20
OUTLOOK ENERGI INDONESIA 2016
2.5.2 Permasalahan Ketenagalistrikan
Permasalahan ketenagalistrikan saat ini berkisar pada isu sosial dan hukum, pasokan gas untuk pembangkit, dan
pengembangan EBT. Isu sosial dan hukum terdiri atas pembebasan lahan, perijinan, tuntutan hukum, dan kerja
sama dengan pihak ketiga. Masalah lahan terjadi di hampir semua daerah. Sulawesi, NTT, dan NTB agak lebih mudah.
Sedangkan Jawa, Sumatera, serta Papua adalah wilayah yang paling sulit untuk dibebaskan. Masalah masalah
ini pada dasarnya menghambat pembangunan proyek pembangkit listrik, jaringan transmisi, dan gardu induk
GI. Pembangunan jaringan transmisi yang paling banyak terhambat karena paling banyak butuh lahan. Sebagai
gambaran, menurut PT PLN Persero, setiap satu kilo meter transmisi membutuhkan 3-4 tower. Untuk transmisi 500 kV
dan 150 kV, tiap tower memerlukan lahan berturut-turut sebesar 25x25 meter persegi dan 15x15 meter persegi.
Selanjutnya, pasokan gas untuk pembangkit listrik masih menjadi kendala sampai saat ini. Hal ini terjadi
karena keterbatasan infrastruktur pipa gas dan tidak terintegrasinya jaringan pipa, serta akibat berjauhannya
lokasi sumber gas dengan pembangkit listrik. Selain itu, kurva beban konsumen PLN tidak selalu lat. Ada perbedaan
antara beban dasar dan beban puncak atau biasa disebut luktuasi beban. Sedangkan para pemasok gas melalui pipa
menginginkan pola penyaluran yang lat.
Terakhir adalah pengembangan EBT di Indonesia. Investasi teknologi EBT yang masih tinggi akibat komponen domestik
untuk teknologi ini masih sangat minim. Selain itu, tingkat pengembalian dan perolehan keuntungan relative lama
dan tidak pasti sehingga investasi EBT kurang menarik bagi investor nasional dan asing. Hal ini mengakibatkan nilai EBT
tidak kompetitif dibandingkan dengan energi fosil. Namun pada dasarnya pengembangan EBT ini bukan pilihan.
Ini suatu keharusan dan amanah UU No. 30 tahun 2007 tentang energi. Apalagi dipertegas dengan PP 79 tahun
2014 tentang KEN.
2.5.2 Electricity Issues
The current electricity issues revolve around social and legal issues, gas supply, and NRE development. Social and legal
issues consist of land acquisition, licensing, lawsuits, and cooperation with third parties. Land issues occurs in almost
all regions. The issues are less complicated in Sulawesi, NTT and NTB. While land acquisition in Java, Sumatera and
Papua are very complex. These problems basically obstruct the construction of power plants, transmission networks
and substations. The large amount of land required in transmission network construction has made it the most
badly affected. As illustration, according to PT. PLN Persero, every one kilo meter of electricity transmission requires 3-4
towers. For electrical transmission of 500 kV and 150 kV, each tower requires land of 25x25 square meters and 15x15
square meters respectively.
Furthermore, the gas supply for power plant is also still a problem today. This happens because of the limited
infrastructure and the non-integrated gas pipeline network, as well as the remote location of gas source. In addition, PLN
consumer load curve is not always lat. There is a difference between base load and peak load or referred as load
luctuations. Yet the gas supplier want the lat distribution patterns.
Last but not least is the development of NRE in Indonesia. NRE technology investment is still high due to the small
share of domestic component of the technology. In addition, return rate and proitability are relatively long and uncertain
that makes NRE investment less attractive to national and foreign investors. This resulted in the uncompetitiveness of
NRE compared to fossil energy. However, NRE development is not up for discussion. It is a necessity and mandate of Law
No. 30 of 2007 on energy. It is also reinforced with PP 79 of 2014 on National Energy Policy.