurunan resiko manifestasi nefropati secara struktural dan klinis. e. kadar LDL Pada pasien DM umum kadar LDL kolesterol dijaga 100 mgdl dan 70 mgdl untuk pasien dengan CVD Gross dkk, 2005. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis akan dilakukan bila Clcr mengalami penurunan 30mLmenit1,73m 2 . kriteria untuk memulai dialisis adalah status klinis pasien yang berupa anorexia, mual, dan muntah, yang utamanya bila disertai dengan penurunan berat badan, fatigue, dan penurunan albumin dalam serum, hipertensi yang tidak terkontrol dan congestive heart failure Elwell dan Foote, 2005.

2. Strategi Terapi

a. Terapi nonfarmakologi 1. Diet Terapi nutrisi direkomendasikan untuk semua orang yang menderita DM. Tujuan utamanya adalah mencapai keluaran metabolik yang optimal dan sebagai pencegahan dan terapi untuk komplikasi Triplitt dkk, 2005. Mengganti daging merah dengan daging ayam dalam diet akan menurunkan ekskresi albumin dalam urin sebesar 46 dan menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL, dan apoliprotein B pada pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria Gross dkk, 2005. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 2. Olahraga Olahraga aerobik dapat memperbaiki resistensi insulin dan mengontrol kadar gula darah pada kebanyakan individu, menurunkan faktor resiko kardiovaskular, berperan dalam menurunkan atau menjaga berat badan, dan meningkatkan kesehatan Triplitt dkk, 2005. b. Terapi farmakologi Pengobatan meliputi kontrol tekanan darah. Tindakan ini dianggap paling penting untuk melindungi fungsi ginjal. Biasanya menggunakan penghambat enzim pengonversi angiotensin ACEI atau Angiotensin Converting Enzym Inhibitor dan atau penghambat reseptor angiotensin ARBs Anonim, 2003a. Penghambat ACE menurunkan level protein dalam urin dan memperlambat laju nefropati diabetik. Banyak studi menunjukan Angiotensin Receptor Blockers ARBs memiliki keuntungan yang sama dengan penghambat ACE. Faktanya, kombinasi keduanya mungkin yang terbaik Anonim, 2004b. Selain itu dilakukan pengendalian kadar gula darah dan pembatasan asupan protein 0,6-0,8 gram per kilogram berat badan per hari Anonim, 2003a. Pencegahan yang paling baik untuk nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan tipe 2 adalah mempertahankan tekanan darah tetap normal. Pada pasien DM tipe 1 dan tipe 2 normotensif yang memiliki mikroalbuminuria 30-300 mghari, uji klinik menunjukkan bahwa terapi dengan ACE inhibitor menurunkan laju perkembangan mikroalbuminuria menuju insufisiensi ginjal. Selain itu, mempertahankan glukosa darah mendekati normal dengan terapi secara intensif juga dapat menurunkan resiko nefropati diabetik secara signifikan. Jika end-stage renal disease ESRD PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 berkembang, transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang lebih ditawarkan Genuth, 2003. Tindakan pencegahan yaitu dengan mengontrol kadar gula darah HbA1c 7, mengontrol tekanan darah tekanan darah 12070 mmHg, menghindari zat-zat yang potensial memperparah kerusakan ginjal seperti antiinflamasi nonsteroid dan aminoglikosida Soman, 2006. 1. Obat-obat untuk mengontrol tekanan darah dan untuk albuminuria a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor ACEI Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor bekerja dengan cara menghambat kerja ACE sehingga perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II dapat diblok. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat dan juga menstimulasi sekresi aldosteron. Degradasi bradikinin juga diblok oleh ACEI. Selain itu ACEI menstimulasi sintesis vasodilator lainnya seperti prostaglandin E 2 dan prostasiklin Saseen dan Carter, 2005. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang cepat terutama pada pasien dengan gagal ginjal atau pasien yang mendapat terapi diuretik. ACEI harus diberikan dalam dosis awal yang rendah dan bila mungkin terapi diuretik dihentikan selama beberapa hari sebelum terapi dengan ACEI dimulai Anonim, 2000. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar pasien tetapi bukan berarti tidak memiliki efek samping. ACEI menurunkan aldosteron dan dapat menaikkan konsentrasi kalium dalam serum Saseen dan Carter, 2005. Efek samping ACEI antara lain hipotensi, pusing, sakit kepala, letih, mual terkadang muntah, diare terkadang konstipasi, kram PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan. Captopril, enalapril, lisinopril, perindropil, dan ramipril termasuk dalam ACEI Anonim, 2000. b. Angiotensin Receptor Blokers ARBs Angiotensin Receptor Blokers bekerja dengan memblok secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 AT 1 yang memperantarai efek angiotensin II pada manusia seperti vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriola eferen glomerulus. ARBs tidak memblok reseptor angiotensin tipe 2 AT 2 . Oleh karena itu, efek menguntungkan dari stimulasi AT 2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel tidak terganggu ketika ARBs digunakan Saseen dan Carter, 2005. Losartan, valsartan, kandesartan, dan irbesartan termasuk ARBs yang spesifik, sifatnya mirip dengan ACEI. Berbeda dengan ACEI, obat-obat golongan ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga tampaknya tidak menimbulkan batuk kering persisten yang biasanya mengganggu terapi dengan ACEI. Karena itu, obat-obat golongan ini merupakan alternatif yang berguna untuk pasien yang harus menghentikan ACEI akibat batuk yang persisten. Efek samping ARBs biasanya ringan. Hipotensi simtomatik dapat terjadi, terutama pada pasien dengan deplesi cairan misal yang mendapat diuretik dosis tinggi. Hiperkalemia kadang-kadang terjadi; angiodema juga dapat terjadi Anonim, 2000. 2. Obat-obat untuk mengontrol kadar gula darah Beberapa antidiabetik yang biasa digunakan untuk mengontrol kadar gula darah dalam terapi DM dapat dituliskan sebagai berikut ini. 23 a. Sulfonilurea Sulfonilurea merupakan terapi farmakologi garis pertama untuk pasien DM tipe 2 yang kadar gula darahnya gagal dikendalikan dengan diet dan olahraga, sampai metformin dan antidiabetik lainnya tersedia di Amerika Serikat Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005. Beberapa derivat sulfonilurea telah dipakai dalam terapi, semua pada dasarnya mempunyai mekanisme kerja yang sama. Obat ini hanya berbeda dalam hal potensi serta farmakokinetik yang mendasari perbedaan masa kerja Handoko dan Suharto, 1995. Sulfonilurea menstimulasi pelepasan insulin dan sel-sel pankreas. Sulfonilurea dipercaya menghambat gerbang ion kalium dan menurunkan potensial membran yang menyebabkan depolarisasi. Kemudian gerbang kalsium akan terbuka, meningkatkan konsentrasi Ca 2+ intraselular. Kenaikan konsentrasi Ca 2+ intraselular akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005. Obat ini membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari sel beta pankreas dan pada saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap rangsang glukosa fisiologik. Ini berarti bahwa obat ini hanya berkhasiat jika produksi insulin tubuh sendiri paling kurang sebagian masih bertahan, atau dengan kata lain obat ini tidak berkhasiat jika tidak ada produksi insulin Mutschler, 1991. