Analisis Isi serial Korea yang Ditayangkan di Televisi Swasta Indonesia Tentang Muatan Budaya Korea yang Terkandung di Dalamnya.

(1)

SKRIPSI

ANALISIS ISI SERIAL KOREA YANG DITAYANGKAN DI

TELEVISI SWASTA DI INDONESIA TENTANG MUATAN BUDAYA

KOREA YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA

Diajukan Oleh :

Natasya Andriani

050904099

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Natasya Andriani

NIM : 050904099 Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Analisis Isi serial Korea yang Ditayangkan di Televisi Swasta Indonesia Tentang Muatan Budaya Korea yang Terkandung di Dalamnya

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Dayana, M.Si Drs. Amir Purba, MA

NIP 196007281987032002 NIP 195102191987011001

Dekan FISIP USU

Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA NIP 196207031987111001


(3)

ABSTRAKSI

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana makna pesan tentang budaya Korea disampilkan dalam bentuk serial atau drama televisi untuk kemudian diperkenalkan kepada masayarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui fenomena serial Korea di Indonesia, untuk mengetahui bagaimana muatan budaya Korea ditampilkan dalam setiap serial-serial Korea yang diteliti, untuk mengetahui apa saja poin-poin yang sering dijadikan bagian atau adegan dalam serial Korea. untuk mengetahui bagaimana serial Korea yang ditayangkan Indosiar dan ANTV memunculkan wacana tentang pengenalan budaya Korea kepada negara-negara tetangganya, dalam hal ini Indonesia. Secara disadari maupun tidak, khalayak selaku penonton serial ini dikenalkan dengan budaya Korea melalui kisah dalam serial-serial produksinya.

Penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, Analisis Isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Metode Analisis Isi dalam penelitian ini bertujuan untuk meneliti atau mengamati bagaimana budaya-budaya negara Korea Selatan dikemas dalam bentuk sebuah drama seri televisi dan sukses karena sangat digemari tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Subjek penelitian ini adalah serial Korea Full House, Hello Mis, Love Story in Harvard, dan Princes Hours. Budaya Korea yang diteliti meliputi budaya material dan non material dalam drama seri televisi tersebut dengan menggunakan metode Analisis Isi Semantik yang meliputi Analisis Penunjukan (designation), Analisis Penyifatan (attributions), dan Analisis Pernyataan (assertions).

Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan, dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari literature, buku-buku serta sumber yang relevan dan mendukung penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adegan-adegan yang ditampilkan dalam serial-serial Korea tersebut merupakan citra dari budaya Korea itu sendiri.


(4)

KATA PENGANTAR Bissmillahirrahmanirrahiim

Alhamdulilahi Rabbil ‘Aalamiin, segala puji hanyalah bagi Allah SWT. Semoga Allah Yang Maha Kuasa senantiasa menggolongkan kita menjadi hamba yang banyak bermanfaat bagi hamba Allah yang lain karena “sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya”. (Al-hadist). Shalawat dan Sallam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW berserta keluarga, sahabat dan ummatnya.

Penulis menyadari segala kelemahan dan kekurangan yang masih terdapat dalam skripsi ini, semoga dengan adanya penyempurnaan berupa kritik, saran dan pendapat dari para pembaca dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca sekalian. Untuk hal tersebut, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama mengerjakan skripsi ini. Penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas waktu, nasihat, dan saran yang telah ibu berikan.

4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si selaku dosen wali penulis.

5. Semua dosen Ilmu Komunikasi maupun dosen-dosen yang pernah membimbing penulis dalam setiap mata kuliah.


(5)

7. Kedua orang tuaku, ayahanda Surianto dan khususnya Ibunda tercinta Florida yang telah memberikan dukungan moril maupun materil serta doa kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan semangatnya kepada penulis

9. Untuk teman-teman angkatan 2005 Ilmu Komunikasi Fisip USU.

Akhir kata penulis memanjatkan doa dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan, dan penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi seluruh pembaca serta berguna bagi yang membutuhkannya. Amin yaa rabbal alamin.

Penulis,


(6)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 8

I.3. Pembatasan Masalah ... 9

I.4. Tujuan Penelitian ... 9

I.5. Manfaat Penelitian... 10

I.6. Kerangka Teori ... 10

I.6.1 Analisis Isi (Content Analysis) ... 10

I.6.2 Komunikasi dan Komunikasi Massa ... 12

I.6.3 Media Massa Televisi ... 13

I.6.4 Teori Triple M ... 14

I.6.5 Kebudayaan dan Kebudayaan Korea ... 15

I.7. Kerangka Konsep ... 17

I.8. Model Teoritis ... 17

I.9. Operasionalisasi Konsep ... 18

I.10. Definisi Operasional ... 19

I.11. Metodologi Penelitian ... 21

I.11.1 Tipe Penelitian... 21

I.11.2 Subjek Penelitian... 22

I.12. Teknik Pengumpulan Data... 22

I.13. Teknik Analisis Data... 23

BAB II URAIAN TEORITIS ... 23

II.1. Analisis Isi (Content Aanlysis) ... 25

II.2. Teori Komunikasi dan Komunikasi Massa ... 28

II.3. Media Massa Televisi ... 38

II.4. Teori Triple M... 39

II.5. Kebudayaan dan Kebudayaan Korea ... 43

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

III.1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 54

III.2. Metode Penelitian ... 47

III.3. Unit dan Level Analisis ... 48

III.4. Metode Pengumpulan Data ... 49

III.5. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 53

IV.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 53

IV.2 Sinopsis Singkat Serial Full House, Hello Miss, Love Story in Harvard, dan Princess Hours ... 57

IV.3 Penyajian Data ... 65

IV.4 Analisa Data... 132


(7)

BAB V PENUTUP

V.1. Kesimpulan ... 187 V.2. Saran ... 188 DAFTAR PUSTAKA... 191 LAMPIRAN


(8)

Daftar Tabel

Tabel I.1 : Definisi Operasionalisasi Konsep ... 19 Tabel I.2 : Klasifikasi Analisis Isi Semantik tentang

Muatan Budaya dalam Serial Korea... 24

Tabel IV.1 : Deskripsi Budaya Korea dalam Serial Full House, Hello Miss, Love Story in Harvard, dan Princess Hours ... 133


(9)

ABSTRAKSI

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana makna pesan tentang budaya Korea disampilkan dalam bentuk serial atau drama televisi untuk kemudian diperkenalkan kepada masayarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui fenomena serial Korea di Indonesia, untuk mengetahui bagaimana muatan budaya Korea ditampilkan dalam setiap serial-serial Korea yang diteliti, untuk mengetahui apa saja poin-poin yang sering dijadikan bagian atau adegan dalam serial Korea. untuk mengetahui bagaimana serial Korea yang ditayangkan Indosiar dan ANTV memunculkan wacana tentang pengenalan budaya Korea kepada negara-negara tetangganya, dalam hal ini Indonesia. Secara disadari maupun tidak, khalayak selaku penonton serial ini dikenalkan dengan budaya Korea melalui kisah dalam serial-serial produksinya.

Penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, Analisis Isi ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif, pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi. Metode Analisis Isi dalam penelitian ini bertujuan untuk meneliti atau mengamati bagaimana budaya-budaya negara Korea Selatan dikemas dalam bentuk sebuah drama seri televisi dan sukses karena sangat digemari tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Subjek penelitian ini adalah serial Korea Full House, Hello Mis, Love Story in Harvard, dan Princes Hours. Budaya Korea yang diteliti meliputi budaya material dan non material dalam drama seri televisi tersebut dengan menggunakan metode Analisis Isi Semantik yang meliputi Analisis Penunjukan (designation), Analisis Penyifatan (attributions), dan Analisis Pernyataan (assertions).

Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan, dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari literature, buku-buku serta sumber yang relevan dan mendukung penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adegan-adegan yang ditampilkan dalam serial-serial Korea tersebut merupakan citra dari budaya Korea itu sendiri.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Fungsi hiburan dari media terus berkembang, dan karena tuntutan pasar, media televisi berusaha menyajikan hiburan yang bisa memenuhi selera umum. Hal ini dapat kita saksikan pada program-program hiburan yang disuguhkan stasiun-stasiun televisi negeri ini; sinetron. Menyampaikan pesan-pesan budaya melalui sinetron merupakan salah satu cara yang sangat efektif. Karena salah satu produk media massa, sinetron sedikit banyak mampu memberikan pengaruh terhadap perkembangan kepribadian masyarakat yang diterpa media tersebut.

Sinetron merupakan suatu tayangan yang dikemas dalam beberapa episode, berisikan tentang kehidupan manusia yang dianggap mewakili citra dan identitas komunitas tertentu yang ditata sedemikian rupa sehingga hasilnya menarik perhatian dan memikat hati penontonnya. Sinetron-sinetron lokal kebanyakan sinetron-sinetron yang bertemakan dunia remaja, keluarga, percintaan, dan kekayaan.

Melihat fungsi televisi sebagai media massa, maka sinetron sebagai salah satu produk tayangan televisi tentunya di samping sebagai hiburan, diharapkan dapat membawa pesan-pesan moral bagi penontonnya, seperti pendidikan, sosial, budaya, perjuangan hidup, dan sebagainya. Selain itu, hal positif yang dapat diberikan oleh sinetron adalah dapat memperkenalkan adat istiadat suatu daerah (yang diangkat untuk menjadi setting atau bisa juga tema cerita) kepada masyarakat Indonesia itu sendiri, sehingga masyarakat Indonesia


(11)

citra bangsa Indonesia di mata dunia. Namun, peneliti melihat tidak ada sinetron yang melakukan hal tersebut. Kebanyakan sinetron hanya menonjolkan konflik yang dibuat-buat seperti pertengkaran antara anak dengan orang tua dimana anak tidak lagi menghormati orang tuanya, membentak orang tua, dendam, kemewahan, dan lain sebagainya. Miris jika kita melihat kondisi pesinetronan kita sendiri dimana para sineas tidak begitu ingin menyelipkan sesuatu yang berbau tradisi atau budaya Indonesia di sela-sela ceritanya. Dengan menyelipkan tema budaya tentunya dapat menambah keindahan dari keseluruhan cerita yang ada pada sinetron daripada hanya menonjolkan konflik-konflik tidak berbobot yang selama ini banyak menghiasi cerita-cerita sinetron tanah air.

