Proyeksi Kebutuhan Bahan Bakar Pembangkit Listrik
80
OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2016
Proyeksi bauran bahan bakar pembangkit listrik selama rentang waktu 2014-2050 masih didominasi oleh bahan
bakar batubara untuk kedua skenario dengan pangsa antara 55-58. Sebaliknya kebutuhan bahan bakar minyak turun
drastis, dari 16 tahun 2014 menjadi kurang dari 2 tahun 2050. Sisanya diisi bahan bakar gas maupun bahan bakar
berbasis EBT. Disisi lain, untuk kebutuhan bahan bakar gas pada kedua skenario, baik di PLTGU, PLTG maupun PLTMG,
terlihat bahwa pangsanya diprediksi cenderung menurun cukup besar, dari 20 tahun 2014 menjadi hanya dikisaran
13 tahun 2050. Ini menunjukkan pasokan gas bumi pada pembangkit listrik kurang optimal. Sedangkan kebutuhan
EBT untuk pembangkit listrik diprediksi naik lebih tiga kali lipat, dari 9 pada tahun 2014 menjadi 30 pada akhir
periode studi.
Total efesiensi pembangkit listrik nasional pada tahun 2014, yaitu perbandingan antara produksi listrik bruto dengan
konsumsi bahan bakar fosil dan EBT mencapai 31,24. Total eisiensi pembangkit listrik nasional diproyeksikan
meningkat bertahap menjadi 32,01 pada tahun 2025 dan 33,59 pada tahun 2050. Peningkatan eisiensi
pembangkit listrik tersebut disebabkan oleh pemanfaatan PLTU batubara ultra supercritical kapasitas 1.000 MW di
Jawa secara bertahap dengan eisiensi sekitar 42, lebih tinggi dari PLTU batubara konvensional yang hanya sekitar
33. Projection of fuel mix for power plant during 2014-2050
periods will still be dominated by coal for both scanarios with share between 55-58. On the other hand, oil utilization
will decrease signiicantly, from 16 in 2014 to become less than 2 in 2050. The rest will be illed with gas and NRE.
Utilization of gas, in both scenarios, for gas combine cycle pp, gas engine pp and gas steam pp, will decline quite large
from 20 in 2014 to only 13 in 2050. This shows that natural gas supply for power generation is less than optimal.
While the use of NRE for electricity generation is predicted to increase three-fold, from 9 in 2014 to 30 at the end of
study period.
Total eficiency of national electricity generation in 2014, which is the ratio between gross electricity production with
fuel fossil and NRE consumption reached 31.24. The total eficiency is projected to increase gradually to 32.01 in
2025 and 33.59 in 2050. The increase in the power plant eficiency is caused by the use of ultra supercritical coal-
ired power plant with capacity of 1,000 MW in Java with eficiency of about 42, much higher than conventional
coal-ired power plant which is only about 33.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
SD ST
SD ST
SD ST
SD ST
SD ST
SD ST
SD ST
SD ST
2014 2020
2025 2030
2035 2040
2045 2050
BatubaraCoal Gas
MinyakOil EBT Termasuk NuklirNRE Including Nuclear
SD : Skenario Dasar Base Scenario ST : Skenario Tinggi High Scenario
Gambar 5.7 Proyeksi bauran bahan bakar pembangkit PLN dan IPP Figure 5.7 Projection of Fuel mix for PLN and IPPs
81
2016 INDONESIA ENERGY OUTLOOK
PLTU batubara akan mendominasi tambahan kapasitas pembangkit listrik yang dibutuhkan selama rentang waktu
2014–2050, pada kedua skenario, dengan pangsa sekitar 58 s.d. 64 atau total penambahan kapasitas sebesar
146 GW skenario dasar dan 205 GW skenario tinggi. Sedangkan pembangkit berbahan bakar gas baik PLTGU,
PLTMG maupun PLTG akan memerlukan tambahan kapasitas dikisaran 35 GW skenario dasar dan 40 GW
skenario tinggi. Selanjutnya, pembangkit listrik berbasis EBT, seperti PLTP dan PLTA untuk kedua skenario, selama
kurun waktu 36 tahun tersebut berturut-turut diprediksi akan memerlukan tambahan kapasitas sebesar 18 GW dan
24 GW. Adapun pembangkit berbasis nuklir diperhitungkan akan masuk ke sistem ketenagalistrikan wilayah Jawa Bali,
dengan tambahan kapasitas total mencapai 6 GW pada tahun 2050. Untuk pembangkit EBT lainnya, seperti PLTS, PLT
biodiesel, PLTB, PLTSa, PLTU biomassa, serta PLT kelautan, prakiraan tambahan kapasitas total adalah dikisaran 21,6
GW untuk skenario dasar, naik 30 menjadi 28,2 GW pada skenario tinggi. Kemudian, beberapa PLTD diproyeksikan
masih dibangun di daerah terpencil, khususnya Indonesia bagian timur. Tambahan total kapasitas PLTD untuk kedua
skenario tersebut sekitar 0,4 GW.
Khusus periode 2015-2019, akan ada tambahan kapasitas pembangkit listrik total sebesar 22,2 GW pada skenario
dasar dan 23,1 GW pada skenario tinggi, lebih rendah dibanding rencana Pemerintah yang sebesar 35 GW. Pada
tahun 2015 terjadi pelambatan ekonomi di Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,79,
sementara tahun 2016 diprediksi hanya dikisaran 5,3. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi proyeksi
kebutuhan listrik nasional, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap tambahan kapasitas pembangkit listrik yang
dibutuhkan. Coal power plant will dominate the additional capacity power
plant during 2014-2050, with share of 58 to 64 or total additional capacity of 146 GW base scenario and 205 GW
high scenario. While gas power plants combine cycle pp, gas steam pp and gas engine pp will require total additional
capacity of 35 GW base scenario and 40 GW high scenario. Furthermore, NRE power plants, such as geothermal and
hydropower, for both scenarios, for a period of 36 years is predicted to have total additional capacity of 18 GW and
24 GW. On the other hand, nuclear pp is estimated to enter the Java-Bali electricity system with additional capacity
up to 6 GW by 2050. Other NRE power plants, e.g. solar, biodiesel, wind, landill, biomass, and ocean pp, will require
total additional capacity up to 21.6 GW for base scenario and increase 30 28.2 GW in high scenario. Diesel power
plants will still be needed in some remote areas, especially in the eastern part of Indonesia. Total additional capacity of
diesel, for both scenarios, will reach approximately 0.4 GW.
For the period 2015-2019, total additional power plant capacity will be amounted to 22.2 GW base scenario and
23.1 GW high scenario, lower than the 35 GW program. Economic slowdown occurred in Indonesia in 2015 with
economic growth of only 4.79, while in 2016, it is predicted to grow 5.3. This will greatly affect the national electricity
demand projections, and in the end will affect the additional power plant capacity.