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil atau menyusui, dan pasien yang alergi terhadap obat golongan sulfa. Efek samping utama obat ini adalah kenaikan berat badan dan retensi air Ana, 2006. Efek samping lain umumnya ringan dan frekuensinya rendah Anonim, 2000. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 Penggunaan sulfonilurea menunjukkan penurunan komplikasi mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 dalam UK Prospective Diabetes Study Group UKPDS Triplitt dkk, 2005. b. Metformin Biguanida Turunan biguanida telah digunakan sebagai antidiabetika oral. Dari senyawa ini hanya metformin yang masih tersedia. Senyawa-senyawa lain dari golongan ini harus ditarik dari perdagangan karena cukup sering menimbulkan laktasidosis dengan sebagian menyebabkan kematian setelah pemberian sediaan- sediaan ini, khususnya pada penderita insufisiensi ginjal. Metformin pun masih boleh ditulis hanya dengan tindakan yang sangat hati-hati Mutschler, 1991. Metformin bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Jadi, obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen. Karena kerjanya yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat dipertukarkan. Biguanida dapat digunakan sendiri atau bersama dengan golongan sulfonilurea Anonim, 2000. Metformin menurunkan gula darah plasma puasa dan kadar insulin, memperbaiki profil lipid, dan tidak menaikan berat badan Powers, 2001. Secara umum metformin dapat ditoleransi oleh pasien DM. Namun, pada beberapa individu mengalami efek samping di gastrointestinal seperti diare, anoreksia, dan mual. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan menaikkan dosis perlahan-lahan Powers, 2001. Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita dengan penyakit hati berat, penyakit ginjal dengan uremia, dan penyakit jantung kongestif. Pada keadaan gawat sebaiknya juga tidak diberikan biguanida Handoko dan Suharto, 1995. 25 c. Penghambat α-Glukosidase Penghambat α-Glukosidase menurunkan hiperglikemia setelah makan dengan menunda absorpsi glukosa. Golongan ini tidak tergantung penggunaan glukosa atau sekresi insulin Powers, 2001. Penghambat α-Glukosidase bekerja dengan menghambat glukosidase di mukosa usus halus. Enzim glukosidase bertanggungjawab dalam pemecahan polisakarida dan disakarida menjadi glukosa yang dapat diabsorbsi dan monosakarida lainnya. Hasil yang didapat dari penghambatan enzim glukosidase adalah penundaan absorbsi glukosa sehingga konsentrasi gula darah setelah makan dapat diturunkan Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005. Efek samping penggunaan penghambat α-glukosidase yang paling sering dilaporkan adalah produksi gas dalam perut, diare, dan nyeri abdominal. Efek samping ini terjadi karena fermentasi dari karbohidrat yang tidak diabsorbsi dalam usus halus Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005. d. Tiazolidindion Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPAR peroxisome proliferator activated receptor-gamma di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa tiazolidindion juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis Anonim, 2005b. Pioglitazone mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein transporter glukosa sehingga meningkatkan pengambilan glukosa di sel-sel jaringan perifer. Obat ini dimetabolisme di hati. 26 Rosiglitazone bekerja dengan cara yang sama dengan pioglitazone. Obat ini diekskresi melalui urin dan feses Anonim, 2005b. Tiazolidindion dikontraindikasikan untuk penderita DM tipe 1 karena insulin dibutuhkan untuk kerja obat ini. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien gagal jantung karena dapat memperberat edema Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005. e. Meglitinida dan turunan fenilalanin Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya Anonim, 2005b. Repaglinida merupakan turunan asam benzoat dan mempunyai efek hipoglikemik ringan sampai sedang. Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna Anonim, 2005b. Nateglinida merupakan turunan fenilalanin dan memiliki cara kerja yang mirip dengan repaglinida. Obat ini diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas Anonim, 2005b. f. Insulin Insulin tergolong hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari pankreas babi maupun sapi, tetapi kini dapat disintesis dengan teknologi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 rekombinan DNA menggunakan E. coli Anonim, 2000. Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi baik metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Insulin menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa Mutschler, 1991. Ada beberapa bentuk insulin yang tersedia atau tengah dalam penelitian yang ditunjukan pada tabel IV berikut. Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya Powers, 2001. Waktu Aksi No. Sediaan Insulin Onset jam Puncak jam Durasi Efektif jam Durasi Maksimum jam 1. Short-acting Lispro Regular 0,25 0,5-1,0 0,5-1,5 2-3 3-4 3-6 4-6 6-8 2. Intermediate-acting NPH Lente 2-4 3-4 6-10 6-12 10-16 12-18 14-18 16-20 3. Long-acting Ultralente Glargine 6-10 4 10-16 18-20 24 20-24 24 4. Kombinasi 75 NPH, 25 regular 70 NPH, 30 regular 50 NPH, 50 regular 0,5-1 0,5-1 0,5-1 Rangkap Rangkap Rangkap 10-16 10-16 10-16 14-18 14-18 14-18 Keterangan : Glargine memiliki aktifitas puncak minimal. Kebutuhan insulin pada penderita diabetes pada umumnya berkisar antara 5-150 unit sehari tergantung dari keadaan penderita Handoko dan Suharto, 1995. Pada setiap pengobatan insulin terdapat bahaya hipoglikemik akibat kelebihan dosis. Seorang penderita diabetes yang berpengalaman, yang mengenali secara dini gejala pertama penurunan kadar gula darah yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28 berlebihan, dapat mengimbangi kelebihan dosis insulin dengan mengkonsumsi makanan yang kaya akan karbohidrat. Pada kasus yang parah dilakukan pengobatan dengan pemberian glukosa secara parenteral Mutschler, 1991. Efek samping dari insulin adalah reaksi alergi. Reaksi ini dapat terjadi secara sistemik atau lokal. Reaksi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada penggunaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberapa menit atau jam dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptik yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit, angioudem, gangguan gastrointestinal mual, muntah, diare, dan gangguan pernafasan sesak nafas, asma Handoko dan Suharto, 1995.