Memperkenalkan nilai-nilai tradisi atau budaya lewat tayangan televisi, menjadikan televisi sempurna dalam menjalankan fungsi regeneratif media massa, yakni menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses regenerasi. Acara-acara yang dibuat oleh tim kreatif turut mengajarkan nilai-nilai budaya yang selama ini kita banggakan agar kebudayaan Indonesia selamanya ada di hati bangsanya, khususnya remaja. Karena remaja Indonesia sebagai generasi muda penerus bangsa harus didekatkan pada budaya dan tradisi bangsanya sendiri, bukan budaya dan tradisi bangsa lain. Selain itu juga dapat menjadi alat untuk mempromosikan pariwisata negara kita. Oleh karena itu, media televisi disadari memberikan proses pembelajaran nilai-nilai sosial yang lebih intensif.

Kita mengenal istilah sinetron untuk film-film bersambung yang ditayangkan di televisi. Maka terdapat satu karya sinetron produksi negeri ginseng, Korea Selatan, yang selama ini dikenal dengan sebutan ”serial Korea”. Jadi, kita tidak menyebutnya sinetron melainkan ”serial”. Dari dulu hingga sekarang, serial Korea sangat digemari masyarakat di Indonesia, terutama remaja. Sejak ditayangkannya Endless Love di Indosiar beberapa tahun silam, hingga kini Indosiar rutin menayangkan drama-drama seri Korea yang


(12)

memang sangat digemari di Indonesia. Terdapat lebih dari 20 judul yang telah ditayangkan Indosiar hingga kini, di antaranya The Glass Shoes, Friends, My Love Patzi, All About Eve, Winter Sonata, All In, Summer Scent, Full House, Stairway to Heaven, Sad Love Song, Wonderful Life, Sassy Girl Chun Hyang, Princess Lulu, Lovers in Paris, 18 vs 29, Oh...Feel Young, Jewel in the Palace, Memorries of Bali, Sunshine of Love, Princess Hours, My Girl, Hwang Ji Ni, Hello Miss, Wedding, Coffee Prince, dan drama seri terbaru yang saat ini tengah diputar; Boys Before Flowers dan My Name is Kim Sam Soon. Stasiun televisi swasta lainnya juga pernah menayangkan serial-serial dari negara Asia Timur. SCTV sempat beberapa kali menayangkan serial dari negeri Taiwan, sebutlah At The Dolphin Bay, Twins, dan Snow Angel. RCTI juga pernah menayangkan kembali serial Korea Endless Love dan serial Taiwan Romantic Princess. Stasiun televisi swasta lainnya yang juga pernah menayangkan serial Korea ialah ANTV yang menayangkan Cats on the Roof, Love Story in Harvard, dan My Little Bride. Namun kini RCTI, SCTV, dan ANTV tidak lagi menayangkan drama-drama seri Asia.

Kesuksesan serial-serial Korea membuat rumah-rumah produksi (production house) dalam negeri membuat sinetron yang mencontek serial-serial Korea. Sekarang ini hampir semua sinetron Indonesia yang diputar di berbagai stasiun televisi adalah hasil jiplakan dari drama Asia khususnya India, Jepang, Taiwan dan yang paling banyak menjadi korban jiplakan adalah drama Korea. Sebut saja “Pura-Pura Kawin” yang pernah ditayangkan SCTV merupakan jiplakan dari serial Korea Full House, Benci Bilang Cinta yang juga ditayangkan SCTV merupakan jiplakan serial Korea Princess Hours. “Pengantin Remaja” yang pernah ditayangkan RCTI merupakan jiplakan dari serial Korea My Little Bride. Bahkan sinetron terlaris 2007 “Intan” juga jiplakan dari serial Korea Be Strong Geum Soon. Hingga “Cinta Fitri Season 1” merupakan jiplakan serial Korea Pure 19.


(13)

sangat digemari di Indonesia dan negara-negara lain. Keterampilan dan kreativitas para crew produksinya berhasil memadukan narasi yang menarik, teknik sinematografi yang handal, penggunaan background musik yang mendukung dan kemampuan akting yang memadai, menjadi karya seni populer yang bukan hanya menghibur, namun dapat menyentuh hati dan perasaan para penontonnya, terutama orang Asia.

Selain itu juga, di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin memudarkan nilai-nilai budaya tradisional, drama Korea secara konsisten menampilkan nilai-nilai budaya Korea dan Asia, seperti sopan santun, penghormatan pada orang tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas atau kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dan pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat.

Masyarakat Asia yang telah lama mengkonsumsi budaya populer dari Barat dengan banyaknya tampilan seks dan kekerasan yang vulgar serta hal-hal yang bersifat individualisme, dengan kehadiran serial drama Korea, masyarakat Asia menemukan bentuk budaya populer baru, menampilkan nilai-nilai kultural yang dekat dengan mereka, sehingga mereka dapat merefleksikan serta mengidentifikasi diri mereka di dalamnya.

Drama Korea secara terampil dapat memadukan nilai-nilai tradisional Asia dengan nilai-nilai modern, menjadikan Korea sebagai negara Asia panutan untuk diikuti dan dicontoh, baik secara kultur maupun ekonomi. Melalui drama Korea, para penonton juga diingatkan kembali akan nilai-nilai penghormatan pada orang tua yang mulai menghilang.

Drama televisi tampaknya telah menjadi jendela informasi tentang Korea bagi dunia dan membangun citra positif Korea di mata internasional. Di masa lalu, Korea hanya


(14)

dikenal sebagai sebuah negara dunia ketiga dengan pemerintahan otoriter dan masyarakat yang sangat Patriarkis. Impor drama Korea, salah satunya di Taiwan, berhasil mengubah citra Korea menjadi sebuah negara yang maju secara ekonomi, teknologi, maupun kultural serta berkembang dalam kesetaraan gender. Dalam artikel di internet, para penonton di wilayah Amerika Serikat yang menyaksikan lewat TV kabel, mengatakan kesan positif atas drama Korea dalam menampilkan “romantisme khas Korea” dengan cara yang lembut dan artistik, tanpa melibatkan aktivitas seksual yang vulgar seperti dalam kebanyakan opera sabun Amerika.

Dari beberapa judul serial Korea tersebut yang pernah ditayangkan di televisi, peneliti memilih empat judul serial Korea yang akan dijadikan subjek penelitian ini yang dianggap mewakili citra budaya Korea, yaitu “Full House”, “Hello Miss”, “Love Story in Harvard”, dan “Princess Hours” dengan alasan sebagai berikut :

Indosiar sebagai stasiun televisi yang rutin menayangkan serial-serial Korea sempat vakum menayangkan drama-drama Korea selama satu tahun lebih. Kemudian di tahun 2005 Indosiar menayangkan serial Korea ”Full House”. Full House sendiri merupakan serial terfavorit di negaranya. Dan di Indonesia Full House yang pada saat itu ditayangkan pada pukul 17.00 WIB juga mendapat sambutan baik. Anak-anak sekolah ingin bergegas pulang setelah pelajaran usai karena ingin menyaksikan serial favorit mereka tersebut. Dan tidak hanya remaja putri yang menonton serial ini, melainkan remaja putera, ibu-ibu rumah tangga, wanita karir, hingga para orang tua juga sangat menggemarinya.

Keseharian masyarakat Korea sebagai budaya bangsa Korea yang coba dikenalkan pada bangsanya sendiri maupun pada negara-negara tetangga melalui program acara serial produksi mereka tersebut tampak pada serial “Princess Hours”. Dengan


(15)

pakaian tradisional mereka, dan makanan khas mereka. Serial ini mendapat sambutan baik dari penonton Indonesia. Kesuksesaan serial ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara asal tempat serial ini diproduksi. Princess Hours sendiri mengisahkan tentang perjodohan antara seorang gadis Shin Chae-kyoeng dengan seorang pangeran asal Korea yang berhati dingin Lee Shin. Masalahnya selain enggan dinikahkan, Chae-kyeong mendengar sendiri Lee Shin melamar gadis lain yang juga satu sekolah dengan mereka, Min Hyo-rin. Namun belakangan keduanya setuju untuk menikah, namun diam-diam masing-masing pihak memiliki motivasi berbeda.

Budaya Korea yang kental juga dapat kita saksikan pada serial Korea lainnya yakni “Hello Miss”. Meskipun Hello Miss merupakan serial modern yang tidak menceritakan mengenai Korea tempo dulu, namun mereka tetap memasukkan unsur tradisional di dalam kisah ceritanya. Di sini tampak bagaimana kelihaian dan keseriusan sineas film Korea dalam membuat suatu tontonan yang menghibur namun tetap sarat unsur budaya lokalnya. Tak salah serial Hello Miss yang disutradarai Lee Min-hong ini terpilih sebagai salah satu serial Korea Terbaik di antara 10 pilihan di tahun 2007.

”Love Story in Harvard” merupakan serial drama Korea yang melakukan syuting di luar negeri. Tidak hanya menggunakan bahasa Korea, serial ini juga menggunakan bahasa Inggris. Di sini peneliti melihat bagaimana karakter bangsa Korea yang dinamis dan pintar diperlihatkan dalam mengemas sebuah tema menjadi sebuah kisah yang manis dan menyentuh yang dapat menghibur sekaligus memberikan pesan moral pada penonton tanpa menggurui.

Tentang relevansi mengenai film seri televisi Korea tersebut dengan keadaan kita di Indonesia tentunya sangat jelas, yakni bahwa di bidang perfilman Indonesia bisa belajar dari bangsa Korea yang sepuluh tahun lalu belum apa-apa, namun saat ini bisa menjadi


(16)

contoh kemajuan dunia perfilman di Asia, bahkan mampu bersaing dengan raksasa perfilman asia dari hongkong dan Taiwan.

Film Seri televisi Korea Selatan sangat kuat di tema atau thematic. Message atau pesan dalam setiap film seri yang disuguhkan sangat jelas, sehingga penonton bukan sekedar melihat film dengan alur yang dibuat dramatik, tapi ada pesan yang jelas pada setiap film seri yang menampilkan latar budaya Korea, dan menimbulkan keingintahuan lebih lanjut tentang Korea dan budayanya. Peneliti melihat bahwa tema-tema sinetron kita masih sangat terbatas pada tema percintaan remaja dan kisruh rumah tangga. Memang ada juga film seri televisi kita yang berlatar belakang sejarah, namun lebih menonjolkan laga dan bersifat mistik, tidak mampu melihat tema yang lebih dalam.

Padahal tema-tema film seri Korea tersebut sebetulnya adalah tema yang sangat umum dan pasti bisa digali di bumi Indonesia. Seperti jamu, tarian klasik Jawa, Bali, dan dan daerah-daerah tentunya merupakan tema yang juga sangat menarik. Dari budaya masa lalu Indonesia, kita masih punya banyak budaya bangsa yang bisa ditonjolkan dan tidak kalah dari budaya bangsa lain. Beberapa budaya Jawa yang sudah dapat pengakuan International dari Unesco untuk dilestarikan: Budaya Wayang Kulit dan Keris.

Kita bisa membangun bangsa ini mulai dari budaya masa lalu yang tidak kalah dari bangsa lain manapun di dunia. Yang penting kita sebagai bangsa mulai dari menghargai budaya bangsa sendiri dengan mempelajari dan mengembangkan untuk dimunculkan ke forum Internasional. Sedikit demi sedikit pasti kepercayaan diri dari bangsa Indonesia akan muncul dan berani bersaing dengan bangsa lain di bidang apa saja dan memenangkan persaingan tersebut.

Berdasarkan alasan-alasan yang telah diungkapkan di atas membuat peneliti merasa tertarik untuk melihat bagaimana budaya bangsa Korea coba dikenalkan dalam


(17)

bentuk tayangan drama televisi “Full House”, “Princess Hours”, “Hello Miss”, dan “Love Story in Harvard”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti mengajukan perumusan masalah sebagai berikut :

”Bagaimana budaya Korea ditampilkan dalam bentuk serial atau drama televisi untuk kemudian diperkenalkan kepada masayarakat?”

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti membatasi masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini hanya terbatas pada serial drama Korea ”Full House”, “Hello Miss”, “Love Story in Harvard”, dan “Princess Hours”.

2. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis muatan budaya Korea yang ada pada serial yang akan diteliti.

3. Penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui fenomena serial Korea di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana muatan budaya Korea ditampilkan dalam setiap serial-serial Korea yang diteliti.

3. Untuk mengetahui apa saja poin-poin yang sering dijadikan bagian atau adegan serial Korea.


(18)

4. Untuk mengetahui bagaimana serial Korea yang ditayangkan Indosiar dan ANTV memunculkan wacana tentang pengenalan budaya Korea kepada negara-negara tetangganya, dalam hal ini Indonesia. Secara disadari maupun tidak, khalayak selaku penonton serial ini dikenalkan dengan budaya Korea melalui kisah dalam serial-serial produksinya.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang diterima peneliti selama menjadi mahasiswa Ilmu komunikasu FISIP USU, serta menambah cakrawala pengetahuan dan wawasan peneliti terhadap dunia pertelevisian, khususnya sinetron.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian di bidang Ilmu Komunikasi.

3. Secara praktis, data yang diperoleh dari penelitian ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi pihak produsen di Indonesia dalam meningkatkan mutu sinetron dan dapat mencontoh Korea dalam meperkenalkan, mempromosikan, serta melestarikan budayanya melalui serial-serial drama yang mereka buat.

1.6 Kerangka Teori

Fungsi teori dalam suatu penelitian adalah membantu peneliti menerangkan fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi pusat perhatiannya. Teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Kriyantono, 2006 : 45).


(19)

1.6.1 Analisis Isi (Content Analysis)

Analisis Isi (Content Analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis Isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Analisis Isi adalah setiap prosedur sistematik yang dirancang untuk mengkaji isi informasi terekam. Datanya bisa berupa dokumen-dokumen tertulis, film-film, rekaman-rekaman audio, sajian-sajian video, atau jenis media komunikasi yang lain.

Janis membuat kalsifikasi-klasifikasi untuk metode Analisis Isi (Bungin, 2007 : 157), yakni sebagai berikut :

a. Analisis Isi Pragmatis, dimana klasifikasi dilakukan terhadap tanda menurut sebab akibatnya yang mungkin. Misalnya, berapa kali suatu kata tertentu diucapkan yang dapat mengakibatkan munculnya sikap suka terhadap produk sikat gigi A.

b. Analisis Isi Semantik, dilakukan untuk mengklasifikasikan tanda menurut maknanya. Analisis ini terdiri dari tiga jenis sebagai berikut :

1) Analisis penunjukan (designation), menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, atau konsep) dirujuk. 2) Analisis penyifatan (attributions), menggambarkan frekuensi seberapa

sering karakterisasi tertentu dirujuk (misalnya, referensi kepada ketidakjujuran, kenakalan, penipuan, dan sebagainya).

3) Analisis pernyataan (assertions), menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu dikarakteristikkan secara khusus. Analisis ini secara kasar disebut analisis tematik. Contohnya, referensi terhadap


(20)

perilaku nyontek di kalangan mahasiswa sebagai maling, pembohong, dan sebagainya.

c. Analisis Sarana tanda (sign-vehicle), dilakukan untuk mengklasifikasikan isi pesan melalui sifat psikofisik dari tanda, misalnya berapa kali kata cantik muncul, kata seks muncul.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode ”Analisis Isi Semantik” meliputi Analisis Penunjukan (designatioan), Analisis Penyifatan (attributions), dan Analisis Pernyataan (assertions).

1.6.2 Komunikasi dan Komunikasi Massa

Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Mulyana, 2001 : 136). Selain itu, pengertian komunikasi secara paradigmatis adalah komunikasi yang mengandung tujuan tertentu; ada yang dilakukan secara lisan, tatap muka, atau melalui media, baik media massa seperti surat kabar, radio, televisi, film, maupun media nonmassa seperti surat, telepon, papan pengumuman, poster, spanduk, dan sebagainya. Secara paradigmatis komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior), baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media massa (Effendi, 2004 : 2-4) dan salah satu cara dalam menyampaikan pesan tersebut adalah melalui sinetron ataupun drama televisi.

Komunikasi massa merupakan salah bentuk dari komunikasi itu sendiri. Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi massa dirumuskan Bittner : komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Sistem komunikasi massa itu sendiri mempunyai karakteristik psikologis yang khas. Ini


(21)

tampak pada pengendalian arus informasi, umpan balik, stimulasi alat indera, dan proporsi unsur isi dengan hubungan (Rakhmat, 2005 : 188 – 189). Mengendalikan arus informasi berarti mengatur jalannya pembicaraan yang disampaikan dan yang diterima. Ketika kita menonton sinetron, kita tidak dapat menghentikan apa yang mereka katakan atau lakukan (apalagi menghentikan jalan ceritanya). Kita terpaksa harus mengikuti apa yang mereka tayangkan (bicarakan) dan tidak dapat mengarahkan jalannya cerita. Jika tidak suka kita hanya bisa memencet remote menggantinya ke saluran lain atau mematikan televisi kita, namun kita tidak akan dapat mempengaruhi mereka supaya mengubah jalan ceritanya atau apa yang mereka bicarakan.

Dalam komunikasi, umpan balik dapat diartikan sebagai respons; yakni pesan yang dikirim kembali dari penerima ke sumber, memberitahu sumber tentang reaksi penerima, dan memberikan landasan kepada sumber untuk menentukan perilaku selanjutnya.

1.6.3 Media Massa Televisi

Salah satu fungsi media massa ialah Fungsi Regeneratif, yaitu media massa membantu menyampaikan warisan sosial kepada generasi baru agar terjadi proses regenerasi dari angkatan yang sudah tua kepada angkatan yang lebih muda. Dalam hal ini media massa berperan mengajarkan nilai-nilai budaya yang selama ini kita banggakan agar kebudayaan Indonesia tidak akan punah. Televisi sebagai salah satu media massa memiliki fungsi sebagai alat edukasi, persuasi, dan motivasi yang mudah dan dapat dipahami. Siaran-siaran yang ditampilkan juga menyebabkan banyak perubahan dalam masyarakat karena televisi memiliki sifat-sifat medium, yaitu pesan yang disampaikan mempunyai daya rangsang yang cukup tinggi. Dari sekian banyak acara yang ditayangkan oleh


(22)

televisi-televisi swasta di Indonesia, salah satu tayangan yang banyak merebut perhatian penonton adalah Sinema Asia.

1.6.4 Teori Triple M

Menurut Mowlana, ada tiga unsur penting dalam teori ini, yaitu masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Ketiga unsur tersebut berkaitan satu sama lain membentuk satu segi tiga sebagaimana terlihat dalam gambar berikut :

Gambar 1.1 masyarakat massa

media budaya massa

massa

Teori Triple M memandang media massa merupakan media yang berfungsi sebagai pembagi pesan. Pesan-pesan yang dibagi dan dipertukarkan ke dalam masyarakat itu selalu mengandung nilai dan norma, ide-ide, dan simbol yang mewakili pola pikir, perasaan, dan tindakan suatu masyarakat tertentu. Proses pertukaran pesan melalui media massa didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi yang memerlukan biaya yang semakin mahal sehingga timbullah paham media massa dengan mengandalkan pengeluaran yang kecil namun pesan dapat menyebar luas kepada khalayak.

Secara ringkas teori Triple M menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat di antara tiga aspek masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Hukumnya adalah masyarakat massa melahirkan media massa, media massa melahirkan budaya massa.


(23)

1.6.5 Kebudayaan dan Kebudayaan Korea

Kata kebudayaan berasal dari kata Sansakerta yaitu Buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi atau akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Tetapi ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi daya yang berarti daya dari budi. Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan.

Kebudayaan dalam bahasa latin / Yunani berasal dari kata “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam. Sedangkan pengertian kebudayaan menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Pengertian paling tua mengenai kebudayaan diajukan oleh Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat isitiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Atau seperti kata Hebding dan Glick bahwa kebudayaan dapat dilihat secara material maupun nonmaterial. Kebudayaan material tampil dalam objek material yang dihasilkan, kemudian digunakan manusia. Misalnya, dari alat-alat paling sederhana seperti asesoris perhiasan tangan, leher dan telinga, alat-alat rumah tangga, pakaian, sistem komputer, desain arsitektur. Mesin otomotif, hingga instrumen untuk penyelidikan besar sekalipun. Sebaliknya budaya nonmaterial adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan / keyakinan serta bahasa.