3. Rekomendasi ADA

Dokumen yang terkait

Evaluasi penatalaksanaan terapi pasien diabetes mellitus komplikasi hipertensi rawat inap periode 2005 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

1 18 117

Evaluasi pengobatan pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus/gangren di instalansi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Juli-Desember 2005.

2 6 161

Evaluasi penatalaksanaan terapi pasien diabetes mellitus dengan komplikasi stroke di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih periode tahun 2005.

0 1 101

Evaluasi penatalaksanaan terapi pasien diabetes mellitus dengan komplikasi stroke di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih periode tahun 2005 - USD Repository

0 0 99

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005 SKRIPSI

0 0 149

Evaluasi pengobatan pasien diabetes melitus dengan komplikasi ulkus/gangren di instalansi rawat inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Juli-Desember 2005 - USD Repository

0 0 159

Evaluasi penatalaksanaan terapi pasien diabetes mellitus komplikasi hipertensi rawat inap periode 2005 Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta - USD Repository

0 0 115

EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI

0 0 100

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien diabetes melitus tipe 2 non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Januari 2009-Maret 2010 - USD Repository

0 2 120

Evaluasi penatalaksanaan terapi pasien diabetes melitus komplikasi hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Mei 2008- Mei 2009 - USD Repository

0 1 115