(24)

Secara historis, Korea sangat dipengaruhi kebudayaan Cina. Sekaligus, menjadi perantara masuknya kebudayaan Cina ke Jepang. Korea mengadopsi banyak kesenian Cina yang dipadu dengan inovasi, sehingga membuat kebudayaan Korea berbeda. Masyarakat Korea mulai memasukkan budaya Barat setelah Korea membuka diri pada akhir tahun 1800-an. Selama pemerintahan kolonial Jepang (1910-1945), tradisi kebudayaan lokal sangat dikucilkan. Walau begitu, masyarakat Korea tetap berusaha melestarikan kebudayaan mereka. Masyarakat Korea memberi apresiasi tinggi pada warisan kebudayaan mereka. Pemerintah memberikan dukungan terhadap kesenian tradisional dan kesenian modern, dengan mengucurkan dana dan program pendidikan serta menjadi sponsor bagi kompetisi pameran nasional setiap tahunnya.

Sama seperti Indonesia, budaya Korea meliputi budaya perkawinan, budaya dalam hal keturunan, budaya makanan, kebiasaan/tradisi, kesenian, bahasa, dan peninggalan bersejarah. Pada serial Hello Miss dan Princess Hours meskipun bersetting modern, namun adegan pernikahan tradisional antara tokoh utamanya diperlihatkan dengan jelas. Di serial Korea biasanya konflik antara tokoh utama pria dan wanita tidak jauh-jauh dari urusan pernikahan. Dari dijodohkan (Princess Hours), Pura-pura nikah (Full House), sampai terpaksa menikah (Wonderful Life). Keluarga dan pernikahan dianggap penting bagi orang Korea, karena pada saat orang menikah tali kekeluargaan semakin erat dan masyarakat pun semakin kuat.

1.7 Kerangka Konsep

Kerangka adalah sebagai hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai dan dapat mengantarkan pada perumusan hipotesa (Nawawi, 1995 : 40). Konsep adalah gambaran secara tepat tentang fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk


(25)

menggambarkan secara abstrak tentang suatu kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995 : 57). Kerangka konsep merupakan hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya.

Kerangka konsep pada penelitian ini adalah:

 Drama seri televis Korea Full House dan Hello Miss.

Kategorisasi nilai-nilai budaya berdasarkan perbuatan dan perkataan baik verbal ataupun nonverbal merupakan cerminan nilai-nilai budaya dan norma moral Korea, meliputi:

o Budaya material

o Budaya nonmaterial

1.8 Model Teoritis

Variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut :

Gambar 1.2

1.9 Operasionalisasi Konsep

Operasionalisasi konsep berguna untuk memudahkan kerangka konsep dalam operasionalisasi. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini adalah:

Budaya material (overt material) - Makanan dan minuman Menemukan lambang

/ simbol

Klasifikasi data berdasarkan lambang /

simbol

Prediksi / menganalisis data


(26)

- Upacara pernikahan

- Pakaian tradisional bangsa Korea (Hanbok) - Alat-alat teknologi

- Kesenian :

 Alat musik

 Tari-tarian - Tulisan - Kebiasaan :

 Kebiasaan saat makan dan minum

 Kebiasaan yang sering dilakukan orang Korea di setiap film-filmnya.

Budaya nonmaterial (covert material) meliputi pesan moral dan pelajaran-pelajaran hidup, seperti :

- Menghormati orang tua - Tolong-menolong - Keteguhan hati - Sportivitas

1.10. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara untuk mengukur konsep-konsep. Definisi nilai-nilai budaya yang terdapat pada serial produksi Korea secara umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua bentuk perbuatan dan perkataan baik verbal ataupun nonverbal yang dilakukan oleh seseorang ataupun sekelompok orang yang menggambarkan budaya bangsa Korea.


(27)

Tabel 1.1 : Definisi Operasionalisasi Konsep

NO KONSEP DEFINISI

1 Budaya material (overt material)

Hasil produksi suatu kebudayaan berupa benda yang dapat ditangkap indera, misalnya makanan, pakaian, metode perjalanan, alat-alat teknologi, dan sebagainya. Budaya material tidak hadir dengan sendirinya tetapi dibangun berdasarkan nilai tertentu. Kita dapat membedakan antara overt material yang merefleksikan benda nyata menjadi simbol kebudayaan.

2 Budaya nonmaterial (covert material)

covert material merupakan nilai-nilai utama kebudayaan, yang bersifat abstrak, misalnya nilai keberanian dan kekuasaan. Misalnya, orang Yir Yoront di Australia menjadikan kapak batu sebagai symbol utama suku. Anggota suku itu begitu yakin atas kapak batu yang dapat menjaga tanaman, mengawal rumah, dan menjauhi pemiliknya dari hawa dingin. Pemilik kapak batu dinilai memiliki keberanian, kejantanan, hingga ke pengakuan atas seorang yang patut dituakan. Kapak sebagai artefak adalah budaya material, sedangkan keberanian dan kekuasaan adalah nonmaterial (covert).

3 Kesenian Semua kebudayaan meliputi gagasan dan perilaku yang menampilkan pula segi-segi estetika untuk dinikmati dan itu yang seringkali disebut dengan seni. Menurut Taylor, seni dipandang sebagai sebuah proses yang melatih keterampilan, aktivitas manusia untuk menyatakan atau mengkomunikasikan perasaan atau nilai yang dia miliki.


(28)

4 Bahasa dan Tulisan Dalam studi kebudayaan, bahasa ditempatkan sebagai sebuah unsur penting selain unsur-unsur lain seperti sistem pengetahuan, mata pencaharian, adat istiadat, kesenian, sistem peralatan hidup, dan lain-lain. Bahkan bahasa dapat dikategorikan sebagai unsur kebudayaan yang berbentuk nonmaterial selain nilai, norma, dan kepercayaan (belief).

5 Kebiasaan Hal-hal yang sering dilakukan oleh orang korea sehingga menjadi kebiasaan bagi mereka yang sering muncul dalam serialnya, seperti mencuci baju dengan kaki, mencuci piring dengan menggunakan sarung tangan, menggendong kekasih atau orang lain di punggung belakang, kissing, dan lain sebagainya.

6 Menghormati orang tua Tidak berbicara kasar kepada orang tua, tidak membentak, dan tidak memotong pembicaraan orang tua.

7 Tolong-menonolong Saling membantu sesama manusia yang membutuhkan.

8 Keteguhan hati Kekuatan di dalam diri seseorang yang mendorong untuk mencapai tujuan. Jika seseorang memutuskan untuk tidak menyerah, apapun tantangan yang dihadapinya, maka tidak ada batasan apa yang bisa dicapainya.


(29)

9 Sportifitas Sikap mengakui keunggulan lawan dan menerima kekalahan.

1.11 Metodologi Penelitian 1.11.1 Tipe Penelitian

Analisis Isi dalam penelitian ini adalah model Analisis Isi Kualitatif disebut juga sebagai Ethnographic Content Analysis (ECA), yaitu perpaduan analisis isi objektif dengan observasi partisipan. Analisis isi kulitatif bersifat sistematis, analitis, tapi tidak kaku.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus (fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Analisis data kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil dikumpulkan peneliti di lapangan. Data tersebut dapat terkumpul baik melalui observasi, wawancara mendalam, focus group discussion maupun dokumen-dokumen. Kemudian data tersebut diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu.

Menurut Taylor dan Bogdam, penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang diteliti. Analisis Isi yang bersifat kualitatif menekankan bagaimana peneliti memaknai isi komunikasi secara kualitatif, membaca simbol-simbol, memaknakan isi interaksi simbolik yang terjadi dalam komunikasi. Analisis Isi kulitatif lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori dan lebih memfokuskan untuk melihat pada ”bagaimana” (how), yaitu bagaimana budaya Korea dikemas dan disampaikan kepada masyarakat luas dalam bentuk sebuah serial televisi.


(30)

1.11.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada penelitian ini adalah serial-serial korea yang pernah ditayangkan stasiun televisi swasta di Indosiar, yaitu “Full House”, “Hello Miss”, “Love Story in Harvard”, dan “Princess Hours”.

1.12 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : a. Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menghimpun data

dari buku-buku serta bacaan yang relevan dan mendukung penelitian.

b. Dokumentasi, yaitu menghimpun data dari dokumentasi serial-serial Korea yang dijadikan subjek penelitian.

1.13 Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Maleong (Kriyantono, 2006 : 163) adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang dasarankan oleh data. Bigdan dan Tayllor mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis kerja itu.

Metode penelitian kualitatif ini dimulai dari analisis berbagai data yang terhimpun dari suatu penelitian, kemudian bergerak ke arah pembentukan kesimpulan kategoris atau ciri-ciri umum tertentu. Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Selanjutnya ialah mereduksi data, kemudian dilakukan penafsiran data / pengolahan data untuk menarik kesimpulan.


(31)

Penelitian ini menggunakan klasifikasi yang dibuat Janis serta menggunakan teknik analisis domain Burhan Bungin yang dipadukan dengan kategori yang dibuat Spradley yang disebut dengan ”kategori semantik” yang dimodifikasi.

Tabel 1.2

Klasifikasi Analisis Isi Semantik tentang Muatan budaya dalam Serial Korea Analisis Isi Semantik Defenisi

Analisis Penunjukan (designation) Menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, atau konsep) dirujuk yang memperlihatkan tradisi atau budaya bangsa Korea

Analisis Penyifatan (attributions) Menggambarkan frekuensi seberapa sering karakterisasi tertentu dirujuk yang secara tidak langsung juga memperlihatkan kebiasaan yang telah menjadi budaya masyarakat Korea (misalnya, referensi kepada kerja keras, kenakalan, perilaku seks bebas, dan sebagainya).

Analisis Pernyataan (assertions) Referensi terhadap perilaku nyontek di kalangan mahasiswa sebagai maling, pembohong, dan sebagainya.


(32)

BAB II URAIAN TEORITIS

Teori mempunyai peranan yang besar dalam penelitian, karena teori mengandung tiga hal : pertama, teori adalah serangkaian preposisi atau konsep yang saling berhubungan. Kedua, teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. Ketiga, teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya (Kriyantono, 2006 : 45).

Dalam penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan di antaranya adalah Content Analysis, teori Komunikasi dan Komunikasi Massa, Media Massa Televisi, Teori Triple M, dan Kebudayaan Korea.

II.1 Analisis Isi (Content Analysis)

Logika dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh itu, makna komunikasi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi.

Altheide (Kriyantono, 2006 : 247) menyebut Analisis Isi Kualitatif sebagai Ethnographic Content Analysis (ECA), yaitu perpaduan analisis isi objektif dengan observasi partisipan. Artinya, peneliti berinteraksi dengan material-material dokumentasi atau bahkan melakukan wawancara mendalam sehingga pernyatan-pernyataan yang spesifik dapat diletakkan pada konteks yang tepat untuk dianalisis.

Secara teknik Content Analysis mencakup upaya-upaya : klasifikasi lambang-lambang yang dipakai dalam komunikasi, menggunakan kriteria dalam klasifikasi, dan


(33)

menggunakan teknik analisis tertentu dalam membuat prediksi. Penggunaan Analisis Isi dapat dilakukan sebagaimana Paul W. Massing melakukan studi-studi tentang “The Voice of America”. Analisis Isi didahului dengan melakukan coding terhadap istilah-istilah atau penggunaan kata dan kalimat yang relevan, yang paling banyak muncul dalam media komunikasi. Dalam hal pemberian coding, perlu juga dicatat dalam konteks mana istilah itu muncul. Kemudian, dilakukan klasifikasi terhadap coding yang telah dilakukan. Klasifikasi dilakukan dengan melihat sejauh mana satuan makna berhubungan dengan tujuan penelitian. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk membangun kategori dari setiap klasifikasi. Kemudian, satuan makna dan kategori dianalisis dan dicari hubungan satu dengan lainnya untuk menemukan makna, arti, dan tujuan isi komunikasi itu. Hasil analisis ini dideskripsikan dalam bentuk draf laporan penelitian sebagaimana umumnya laporan penelitian.

Analisis Isi mempunyai pendekatan sendiri dalam menganalisis data. Secara umum, pendekatan ini berasal dari cara memandang obyek analisisnya. Analisis Isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Krippendorff, 1993 : 15).

Sebagai suatu teknik penelitian, Analisis Isi mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemrosesan data ilmiah. Sebagaimana sebuah teknik penelitian, ia bertujuan memberikan pengetahuan, membuka wawasan baru, menyajikan ”fakta” dan panduan praktis pelaksanaannya.

Definisi Krippendorff berusaha mengeksplisitkan objek Analisis Isi. Secara intuitif, Analisis Isi dapat dikarakterisasikan sebagai metode penelitian makna simbolik pesan-pesan. Krippendorff dalam bukunya Content Analysis : Introduction to Its Theory and Methodology memuat klasifikasi Janis dalam Analisis Isi, yaitu :


(34)

1) Analisis Isi Pragmatis ; prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut sebab atau akibatnya yang mungkin. Misalnya, penghitungan berapa kali suatu kata diucapkan, yang dapat mengakibatkan sikap suka terhadap negara Jerman pada audiens tertentu).

2) Analisis Isi Semantik ; prosedur yang mengklasifikasikan tanda menurut maknanya (misalnya, penghitungan berapa kali negara Jerman dijadikan referensi, tidak jadi masalah kata apa yang digunakan untuk menunjukkan referensi itu).

a) Analisis penunjukan (designation) ; menggambarkan frekuensi seberapa sering objek tertentu (orang, benda, kelompok, atau konsep) dirujuk. Analisis ini secara kasar disebut analisis pokok bahasan (subject-matter).

b) Analisis penyifatan (attributions) ; menggambarkan frekuensi seberapa sering karakterisasi tertentu dirujuk (misalnya, referensi kepada ketidakjujuran).

c) Analisis pernyataan (assertions) ; menggambarkan frekeuensi seberapa sering objek tertentu dikarakteristikkan secara khusus. Analisis ini secara kasar disebut analisis tematik.

3) Analisis Sarana tanda (sign-vehicle) ; prosedur yang mengklasifikasikan isi menurut sifat psikofisik dari tanda, misalnya penghitungan berapa kali kata ”Negara Jerman” muncul.

II.2 Teori Komunikasi dan Komunikasi Massa

Komunikasi merupakan sarana vital untuk mengerti diri sendiri, untuk memahami apa yang dibutuhkannya dan apa yang dibutuhkan orang lain, apa pemahaman


(35)

kita, dan apa pemahaman sesama. Oleh karena itu untuk berhubungan dengan manusia lainnya, manusia memerlukan jalinan komunikasi.

Secara epistemologi istilah kata komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari bahasa Latin yakni communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti ”sama” (Mulyana, 2005 : 41). Makna kata ”sama” ini bisa diinterpretasikan dengan ”sama makna”. Jadi, secara sederhana proses komunikasi bermuara pada usaha untuk mendapatkan kesamaan makna atau pemahaman pada subjek yang melakukan proses komunikasi tersebut.

Komunikasi sendiri merupakan kebutuhan naluriah yang ada pada semua makhluk hidup. Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan hasratnya kepada orang lain, merupakan awal dari keterampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui lambang-lambang isyarat (nonverbal), kemudian disusun dengan kemampuan untuk memberi arti setiap lambang-lambang itu dalam bentuk bahasa verbal. Unsur-unsur dalam komunikasi merupakan bagian yang sangat penting dan saling melengkapi satu sama lain dalam sebuah rangkaian sistem yang memungkinkan berlangsungnya suatu aktivitas komunikasi. Dalam sebuah proses komunikasi yang sangat sederhana paling tidak memerlukan tiga unsur, yakni komunikator, pesan, dan komunikan.

Proses pemberian informasi tidak selalu dilakukan melalui kata-kata atau yang dikenal dengan komunikasi verbal, melainkan juga dapat dilakukan melalui komunikasi nonverbal. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu, dan penggunaan lingkungan oleh individu yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima (Mulyana, 2005 : 308).


(36)

Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi. Untuk memperkenalkan ”Korea Selatan merupakan sebuah negeri yang indah dan dinamis” dapat dilakukan lewat komunikasi nonverbal dalam bentuk sebuah drama seri televisi. Dimana dalam serial-serial tersebut penonton diajak menyaksikan beragam jenis kesenian, masakan tradisional, pakaian, serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat Korea. Hal inilah yang coba dikenalkan kepada negara-negara lain melalui komunikasi verbal dan nonverbal, dalam artian mereka tidak harus secara langsung mengatakan bahwa negara mereka adalah sebuah negara yang indah dimana penduduknya sangat dinamis dan kaya akan budaya-budaya yang unik, melainkan cukup dengan menyelipkan adegan-adegan seperti memakai baju Hanbok (pakaian tradisional korea), minum sup rumput laut di hari ulang tahun, memberi salam dengan cara membungkukkan badan, minum arak di warung-warung tenda pinggir jalan, membuat sup kimchi, dan lain sebagainya.

Penonton juga dapat mendengarkan bahasa asli mereka jika menonton serial-serial Korea lewat VCD atau DVD, karena semua serial-serial-serial-serial Korea yang ditayangkan di televisi telah melalui proses dubbing. Penyampaian pesan-pesan budaya mereka juga dilakukan melalui komunikasi verbal tentunya, yakni bahasa Korea. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa itu sendiri dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasan, dan maksud.

Carl I Hovland dalam bukunya Social Communication (Amir Purba, dkk dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi) menyebutkan : communication is the process by which an individual (the communicator) transmit stimuly (usually verbal symbol) to modify the behavior of the individual (communicate), (komunikasi adalah suatu proses dimana


(37)

seorang individu (komunikator) mengirimkan stimuli (biasanya dalam bentuk simbol verbal atau kata-kata) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikan).

Formula Lasswell melengkapi unsur-unsur yang ada dengan memfokuskan analisis pada komunikasi massa dengan menjawab Who (siapa), Says what (berkata apa), In which channel (saluran apa), To whom (kepada siapa), With what effect (dengan efek apa). Dapat dilihat elemen yang ditambahkan dalam proses ini dari tiga menjadi lima, yaitu media (saluran) dan efek atau pengaruh yang diharapkan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur komunikasi terdiri dari sumber (source) dalam hal ini komunikator, pembentukan kode (encoding), pesan (message), saluran (channel), penerima atau komunikan, pembacaan kode (decoding), umpan balik (feedback), efek (effect). Sumber atau komunikator dalam sebuah aktivitas komunikasi adalah seseorang atau sekelompok orang yang bertindak memulai suatu pembicaraan. Serial-serial Korea melalui kegiatan komunikasi baik yang dilakukan para pemerannya (komunikasi verbal) maupun hanya melalui visualisasi berupa tempat-tempat bersejarah, tulisan, dan sebagainya (komunikasi nonverbal) merupakan sumber atau komunikator dalam proses penyampaian pesan ini. Seseorang menjadi komunikator ketika sedang mengirimkan pesan, misalnya sedang berbicara, menulis, menggambar, ataupun sedang melakukan tindakan, gerak-gerik, menampilkan ekspresi wajah, dan sebagainya. Sedangkan penerima (komunikan) adalah orang yang menerima pesan tersebut. Penonton yang menonton sebuah film menjadi komunikan yang menerima pesan-pesan yang disampaikan dalam film yang mereka tonton.

Encoding dan decoding dalam proses komunikasi merupakan dua fungsi yang berbeda namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebagai komunikator akan melakukan fungsi encode (encoding) dan pada saat itu disebut sebagai encoder, sedangkan komunikan melakukan fungsi decode (decoding) yang disebut sebagai decoder. Encoding


(38)

(encode) merupakan suatu tindakan untuk menghasilkan pesan. Fungsi decoding ada pada diri seseorang yang berperan sebagai komunikan (penonton). Tindakan menerima pesan tersebut misalnya membaca, mendengarkan, melihat, mengamati, dan selanjutnya memberikan penafsiran atau interpretrasi terhadap pesan tersebut. Decoding (decode) dapat berarti tindakan membaca dan menginterpretasikan pesan.

Pesan (message) adalah kata verbal tertulis (written) maupun lisan (spoken), isyarat (gestural), gambar (pictorial) maupun lambang-lambang lainnya yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Pesan dalam sebuah film tidak semata-mata disampaikan dalam bentuk kata-kata saja tetapi pesan tersebut juga dapat diungkapkan melalui lambang-lambang atau isyarat dalam bentuk komunikasi nonverbal misalnya orang Korea mengenakan Hanbok (pakaian tradisional Korea) berwarna putih ketika sedang menghadiri upacara kemalangan, akan memberikan pesan turut berduka cita. Cara memberi salam dengan membungkukkan badan juga berbeda-beda menurut usia dan jabatan orang yang dihadapinya, jika sebaya maka hanya dengan membungkukkan badan seadanya saja. Jika orang itu lebih tua atau lebih tinggi jabatannya, membungkukkan badan hingga 90 derajat. Ketika memberi salam kepada tetuah dan pada saat sembahyang menghormati arwah para leluhur mereka, maka cara membungkukkan badannya seperti orang bersujud dengan melipat tangan hingga membentuk seperti segitiga sejajar dahi dengan posisi tangan kiri di atas tangan kanan. Atau juga dalam pergaulan sehari-hari, bangsa Korea biasa minum soju (sejenis arak ; minuman tradisional bangsa Korea) di warung-warung tenda. Ketika menuangkan soju juga memiliki aturan tersendiri. Jika seseorang yang mengajak atau mengundang temannya untuk ”minum” maka dialah yang harus menuangkan arak ke dalam gelas temannya itu, karena jika teman yang diajaknya ”minum” itu menuangkan sendiri arak ke dalam gelasnya akan dianggap tidak sopan.


(39)

Saluran (channel) merupakan media yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Saluran berperan sebagai mata rantai yang harus dilalui pesan untuk sampai kepada tujuan. Jenis saluran berbeda-beda tergantung kepada jenis proses komunikasi yang berlangsung dan jarang sekali menggunakan hanya satu saluran saja. Dalam komunikasi tatap muka, misalnya, proses penyampaian ide, gagasan, atau perasaan seseorang dapat menggabungkan pemakaian beberapa saluran yang berbeda-beda secara simultan, seperti saluran suara, saluran visual, dan sebagainya.

Seluruh saluran tersebut digunakan dalam proses komunikasi secara primer atau langsung (face to face). Proses komunikasi secara primer adalah penyampaian pesan atau lambang-lambang dengan menggunakan media primer, seperti kata-kata atau bahasa (saluran suara) dan penglihatan (saluran visual). Selain proses komunikasi secara primer, proses komunikasi juga berlangsung secara sekunder. Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media (saluran) kedua setelah pemakaian lambang sebagai media pertama. Komunikasi ini disebut juga komunikasi bermedia (mediated communication).

Pada saat komunikasi sedang berlangsung maka pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut akan melakukan fungsi sebagai komunikator maupun komunikan. Fungsi ini akan terus berjalan sepanjang aktivitas komunikasi terus berlangsung. Berlanjut tidaknya aktivitas komunikasi tersebut tergantung kepada umpan balik yang diterima.

Umpan balik adalah informasi yang dikirimkan kembali kepada sumbernya. Umpan balik dapat berasal dari diri sendiri dan dapat pula bersumber dari orang lain. Umpan balik dapat berupa pesan-pesan verbal maupun nonverbal. Umpan balik verbal adalah tanggapan yang dikirimkan oleh komunikan berupa kata-kata baik lisan maupun tulisan. Sedangkan umpan balik nonverbal adalah tanggapan atau respon yang diberikan oleh komunikan berupa pesan yang disampaikan bukan dengan kata-kata tetapi dengan


(40)

isyarat (misalnya dengan menggelengkan kepala, tertawa, menangis), gambar, warna, dan sebagainya.

Efek dalam komunikasi merupakan dampak atau hasil yang dicapai dari sebuah proses komunikasi. Salah satu dampak atau hasil tersebut dapat berupa aspek kognitif, seperti terjadinya peningkatan pengetahuan, kemampuan, intelektual yang semakin baik, wawasan yang semakin luas, meningkatnya kemampuan menganalisis atau melakukan evaluasi terhadap budaya-budaya yang ditonjolkan dalam serial Korea.

Komunikasi massa merupakan salah satu bentuk dari komunikasi itu sendiri. Komunikasi massa merupakan suatu tipe komunikasi manusia (human communication) yang lahir bersamaan dengan mulai digunakannya alat-alat mekanik, yang mampu melipatgandakan pesan-pesan komunikasi. Dalam sejarah publisistik dimulai satu setengah abad setelah ditemukan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (Wiryanto, 2000 : 1). Sejak itu dimulai suatu zaman yang dikenal dengan zaman publisistik atau awal dari era komunikasi massa. Di Amerika Serikat, komunikasi massa sebagai ilmu baru lahir pada 1940-an, ketika para ilmuwan sosial mulai melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah mengenai gejala komunikasi. Di Indonesia gejala komunikasi yang menggunakan media massa ini dipelajari di perguruan tinggi sekitar tahun 1950-an (Wiryanto, 2000 : 1).

Pada dekade sebelum abad ke-20, alat-alat mekanik yang menyertai lahirnya publisistik atau komunikasi massa adalah alat-alat percetakan (press printed) yang menghasilkan surat kabar, buku-buku, majalah, brosur, dan materi cetakan lainnya. Gejala ini makin meluas pada dasawarsa pertama abad ke-20, ketika film dan radio mulai digunakan secara luas. Kemudian disusul televisi pada dekade berikutnya.

Sebagian dari sejumlah besar dari peralatan mekanik itu dikenal sebagai alat-alat komunikasi massa atau lebih populer dengan nama media massa, yang meliputi semua (alat-alat) saluran, ketika narasumber (komunikator) mampu mencapai jumlah penerima


(41)

(komunikan atau audience) yang luas serta secara serentak dengan kecepatan yang relatif tinggi. Begitu eratnya penggnaan peralatan tersebut, maka komunikasi massa dapat diartikan sebagai jenis komunikasi yang menggunakan media massa untuk pesan-pesan yang disampaikan.

Istilah komunikasi massa diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass communication, kependekan dari mass media communication, yang artinya komunikasi dengan menggunakan media massa. Istilah mass communications atau communications diartikan sebagai salurannya, yaitu mass media (media massa). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata massa berarti ”orang banyak”. Namun, dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari sekedar ”orang banyak”. Massa di sini meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa. Mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama, tetapi dapat tersebar atau terpencar di berbagai lokasi yang dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama. Massa juga meliputi semua lapisan masyarakat atau khalayak ramai dalam berbagai tingkat umur, pendidikan, keyakinan, status sosial. Tentu saja yang terjangkau oleh saluran media massa.

Komunikasi massa juga terdiri dari unsur-unsur sumber (source), pesan (message), saluran (channel), dan penerima (receiver), serta efek (effect). Menurut Harold D Lasswell untuk memahami komunikasi massa, kita harus mengerti unsur-unsur itu yang diformulasikan olehnya dalam bentuk pertanyaan, who says what in which channel to whom and with what effect ? Unsur who merupakan sumber utama dalam komunikasi massa, yakni lembaga, organisasi, atau orang yang bekerja dengan fasilitas lemaga atau organisasi. Yang dimaksud dengan lembaga atau organisasi dalam hal ini atau penelitian ini adalah perusahaan atau stasiun televisi. Pesan-pesan komunikasi massa (unsur says what) dapat diproduksi dalam jumlah yang sangat besar dan dapat menjangkau audiens


(42)

yang sangat banyak jumlahnya. Charles Wright (Wiryanto, 2000 : 5) memberikan karakteristik pesan-pesan komunikasi sebagai berikut :

a. Publicity

Pesan-pesan komunikasi massa pada umumnya tidak ditunjukkan kepada perorangan-perorangan tertentu yang eksklusif, melainkan bersifat terbuka untuk umum atau publik.

b. Rapid

Pesan-pesan komunikasi massa dirancang untuk mencapai audiens yang luas dalam waktu yang singkat dan simultan.

c. Transient

Pesan-pesan komunikasi massa umumnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan segera, dikonsumsi ”sekali pakai” dan bukan untuk tujuan-tujuan bersifat permanen. Namun, ada pengecualian seperti buku-buku, film, transkripsi-transkripsi radio, dan rekaman-rekaman audiovisual.

Unsur in which channel menyangkut semua peralatan mekanik yang digunakan untuk menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi massa. Media dalam penelitian ini yang memiliki kemampuan tersebut adalah televisi. Unsur to whom menyangkut sasaran-sasaran komunikasi massa, yakni penonton yang sedang menikmati serial Korea. Unsur with what effect sesungguhnya ”melekat” pada unsur audiens. Efek adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam diri audiens sebagai akibat terpaan pesan-pesan media. David Berlo (Wiryanto, 2000 : 9) mengklasifikasikan efek atau perubahan ini ke dalam tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan behavioral. Aspek kognitif merupakan efek atau perubahan dalam ranah pengetahuan. Misalnya dengan menonton serial Korea timbul pengetahuan tentang negera Korea dan kebiasaan masyarakatnya dan wawasan penonton pun bertambah tentang Korea. Aspek afektif berhubungan dengan perubahan sikap, dari yang tidak suka menjadi


(43)

suka terhadap suatu hal, dan sebaliknya. Citra positif Korea yang berusaha dibangun dalam setiap produksi serial mereka, sedikit banyak telah berhasil membentuk sikap positif terhadap para penonton di seluruh dunia. Jepang, misalnya, bangsa Jepang Jepang selama ini kita ketahui sangat antipati terhadap Korea, namun lewat serial Winter Sonata, pandangan mereka sungguh banyak berubah terhadap ”negeri ginseng” tersebut. Dengan menampilkan citra positif Korea, bagaimana kebiasaan-kebiasaan unik masyarakatnya, tempat-tempat wisata yang indah, beragam kuliner yang membangkitkan selera dalam setiap serial-serial yang mereka buat sedikit banyak juga telah membuat penonton ingin berwisata ke negeri itu dan mencicipi masakannya. Hal ini dinamakan aspek behavioral.

Wilbur Schramm menyatakan, komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder. Pendapat Schramm pada dasarnya tidak berbeda dengan pendapat Harold D Lasswell (Wiryanto, 2000 : 11) yang menyebutkan fungsi-fungsi komunikasi massa sebagai berikut :

a. Surveillance of the environment ; pengamatan lingkungan.

b. Correlation of the parts of society in responding to the environment ; menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungannya. c. Transmission of the social heritage from one generation to the next ; penerusan

atau pewarisan sosial dari satu generasi ke generasi selanjutnya. II.3 Media Massa Televisi

Dari semua media komunikasi yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. Sebanyak 99 % orang Amerika memiliki televisi di rumahnya. Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, televisi, dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari (Ardianto, 2004 : 125).

Televisi mengalami perkembangan secara dramatis, terutama melalui pertumbuhan televisi kabel. Transmisi program televisi kabel menjangkau seluruh pelosok


(44)

negeri dengan bantuan satelit dan diterima langsung pada layar televisi di rumah dengan menggunakan wire atau microwave (wireless cable) yang membuka tambahan saluran televisi bagi pemirsa. Televisi tambah marak lagi setelah dikembangkannya Direct Broadcast Satellite (DBS).

Televisi sebagai media massa mempunyai banyak kelebihan dalam penyampaian pesan-pesannya dibanding media massa lainnya, karena pesan-pesan yang disampaikan disertai gambar dan suara secara bersamaan dan hidup, aktual, serta dapat menjangkau ruang yang sangat luas, televisi dapat mencapai pemirsa yang banyak dalam waktu yang relatif singkat.

Daya tarik televisi semakin diperkuat dengan adanya unsur visual. Gambar hidup ini mampu meninggalkan kesan yang mendalam bagi penontonnya. Saat ini televisi banyak menyajikan acara hiburan yang mampu menarik perhatian penonton, seperti sinetron. Dan serial Asia, khususnya Korea. Memperkenalkan budaya bangsa Korea kepada bangsanya sendiri maupun kepada bangsa lain di seluruh dunia setidaknya berusaha untuk melaksanakan fungsi media massa, social heritage, yakni transmisi warisan sosial yang berfokus pada komunikasi pengetahuan, nilai-nilai, dan norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi yang lain atau dari anggota-anggota suatu kelompok kepada para pendatang baru.

Kehadiran media massa televisi juga dapat menghilangkan perasaan dan menumbuhkan perasaan tertentu. Seseorang bisa memiliki perasaan positif atau negatif pada media tertentu. Dengan disuguhkannya secara terus menerus serial Korea dapat menyebabkan masyarakat Indonesia terutama remaja merasa lebih dekat dengan budaya bangsa Korea ketimbang budaya bangsa sendiri. Penonton lebih ingin memakai baju Han Buk dibanding batik, lebih ingin pandai dalam membuat Kimchi dibandingkan masakan nusantara yang tak kalah lezatnya dibanding masakan Korea, dan lain sebagainya, hal ini


(45)

karena serial-serial Korea lebih banyak memuat tradisi-tradisi mereka dengan tampilan visual yang menarik, sedangkan sinetron kita sangat jarang yang menonjolkan sisi budaya bangsa Indonesia. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat televisi sebagai media massa yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan budaya dan melestarikan budaya bangsa tidak dimanfaatkan secara maksimal.

II.4 Teori Triple M

Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan, dan mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T. Hall, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

Tema tentang komunikasi bukan hal baru, namun ia menjadi lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep ”antarbudaya”. Istilah antarbudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language (Liliweri, 2001 : 1). Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaan konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana adanya. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an intoduction to the theory and practice) pada 1960. Menurut Berlo, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor


(46)

SMCR, yaitu sources, message, channel, dan receiver. Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berartai kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda.

Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian kita segera dihadapkan pada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Alo Liliweri dalam bukunya Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya mengartikan komunikasi sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal maupun nonverbal yang dipahami bersama.

Ada dua bentuk simbol dalam pengertian komunikasi yang dikemukakan Alo Liliweri yakni verbal dan nonverbal. Manusia melahirkan pikiran, perasaan, dan perbuatan melalui ungkapan kata-kata yang kita sebut verbal. Kalau kata-kata itu diucapkan disebut verbal-vokal, kalau dengan tulisan disebut verbal-visual. Selain itu ada juga simbol nonverbal untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan perbuatan yang disampaikan bukan dengan kata-kata melainkan memakai gerakan-gerakan anggota tubuh, ekspresi wajah, pakaian, waktu, dan ruang / jarak fisik, dan lain-lain.

Sekitar tahun 1980-an sebagian ahli komunikasi massa mulai menaruh perhatian terhadap hubungan antara media massa dengan kebudayaan. Teori Triple M adalah salah satu teori yang menggambarkan hubungan antara media massa dengan masyarakat hingga terbentuknya budaya massa. Definisi komunikasi antarbudaya itu sendiri menurut Stewart


(47)

adalah komunikasi yang terjadi di bawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat, dan kebiasaan.

Menurut Mowlana (Liliweri, 2001 : 67) ada tiga unsur penting dalam teori ini, yaitu masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Ketiga unsur tersebut berkaitan satu sama lain membentuk satu segi tiga sebagaimana terlihat dalam gambar berikut :

masyarakat massa

media budaya massa

massa

Dalam segitiga ini kita bisa melihat hubungan antara individu dalam masyarakat massa ibarat ”titik singgung” yang tidak diatur secara organik. Teori Triple M memandang media massa merupakan media yang berfungsi sebagai pembagi pesan. Pesan-pesan yang dibagi dan dipertukarkan ke dalam masyarakat itu selalu mengandung nilai-nilai dan norma, ide-ide, dan simbol yang mewakili pola pikir, perasaan, tindakan suatu masyarakat tertentu yang kita kenal dengan kebudayaan.

Ketika masyarakat ingin supaya media harus memenuhi keinginan mereka yang sama, perasaan yangn sama, emosi, pikiran-pikiran yang rasional yang sama. Pada saat ini berarti media sudah menciptakan suatu budaya massa. Proses penukaran pesan melalui media massa didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi yang memerlukan biaya yang semakin mahal sehingga timbullah paham media massa dengan mengandalkan pengeluaran yang kecil namun pesan dapat menyebar luas kepada khalayak.

Secara ringkas teori Triple M menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat di antara tiga aspek masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Hukumnya adalah masyarakat massa melahirkan media massa, media massa melahirkan budaya massa.


(48)

Selanjutnya, budaya massa yang terbentuk dalam konteks ini tidak lain mengacu pada berbagai perilaku yang bersumber dari nilai, norma, ide-ide, serta simbol-simbol dari masyarakat massa tersebut. Nilai, norma, ide, simbol masyarakat itu dipertukarkan melalui media dan didukung oleh perkembangan teknologi media yang semakin maju. Kerapkali nilai-nilai itu malah mengubah ide-ide dasar yang dimiliki oleh suatu masyarakat, hanya karena media lebih mementingkan aspek komersial atau daya jual di pasar khalayak massa.

Arti budaya massa kerap dipergunakan sebagai tanda terhadap suatu produk budaya yang "memassa", misalnya seni, musik, opera, komedi, dan produksi material yang disebarluaskan media massa sehingga menjadi komoditi budaya suatu masyarakat massa.

II.5 Kebudayaan Korea

Kebudayaan (culture) merupakan produk dari seluruh rangkaian proses sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat dengan segala aktivitasnya. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah hasil nyata dari sebuah proses sosial yang dijalankan oleh manusia bersama masyarakatnya.

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan kata jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai ”hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal” (Bungin, 2006 : 52).

Kebudayaan dalam bahasa latin / Yunani berasal dari kata “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam. Sedangkan pengertian kebudayaan menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.


(49)

hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Pengertian paling tua atas kebudayaan diajukan oleh Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat isitiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Atau seperti kata Hebding dan Glick bahwa kebudayaan dapat dilihat secara material maupun non material. Kebudayaan material tampil dalam objek material yang dihasilkan, kemudian digunakan manusia. Misalnya, dari alat-alat paling sederhana seperti asesoris perhiasan tangan, leher dan telinga, alat rumah tangga, pakaian, sistem komputer, desain arsitektur. Mesin otomotif, hingga instrumen untuk penyelidikan besar sekalipun. Sebaliknya budaya nonmaterial adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan / keyakinan serta bahasa.

Kebudayaan Korea berawal dari lahirnya kerajaan pertama Korea, yaitu kerajaan Choson karena di masa kerajaan ini lahir dongeng yang menceritakan nenek moyang bangsa Korea. Dongeng ini dikenal dengan nama legenda Tan’gun. Dongeng ini bercerita bahwa ada seorang dewa langit yang bernama Hwanung yang turun ke bumi, kemudian dia mengajak anak buahnya untuk ikut turun ke bumi. Di bumi mereka mendirikan kerajaan di suatu tempat, di Semenanjung Korea.

Suatu ketika, ada seekor macan dan beruang menemui Hwanung dengan tujuan meminta Hwanung agar mengubah diri mereka yang berwujud binatang menjadi manusia. Hwanung mengabulkan permintaan mereka, ia memberikan sejumlah rumput dan sejumlah siung bawang putih serta memerintahkan mereka memakannya dan menghindari matahari selama 100 hari. Mereka harus melaksanakan perintah tersebut jika mereka ingin menjadi manusia.

Beruang yang melaksanakan perintah Hwanung dengan sabar akhirnya menjelma menjadi perempuan dalam waktu kurang dari dua bulan, tetapi macan yang tidak sabar


(50)

melaksanakan perintah Hwanung gagal menjelma menjadi manusia. Karena macan tersebut tidak tahan makan bawang putih dan rumput terus menerus maka, dia akhirnya keluar dari gua dan memakan daging. Padahal, jika macan itu bersabar seminggu lagi saja, menurut Hwanung macan itu menjadi laki-laki dan tentu saja berpasangan dengan beruang yang menjadi perempuan tersebut.

Hwanung merasa empati dengan beruang yang menjelma menjadi perempuan tersebut karena ia tidak memiliki pasangan hidup sehingga akhirnya Hwanung menikahinya. Kemudian, mereka memiliki putra yang diberi nama Tan’gun yang selanjutnya menjadi nenek moyang bangsa Korea. Sekitar tahun 2300 Sebelum Masehi, Tan’gun menyatukan suku Tungusic dan kemudian mendirikan kerajaan yang dikenal dengan kerajaan Choson kuno dengan ibukota Asadah (Pyongyang sekarang). (www.korea.net)

Meskipun legenda Tan’gun hanya sebuah mitos yang kurang didukung fakta-fakta sejarah, namun legenda tersebut merefleksikan idealisme Korea serta memberikan kebanggan bangsa Korea sebagai bangsa yang memiliki sejarah dan kebudayaan tertua. Oleh karena itu, bangsa Korea tetap melestarikan legenda tersebut dan menjadi sumber kebangkitan spiritual bagi bangsa Korea saat menghadapi krisis rasial dan nasional.

Maju ke abad pertengahan tepatnya abad ke-16, di Korea terdapat seorang laksamana perang bernama, Laksamana Yi Sun Sin. Beliaulah yang membuat kapal anti peluru pertama kali di dunia yang diberi nama “kapal kura-kura”, untuk menangkal invasi Jepang.

Saat Jepang menginvasi Korea tentu saja ada kebudayaan Jepang yang berasimilasi dengan kebudayaan Korea, ini terlihat dari pakaian tradisional Korea yang bernama Hanbok, yang merupakan perpaduan kimono ala Jepang dan baju katun Korea. Kemudian,


(51)

saat orang Eropa, ikut datang ke Korea mereka membawa agama Kristen ke Korea serta etos kerja keras ala Eropa dan individualisme plus liberalisme dan imperalisme Eropa. Korea memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945 setelah kemenangan tentara Sekutu atas Jepang, akan tetapi Semenanjung Korea dibagi dua sebagai Korea Utara dan Korea Selatan oleh garis lintang 38o, menurut perjanjian politik antara Amerika dan Uni Soviet. Di belahan selatan berdiri Republik Korea yang lebih dikenal sebagai Korea Selatan setelah diakui oleh PBB melalui pemilihan umum pada tahun 1948, sedangkan di belahan utara didirikan Republik Rakyat Korea oleh tangan komunis.

Orang Korea berasal dari keturunan suku bangsa Mongolia. Orang-orang Korea itu kemudian memisahkan diri dan membentuk satu bangsa yang homogen, yaitu bangsa Korea. Kemajuan dan kemakmuran Korea (Selatan) bukan karena kondisi alamnya karena sebagian besar tanahnya berbukit-bukit, berbatu-batu, kurang subur, dan mengalami empat musim dengan musim dingin yang panjang dan membeku, tetapi berkat kerja sumber daya manusianya. Karena kondisi alam yang kurang mendukung itu, orang Korea tidak ingin kehilangan waktunya sehingga senantiasa bekerja giat. Segala pekerjaan ingin diselesaikan cepat-cepat. Sifat begitu mencintai pekerjaan sehingga sampai larut malam pun masih asyik dengan pekerjaannya demikian merambah dalam hati sanubari orang Korea (Yang, 1995 : 37).


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah serial-serial Korea yang pernah ditayangkan di stasiun televisi swasta Indonesia, yaitu Indosiar dan ANTV. Serial-serial tersebut adalah Full House sebanyak 16 episode, Hello Miss sebanyak 16 episode, Love Story in Harvard sebanyak 18 episode, dan Princess Hours sebanyak 24 episode.

III.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analisis Isi kualitatif. Analisis Isi adalah setiap prosedur sistematik yang dirancang untuk mengkaji isi informasi terekam. Datanya bisa berupa dokumen-dokumen tertulis, film-film, rekaman-rekaman audio, sajian-sajian audio, atau jenis media komunikasi yang lain. Penggunaan Analisis Isi untuk penelitian kualitatif tidak jauh berbeda dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada fenomena komunikasi yang dapat diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu dapat merumuskan dengan tepat apa yang ingin diteliti dan semua tindakan harus didasarkan pada tujuan tersebut.

Analisis Isi (Content Analysis) merupakan penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor Analisis Isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi.

Analisis Isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian sosial. Analisis Isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut :


(1)

hal-hal buruk itu. Bisa dipastikan kita tidak akan menjumpai adegan tersebut, meski sudah menonton banyak film dan drama Korea.

3. Selain makanan dan minuman khas Korea yang terdapat dala cerita, beberapa poin yang menjadi ”adegan wajib” dalam serial-serial Korea ialah adegan mabuk-mabukan dengan minum-minum arak soju, menyanyi di karaoke untuk merayakan keberhasilan dan menghibur hati yang sedih, menggendong seseorang baik kekasih, orang tua, ataupun orang lain yang membutuhkan bantuan, jika sakit sakit sering mengigau memanggil ibu mereka, meriakkan kata “semangat” untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, makan-makan dan minum-minum di warung-warung pinggir jalan.

4. Melalui hal-hal sederhana seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, Korea berhasil menarik perhatian masyarakat dalam hal ini penonton di Indonesia dalam mengenal budaya dan tradisi negara mereka yang pada akhirnya mampu mempromosikan pariwisata negeri Korea yang dikemas dalam bentuk sebuah sinetron, yakni serial Korea.

V. 2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah:

1. Jika membandingkan sinetron Indonesia dengan drama Asia sangat jauh perbedaannya. Indonesia yang notabene negara dengan mayoritas masyarakatnya muslim yang begitu mengagung-agungkan budaya ketimuran justru kalah dengan sinetron Asia, khususnya Korea yang ceritanya sangat ketimuran. Beberapa fakta yang harus diketahui, bahwa cerita drama Korea tidak pernah mengajarkan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan, jikalaupun ada kebencian tidak akan didramatisir, adegan dalam film Korea tidak perna membentak ayah dan


(2)

ibunya seperti yang sering kita tonton di setiap sinetron Indonesia, Setiap adegan yang kita tonton pasti ada segi positif yang ditonjolkan yang bisa kita petik hikmahnya. Pakaian yang mereka gunakan pun sangat sopan, sangat jarang kita melihat tank top di setiap drama Korea.

2. Sebaiknya sinetron jangan hanya mengejar rating semata dengan mengabaikan kualitas dari sinetron tersebut. Belum lagi kalau sinetron tersebut menduduki rating tinggi, sudah pasti episodenya akan terus ditambah, akhirnya ceritanya semakin mengada-ada karena harus kejar tayang.

3. Seharusnya sineas Indonesia belajar dari Korea, karena sangat banyak segi positif yang bisa mereka ambil demi kemajuan sinetron Indonesia, bukan malah memalukan nama bangsa Indonesia dengan menjiplak habis serial-serial tersebut.

4. Seharusnya kita bisa belajar dari tayangan sinema di negari gingseng, bukan meniru sinema mereka tetapi meniru cara mereka yang berhasil mengembangkan industri sinema hingga terkenal di mancanegara, mendapatkan banyak penghargaan, serta apresiasi yang luar biasa dari kalangan internasional. Bahkan artis-artisnya pun mampu bersaing dan berkolaborasi dengan artis-artis Eropa dan Amerika. Lewat sinema, Korea berhasil memperkenalkan kepada dunia luar kebudayaan mereka mulai dari kuliner, bahasa, pakaian, adat istiadat, dll. Yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan industri pariwisata dan meningkatkan devisa negara mereka.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro dan Lukti Komala. 2004. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya.

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan ilmu Sosial lainnya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

2006. Sosiologi Komunikasi. . Effendi, Onong Uchjana. 2004. Dinamika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Korea Overseas Information Service. 2003. Fakta tentang Korea. Seoul: Pelayanan Informasi Korea.

Krippendorff, klaus. 1993. Analisis Isi Pengantar Teori dan metodologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta :Gajah Mada University Press.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Singarimbun. Masri dan Sofyan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta : LP3ES. Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta : Graha

Ilmu.

So-hee, Kim. “A Review of Korean Cinema in 2002”, Korean Cinema 2002, KOFIC, Seoul

Sugihastuti. 2008. Beautiful E-Mail From Korea Mengungkap Realitas Sosial & Budaya

Korea. Yogyakarta : Carasvati Books.


(4)

Widiasarana Indonesia.

Wirodono, Sunardian. 2006. Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia. Yogyakarta : Resist Book.

Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : PT Grasindo.

Yang, Seung-yoon. 1995. Seputar Kebudayaan Korea. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Internet :

http://www.angelfire.com/gundam/sartohalim/sosial_budaya.htm diakses pada tanggal 17 Juli 2009.

http://www.koread.net diakses pada tanggal 17 Juli 2009.

http://ncifeby.blogspot.com/2008/03/belajar-dari-film-dan-sinema-korea.html diakses pada tanggal 20 Agustus 2009.


(5)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBARAN CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : NATASYA ANDRIANI

NIM : 050904107

PEMBIMBING : Dra. Dayana M,Si.

NO TGL PERTEMUAN PEMBAHASAN PARAF

PEMBIMBINGAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

04 Juli 2009

09 Juli 2009 04 Agustus 2009 06 Agustus 2009 18 Agustus 2009 26 Agustus 2009 09 Oktober 2009

14 Oktober 2009 22 Oktober 2009

Bimbingan Bab 1 setelah seminar

Bimbingan Bab 1 Bimbingan Bab 1 ACC Bab 1 ACC Bab 2 ACC bab 3

Penyerahan Bab 4 dan Bab 5

ACC Bab 4 dan Bab 5 ACC sidang meja hijau


(6)

BIODATA PENULIS

Nama : Natasya Andriani

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 30 Januari 1987

Anak Ke : 2 dari 3 bersaudara

Nama Orang Tua

1. Ayah : Surianto

2. Ibu : Florida

Riwayat pendidikan

1992-1998 : SD Adabiah II Padang, SUMATERA BARAT

1998-2001 : SLTPN 01 Siak Hulu, RIAU

2001-2004 : SMAN 05 Pekanbaru, RIAU

2005-2009 : Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara